Oleh: Idries Shah
Ibadah menurut Syah adalah bebas dari kemarahan dan kebaikan, kekufuran dan ketaatan ... (Matsnawi, IV)
Seorang penulis ternama, yakni Abdul Hadi, enam abad yang lalu menulis bahwa pada suatu hari ayahnya bercerita, "Engkau lahir berkat doa Bahauddin Naqsyabandi yang Agung dari Bukhara itu, dan memiliki keajaiban luar biasa." Abdul Hadi tidak memahami "berkat doa" itu, sehingga ia berhasrat menemui guru Sufi tersebut. Setelah merampungkan segala persoalan dirinya, ia bertolak dari Syria ke Asia Tengah. Ia menemui Bahauddin (w. 1389), pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah, sedang duduk bersama para muridnya, kemudian ia menuturkan bahwa maksud kedatangannya adalah karena ia sangat ingin mengetahui perihal keajaiban-keajaibannya (Bahauddin).
Bahauddin berkata, "Ada sebuah makanan yang tidak lazim. Makanan ini adalah kesan-kesan (naqsh-ha) yang senantiasa masuk ke dalam (kesadaran) manusia dari berbagai penjuru lingkungannya. Hanya manusia pilihan yang mengetahui (maksud) kesan-kesan tersebut dan yang dapat mengarahkannya. Engkau paham?"
Abdul Hadi tidak memahami perumpamaan itu dan ia tetap diam.
"Makna dari kesan tersebut merupakan salah satu rahasia Sufi. Guru Sufi membuat makanan dengan kandungan gizi 'yang berbeda' untuk para pengikutnya. Hal ini dilakukan untuk membantu perkembangan dirinya dan berada di luar hukum-hukum peristiwa yang dapat dinalar. Sekarang mengenai apa yang engkau sebut keajaiban. Setiap orang yang hadir di sini telah melihat keajaiban. Arti penting keajaiban itu terletak pada fungsinya. Mungkin saja keajaiban itu diperlihatkan sebagai makanan ekstra, mungkin saja terjadi pada pikiran atau tubuh dengan cara tertentu. Ketika hal ini terjadi, pengalaman (melihat) keajaiban itu menunjukkan fungsinya secara murni dan khas pada pikiran. Apabila keajaiban itu sepenuhnya terjadi sesuai dengan imajinasi ataupun pikiran sederhana, maka ia akan mendorong suatu kepercayaan tanpa kritik atau gejolak emosional, atau keinginan untuk melihat keajaiban lagi, atau hasrat untuk memahaminya, atau suatu rasa senang yang sebelah mata, bahkan rasa takut dari orang yang merasa bahwa keajaiban itu sebagai tanggung jawabnya."\
Ia melanjutkan, bahwa keajaiban itu mungkin tidak dapat dijelaskan secara memuaskan, karena banyak perbedaan cara memahami yang mengacu perbedaan berpikir, dan setiap orang berbeda dalam mernahami rantai sebab-akibat.
Hanya Sufi matang yang dapat mengetahui interpretasi yang benar dari keajaiban tertentu. Keajaiban merupakan suatu peristiwa yang tak terjelaskan. Berapa banyak interpretasi yang sudah dilakukan atas suatu keajaiban, namun tidak selalu gamblang. Ada banyak keajaiban yang terjadi setiap saat, namun manusia tidak menangkap melalui panca inderanya, karena keajaiban-keajaiban itu bukan suatu peristiwa yang mengesankan. Sebagai contoh, apabila mengacu pada teori kemungkinan, manusia bisa saja meningkat atau merosot moralnya, serta bisa saja ia memperoleh atau kehilangan harta-benda, namun semua itu hanya dianggap sebagai kebetulan semata. Sebenarnya keajaiban pun bersifat kebetulan, yakni serangkaian hal-ihwal yang terjadi dalam hubungan antara satu sama lainnya.
"Semua keajaiban itu," kata Naqsyabandi, "mempunyai fungsi dan fungsinya tetap berjalan, entah keajaiban itu dipahami atau tidak. Jadi, setiap keajaiban mempunyai sebuah fungsi obyektif, karena itu keajaiban menimbulkan kebingungan bagi sementara orang, serta skeptisisme, ketakutan, kegembiraan dan sebagainya bagi lainnya. Fungsi keajaiban (yang obyektif) itu adalah menggugah reaksi dan mengandung gizi, kandungan gizi dalam hal ini beragam sesuai dengan kapasitas diri manusia. Akan tetapi, keajaiban merupakan suatu bentuk pengaruh ataupun penilaian manusia."
Jadi, menurut para Sufi, setiap keajaiban mempunyai semacam aksi yang beragam terhadap manusia yang (a) tidak mungkin terjadi kecuali diperlukan dan pada umumnya berkembang sebagai kejadian insidentil, (b) tidak dapat diamati atau didefinisikan karena karakternya yang kompleks.
Sebuah pendapat tipikal tentang keajaiban yang mungkin merupakan jawaban sementara terkandung dalam sebuah koleksi ajaran-ajaran Abdul Qadir al-Jilani, pendiri Tarekat Sufi Qadiriyah.
Syekh Umru Usman Sairifini dan Syekh Abdul-Haq Harini menjelaskan sebagai berikut:
"Pada hari ketiga bulan Safar tahun Burung 555, kami duduk di hadapan Guru (Sayyid Abdul Qadir) di madrasahnya. Ia berdiri lalu mengenakan sepasang bakiak (sandal kayu) dan mengambil wudhu. Arkian, ia mengucapkan dua doa dan berteriak keras sambil melemparkan sebelah bakiaknya ke udara, selanjutnya bakiak itu pun lenyap. Dengan teriakan selanjutnya, Guru melemparkan bakiak yang satunya lagi ke udara dan ini pun lenyap dari penglihatan kami. Tak seorang pun yang hadir di situ berani bertanya kepadanya tentang peristiwa itu.
Tiga puluh hari setelah kejadian tersebut, sebuah kafilah tiba di Baghdad dari Timur. Para anggotanya mengatakan bahwa mereka berkeinginan memberi hadiah kepada Guru. Lalu kami berkonsultasi dengan Guru dan ia mengijinkan kami untuk menerima hadiah itu. Adapun hadiah yang diberikan para anggota kafilah itu berupa sutra dan pakaian lainnya serta sepasang sandal yang serupa dengan sandal yang ia lemparkan tempo hari. Kemudian mereka bercerita:
'Pada hari ketiga bulan Safar, bertepatan dengan hari Senin, ketika kami sedang berjalan tiba-tiba ada serangan dari para penyamun Arab di bawah dua pimpinannya. Para penyamun itu membunuh beberapa anggota rombongan kami dan merampas barang barang kami. Kemudian mereka segera masuk ke hutan untuk membagi hasil jarahannya. Kami yang selamat berkumpul di tepi hutan itu. Pada saat itu kami teringat untuk memohon pertolongan Sayyid (Abdul Qadir al-Jilani) atas bencana yang menimpa kami, karena kami kehilangan arah dan tujuan setelah peristiwa itu untuk melanjutkan perjalanan. Kami memutuskan akan memberikan hadiah kepadanya sebagai tanda terima kasih, apabila setidaknya kami tiba di Baghdad dengan selamat --suatu hal yang tidak mungkin apabila melihat situasi yang terjadi.
Setelah kami membuat keputusan itu, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suatu suara, dua kali teriakan yang bergema menembus hutan itu. Kami menduga bahwa gerombolan penyamun itu telah diserang kelompok lainnya dan setelah itu mungkin terjadi perkelahian. Namun tiba-tiba sebagian bandit tadi datang kepada kami dan mengatakan bahwa sesuatu telah menimpa mereka. Mereka memohon kami untuk menerima kembali perbekalan kami. Lalu kami berjalan menuju tempat para penyamun tadi mengumpulkan barang dagangan kami yang dijarahnya dan menemukan kedua pemimpin mereka tewas tergeletak dengan sepasang bakiak di dekat kepala mereka.
Menurut kami, setelah merasakan bencana yang menimpa para kafilah dan didorong hasrat untuk menolongnya, pastilah Guru telah mencoba melemparkan sandalnya dengan cara tertentu sehingga kedua gembong penyamun yang akhirnya para anggotanya mengaku bersalah, terbunuh'."
"Yang kami tekankan sebagai sebuah kisah dan perlu ditulis adalah kehadiran Tuhan Yang Mahakuasa, Yang Membedakan dan Membalas Kebenaran serta Kesalahan."
Dengan mengacu pada peristiwa-peristiwa tersebut, tradisi Naqsyabandi memahaminya bahwa "apabila seorang sahabat merasa suatu kekeliruan dapat dibenarkan [walaupun meminta pertolongan kepada Wali atas suatu musibah yang menimpa seseorang itu keliru, namun dalam keadaan terjepit dapat dibenarkan, karena Wali adalah perantara kepada Allah], ia boleh mencari petunjuk baik sebagai cara dan hal yang diijinkan maupun sebagai tata krama dalam berkontemplasi, sementara dampak yang diharapkan bisa saja menyusul segera dan terus-menerus atau kemudian dan tepat waktu."
"Keajaiban," kata Afghani, "adalah keyakinanmu kepada sesuatu. Tentu saja keajaiban apa pun yang engkau yakini bukan merupakan akibat yang sebenarnya maupun akhir dari akibatnya."
Sikap fungsional terhadap keajaiban menggarisbawahi, bahkan bagi para pengamat, kemungkinan yang lebih dalam dari kejadian-kejadian yang tak terjelaskan. Apabila kita bertolak dari tataran paling bawah dari keajaiban, maka kita dapat memahami bahwa suatu aksi atau kejadian yang lazim dan dapat kita jelaskan mungkin menjadi teka-teki atau bukti "magis" yang meyakinkan bagi seorang yang lebih rendah tingkat pengetahuannya. Karena itu, ketika seorang yang masih belum berperadaban melihat api dinyalakan dengan unsur kimia tertentu, ia mungkin menganggap hal itu sebagai suatu peristiwa yang ajaib. Pada tingkat perkembangannya ini, peristiwa tersebut mungkin menimbulkan semacam keterpesonaan religius yang penting, sehingga membuatnya takjub kepada sang peraga atau mematuhi segala perintahnya. Akan tetapi, ia akan merasakan suatu akibat mental dan fisik. Bahkan pada saat ini, peristiwa yang tidak dapat dijelaskan melalui ilmu-ilmu alam akan mempengaruhi pikiran modern yang sangat canggih sekalipun. Suatu mekanisme serupa telah digunakan oleh Naqsyabandi dalam menjelaskan keajaiban-keajaiban yang tak terinderai itu. Serangkaian peristiwa-peristiwa kebetulan dan menyenangkan (atau tak menyenangkan) yang dialami seorang manusia pasti akan menimbulkan suatu akibat mental dan fisik terhadapnya, bahkan akibat fisik itu akan dirasakannya ketika ia makan lebih banyak dari biasanya, sebab ia memang sedang mendapat banyak rezeki.
