Oleh: Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow
Diterjemahkan oleh TACU
Menurut mitologi Viking, gerhana terjadi
ketika dua serigala, Skoll dan Hati, menangkap matahari atau bulan. Pada
permulaan terjadinya gerhana, orang-orang sengaja membuat kebisingan,
berharap dapat menakut-nakuti serigala-serigala itu hingga kabur.
Setelah beberapa saat, orang-orang mesti menyadari bahwa gerhana itu
berakhir tanpa menghiraukan apakah mereka berlarian dan menghancurkan
pot-pot.
Keacuhan terhadap bagaimana alam ini
bekerja, telah menggiring orang-orang kuno untuk membuat mitos-mitos
sebagai dalil pembuktian bagi pemahaman mereka terhadap dunia. Akan
tetapi, kemudian orang-orang beralih ke filsafat, yakni berusaha
menggunakan nalar mereka—beserta intuisi berdosis tepat—untuk
menguraikan semesta mereka berada. Hari ini kita menggunakan nalar,
matematika dan tes uji coba—dengan kata lain, ilmu pengetahuan modern.
Albert Einstein mengatakan, “Hal yang paling tidak bisa dimengerti tentang alam semesta adalah bahwa ia dapat dipahami secara luas dan lengkap.” Maksudnya adalah, tidak seperti kondisi rumah kita di hari yang buruk, alam semesta bukanlah praktik konglomerasi atas hal-hal yang berjalan masing-masing di jalannya sendiri. Segala sesuatu di alam semesta mengikuti hukum, tanpa kecuali.
Newton percaya bahwa sistem tata surya
kita—yang dapat ditinggali meski nampaknya amat ganjil, “tidaklah muncul
dari kekacauan hukum alam.” Sebaliknya, dia menyatakan bahwa urutan
alam semesta “diciptakan oleh Tuhan pada awalnya dan dilestarikan
olehNya hingga hari ini dengan keadaan dan kondisi yang sama.” Penemuan
baru-baru ini secara ekstrem memutarbalikkan teori-teori mengenai alam
semesta yang berasal dari gagasan adanya rancangan besar yang dikerjakan
oleh sang Perancang Agung. Alih-alih mengukuhkan, kemajuan terbaru
dalam bidang kosmologi menjelaskan mengapa hukum alam semesta tampaknya
dibuat khusus untuk manusia, tanpa memerlukan pencipta baik hati.
Banyak kejadian mustahil yang saling
tumpang tindih dalam hal penciptaan manusia sebagaimana yang kita
saksikan dalam bentuk manusia sekarang ini. Akan sangat membingungkan
pula jika kita adalah satu-satunya sistem tata surya di alam semesta.
Akan tetapi, hari ini kita mengetahui adanya ratusan sistem tata surya
lain, dan hanya sedikit yang meragukan keberadaan mereka (manusia dalam
bentuk seperti kita) dengan jumlah tak terhitung lainnya di antara
miliaran bintang di dalam galaksi kita.
Planet yang mempunyai segala macam
entitas yang dibutuhkan bagi kehidupan (sebagaimana bumi) ternyata
sangat jelas keberadaannya. Ketika entitas-entitas penyokong kehidupan
di suatu planet mengetes kondisi di sekitar mereka, maka mereka terikat
untuk menemukan bahwa lingkungan mereka memenuhi persyaratan yang mereka
butuhkan untuk tetap eksis.
Hal ini dimungkinkan untuk mengubah
pernyataan terakhir menjadi prinsip ilmiah: Fakta dari keberadaan kita
membatasi karakteristik jenis lingkungan di mana kita menemukan diri
kita. Sebagai contoh, jika kita tidak tahu jarak dari bumi ke matahari,
fakta bahwa entitas seperti kita ada, akan memungkinkan kita untuk
menempatkan batas pada seberapa kecil atau besar pemisahan yang terjadi
antara bumi dan matahari. Kita perlu cairan berupa air untuk eksis, dan
jika bumi terlalu dekat dengan matahari, itu semua akan mendidih. Jika
terlalu jauh maka akan membeku. Prinsip ini disebut prinsip antropis
terlemah.
Prinsip antropis terlemah ini tidaklah
sangat kontroversial. Akan tetapi, ada prinsip yang lebih kuat dan
dipandang remeh oleh beberapa fisikawan. Prinsip antropis yang lebih
kuat menawarkan fakta bahwa keberadaan/eksistensi kita membebankan
ketidakleluasaan, tidak hanya pada lingkungan kita, tetapi pada
kemungkinan bentuk dan isi dari hukum-hukum alam itu sendiri.
Ide tersebut muncul karena tidak hanya
karakteristik khas dari sistem tata surya kita yang secara aneh tampak
kondusif bagi pengembangan kehidupan manusia, tetapi juga karakteristik
seluruh alam semesta kita—dan hukum-hukumnya. Mereka tampaknya memiliki
desain yang memang dibuat untuk mendukung kita dan, jika kita memang
menghendaki eksistensi tersebut, juga meninggalkan sedikit ruang untuk
perubahan. Itu akan jauh lebih sulit untuk dijelaskan.
Kisah tentang bagaimana bentuk primordial
alam semesta adalah hidrogen, helium dan sedikit lithium yang
berevolusi, setidaknya menyimpan satu kisah dalam banyak bab tentang
dunia yang dipenuhi dengan kehidupan cerdas seperti kita. Kekuatan alam
harus sedemikian rupa sehingga berat unsur-terutama karbon bisa
dihasilkan dari elemen primordial, dan tetap stabil setidaknya selama
miliaran tahun. Unsur-unsur berat itu terbentuk dalam tungku yang kita
sebut bintang, sehingga kekuatan pertama alam semesta pasti memungkinkan
terbentuknya bintang-bintang dan galaksi. Mereka pada gilirannya tumbuh
dari sebiji inhomogenitas kecil di awal-awal semesta alam.
