Author: Robert Wright
Reviewer: Paul Bloom, a professor of
psychology at Yale, is the author of “Descartes’ Baby: How the Science
of Child Development Explains What Makes Us Human.” His book “How
Pleasure Works” will be published next year.
Diterjemahkan oleh TACU
Tuhan
menjadi melow. Tuhan yang mana bagi kebanyakan orang Amerika amat
sangat dipuja-puja, meski terkadang begitu kesal terhadap aborsi dan
pernikahan gay, tapi tampil begitu lembut apabila dibandingkan dengan
Yahweh dalam gambaran Alkitab Ibrani. Dahulu kala tentara Tuhan, suku
yang kejam, yang merasa dalam keadaan tidak aman dan bersedia untuk
melakukan pembunuhan massal demi memamerkan kekuatannya. Tapi setidaknya
Yahweh memiliki pandangan moral yang kuat, yang kadang-kadang
mencerahkan orang Israel mengenai bagaimana seharusnya mereka bersikap.
Bagi leluhur mereka, secara kontras, orang-orang itu menyembah
Tuhan-Tuhan yang tidak kompeten. Tidak memiliki petunjuk moral, bahkan
mereka sering meneriaki orang-orang dan cenderung mengarah kepada
obsesi-obsesi aneh. Salah satu Tuhan, atau dewa petir akan marah jika
orang-orang menyisir rambut mereka selama badai atau menonton
anjing-anjing berpasangan.
Dalam buku brilian terbarunya, “The Evolution of God,” Robert Wright mengisahkan tentang bagaimana Tuhan dibesarkan. Dimulai dengan dewa dari suku-suku pemburu dan pengumpul yang mengikuti sistem kesukuan dan bangsa, kemudian kepada politeisme orang Israel awal dan monoteisme yang diikuti, dan kemudian ke Perjanjian Baru dan Al-Quran, sebelum berakhir dengan era multinasional modern yang mengerucut pada Tuhan Yudaisme, Kristen dan Islam. Wright menggunakan bukti-bukti nalar dan berhati-hati, bahkan agak ragu, dan itu sisi bagusnya tatkala membaca tentang isu-isu seperti moralitas Kristus dan makna jihad tanpa mendapatkan perasaan bahwa Anda sedang berteriak, meski pandangannya provokatif dan kontroversial. Ada sesuatu yang mengganggu hampir semua orang.
Secara kontras dengan sebagian sekuler
kontemporer, Wright sangat optimis mengenai monotheism. Dalam “Nonzero:
The Logic of Destiny Manusia (2000)”, ia berpendapat bahwa ada
pengarahan moral bagi sejarah manusia, di mana pertumbuhan teknologi dan
keterkaitan global telah memperluas hubungan manusia ke arah yang lebih
positif dan saling menguntungkan satu sama lain. Dalam “The Evolution
of God,” Wright mengemukakan kisah yang sama dari sudut pandang agama,
mengusulkan bahwa peningkatan kebaikan tentang Tuhan mencerminkan
peningkatan kebaikan spesies kita. “Sebagai lingkup organisasi sosial
yang tumbuh, Tuhan cenderung digambarkan mengejar ketertinggalan,
sebagaimana hamparan besar kemanusiaan di bawah perlindungannya, atau
setidaknya hamparan besar kemanusiaan di bawah toleransi-Nya.” Wright
berpendapat bahwa masing-masing agama-agama Ibrahim yang utama telah
dipaksa ke arah pertumbuhan moral demikian dalam berinteraksi dengan
agama lain pada tingkat multinasional, dan bahwa perluasan imajinasi
moral ternyata mencerminkan “tujuan yang lebih tinggi, suatu tatanan
moral transenden.”
Ini terdengar pro-agama, tapi jangan
berharap Paus Benediktus XVI akan mengutip dari Wright dalam waktu
dekat. Wright menjelaskan bahwa ia melacak konsepsi masyarakat yang
ilahi, tapi bukan ke-ilahian itu sendiri. Dia menggambarkan hal ini
sebagai kabar baik/ kabar buruk bagi Tuhan Kristen tradisionalis,
demikian juga Muslim dan Yahudi.” Kabar buruknya adalah Tuhan Anda tak
terlahir sempurna. Kabar baiknya adalah bahwa dia tidak benar-benar ada.