Teori ini jauh lebih dalam ketimbang pengertian mukjizat yang lazim dan berbeda dari reaksi-reaksi biasa sepanjang reaksi tersebut bersikeras bahwa sama sekali tidak ada peristiwa-peristiwa aksidental atau asing.
Ajaran Sufi menggarisbawahi bahwa "akibat adalah jauh lebih penting daripada sebab, karena akibat itu beragam, sementara sebab pada dasarnya tunggal." Seorang materialis yang paling keras kepala sekalipun akan setuju dengan teori tersebut apabila dijelaskan menurut ungkapan-ungkapan yang biasa digunakannya, misalnya: "Semua aksi pada dasarnya bersifat fisik, sementara keragaman akibat sepenuhnya ditentukan sebabnya." Para Sufi sama sekali tidak akan memperdebatkan teori ini, namun mereka tetap berpendapat bahwa kalangan materialis tulen hanya mampu melihat asal-usul dan sebab-akibat itu dari sudut pandang yang terbatas, satu atau dua dimensi, karena kekakuan cara pandang mereka.
Keajaiban berkaitan dengan persoalan sebab-akibat, dan menurut para Sufi, sebab-akibat berkaitan dengan persoalan ruang dan waktu. Pada umumnya sebuah peristiwa dikatakan ajaib karena kelihatannya bertentangan dengan konvensi-konvensi ruang dan waktu. Suatu jalan pintas dalam memahami peristiwa yang luar biasa akan berakibat menghilangkan kualitas keajaiban yang tak terjelaskan itu. Namun menurut para Sufi, karena keajaiban mempunyai akibat fisik, maka akibat fisik inilah yang mungkin penting, seperti sebuah bumbu masakan yang mungkin bukan termasuk makanan.
Pendapat Sufi ini hanya merupakan suatu pandangan kasar dalam mencoba memahami keajaiban.
Maka dari itu, dari sudut pandang Sufi, sebuah keajaiban diuraikan secara sederhana melalui suatu mekanisme yang akan mempermudah setiap orang dalam memahaminya. Seorang barbar yang terlalu menggebu-gebu ingin melihat (mengetahui) keajaiban, tidak layak untuk menjalankan suatu pengembaraan spiritual, meskipun ia mungkin mampu melakukan improvisasi dan mempunyai penganut seperti agama konvensional yang patuh pada hukumnya berkat pengalaman spiritualnya.
Guru saya pernah mengomentari sebuah pertanyaan tentang keajaiban, "Renungkanlah pertanyaan ini, Bagaimanakah bunyi sebutir bawang?' untuk membuktikan bahwa beberapa pertanyaan tidak mungkin dijawab orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengajukan pertanyaan, konsekuensinya tidak mampu memahami jawaban yang sebenarnya."
Menurut para Sufi, sebagaimana ditafsirkan agama konvensional, keajaiban mungkin mempunyai nilai ganda, artinya keajaiban mungkin menunjukkan kesan kepada sesorang menurut tingkat perkembangan mentalnya dan mungkin juga suatu bentuk makanan bagi seseorang yang lebih matang pengalamannya.
Bahkan kita dapat mengambil contoh yang lebih spesifik, misalnya Profesor Seligman terperanjat ketika menyaksikan para darwis tertentu mengiris tubuhnya dan menghentikan aliran darahnya dengan cepat tanpa dapat dijelaskan sebabnya. Pengamat lain mencatat bahwa para darwis Tarekat Rifa'iyah dapat menyembuhkan luka-luka tanpa bekas sedikit pun dan dengan kecepatan yang samar. Kemudian, pada tahun 1931 Dr. Hunt memutar sebuah film tentang praktik-praktik para darwis Tarekat Rifa'iyah dari India tersebut, namun tanggapan yang muncul terhadap film itu biasanya mengabaikan keutuhan peristiwa tersebut atau ada yang menganggap sebagai hipnotisme. Para anggota Tarekat Qadiriyah dapat berjalan di atas air; sementara para anggota Tarekat Azhimiyah terkenal, seperti para Syekh zaman dulu, dapat menampakkan diri di berbagai tempat sekaligus dan pada saat yang sama.
Mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi, atau bisa terjadi?
Seorang darwis mempunyai suatu sikap yang sangat berbeda terhadap peristiwa tersebut daripada orang biasa, apakah ia seorang pandir yang penuh keyakinan ataupun ilmuwan abad dua puluh. Harus diingat bahwa para Sufi menandaskan: benda-benda tidaklah sebagaimana yang tampak. Pada waktu ia mendemonstrasikan kemampuan melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan orang lain dan kelihatan bertentangan dengan hukum alam yang dipahami setiap orang, sebenarnya ia mengungkapkan maksudnya. Hal ini merupakan suatu metode mengungkapkan diri yang valid seperti metode sastra mana pun dan lebih efektif dari metode sastra pada umumnya. Walaupun ternyata bentuk ungkapan tersebut disalahgunakan, disalahpahami dan dipalsukan, namun tetap tidak menggunakan dasar validitasnya.
Sementara pengamat, terutama apabila ia cenderung bersikap obyektif atau rasional, akan mendapat kesulitan besar dalam mendekati masalah tersebut. Sebab tujuan utamanya adalah menjelaskan fenomena tersebut menurut pemahamannya sendiri. Ia tidak menyadari keutamaan untuk memperluas persepsinya sendiri terhadap fenomena yang sedang ditelitinya. Namun dari sudut pandang Sufisme, pengamat hanya mengambil semacam jalan pintas yang memungkinkan dirinya untuk menghindari kesulitan dalam menjelaskan keajaiban. Ketika seorang anak takut kepada hantu, ia harus memperoleh suatu penjelasan atau suatu penjelasan masuk akal menurut tingkat pemahamannya. Demikian pula, ketika orang yang tidak awas melihat peristiwa aneh dan mengakui bahwa pasti ada suatu penjelasan logis, maka penjelasan tersebut bisa saja diperolehnya --entah bagaimana caranya dan dari siapa.
Dalam Sufisme, rahasia keajaiban itu menyelubungi dirinya sendiri. Sesuai dengan pengalaman Sufi, halusinasi, begitu mereka menyebutnya, berjalan dengan dua cara sekaligus. Orang mungkin mengira bahwa ia melihat hal yang tidak nyata dalam halusinasi itu. Ia juga mungkin melihat kejadian di luar kenyataan. Bagaimana ia melihat dan apa yang dilihatnya akan bergantung pada kemampuan pemahamannya sendiri. Di sini saya tidak bermaksud membahas tentang gerak-gerik tipuan yang disengaja dan diketahui pikiran. Dengan keyakinan bahwa segala sesuatu dapat dijelaskan secara rasional, maka ia menganggap bahwa suatu kejadian yang tidak masuk akal hanya dapat diuraikan melalui penjelasan yang rasional itu. Namun hal itu sama sekali tidak benar bagi orang yang berkeyakinan bahwa beberapa penjelasan adalah mungkin menurut tingkat pemahaman setiap orang. Ilmu pengetahuan modern masih belum pandai memberikan berbagai penjelasan yang khas dan halus. Ilmu pengetahuan modern tidak memadai untuk melakukannya.
Metode Sufi tradisional mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan analogi. Para Sufi juga secara tradisional menggunakan analogi-analogi yang sudah dikenal masyarakat dalam menjelaskan keajaiban. Sementara itu para penggemar dongeng di Barat pada umumnya mengenal kisah-kisah Hans Christian Andersen yang biasanya dikenal dengan dongeng Anak Itik yang Jelek [dalam perumpamaan yang sudah dikenal di Barat dan merupakan sebuah distorsi anak itik yang memang jelek sosoknya, namun setelah dewasa menjadi indah, dianalogikan dengan gadis kecil yang buruk rupa, namun setelah dewasa menjadi molek]. Anak itik merasa dirinya jelek apabila dibandingkan dengan itik dewasa. Namun pada akhirnya (setelah dewasa), ia menjadi seekor angsa yang indah perawakannya. Asal-usul kisah ini ditemukan dalam karya Jalaluddin Rumi, Matsnawi, namun sebuah poin penting yang ditujukan kepada sekelompok pendengar, tidak ditemukan dalam versi Danish (orang Denmark) itu. Di dalam Matsnawi Rumi berkata kepada para pendengarnya bahwa mereka seperti "itik yang ketika kecil diasuh ayam betina". Namun mereka harus menyadari bahwa hidupnya harus pandai berenang, bukan mencoba menjadi ayam.
Selagi persoalan "ilmu sihir" dan keajaiban dipandang dari kacamata seekor ayam oleh seekor anak itik [bahwa berenang tidak mungkin baginya; konsekuensinya, seorang yang tingkat pemahamannya masih rendah akan berpikir bahwa tidak mungkin ada keajaiban yang tidak dapat dijelaskan, namun setelah pemahamannya matang ia akan mengerti keajaiban], maka pandangan-pandangannya, paling jauh mungkin tidak akurat.
Para pendongeng dari Skandinavia menggunakan kisah ini sebagai bumbu (hidup) yang menggairahkan (atau membuat hidup lebih bergerak). Sang anak itik menjadi seekor angsa melalui proses pertumbuhan yang tak terelakkan. Sebagai seorang evolusionis, Rumi menjelaskan bahwa anak ayam itu harus menyadari bahwa ia ditakdirkan menjadi seekor itik.
Sampai di sini, kita memandang bahwa cara memahami keajaiban itu sejalan dengan perkembangan-pengalaman hidup manusia. Cara pandang ini akan membebaskan perkara keajaiban itu dari praduga-praduga para teolog yang berusaha membenarkannya pada tataran yang masih dangkal, dan dari kalangan skeptis yang berusaha menjelaskannya menurut teori-teori ilmiah. Jadi cara pandang mereka hanya berfungsi untuk mereka sendiri. Di dalam masyarakat-masyarakat yang menganggap bahwa "keajaiban telah berlalu", bagaimanapun fenomena keajaiban tetap berlaku. Orang mungkin berkata bahwa seekor naga tidak menyemburkan api, namun eksistensinya tetap seperti gunung berapi.
Dengan bersandar pada metafora itu, sekarang kita dapat memahami dengan jelas suatu proses fenomena fisik, meskipun simbolismenya mungkin berbeda-beda. Masyarakat rahasia Turki di Cyprus, yang bertekad untuk mempersatukan dan mengarahkan perkembangan dinamis komunitasnya, dikenal sebagai Volkan (volcano, gunung berapi). Jadi fenomena gunung berapi, sebagai suatu kekuatan alam independen, merupakan analogi yang sangat tepat untuk daya batin dan kekuatan "bawah tanah" kelompok tersebut.
Cara mendekati persoalan keajaiban tersebut membuktikan bahwa betapapun atraktifnya sebuah pertunjukan menakjubkan yang ditampilkan seseorang, sebagai sebuah pertunjukan, ia tidak akan mempunyai fungsi yang sama dengan kejadian aktual yang kita bicarakan di atas. Dalam hal ini Sufi menyatakan, "Biarkanlah keajaiban itu terjadi!" yang kemudian direfleksikan secara tidak utuh dalam peribahasa Spanyol, Haga el miraglo, si hagalo Mahoma: "Biarkanlah keajaiban itu ditunjukkan, bahkan Muhammad menunjukkannya."