Bahkan, semua itu belumlah cukup:
Dinamika bintang-bintang harus sedemikian rupa sehingga beberapa
akhirnya akan meledak, tepatnya dengan cara yang bisa memecah elemen
paling berat melintasi ruang. Selain itu, hukum alam harus mendikte
bahwa sisa-sisa pecahan itu akan merekondisi dirinya menjadi generasi
baru bintang-bintang, yang dikelilingi planet-planet yang bergabung
dengan bentukan baru elemen-elemen berat.
Dengan memeriksa model alam semesta yang
kita hasilkan ketika teori-teori fisika diubah dengan cara tertentu,
seseorang dapat mempelajari pengaruh perubahan hukum fisika secara
metodis. Perhitungan tersebut menunjukkan bahwa apabila sedikitnya
terjadi perubahan 0,5% dalam kekuatan gaya nuklir, atau 4% dalam
kekuatan listrik, akan menghancurkan nyaris seluruh karbon, atau semua
oksigen di setiap bintang, dan karenanya memungkinkan kehidupan seperti
yang kita tahu. Demikian pula, sebagian besar konstanta fundamental yang
muncul dalam teori kami, muncul secara baik. Dalam arti bahwa jika
mereka diubah oleh jumlah yang sederhana saja, alam semesta akan secara
kualitatif berbeda, dan dalam banyak kasus tidak cocok untuk
pengembangan kehidupan. Misalnya, jika proton adalah 0,2% lebih berat,
mereka akan membusuk menjadi neutron, menyebabkan atom tak stabil.
Jika seseorang menganggap bahwa
diperlukan beberapa ratus juta tahun orbit yang stabil bagi kehidupan di
planet untuk berevolusi, maka jumlah dimensi ruang juga akan
disesuaikan dengan keberadaan kita. Hal tersebut dikarenakan, menurut
hukum gravitasi, hanya dalam tiga dimensi yang dimungkinkan stabilnya
orbit berbentuk elips. Bahkan, gangguan kecil pada sesuatu yang bertiga
dimensi, seperti yang dihasilkan oleh tarikan planet lain, akan
melencengkan sebuah planet dari orbit edarnya, dan menyebabkan bergerak
spiral mendekat atau pun menjauhi matahari.
Munculnya struktur rumit yang mampu
mendukung pengamatan tentang makhluk atau objek berintelejensi tinggi,
tampaknya sangat rapuh. Hukum alam membentuk sistem yang sedemikian
teratur dan serasi. Apa yang bisa kita perbuat dari kebetulan-kebetulan
ini? Keberuntungan yang presisi dan sifat alamiah hukum fisika dasar
adalah jenis keberuntungan yang berbeda dari keberuntungan yang kita
temukan dalam faktor-faktor lingkungan. Hal ini menimbulkan pertanyaan
mengapa (kebetulan) itu adalah caranya?
Banyak orang menginginkan kita untuk
menggunakan kebetulan sebagai bukti pekerjaan Tuhan. Gagasan bahwa alam
semesta ini dirancang untuk mengakomodasi umat manusia muncul dalam
teologi dan mitologi yang berasal dari ribuan tahun yang lalu. Dalam
budaya Barat, Perjanjian Lama berisi ide rancangan takdir, tapi
pandangan Kristen tradisional juga sangat dipengaruhi oleh Aristoteles,
yang percaya “bahwa dunia secara cerdas dan alamiah melakukan fungsinya
sesuai dengan beberapa rancangan yang disengaja.”
Itu bukan jawaban dari ilmu pengetahuan
modern. Sebagai kemajuan terbaru dalam kosmologi menunjukkan, hukum
gravitasi dan teori kuantum memungkinkan alam semesta muncul secara
spontan dari ketiadaan. Penciptaan spontan adalah alasan adanya sesuatu
daripada tidak ada apapun, mengapa alam semesta ada, mengapa kita ada.
Hal ini tidak perlu melibatkan Tuhan untuk menyalakan kertas biru yang
tersentuh dan mengatur jalannya alam semesta.
Alam semesta kita tampaknya menjadi salah
satu dari banyak, masing-masing dengan hukum yang berbeda. Banyaknya
ide tentang semesta itu bukanlah gagasan yang diciptakan untuk
menjelaskan keajaiban keteraturan dan keserasian alam. Ini adalah
konsekuensi yang diprediksi oleh banyak teori dalam kosmologi modern.
Jika benar, maka akan mengurangi prinsip antropik yang kuat dengan yang
lemah, menempatkan keselarasan dan keteraturan hukum fisika pada pijakan
yang sama dengan faktor lingkungan karena hal itu berarti bahwa habitat
kosmik kita—seluruh semesta yang sekarang dapat diamati—hanyalah salah
satu dari banyak alam semesta.
Masing-masing semesta kemungkinan
memiliki sejarah dan kondisi beragam. Barangkali hanya beberapa saja
yang memungkinkan makhluk seperti kita untuk eksis. Meskipun kita lemah
dan tidak terlalu signifikan pada skala kosmos, justru dalam hal
penciptaan membuat keberadaan kita lebih masuk akal.
—Stephen Hawking is a professor at the
University of Cambridge. Leonard Mlodinow is a physicist who teaches at
Caltech. Adapted from “The Grand Design” by Stephen Hawking and Leonard
Mlodinow. Copyright © by Stephen Hawking and Leonard Mlodinow. Printed
by arrangement with the Random House Publishing Group.
No comments:
Post a Comment