Wright juga menyangkal keistimewaan iman
apapun. Dalam pandangannya, ada perubahan positif yang terus menerus
dari waktu ke waktu—sejarah agama memiliki arah tertentu mengenai
moral—tetapi tidak ada gerakan moral yang terkait dengan wahyu seiring
dengan munculnya Musa, Yesus atau Muhammad. Demikian pula, ia
berpendapat bahwa semua itu hanya buang-buang waktu untuk mencari esensi
dari salah satu agama monoteistik—itu konyol, misalnya, untuk
menanyakan apakah Islam adalah “agama damai” seperti seorang hakim yang
percaya dirinya tinggal dalam konstitusi yang hidup, Wright memercayai
bahwa persoalan itu semua hanyalah pilihan yang dibuat manusia,
bagaimana teks agama diinterpretasikan. Pergeseran kepekaan budaya
menyesuaikan dengan perubahan dalam dinamika manusia dan membentuk Tuhan
yang disembah manusia. Bagi Wright, bukanlah Tuhan yang berevolusi.
Namun, kita lah yang berevolusi—Tuhan hanya datang sepanjang perjalanan
kita.
Meski demikian, ini adalah perjalanan
besar manusia. Wright memberikan contoh Tuhan Leviticus, yang
mengatakan, “Kasihilah tetanggamu seperti kau mengasihi dirimu sendiri (Love your neighbor as yourself ),” dan ia menunjukkan bahwa firman ini tidaklah kedengaran seperti sebuah pencerahan ketika neighbors tidak selalu bermakna neighbors,
yakni dalam ayat itu ditujukan bagi sesama orang Israel, tapi tidak
bagi penyembah berhala di kota lainnya. Akan tetapi, tetap saja ayat
ini suatu petunjuk bagi seluruh suku Israel, dan merupakan kompas moral
yang memperluas lingkaran persaudaraan. Penolakan yang sekarang kita
rasakan ketika kita mempelajari lingkup terbatas dalam aturan tersebut,
adalah alasan lain bagi kita untuk menunjukkan bagaimana kepekaan moral
kita telah berkembang.
Begitu juga ketika kita mempertimbangkan
lagu liturgi mingguan “Jesus Loves the Little Children. (“Red and
Yellow, black and white, / They are precious in his sight). Sebenarnya,
tidak ada bukti bahwa Tuhan mencintai mereka semua jika Anda kembali
menyanyikan ini untuk Yesus dalam Injil, mungkin Tuhan akan berpikir
Anda gila. Tapi dalam pikiran banyak pengikutnya saat ini, jenis cinta
global ini adalah apa yang dimaksudkan dari kekristenan. Itu jelas
terlihat seperti bentuk kemajuan moral.
Tapi Tuhan masih memiliki beberapa
perkembangan, seperti yang dijelaskan oleh Wright dalam suatu diskusi
mengenai kebencian kepada agama baru-baru ini. Seperti yang Anda
harapkan, ia berpendapat bahwa banyak dari masalah yang muncul bukanlah
karena teks-teks agama atau ajaran-ajaran itu sendiri, tetapi dengan
kondisi sosial—fakta di lapangan—yang mana Tuhan dibentuk sesuai
gambaran mereka ingin diciptakan oleh pengikutnya. “Ketika orang-orang
melihat diri mereka dalam hubungan zero-sum dengan orang lain—cara
pandang yang melihat bagaimana nasib mereka berkorelasi terbalik dengan
nasib orang lain, mereka melihat dinamika sebagai bentuk relasi
menang-kalah—mereka cenderung untuk menemukan dasar alkitabiah sebagai
pembenaran intoleransi atau sikap agresif.” Resep untuk keselamatan
menjadi cara untuk mengatur dunia sehingga orang menemukan diri mereka
(dan menganggap diri mereka) saling terhubung: “Ketika mereka melihat
hubungan sebagai non-zero-sum maka mereka akan melihat korelasi positif
dan potensi untuk win-win solution—mereka lebih mungkin untuk
menemukan sisi toleran dan memahami kitab suci mereka.” Dengan demikian,
ubahlah dunia maka Anda akan mengubah Tuhan.