Kemerosotan pengertian (ungkapan) itu berasal dari ajaran "Tujuan menghalalkan segala cara".
Akan tetapi, para Sufi tidak mengabaikan keyakinan tersebut, sehingga apabila keajaiban yang ditampilkan itu mempunyai nilai penting bagi perkembangan suatu kelompok (dalam hal ini Sufi), maka ia mungkin lebih dimaksudkan untuk memajukan suatu kelompok, untuk mempercepat dan memperkukuh kemajuan kelompok tersebut. Menurut Kamaluddin, keajaiban merupakan pengalaman awal suatu kelompok yang sedang mengembangkan kemampuannya untuk memahami keajaiban itu. Ada dua hal yang berkembang secara serentak, yaitu sikap yang benar terhadap keajaiban dan keserasian cara memahami sang Pencari dengan fakta keajaiban. Kembali pada pertanyaan di atas (mengapa keajaiban itu terjadi atau bisa terjadi), maka kita dapat memberikan jawaban yang memadai sesuai dengan tingkat pencerapan sementara: orang yang terpesona pada keajaiban sebuah mobil, keajaiban sesuatu, secara bertahap akan memahaminya setelah ia menjalankan mobil itu sendiri atau menumpanginya.
Kesementaraan kesan yang diperoleh dari pemahaman tertentu tentang keajaiban merupakan dasar para guru Sufi untuk menentang kegemaran akan pengalaman ekstase yang hanya merupakan suatu tingkat perkembangan spiritual Sufi. Perasaan terpesona dan kagum itu merupakan perhentian sementara seorang Sufi Pencari, karena ia seharusnya melanjutkan realisasi diri lainnya. Maka dari itu, pencapaian pengalaman mistik yang sementara (atau bahkan permanen) dianggap sebagai sebuah "tabir".
Menurut Kalabadzi al-Bukhari dalam bukunya Kitab at-Ta'aruf realitas sejati akan dicapai setelah pengalaman ekstase itu. Junaid al-Baghdadi (w. 910, salah seorang pengarang klasik yang utama) menyatakan bahwa orang dalam keadaan ekstase memang mengasyikkan, namun ketika kebenaran dicapainya, ia melampaui keadaan ekstase itu. Maksud Junaid, bahwa melampaui tingkat pengalaman ekstase Sufi itu diikuti oleh ketidaksadaran setelah mengalami ekstase.
Seseorang mendesak bertanya tentang kekuatan magis, cara mengobati penyakit dan kebahagiaan menurut Jalan Sufi kepada Guru Nourettin, sehingga Guru merasa jengkel.
Nourettin menjawab, "Sobat, engkau masih saja berjalan mengitari api unggun kami. Buanglah sifat srigala dan makanlah bersama-sama kami, namun jangan makan lebih banyak dari kami! Engkau tidak mengerti tata cara memahami. Memahami sesuatu harus memakai aturan."
Pengunjung itu berkata, "Kalau begitu, berilah aku pengertian (tentang aturan berpikir itu) menurut Anda dan sahabat-sahabat Anda, agar aku dapat mengikuti cara berpikir Anda!"
Guru menjawab, 'Apabila engkau masih menilai kami menurut dugaan-dugaanmu saat ini, maka engkau seperti melihat matahari dari sebuah kaca yang buram. Hal ini akan menimbulkan kesan mengenai kami menurut dugaan-dugaanmu dan sahabat-sahabatmu atau para musuhmu. Apabila engkau menghimpun fakta-fakta yang keliru mengenai kami, maka pengumpulan fakta itu pasti ditentukan oleh sebuah metode seleksi yang sesat dalam membuat serangkaian fakta mengenai kami. Sayangnya, meskipun mungkin tampak benar, namun rangkaian fakta itu tidak menunjukkan kebenaran yang engkau cari."
Apabila para sarjana yang diibaratkan seperti srigala mengitari api unggun Sufi itu tidak mau berpikir secara jujur, maka rasa takjub yang tak terpisahkan dari upaya untuk mempelajari keajaiban itu tidak akan hilang. Hal ini seringkali disinggung: "Siapakah para pakar yang telah menerima penjelasan darinya (al-Ghazali) tentang rahasia-rahasia yang menggetarkan hati? ... Apakah benar-benar ada penjelasan yang dapat diterima mereka? Jika ada, penjelasan macam apa?"1
"(Lane) menyesalkan ketika mengetahui seorang Muslim yang murtad merasa tidak perlu lagi melaksanakan ibadah-ibadah ritual agamanya. Yang menarik untuk dicatat, sebagai seorang darwis, orang tersebut menyatakan bahwa dirinya telah mengembangkan kekuatan telepati yang luar biasa sehingga mengetahui apa yang sedang terjadi di suatu tempat dari jarak jauh, bahkan ia dapat mendengar pembicaraan yang berlangsung di sana. Penandasannya dalam mengembangkan kekuatan tersebut seringkali ditemukan dalam kepustakaan Sufi. Tentu saja kisah-kisah yang diturunkan dari sejumlah orang dengan ketelitiannya tidak mungkin diragukan menegaskan keberadaan kekuatan yang sangat luar biasa itu, meskipun penjelasannya mungkin beragam."2
Pendeta yang Terhormat John Subhan memberikan sebuah contoh tentang barakah dari salah seorang Syekh Sufi, yakni Najmuddin Kubra (w. 1221), pendahulu Francis Assisi: "Barakah dari pendiri (kelompok) Persaudaraan Agung ini (Ikhwanul Kubrawiyah) tidak hanya terbatas kepada manusia, namun terhadap burung dan hewan. Bahkan fenomena barakah yang sangat terkenal itu masih terjadi sampai kini ... ketika berdiri dekat pintu khanaqah (tempat semedi)-nya, Najmuddin memandang sepintas seekor anjing yang sedang berjalan di depannya. Tiba-tiba anjing itu bertingkah laku seperti seseorang yang tidak sadar diri (dalam pengertian mistik). Ke mana pun ia pergi, anjing-anjing senantiasa mengerumuninya karena ingin menyentuhnya dengan kaki depannya (untuk menunjukkan kesetiaannya). Setelah itu mereka mundur dan berdiri mengambil jarak di sekitarnya dengan rasa hormat. "3
Merujuk kepercayaan dan kepustakaan tentang ilmu sihir sejak masa kuno sampai Abad-abad Pertengahan, dan kemudian masa kini, yaitu mengenai praktik-praktik ilmu sihir tertentu, adalah penting untuk memahami Sufisme. Semua ilmu sihir dicatat orang-orang Timur dengan simbol-simbol yang belum dipahami para peneliti. Pada umumnya, simbolisme yang digunakan para Sufi itu sangat sulit dipahami.
Dalam hal ini alkimia merupakan kata kiasan seperti penggunaan kata dalam sastra pada umumnya. Kepustakaan ilmu sihir tentang alkimia mencakup sebagian besar materi-materi ajaran Sufi.
Bagaimana cara mereka menggunakannya dan apa maksud kiasan-kiasan itu tidak dapat dijelaskan secara memadai. Maka dari itu, menurut pengertian ilmu fiqih, sihir, maksudnya sihr al-halal (sihir yang dihalalkan) merupakan karya tulis Sufi yang tak dapat dipahami seperti karya tulis lainnya, kecuali di kalangan Sufi sendiri. Tulisan-tulisan tentang ilmu sihir itu dapat ditemukan dalam kitab Jawahirul Khamsa (Lima Permata) dan diakui sebagai kitab ilmu sihir keagamaan. Dalam praktiknya, ilmu sihir sebenarnya merupakan wahana untuk menyampaikan ajaran melalui kata-kata kiasan. Sufisme telah menggunakan terminologi ilmu sihir yang dihalalkan itu (seperti kimia, filsafat, ilmu pengetahuan) untuk menyampaikan ajaran-ajarannya. Teknik penggunan istilah ini dalam menyampaikan suatu disiplin ilmu telah diperkenalkan di Barat cukup dini. Menurut Profesor Guillaume, seorang Sufi aliran pencerahan, yakni Ibnu Masarra dari Cordoba, "merupakan orang pertama yang memperkenalkan suatu pemakaian istilah umum yang sangat ambigu dan samar ke Barat. Kepeloporan Ibnu Masarra ini telah diikuti sebagian besar penulis Sufi."4
Kitab Jawahirul Khamsa sendiri sebagian besar diturunkan dari kitab-kitab ilmu sihir al-Buni, ahli sihir Barat yang berasal dari Arab. Adapun seluruh tradisi besar ilmu sihir di Eropa pada Abad Pertengahan sangat dipengaruhi berbagai penyaduran yang mencakup dokumen-dokumen ilmu sihir dari para ilmuwan Arab-Spanyol. Salah satu alasan dalam mengangkat dokumen-dokumen ilmu sihir itu adalah karena naskah-naskah tersebut mengandung nilai-nilai tradisi (kehidupan) yang begitu kuat, mengandung pesan-pesan karakteristik yang abadi. Oleh karena itu, bisa dipahami, sebagaimana telah dibuktikan sebuah penyelidikan, bahwa sebagian besar tradisi pengetahuan Sufi yang dianggap tidak memadai makna oleh teologisnya itu disampaikan dalam bentuk-bentuk magis.
Ilmu sihir adalah sebuah sistem pendidikan (training system), tidak lebih dari itu. Mungkin ia didasarkan pada pengalaman, ilham atau sejenisnya, maupun agama. Ilmu sihir tidak hanya mencakup kemampuan menciptakan pengaruh-pengaruh tertentu melalui teknik-teknik khusus, namun juga mendidik individu menjalankan teknik-teknik tersebut. Sebagaimana kita kenal saat ini, ilmu sihir mungkin menjadi subyek setiap bentuk rasionalisasi. Sebagai suatu kumpulan tulisan menyeluruh, ilmu sihir mencakup praktik-praktik minor seperti teknik hipnotis, dan kepercayaan-kepercayaan akan kemampuan meniru peristiwa-peristiwa alamiah. Meskipun unsur-unsur Sufisme tidak dapat dilihat secara terpisah, namun tradisi ilmu sihir sebagai salah satu unsur ajaran Sufi dapat dikaji secara mandiri. Pokok perhatian kita di sini hanyalah ilmu sihir yang meliputi upaya mengolah persepsi-persepsi baru dan upaya mengembangkan kemampuan organ-organ manusia.
Berdasar pada penjelasan ini, kita memahami bahwa tradisi agung ilmu sihir yang diwariskan turun-temurun itu (biasanya meliputi juga praktik-praktik keagamaan) ternyata berkaitan dengan upaya-upaya tersebut. Ilmu sihir tidak sepenuhnya berdasar pada asumsi bahwa segala sesuatu mungkin untuk mentransendir kemampuan-kemampuan manusia ataupun hanya berdasar pada kemampuan intuitif bahwa, jika Anda setuju, "iman dapat menggetarkan gunung". Kegiatan-kegiatan magis yang dirancang untuk melatih kemampuan memikirkan atau menggagas sesuatu, kemampuan menatap masa depan, ataupun kemampuan mengadakan hubungan dengan sebuah sumber pengetahuan superior (maha unggul) itu, pada dasarnya memberikan pencerahan bagi kesadaran manusia yang suram bahwa ada suatu kemampuan manusia untuk ikut serta secara sadar dalam evolusi kehidupannya serta suatu kemampuan mengembangkan kepekaan organ persepsi di luar teori-teori ilmu fisika dewasa ini.
Jadi, ilmu sihir itu sendiri harus dinilai menurut kriteria Sufi. Apakah ia merupakan salah satu cara mengembangkan kehidupan mental manusia? Jika ya, di mana letak hubungannya dengan ajaran utama Sufi itu? Dari sudut pandang Sufisme, ilmu sihir pada umumnya dipandang sebagai suatu kemerosotan dari sistem Sufi tertentu. Metodologi dan reputasi sistem tersebut masih lestari, namun kepedulian untuk melestarikan hakikat sistem tersebut tidak diperhatikan lagi. Tukang sihir yang berupaya mengembangkan kemampuan-kemampuannya agar dapat menguasai kekuatan-kekuatan ekstra fisik tertentu hanyalah mengikuti sebagian sistem tersebut. Oleh karena itu, peringatan-peringatan akan bahaya fatal dalam mencoba-coba atau terobsesi mempraktikkan ilmu sihir kerapkali hampir selalu dikemukakan. Orang kemudian seringkali beranggapan bahwa alasan para praktisi ilmu sihir dalam memperingatkan bahaya itu sebenarnya karena mereka ingin tetap mempertahankan monopolinya. Dari sudut pandang luasnya bidang ilmu sihir, Sebenarnya para praktisi sendiri hanya mempunyai suatu pengalaman yang tidak sempurna tentang keseluruhan fenomena, hanya sebagiannya saja. "Bahaya fatal" dari aliran listrik sama sekali tidak mempengaruhi orang yang terbiasa bekerja dengannya dan mempunyai pengetahuan teknis yang sempurna tentangnya.
Sihir dipraktikkan melalui upaya memperkuat tegangan emosi. Tidak ada fenomena sihir yang terjadi dalam suasana laboratorium yang tenang. Manakala emosi itu mencapai ketegangan tertentu, maka seolah-olah telah terjadi suatu lompatan yang melampaui sebuah jurang dan apa yang dianggap sebagai peristiwa supranatural sebenarnya telah dialami. Sebuah contoh yang lazim adalah fenomena poltergeist, yaitu fenomena yang hanya terjadi pada anak muda ketika mengalami perasaan gelisah yang terus-menerus menguasai dirinya. Pada titik puncak emosinya, ia melempar-lemparkan bebatuan dengan keras sekenanya, sehingga peristiwa itu tampak bertentangan dengan hukum gravitasi lantaran begitu kuat lemparan-lemparannya. Pada saat itu pun ia bisa mendorong benda-benda yang sangat berat. Akan tetapi, ketika seorang penyihir sedang mencoba mengangkat seseorang atau sebuah benda (berat) atau mempengaruhi jalan pikiran seseorang dengan cara tertentu, ia harus menjalankan suatu prosedur (yang kurang lebih kompleks, panjang) untuk membangkitkan atau memusatkan kekuatan emosional. Lantaran kemampuan membangkitkan emosi-emosi tertentu tidak sama pada setiap orang, maka sihir cenderung merupakan pemusatan kekuatan subyektif, seperti cinta dan benci. Sensasi-sensasi inilah yang, bagi individu lemah mental, menyediakan semacam bahan bakar paling sederhana, emosi "aliran listrik" sebagai pendorong untuk melompati jurang yang akan membawanya dalam suatu aliran yang lebih lestari. Ketika para pengikut sebuah tradisi kanuragan di Eropa dewasa ini berputar-putar di sebuah lingkaran untuk membangkitkan suatu "inti kekuatan", mereka sebenarnya sedang menjalankan suatu tradisi sihir.
Namun peramal, yaitu orang yang sengaja merenung pada saat-saat tertentu untuk menembus rintangan waktu, dan penyihir yang menjalani sejumlah latihan untuk mencapai tujuan tertentu, tidak sama dengan Sufi. Tugas Sufi adalah melatih diri sedemikian rupa agar dapat mengembangkan kemampuan organ persepsi yang bermakna dan melakukan suatu tindakan (aksi) yang menimbulkan suatu dampak yang lestari. Peramal dan penyihir, seperti kebanyakan mistikus Kristen, sama sekali tidak mengembangkan dan membangun diri kembali seperti para Sufi itu. Yoga mungkin mirip dengan Sufisme, namun tidak menghasilkan sesuatu yang sangat bermakna. Penganut Budha yang menjalankan kontemplasinya mungkin dapat mencapai tujuan yang dipatoknya, namun kontemplasi tersebut sama sekali tidak menghasilkan manfaat, atau dinamisme kegiatannya itu tidak berarti, terutama bagi masyarakat.
Untuk mengerti ragam mistisisme itu, kita sebaiknya membaca buku Miss Underhill, Mysticism, dan hampir setiap orang yang tertarik pada mistisisme telah membacanya. Miss Underhill menunjukkan kemiripan cara berpikir antara agama dan sihir, mistik dan magis (ragam sihir). Dari sudut pandang Sufi, kemiripan tersebut terletak pada tujuan dasarnya, yaitu konsep "mencapai kemajuan". Konsep ini merupakan tujuan dasar dari setiap kegiatan manusia, antara lain kemajuan peradaban, pengetahuan yang lebih mendasar. Miss Underhill menyimpulkan bahwa tujuan mistik adalah "menjadi", dan tujuan setiap ilmu sihir adalah "mengetahui". Tentu saja tujuan Sufi juga "menjadi", namun berbeda dengan tipe mistik lainnya, tujuan Sufi sekaligus "menge-. tahui". Namun Sufi membedakan antara mengetahui fakta-fakta apa adanya dan mengetahui realitas secara mendalam. Kegiatan Sufi adalah mengaitkan dan menyelaraskan semua faktor tersebut, yaitu memahami, menjadi dan mengetahui.
Disamping itu, metodologi Sufi juga mengorganisir kekuatan emosional, yang berusaha dibangkitkan oleh penyihir itu, sesuai dengan pemanfaatannya yang benar untuk "menjadi" dan "mengetahui" itu.
Jadi dari sudut pandang Sufisme, baik sihir tingkat tinggi maupun mistisisme biasa hanya menerapkan suatu metodologi parsial yang direproduksi dari polanya sendiri. Namun apabila kedua aliran tersebut berusaha mengembangkan apa yang diwarisinya dan sebenarnya ada suatu ruang pengembangan genetis serta kekuatan yang memadai untuk melakukannya, maka hal ini akan mengurangi anakronisme. Akan tetapi upaya-upaya tersebut mungkin suatu pelarian dari nasib individu dan masyarakat.
Lalu, apakah ritual-ritual magis merupakan sebagian tradisi para Sufi yang sejati? Bukan, bagi Sufi, simbol-simbol hanya mempunyai fungsi asosiatif dan dinamis tertentu. Sufi menggunakannya atau dipergunakannya secara instinktif. Bagi Sufi yang telah matang (pengalamannya), tujuan ritual itu bukan untuk kebaktian kepada gurunya, namun untuk memusatkan pikiran serta melatih "meningkatkan" kematangan emosi dan dapat dilakukan tanpa mengasingkan diri. Adapun pageantry (semacam peragaan spektakuler para penganut mistik) dan ritual yang dijalankan dalam kehidupan non-Sufi [yaitu arak-arakan, regalia (lambang-lambang yang dikenakan sebagai aksesori) serta ungkapan-ungkapan simbolis] dipandang tidak ada manfaatnya oleh para Sufi, karena hanya bertujuan untuk menarik perhatian tanpa upaya menyebabkan faktor-faktor pengembangan spiritual itu. Kebanyakan para penganut tradisi pageantry memang sama sekali tidak pernah mengetahui hal itu dan kerapkali tidak mampu memahaminya walaupun diuraikan secara sederhana kepada mereka.
Psikologi Sufi mengacu pada suatu mekanisme batin yang secara spontan berkemampuan menyelaraskan (menguasai) dampak-dampak yang ditimbulkan emosi. Dampak-dampak emosi ini misalnya terjadi ketika orang menentang sesuatu yang tidak diyakininya, atau ketika masyarakat maupun kelompok tertentu menentang keyakinan yang tertanam dalam pikiran (kesadaran)nya. Di dunia Barat modern, sebuah metode sastra yang kadangkala disebut debunking (upaya membongkar kepalsuan-kepalsuan dalam masyarakat) sengaja dilakukan. Namun Debunker (sang pembongkar) mungkin tidak mampu menguasai dirinya sendiri, karena ia harus mampu menguasai dampak-dampak pembongkaran itu terhadap dirinya. Masyarakatnya mungkin menerima pembongkaran itu sebagai anugerah, karena pembongkaran itu ibarat makanan bagi orang kelaparan yang dengan lahap menyantapnya tanpa mengetahui (mempedulikan) sopan-santun. Intelek sama sekali tidak mampu menguasai emosi, karena emosi dalam keadaan tersebut sebenarnya ibarat sebuah bara yang harus diberikan kepada orang yang tepat, atau sebuah beban yang harus dipikulkan kepada orang yang mampu, atau sebuah kekuatan yang harus digunakan secara benar. Gejolak emosi ini sama sekali tidak dapat ditangkal dengan pemikiran, bahkan tidak dapat diarahkan kembali secara benar dengan memanfaatkannya atau memulihkannya. Dalam hal ini, para psikolog Barat menggunakan istilah katarsis untuk menunjuk orang yang mudah meledak atau melemah emosinya, karena mereka mungkin merasa putus asa dalam menjelaskan fenomena tersebut. Mereka menggunakan alternatif tersebut, karena mereka tidak mempunyai cara lain untuk menjelaskan fenomena orang lain agar dapat dipahami masyarakat. Hal ini mungkin cukup memadai bagi masyarakat modern. Namun tidak demikian bagi Sufi, karena ia menganggap bahwa manusia adalah pribadi "yang bebas pergi ke mana saja", bukan pribadi yang harus dikekang atau dipulihkan, suatu norma sosial yang tidak dapat dipahami oleh logika murni atau dinilai dengan kriteria-kriteria kebijaksanaan massal. Semua ini bukan berarti bahwa Sufi bukanlah psikolog. Sebaliknya, cara mereka mengatasi masalah psikosomatik ini mempunyai nilai yang bermakna bagi masyarakat luas, sehingga dalam beberapa hal "Sufi" adalah seorang "tabib". Maka dari itu mereka dianggap sebagai tukang sihir atau mistikus. Namun pada dasarnya Sufi dimaksud menunjukkan sesuatu bukan hanya mengobati orang sakit dan orang cacat. Kemampuan-kemampuannya untuk mengobati secara psikologis sangat berdasar pada operasi (pengobatan) menolak (penyakit). Pengetahuannya tentang ketidaksempurnaan orang yang dianggap waras adalah sumber kemampuannya untuk mengobati orang yang sebenarnya tidak waras. Bahkan di dalam "publik", masyarakat dan mistisisme tradisional, orang suci tidak diakui sebagai orang suci karena ia sekadar menjadi tabib, namun orang diakui sebagai tabib karena ia memang orang suci --bahkan yang terbaik di antara mereka. Hal ini membawa kita kembali pada persoalan pengalaman intuitif. "Ketika singa sakit, ia makan beberapa tumbuhan liar untuk mengobati dirinya sendiri. Ia melakukan ini karena penyakit mempunyai suatu daya tarik-menarik dengan tumbuhan tertentu, atau dengan dzatnya. Setiap penyakit selalu ada obatnya. Pergunakanlah pengetahuan ini, maka engkau akan lebih mengetahui (tentang obat-obatan) daripada dokter yang hanya mengingat fakta-fakta dan hafalan-hafalan yang dapat diterapkannya. Ada perbedaan antara asumsi-asumsi yang sangat menjanjikan itu dengan pengetahuan positif (sang dokter), karena kasus setiap penyakit hampir berbeda." [Thibbul-Arif, karya Abdul Wali, Salik].