Bagi Wright, langkah evolusi berikutnya
adalah bagi para praktisi agama-agama Ibrahim untuk menyerahkan klaim
mereka kepada kekhasan, dan kemudian melepaskan keistimewaan monoteisme.
Bahkan, ketika pertimbangan moral itu diperluas maka menurut Wright,
agama seperti Buddhisme kadang-kadang “mengungguli Abrahamics.” Tapi ini
terdengar seperti kematian Tuhan, bukan evolusi nya. Dan benturan yang
akan dihadapi Wright berasal dari psikologi evolusioner, yang mana kita
menemukan agama untuk memenuhi kebutuhan intelektual dan emosional
tertentu, seperti kecenderungan untuk mencari penyebab moral dari
peristiwa alam dan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang
yang mengelilingi kita. Kebutuhan ini tak dapat dihapuskan begitu saja,
dan konsep Wright tentang Tuhan yang non-personal serta tidak berpihak
pada satu agama saja, tidak akan memuaskan satupun dari para pemeluk
agama. Dia bertaruh bahwa kekuatan sejarah akan mengalahkan tampilan
dasar psikologis kita. Namun, saya tidak begitu yakin.
Sementara itu, Wright mengeksplorasi
adanya klaim bahwa sejarah agama sesungguhnya menegaskan “Eksistensi
dari sesuatu yang bermakna dan disebut keilahian.” Dia menekankan
kebutuhan manusia akan intervensi keilahian bagi perkembangan moral,
yang bisa dibeberkan oleh eksperimen ilmiah yang melibatkan evolusi
biologi dari pikiran manusia dan game theory daripada interaksi
sosial. Tapi dia bertanya-tanya mengapa alam semesta sedemikian rupa
terbentuk dan menaruh perihal perkembangan moral pada posisi utama.
“Jika sejarah secara alamiah mendorong orang-orang ke arah perbaikan
moral, menuju kebenaran moral, dan juga menuju Tuhan mereka karena
mereka memahami Tuhan mereka, sehingga orang-orang menjadi kaya secara
moral, maka mungkin pertumbuhan ini adalah bukti dari beberapa tujuan
yang lebih tinggi, dan mungkin tujuan yang lebih tinggi itu layak
disebut keilahian.”
Tidak hanya soal perkembangan moral yang
menimbulkan isu-isu semacam ini. Saya tidak meragukan penjelasan yang
datang dari sisi ilmiah seperti psikologi dan neurosains, tapi tidakkah
kita mempertanyakan mengapa alam semesta berperilaku sedemikian rupa
sehingga memunculkan makhluk seperti Anda dan saya? Dan pikiran-pikiran
demikian—yang berevolusi dalam dunia tumbuhan, burung-burung, batu dan
sebagainya—ternyata memiliki kapasitas untuk mengatasi dunia ini setiap
hari dan menghasilkan filsafat, teologi, seni dan sains?
Jadi, saya membagi sisi ketakjuban Wright
atas perubahan yang terjadi. Namun, saya tidak melihat bagaimana
perubahan ini merupakan argumen yang tepat untuk sesuatu yang ilahiah.
Bahkan, jika kita bisa menetapkan secara definitif bagaimana
perkembangan moral ini terjadi karena adanya, atau dimulai dari kasih
Tuhan, maka ini hanya mendorong isu-isu yang ada naik satu tingkat. Kita
sekarang terjebak dengan teka-teki mengapa harus ada wujud Tuhan
pemelihara di tempat pertama.
Dan juga nantinya Tuhan akan menjadi
sangat minimalis. Wright sendiri menggambarkannya sebagai “sesuatu yang
ada di antara ilusi dan konsepsi yang tidak sempurna.” Tuhan yang tidak
akan menjawab doa-doa Anda dan memberikan saran bagaimana caranya
menghabisi musuh-musuh Anda. Bahkan, jika Tuhan memang ada, kita akan
ditinggalkan dengan pilihan situasi yang mengandung kabar baik dan
buruk. Kabar baiknya adalah memang ada yang namanya wujud ilahiah.
Namun, kabar buruknya adalah wujud ilahiah tersebut bukan satu-satunya
yang didambakan oleh semua orang.
Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com
No comments:
Post a Comment