Ikhwanush-Shafa [Persaudaraan Seiman, di Inggris biasanya dikenal Brethren of Sincerity (Persaudaraan Sehati)] adalah sebuah kelompok raksasa yang terkenal dengan kelima puluh dua risalahnya. Karya ini dipublikasikan di Basrah sekitar 980 Masehi. Tujuan madzhab ini adalah menyampaikan bagan pengetahuan yang utuh di zamannya. Bidang kajian mereka meliputi filsafat, agama, ilmu pengetahuan dan bidang kajian lainnya. Mereka seringkali dituduh sebagai kelompok penyihir. Seperti Rosicrucian Eropa yang telah dipengaruhi mereka, mereka pun dianggap telah menyebarkan suatu pengetahuan batin. Langkah pertama Ikhwanush-Shafa adalah membuat sebuah media untuk menyampaikan bidang kajian yang lebih terorganisir. Para anggotanya tidak harus selalu sebagai pengarang, namun hubungan mereka dengan para Sufi tidak diragukan. Nama shafa adalah asonansi (penyesuaian beberapa konsonan atau vokal) dari salah satu interprestasi kata "Sufi". Sedang konsep keseimanan dan mencintai persahabatan merupakan sebuah konsep Sufi. Selain itu, nama mereka mungkin telah diadopsi dari sekelompok binatang dalam kumpulan kisah-kisah alegoris kalilah, yaitu kisah sekelompok binatang yang saling setia untuk melindungi diri dari seorang pemburu.
Guru Sufi yang Agung, al-Ghazali menyatakan telah berhutang budi kepada mereka dalam menyusun Ihya'-nya. Guru Sufi lainnya, al-Ma'ari, pelopor Omar Khayyam, konon sering menghadiri pertemuan-pertemuan mereka. Al-Majriti, ahli ilmu falak dari Madrid atau muridnya al-Karmani dari Cordoba dan Ibnu Rusyd telah memperkenalkan ajaran-ajaran mereka di Barat, termasuk teori-teori musik. Mereka sangat mempengaruhi perkembangan musik serta filsafat moral yang berkaitan dengan filsafat pencerahan Sufi.
Sang Sufi yang Agung, Rumi menyatakan kesepakatannya dengan ajaran-ajaran Ikhwanush-Shafa. Sebagai ensiklopedi Sufi yang sangat mengesankan, Rumi menulis:
Sebelum tahun 1066, al-Majriti (The Madridian) dari Cordoba serta muridnya, al-Karmani, membawa Encyclopaedia karya Ikhwanush-Shafa dari Timur Dekat itu ke Spanyol. Karya ilmiah Majriti ini diterjemahkan seorang berkebangsaan Inggris, Adelard of Bath, ahli Arab pertama dan ilmuwan besar Inggris sebelum Roger Bacon.6 Sumbangan penting Adelard bagi kajian-kajian Sufi di Barat sangat besar, karena ia telah membuka jalur awal bagi transmisi ajaran Sufi selama masa klasik. Dalam hal ini, Adelard pasti telah membuka hubungan dengan pusat-pusat kajian Sufi di Spanyol dan Syria yang giat menyebarkan buku-buku tentang ilmu pengetahuan serta ajaran-ajaran spiritual.
Karena pandangannya itu, Adelard dianggap sebagai seorang Platonis, meskipun dari sudut pandang Sufi, Platonisme dianggap sebagai sebuah ragam Sufisme yang kemudian. Seorang sejarawan kontemporer ahli Abad Pertengahan' memaparkan bagaimana Adelard mengenalkan pandangan-pandangan Sufi, sebagai sumbangan besar pada "pusat kajian bagian kemanusiaan dan Platonisme" dari madzhab Chartres: "Adelard memandang bahwa (konsep) individual sama dengan (konsep) universal. Bagi kami, pandangan ini mengacaukan konsep individual itu sendiri ... Adelard adalah pemikir pertama pada masa itu yang menunjukkan hubungan langsung antara ide-ide Ilahi dengan benda-benda. Secara garis besar, pandangan ini merupakan hasil (perpaduan) pengetahuannya tentang ilmu-ilmu Yunani dan Arab."
Akan tetapi, pengaruh Ikhwanush-Shafa atas bentuk-bentuk mistisisme lainnya dan pemikiran transendental di Barat sebenarnya lebih mengejutkan.
Sejak abad kesebelas Masehi, sistem (ajaran) yang dikenal sebagai Cabala --konsep mistik Yahudi tentang mikrokosmos dan makrokosmos serta cabang-cabang teoritis dan praktisnya telah begitu menarik perhatian pikiran-pikiran besar di Barat dan Timur. Dengan menjalankan sistem Cabala ini, orang akan mampu memahami dirinya sendiri, memiliki kekuatan-kekuatan yang luar biasa, mampu menampilkan hal-hal yang menakjubkan, melakukan dan menjadi apa pun. Hasrat kuat orang-orang Yahudi dan Kristen untuk mempelajari dan mempraktikkan sistem Cabala timbul, karena mereka menganggap sistem tersebut benar-benar berakar pada esensi doktrin Ibrani Kuno, yaitu ajaran yang sejati dan Kuno tentang kebatinan, doktrin rahasia. Tidak ada aliran okultis (semacam kanuragan), ilmu sihir ataupun mistik sebelum sistem tersebut menyebar luas di Barat. Sedang arti kata Cabala sendiri adalah hasrat kuat memahami misteri, hasrat kuat memperoleh kekuatan. Lalu apa sumber Cabala itu?
Cabala adalah suatu ilmu pengetahuan karakteristik Yahudi yang memadukan antara kejujuran dan ketidakberpihakan dengan suatu upaya mencari kebenaran. Yang mungkin mengejutkan adalah Jewish Encyclopaedia ternyata telah mencatat peran yang sangat menentukan dari Ikhwanush-Shafa dalam pembentukan sistem Cabala: "Asal-usul ajaran persaudaraan seiman dari Basrah itu adalah tentang delapan unsur sifat Tuhan yang kemudian diubah oleh seorang filosuf Yahudi menjadi sepuluh unsur."7
(Ajaran) Cabala bermula dari dua wilayah penyebaran ajaran-ajaran Ikhwanush-Shafa, yaitu Italia dan Spanyol. Sistem pemakaian istilahnya mungkin diturunkan dari ajaran kuno Yahudi yang ternyata sejalan dengan ajaran Ikhwanush-Shafa, namun tetap berdasarkan tata bahasa Arab. Lebih dari itu ada suatu kaitan yang sangat menarik antara ajaran Sufi dengan ajaran Yahudi itu, sehingga para Sufi menggarisbawahi kesamaan identitas yang mendasari kedua aliran tersebut. Beberapa fakta yang menunjukkan kaitan antara ajaran Sufi dan mistik Yahudi-Kristiani itu adalah sebagai berikut:
Ibnu Masarra dari Spanyol adalah seorang pendahulu Sulaiman ibnu Gabirol (Avicebron atau Avencebrol) yang telah menyebarkan pikiran-pikirannya. Menurut Jewish Encyclopaedia, ajaran kedua Sufi ini mempunyai pengaruh yang lebih besar atas perkembangan Cabala daripada sistem filsafat mana pun. Tentu saja, Ibnu Gabirol, pengikut Sufi berdarah Yahudi ini, diakui telah mempunyai pengaruh sangat besar terhadap pemikiran Barat. Menurut sang guru Yahudi Azriel dalam sistem ajarannya itu, Cabala, Tuhan disebut ENSOF, ketakterbatasan mutlak. Hal ini adalah upaya (Azriel) untuk menjelaskan sistem ajaran Cabala kepada para filosuf setelah kedatangannya di Eropa. Tentu saja, kajian tata bahasa dan makna-makna kata Arab merupakan dasar pemakaian istilah dalam sistem ajaran Cabala untuk tujuan-tujuan mistik. Tata bahasa Arab sendiri merupakan model (acuan) bagi tata bahasa Ibrani. Sedang tata bahasa Ibrani pertama kali ditulis Sa'di (orang Yahudi, w. 942) dalam bahasa Arab, seperti karya-karya tulis awal. Judul kitab tersebut Kitab al-Lughah, "dalam bahasa Arab dan di bawah pengaruh filologi Arab" (Jewish Encyclopaedia, Vol. 6, hlm. 69). Tata bahasa Ibrani baru mulai dikaji bangsa Yahudi dalam bahasa Ibrani sendiri pada pertengahan abad kedua belas.
Ternyata para Sufi dan Ikhwanush-Shafa telah menciptakan apa yang mereka anggap sebagai ajaran paling luhur, yaitu tradisi pengetahuan rahasia tentang keseluruhan (realitas) dan kekuatan. Tradisi pengetahuan ini telah diwariskan kepada Yahudi-Arab. Cabalis Yahudi telah menyadur ajaran tersebut dalam pemikiran Yahudi kontemporer, sehingga Cabala Arab menjadi Cabala Yahudi, kemudian Cabala Kristen. Namun, meskipun tidak pernah menyusun buku pengetahuan yang utuh sebagai sumber kajian, Ikhwanush-Shafa tetap memadukan ritus-ritus Sufi dengan pokok-pokok ajaran Cabala yang murni itu. Sebenarnya sistem ajaran Cabala Arab ini telah banyak berpengaruh terhadap mistisisme Yahudi, bukan Cabala Yahudi sendiri.
Jewish Encyclopaedia menggarisbawahi pengaruh tradisi Sufi ini: "Penyebaran Sufisme pada abad kedelapan kemungkinan besar telah mempunyai peran dalam menghidupkan kembali mistisisme di kalangan para pengikut Muhammad. Di bawah pengaruh langsung para Sufi itu, kemudian lahir sebuah sekteYahudi yang disebut Yudghani." (Vol. xi, hlm. 579). Sedang pengaruh sistem ajaran Sufi terhadap aliran mistik Yahudi Markabah --para pengendara, sangat kuat terhadap beberapa fenomena dari mistik itu yang identik dengan Sufisme (misalnya, tradisi warna yang kemudian menjadi ketakberwarnaan). Hasidisme, aliran kesalehan mistik yang lahir di Polandia pada abad kedelapan belas, tidak hanya merupakan "kesinambungan nyata dari ajaran Cabala, namun benar-benar berdasarkan kepada Sufisme atau sebagian ajaran Cabala yang identik dengan Sufisme". Sumber yang sama mencatat "analogi yang sangat jelas" antara praktik-praktik dari kedua aliran mistik Yahudi dengan "pokok-pokok praktik Sufisme" dalam aktivitas Hasidis, termasuk hubungan antara murid dan guru. Sedangkan buku pertama tentang etika pada periode Yahudi-Arab berdasar sebuah teladan Sufi. Maka dari itu, "Sufisme memperoleh perhatian khusus dari para sarjana Yahudi, karena pengaruhnya terhadap karya tulis etika dan mistik pada masa Yahudi-Arab itu".
Kiranya perlu ditambahkan bahwa kata sifat "Arab" dan 'Yahudi" tidak begitu penting bagi Sufi. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa ada semacam saling pengertian antara orang Spanyol yang telah mengikuti tarekat Sufi dan orang Spanyol yang sangat banyak berperan dalam menyebarkan ajaran-ajaran Sufi ke Barat Kristen.
Tentu saja Cabala adalah sebuah formulasi, sebuah kerangka dasar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Seperti kebanyakan sistem ajaran mistik --demikian pula kerangka sistem Tarekat-tarekat Sufi-- seperti api di dalam sekam, ia tetap hidup setelah masa keterputusannya dan setelah berlangsungnya readaptasi (penyesuaian kembali ajaran-ajarannya yang murni).
Jadi menurut Sufi, sihir dan keajaiban mempunyai fungsi yang sama dan bersifat aktif. Keduanya terjadi sesuai dengan ruang dan waktu serta dengan syarat-syarat tertentu. Lantaran keduanya terikat waktu sekaligus arah suatu perkembangan, maka sihir dan keajaiban harus dilihat sebagai hal yang luar biasa di satu sisi dan hal yang lazim di sisi lain. Apabila orang masih melihatnya di luar kriteria-kriteria tersebut, maka mereka tentu akan menganggapnya sebagai suatu hal yang ajaib dan tidak berguna.
2 Seorang teolog, Profesor A. Guillaume, Islam, London, 1954, hlm. 152.
3 Sufism, Its Seeds and Shrines, Lucknow, 1938, hlm. 182-3.
4 Op.cit., hlin. 266.
5 Versi Whinfield, Matsnawi, Buku V, Kisah X, London, 1887.
6 Prof P K. Hitti, History of the Arabs, London, 1960, hlm. 573 dan seterusnya. Gordon Leff, Medieval Thought, London, 1958, hlm. 116 dan seterusnya.
7 Perubahan dasar Cabalisme itu telah memberi cacat pada perkembangan sistem ini, terutama tujuan dan arti pentingnya. Oleh karena itu, literatur Cabala Ibrani dan Kristiani pada akhir abad kedua belas tidaklah begitu berarti. Literatur-literatur itu mencakup semua aspek Cabala, yaitu Sepuluh Unsur, dan berbeda dengan "Eight Cabala."
Sumber: ISNET
Ibadah menurut Syah adalah bebas dari kemarahan dan kebaikan, kekufuran dan ketaatan ... (Matsnawi, IV)
Seorang penulis ternama, yakni Abdul Hadi, enam abad yang lalu menulis bahwa pada suatu hari ayahnya bercerita, "Engkau lahir berkat doa Bahauddin Naqsyabandi yang Agung dari Bukhara itu, dan memiliki keajaiban luar biasa." Abdul Hadi tidak memahami "berkat doa" itu, sehingga ia berhasrat menemui guru Sufi tersebut. Setelah merampungkan segala persoalan dirinya, ia bertolak dari Syria ke Asia Tengah. Ia menemui Bahauddin (w. 1389), pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah, sedang duduk bersama para muridnya, kemudian ia menuturkan bahwa maksud kedatangannya adalah karena ia sangat ingin mengetahui perihal keajaiban-keajaibannya (Bahauddin).
Bahauddin berkata, "Ada sebuah makanan yang tidak lazim. Makanan ini adalah kesan-kesan (naqsh-ha) yang senantiasa masuk ke dalam (kesadaran) manusia dari berbagai penjuru lingkungannya. Hanya manusia pilihan yang mengetahui (maksud) kesan-kesan tersebut dan yang dapat mengarahkannya. Engkau paham?"
Abdul Hadi tidak memahami perumpamaan itu dan ia tetap diam.
"Makna dari kesan tersebut merupakan salah satu rahasia Sufi. Guru Sufi membuat makanan dengan kandungan gizi 'yang berbeda' untuk para pengikutnya. Hal ini dilakukan untuk membantu perkembangan dirinya dan berada di luar hukum-hukum peristiwa yang dapat dinalar. Sekarang mengenai apa yang engkau sebut keajaiban. Setiap orang yang hadir di sini telah melihat keajaiban. Arti penting keajaiban itu terletak pada fungsinya. Mungkin saja keajaiban itu diperlihatkan sebagai makanan ekstra, mungkin saja terjadi pada pikiran atau tubuh dengan cara tertentu. Ketika hal ini terjadi, pengalaman (melihat) keajaiban itu menunjukkan fungsinya secara murni dan khas pada pikiran. Apabila keajaiban itu sepenuhnya terjadi sesuai dengan imajinasi ataupun pikiran sederhana, maka ia akan mendorong suatu kepercayaan tanpa kritik atau gejolak emosional, atau keinginan untuk melihat keajaiban lagi, atau hasrat untuk memahaminya, atau suatu rasa senang yang sebelah mata, bahkan rasa takut dari orang yang merasa bahwa keajaiban itu sebagai tanggung jawabnya."\
Ia melanjutkan, bahwa keajaiban itu mungkin tidak dapat dijelaskan secara memuaskan, karena banyak perbedaan cara memahami yang mengacu perbedaan berpikir, dan setiap orang berbeda dalam mernahami rantai sebab-akibat.
Hanya Sufi matang yang dapat mengetahui interpretasi yang benar dari keajaiban tertentu. Keajaiban merupakan suatu peristiwa yang tak terjelaskan. Berapa banyak interpretasi yang sudah dilakukan atas suatu keajaiban, namun tidak selalu gamblang. Ada banyak keajaiban yang terjadi setiap saat, namun manusia tidak menangkap melalui panca inderanya, karena keajaiban-keajaiban itu bukan suatu peristiwa yang mengesankan. Sebagai contoh, apabila mengacu pada teori kemungkinan, manusia bisa saja meningkat atau merosot moralnya, serta bisa saja ia memperoleh atau kehilangan harta-benda, namun semua itu hanya dianggap sebagai kebetulan semata. Sebenarnya keajaiban pun bersifat kebetulan, yakni serangkaian hal-ihwal yang terjadi dalam hubungan antara satu sama lainnya.
"Semua keajaiban itu," kata Naqsyabandi, "mempunyai fungsi dan fungsinya tetap berjalan, entah keajaiban itu dipahami atau tidak. Jadi, setiap keajaiban mempunyai sebuah fungsi obyektif, karena itu keajaiban menimbulkan kebingungan bagi sementara orang, serta skeptisisme, ketakutan, kegembiraan dan sebagainya bagi lainnya. Fungsi keajaiban (yang obyektif) itu adalah menggugah reaksi dan mengandung gizi, kandungan gizi dalam hal ini beragam sesuai dengan kapasitas diri manusia. Akan tetapi, keajaiban merupakan suatu bentuk pengaruh ataupun penilaian manusia."
Jadi, menurut para Sufi, setiap keajaiban mempunyai semacam aksi yang beragam terhadap manusia yang (a) tidak mungkin terjadi kecuali diperlukan dan pada umumnya berkembang sebagai kejadian insidentil, (b) tidak dapat diamati atau didefinisikan karena karakternya yang kompleks.
Sebuah pendapat tipikal tentang keajaiban yang mungkin merupakan jawaban sementara terkandung dalam sebuah koleksi ajaran-ajaran Abdul Qadir al-Jilani, pendiri Tarekat Sufi Qadiriyah.
Syekh Umru Usman Sairifini dan Syekh Abdul-Haq Harini menjelaskan sebagai berikut:
"Pada hari ketiga bulan Safar tahun Burung 555, kami duduk di hadapan Guru (Sayyid Abdul Qadir) di madrasahnya. Ia berdiri lalu mengenakan sepasang bakiak (sandal kayu) dan mengambil wudhu. Arkian, ia mengucapkan dua doa dan berteriak keras sambil melemparkan sebelah bakiaknya ke udara, selanjutnya bakiak itu pun lenyap. Dengan teriakan selanjutnya, Guru melemparkan bakiak yang satunya lagi ke udara dan ini pun lenyap dari penglihatan kami. Tak seorang pun yang hadir di situ berani bertanya kepadanya tentang peristiwa itu.
Tiga puluh hari setelah kejadian tersebut, sebuah kafilah tiba di Baghdad dari Timur. Para anggotanya mengatakan bahwa mereka berkeinginan memberi hadiah kepada Guru. Lalu kami berkonsultasi dengan Guru dan ia mengijinkan kami untuk menerima hadiah itu. Adapun hadiah yang diberikan para anggota kafilah itu berupa sutra dan pakaian lainnya serta sepasang sandal yang serupa dengan sandal yang ia lemparkan tempo hari. Kemudian mereka bercerita:
'Pada hari ketiga bulan Safar, bertepatan dengan hari Senin, ketika kami sedang berjalan tiba-tiba ada serangan dari para penyamun Arab di bawah dua pimpinannya. Para penyamun itu membunuh beberapa anggota rombongan kami dan merampas barang barang kami. Kemudian mereka segera masuk ke hutan untuk membagi hasil jarahannya. Kami yang selamat berkumpul di tepi hutan itu. Pada saat itu kami teringat untuk memohon pertolongan Sayyid (Abdul Qadir al-Jilani) atas bencana yang menimpa kami, karena kami kehilangan arah dan tujuan setelah peristiwa itu untuk melanjutkan perjalanan. Kami memutuskan akan memberikan hadiah kepadanya sebagai tanda terima kasih, apabila setidaknya kami tiba di Baghdad dengan selamat --suatu hal yang tidak mungkin apabila melihat situasi yang terjadi.
Setelah kami membuat keputusan itu, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suatu suara, dua kali teriakan yang bergema menembus hutan itu. Kami menduga bahwa gerombolan penyamun itu telah diserang kelompok lainnya dan setelah itu mungkin terjadi perkelahian. Namun tiba-tiba sebagian bandit tadi datang kepada kami dan mengatakan bahwa sesuatu telah menimpa mereka. Mereka memohon kami untuk menerima kembali perbekalan kami. Lalu kami berjalan menuju tempat para penyamun tadi mengumpulkan barang dagangan kami yang dijarahnya dan menemukan kedua pemimpin mereka tewas tergeletak dengan sepasang bakiak di dekat kepala mereka.
Menurut kami, setelah merasakan bencana yang menimpa para kafilah dan didorong hasrat untuk menolongnya, pastilah Guru telah mencoba melemparkan sandalnya dengan cara tertentu sehingga kedua gembong penyamun yang akhirnya para anggotanya mengaku bersalah, terbunuh'."
"Yang kami tekankan sebagai sebuah kisah dan perlu ditulis adalah kehadiran Tuhan Yang Mahakuasa, Yang Membedakan dan Membalas Kebenaran serta Kesalahan."
Dengan mengacu pada peristiwa-peristiwa tersebut, tradisi Naqsyabandi memahaminya bahwa "apabila seorang sahabat merasa suatu kekeliruan dapat dibenarkan [walaupun meminta pertolongan kepada Wali atas suatu musibah yang menimpa seseorang itu keliru, namun dalam keadaan terjepit dapat dibenarkan, karena Wali adalah perantara kepada Allah], ia boleh mencari petunjuk baik sebagai cara dan hal yang diijinkan maupun sebagai tata krama dalam berkontemplasi, sementara dampak yang diharapkan bisa saja menyusul segera dan terus-menerus atau kemudian dan tepat waktu."
"Keajaiban," kata Afghani, "adalah keyakinanmu kepada sesuatu. Tentu saja keajaiban apa pun yang engkau yakini bukan merupakan akibat yang sebenarnya maupun akhir dari akibatnya."
Sikap fungsional terhadap keajaiban menggarisbawahi, bahkan bagi para pengamat, kemungkinan yang lebih dalam dari kejadian-kejadian yang tak terjelaskan. Apabila kita bertolak dari tataran paling bawah dari keajaiban, maka kita dapat memahami bahwa suatu aksi atau kejadian yang lazim dan dapat kita jelaskan mungkin menjadi teka-teki atau bukti "magis" yang meyakinkan bagi seorang yang lebih rendah tingkat pengetahuannya. Karena itu, ketika seorang yang masih belum berperadaban melihat api dinyalakan dengan unsur kimia tertentu, ia mungkin menganggap hal itu sebagai suatu peristiwa yang ajaib. Pada tingkat perkembangannya ini, peristiwa tersebut mungkin menimbulkan semacam keterpesonaan religius yang penting, sehingga membuatnya takjub kepada sang peraga atau mematuhi segala perintahnya. Akan tetapi, ia akan merasakan suatu akibat mental dan fisik. Bahkan pada saat ini, peristiwa yang tidak dapat dijelaskan melalui ilmu-ilmu alam akan mempengaruhi pikiran modern yang sangat canggih sekalipun. Suatu mekanisme serupa telah digunakan oleh Naqsyabandi dalam menjelaskan keajaiban-keajaiban yang tak terinderai itu. Serangkaian peristiwa-peristiwa kebetulan dan menyenangkan (atau tak menyenangkan) yang dialami seorang manusia pasti akan menimbulkan suatu akibat mental dan fisik terhadapnya, bahkan akibat fisik itu akan dirasakannya ketika ia makan lebih banyak dari biasanya, sebab ia memang sedang mendapat banyak rezeki.
Teori ini jauh lebih dalam ketimbang pengertian mukjizat yang lazim dan berbeda dari reaksi-reaksi biasa sepanjang reaksi tersebut bersikeras bahwa sama sekali tidak ada peristiwa-peristiwa aksidental atau asing.
Ajaran Sufi menggarisbawahi bahwa "akibat adalah jauh lebih penting daripada sebab, karena akibat itu beragam, sementara sebab pada dasarnya tunggal." Seorang materialis yang paling keras kepala sekalipun akan setuju dengan teori tersebut apabila dijelaskan menurut ungkapan-ungkapan yang biasa digunakannya, misalnya: "Semua aksi pada dasarnya bersifat fisik, sementara keragaman akibat sepenuhnya ditentukan sebabnya." Para Sufi sama sekali tidak akan memperdebatkan teori ini, namun mereka tetap berpendapat bahwa kalangan materialis tulen hanya mampu melihat asal-usul dan sebab-akibat itu dari sudut pandang yang terbatas, satu atau dua dimensi, karena kekakuan cara pandang mereka.
Keajaiban berkaitan dengan persoalan sebab-akibat, dan menurut para Sufi, sebab-akibat berkaitan dengan persoalan ruang dan waktu. Pada umumnya sebuah peristiwa dikatakan ajaib karena kelihatannya bertentangan dengan konvensi-konvensi ruang dan waktu. Suatu jalan pintas dalam memahami peristiwa yang luar biasa akan berakibat menghilangkan kualitas keajaiban yang tak terjelaskan itu. Namun menurut para Sufi, karena keajaiban mempunyai akibat fisik, maka akibat fisik inilah yang mungkin penting, seperti sebuah bumbu masakan yang mungkin bukan termasuk makanan.
Pendapat Sufi ini hanya merupakan suatu pandangan kasar dalam mencoba memahami keajaiban.
Maka dari itu, dari sudut pandang Sufi, sebuah keajaiban diuraikan secara sederhana melalui suatu mekanisme yang akan mempermudah setiap orang dalam memahaminya. Seorang barbar yang terlalu menggebu-gebu ingin melihat (mengetahui) keajaiban, tidak layak untuk menjalankan suatu pengembaraan spiritual, meskipun ia mungkin mampu melakukan improvisasi dan mempunyai penganut seperti agama konvensional yang patuh pada hukumnya berkat pengalaman spiritualnya.
Guru saya pernah mengomentari sebuah pertanyaan tentang keajaiban, "Renungkanlah pertanyaan ini, Bagaimanakah bunyi sebutir bawang?' untuk membuktikan bahwa beberapa pertanyaan tidak mungkin dijawab orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengajukan pertanyaan, konsekuensinya tidak mampu memahami jawaban yang sebenarnya."
Menurut para Sufi, sebagaimana ditafsirkan agama konvensional, keajaiban mungkin mempunyai nilai ganda, artinya keajaiban mungkin menunjukkan kesan kepada sesorang menurut tingkat perkembangan mentalnya dan mungkin juga suatu bentuk makanan bagi seseorang yang lebih matang pengalamannya.
Bahkan kita dapat mengambil contoh yang lebih spesifik, misalnya Profesor Seligman terperanjat ketika menyaksikan para darwis tertentu mengiris tubuhnya dan menghentikan aliran darahnya dengan cepat tanpa dapat dijelaskan sebabnya. Pengamat lain mencatat bahwa para darwis Tarekat Rifa'iyah dapat menyembuhkan luka-luka tanpa bekas sedikit pun dan dengan kecepatan yang samar. Kemudian, pada tahun 1931 Dr. Hunt memutar sebuah film tentang praktik-praktik para darwis Tarekat Rifa'iyah dari India tersebut, namun tanggapan yang muncul terhadap film itu biasanya mengabaikan keutuhan peristiwa tersebut atau ada yang menganggap sebagai hipnotisme. Para anggota Tarekat Qadiriyah dapat berjalan di atas air; sementara para anggota Tarekat Azhimiyah terkenal, seperti para Syekh zaman dulu, dapat menampakkan diri di berbagai tempat sekaligus dan pada saat yang sama.
Mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi, atau bisa terjadi?
Seorang darwis mempunyai suatu sikap yang sangat berbeda terhadap peristiwa tersebut daripada orang biasa, apakah ia seorang pandir yang penuh keyakinan ataupun ilmuwan abad dua puluh. Harus diingat bahwa para Sufi menandaskan: benda-benda tidaklah sebagaimana yang tampak. Pada waktu ia mendemonstrasikan kemampuan melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan orang lain dan kelihatan bertentangan dengan hukum alam yang dipahami setiap orang, sebenarnya ia mengungkapkan maksudnya. Hal ini merupakan suatu metode mengungkapkan diri yang valid seperti metode sastra mana pun dan lebih efektif dari metode sastra pada umumnya. Walaupun ternyata bentuk ungkapan tersebut disalahgunakan, disalahpahami dan dipalsukan, namun tetap tidak menggunakan dasar validitasnya.
Sementara pengamat, terutama apabila ia cenderung bersikap obyektif atau rasional, akan mendapat kesulitan besar dalam mendekati masalah tersebut. Sebab tujuan utamanya adalah menjelaskan fenomena tersebut menurut pemahamannya sendiri. Ia tidak menyadari keutamaan untuk memperluas persepsinya sendiri terhadap fenomena yang sedang ditelitinya. Namun dari sudut pandang Sufisme, pengamat hanya mengambil semacam jalan pintas yang memungkinkan dirinya untuk menghindari kesulitan dalam menjelaskan keajaiban. Ketika seorang anak takut kepada hantu, ia harus memperoleh suatu penjelasan atau suatu penjelasan masuk akal menurut tingkat pemahamannya. Demikian pula, ketika orang yang tidak awas melihat peristiwa aneh dan mengakui bahwa pasti ada suatu penjelasan logis, maka penjelasan tersebut bisa saja diperolehnya --entah bagaimana caranya dan dari siapa.
Dalam Sufisme, rahasia keajaiban itu menyelubungi dirinya sendiri. Sesuai dengan pengalaman Sufi, halusinasi, begitu mereka menyebutnya, berjalan dengan dua cara sekaligus. Orang mungkin mengira bahwa ia melihat hal yang tidak nyata dalam halusinasi itu. Ia juga mungkin melihat kejadian di luar kenyataan. Bagaimana ia melihat dan apa yang dilihatnya akan bergantung pada kemampuan pemahamannya sendiri. Di sini saya tidak bermaksud membahas tentang gerak-gerik tipuan yang disengaja dan diketahui pikiran. Dengan keyakinan bahwa segala sesuatu dapat dijelaskan secara rasional, maka ia menganggap bahwa suatu kejadian yang tidak masuk akal hanya dapat diuraikan melalui penjelasan yang rasional itu. Namun hal itu sama sekali tidak benar bagi orang yang berkeyakinan bahwa beberapa penjelasan adalah mungkin menurut tingkat pemahaman setiap orang. Ilmu pengetahuan modern masih belum pandai memberikan berbagai penjelasan yang khas dan halus. Ilmu pengetahuan modern tidak memadai untuk melakukannya.
Metode Sufi tradisional mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan analogi. Para Sufi juga secara tradisional menggunakan analogi-analogi yang sudah dikenal masyarakat dalam menjelaskan keajaiban. Sementara itu para penggemar dongeng di Barat pada umumnya mengenal kisah-kisah Hans Christian Andersen yang biasanya dikenal dengan dongeng Anak Itik yang Jelek [dalam perumpamaan yang sudah dikenal di Barat dan merupakan sebuah distorsi anak itik yang memang jelek sosoknya, namun setelah dewasa menjadi indah, dianalogikan dengan gadis kecil yang buruk rupa, namun setelah dewasa menjadi molek]. Anak itik merasa dirinya jelek apabila dibandingkan dengan itik dewasa. Namun pada akhirnya (setelah dewasa), ia menjadi seekor angsa yang indah perawakannya. Asal-usul kisah ini ditemukan dalam karya Jalaluddin Rumi, Matsnawi, namun sebuah poin penting yang ditujukan kepada sekelompok pendengar, tidak ditemukan dalam versi Danish (orang Denmark) itu. Di dalam Matsnawi Rumi berkata kepada para pendengarnya bahwa mereka seperti "itik yang ketika kecil diasuh ayam betina". Namun mereka harus menyadari bahwa hidupnya harus pandai berenang, bukan mencoba menjadi ayam.
Selagi persoalan "ilmu sihir" dan keajaiban dipandang dari kacamata seekor ayam oleh seekor anak itik [bahwa berenang tidak mungkin baginya; konsekuensinya, seorang yang tingkat pemahamannya masih rendah akan berpikir bahwa tidak mungkin ada keajaiban yang tidak dapat dijelaskan, namun setelah pemahamannya matang ia akan mengerti keajaiban], maka pandangan-pandangannya, paling jauh mungkin tidak akurat.
Para pendongeng dari Skandinavia menggunakan kisah ini sebagai bumbu (hidup) yang menggairahkan (atau membuat hidup lebih bergerak). Sang anak itik menjadi seekor angsa melalui proses pertumbuhan yang tak terelakkan. Sebagai seorang evolusionis, Rumi menjelaskan bahwa anak ayam itu harus menyadari bahwa ia ditakdirkan menjadi seekor itik.
Sampai di sini, kita memandang bahwa cara memahami keajaiban itu sejalan dengan perkembangan-pengalaman hidup manusia. Cara pandang ini akan membebaskan perkara keajaiban itu dari praduga-praduga para teolog yang berusaha membenarkannya pada tataran yang masih dangkal, dan dari kalangan skeptis yang berusaha menjelaskannya menurut teori-teori ilmiah. Jadi cara pandang mereka hanya berfungsi untuk mereka sendiri. Di dalam masyarakat-masyarakat yang menganggap bahwa "keajaiban telah berlalu", bagaimanapun fenomena keajaiban tetap berlaku. Orang mungkin berkata bahwa seekor naga tidak menyemburkan api, namun eksistensinya tetap seperti gunung berapi.
Dengan bersandar pada metafora itu, sekarang kita dapat memahami dengan jelas suatu proses fenomena fisik, meskipun simbolismenya mungkin berbeda-beda. Masyarakat rahasia Turki di Cyprus, yang bertekad untuk mempersatukan dan mengarahkan perkembangan dinamis komunitasnya, dikenal sebagai Volkan (volcano, gunung berapi). Jadi fenomena gunung berapi, sebagai suatu kekuatan alam independen, merupakan analogi yang sangat tepat untuk daya batin dan kekuatan "bawah tanah" kelompok tersebut.
Cara mendekati persoalan keajaiban tersebut membuktikan bahwa betapapun atraktifnya sebuah pertunjukan menakjubkan yang ditampilkan seseorang, sebagai sebuah pertunjukan, ia tidak akan mempunyai fungsi yang sama dengan kejadian aktual yang kita bicarakan di atas. Dalam hal ini Sufi menyatakan, "Biarkanlah keajaiban itu terjadi!" yang kemudian direfleksikan secara tidak utuh dalam peribahasa Spanyol, Haga el miraglo, si hagalo Mahoma: "Biarkanlah keajaiban itu ditunjukkan, bahkan Muhammad menunjukkannya."
Kemerosotan pengertian (ungkapan) itu berasal dari ajaran "Tujuan menghalalkan segala cara".
Akan tetapi, para Sufi tidak mengabaikan keyakinan tersebut, sehingga apabila keajaiban yang ditampilkan itu mempunyai nilai penting bagi perkembangan suatu kelompok (dalam hal ini Sufi), maka ia mungkin lebih dimaksudkan untuk memajukan suatu kelompok, untuk mempercepat dan memperkukuh kemajuan kelompok tersebut. Menurut Kamaluddin, keajaiban merupakan pengalaman awal suatu kelompok yang sedang mengembangkan kemampuannya untuk memahami keajaiban itu. Ada dua hal yang berkembang secara serentak, yaitu sikap yang benar terhadap keajaiban dan keserasian cara memahami sang Pencari dengan fakta keajaiban. Kembali pada pertanyaan di atas (mengapa keajaiban itu terjadi atau bisa terjadi), maka kita dapat memberikan jawaban yang memadai sesuai dengan tingkat pencerapan sementara: orang yang terpesona pada keajaiban sebuah mobil, keajaiban sesuatu, secara bertahap akan memahaminya setelah ia menjalankan mobil itu sendiri atau menumpanginya.
Kesementaraan kesan yang diperoleh dari pemahaman tertentu tentang keajaiban merupakan dasar para guru Sufi untuk menentang kegemaran akan pengalaman ekstase yang hanya merupakan suatu tingkat perkembangan spiritual Sufi. Perasaan terpesona dan kagum itu merupakan perhentian sementara seorang Sufi Pencari, karena ia seharusnya melanjutkan realisasi diri lainnya. Maka dari itu, pencapaian pengalaman mistik yang sementara (atau bahkan permanen) dianggap sebagai sebuah "tabir".
Menurut Kalabadzi al-Bukhari dalam bukunya Kitab at-Ta'aruf realitas sejati akan dicapai setelah pengalaman ekstase itu. Junaid al-Baghdadi (w. 910, salah seorang pengarang klasik yang utama) menyatakan bahwa orang dalam keadaan ekstase memang mengasyikkan, namun ketika kebenaran dicapainya, ia melampaui keadaan ekstase itu. Maksud Junaid, bahwa melampaui tingkat pengalaman ekstase Sufi itu diikuti oleh ketidaksadaran setelah mengalami ekstase.
Seseorang mendesak bertanya tentang kekuatan magis, cara mengobati penyakit dan kebahagiaan menurut Jalan Sufi kepada Guru Nourettin, sehingga Guru merasa jengkel.
Nourettin menjawab, "Sobat, engkau masih saja berjalan mengitari api unggun kami. Buanglah sifat srigala dan makanlah bersama-sama kami, namun jangan makan lebih banyak dari kami! Engkau tidak mengerti tata cara memahami. Memahami sesuatu harus memakai aturan."
Pengunjung itu berkata, "Kalau begitu, berilah aku pengertian (tentang aturan berpikir itu) menurut Anda dan sahabat-sahabat Anda, agar aku dapat mengikuti cara berpikir Anda!"
Guru menjawab, 'Apabila engkau masih menilai kami menurut dugaan-dugaanmu saat ini, maka engkau seperti melihat matahari dari sebuah kaca yang buram. Hal ini akan menimbulkan kesan mengenai kami menurut dugaan-dugaanmu dan sahabat-sahabatmu atau para musuhmu. Apabila engkau menghimpun fakta-fakta yang keliru mengenai kami, maka pengumpulan fakta itu pasti ditentukan oleh sebuah metode seleksi yang sesat dalam membuat serangkaian fakta mengenai kami. Sayangnya, meskipun mungkin tampak benar, namun rangkaian fakta itu tidak menunjukkan kebenaran yang engkau cari."
Apabila para sarjana yang diibaratkan seperti srigala mengitari api unggun Sufi itu tidak mau berpikir secara jujur, maka rasa takjub yang tak terpisahkan dari upaya untuk mempelajari keajaiban itu tidak akan hilang. Hal ini seringkali disinggung: "Siapakah para pakar yang telah menerima penjelasan darinya (al-Ghazali) tentang rahasia-rahasia yang menggetarkan hati? ... Apakah benar-benar ada penjelasan yang dapat diterima mereka? Jika ada, penjelasan macam apa?"1
"(Lane) menyesalkan ketika mengetahui seorang Muslim yang murtad merasa tidak perlu lagi melaksanakan ibadah-ibadah ritual agamanya. Yang menarik untuk dicatat, sebagai seorang darwis, orang tersebut menyatakan bahwa dirinya telah mengembangkan kekuatan telepati yang luar biasa sehingga mengetahui apa yang sedang terjadi di suatu tempat dari jarak jauh, bahkan ia dapat mendengar pembicaraan yang berlangsung di sana. Penandasannya dalam mengembangkan kekuatan tersebut seringkali ditemukan dalam kepustakaan Sufi. Tentu saja kisah-kisah yang diturunkan dari sejumlah orang dengan ketelitiannya tidak mungkin diragukan menegaskan keberadaan kekuatan yang sangat luar biasa itu, meskipun penjelasannya mungkin beragam."2
Pendeta yang Terhormat John Subhan memberikan sebuah contoh tentang barakah dari salah seorang Syekh Sufi, yakni Najmuddin Kubra (w. 1221), pendahulu Francis Assisi: "Barakah dari pendiri (kelompok) Persaudaraan Agung ini (Ikhwanul Kubrawiyah) tidak hanya terbatas kepada manusia, namun terhadap burung dan hewan. Bahkan fenomena barakah yang sangat terkenal itu masih terjadi sampai kini ... ketika berdiri dekat pintu khanaqah (tempat semedi)-nya, Najmuddin memandang sepintas seekor anjing yang sedang berjalan di depannya. Tiba-tiba anjing itu bertingkah laku seperti seseorang yang tidak sadar diri (dalam pengertian mistik). Ke mana pun ia pergi, anjing-anjing senantiasa mengerumuninya karena ingin menyentuhnya dengan kaki depannya (untuk menunjukkan kesetiaannya). Setelah itu mereka mundur dan berdiri mengambil jarak di sekitarnya dengan rasa hormat. "3
Merujuk kepercayaan dan kepustakaan tentang ilmu sihir sejak masa kuno sampai Abad-abad Pertengahan, dan kemudian masa kini, yaitu mengenai praktik-praktik ilmu sihir tertentu, adalah penting untuk memahami Sufisme. Semua ilmu sihir dicatat orang-orang Timur dengan simbol-simbol yang belum dipahami para peneliti. Pada umumnya, simbolisme yang digunakan para Sufi itu sangat sulit dipahami.
Dalam hal ini alkimia merupakan kata kiasan seperti penggunaan kata dalam sastra pada umumnya. Kepustakaan ilmu sihir tentang alkimia mencakup sebagian besar materi-materi ajaran Sufi.
Bagaimana cara mereka menggunakannya dan apa maksud kiasan-kiasan itu tidak dapat dijelaskan secara memadai. Maka dari itu, menurut pengertian ilmu fiqih, sihir, maksudnya sihr al-halal (sihir yang dihalalkan) merupakan karya tulis Sufi yang tak dapat dipahami seperti karya tulis lainnya, kecuali di kalangan Sufi sendiri. Tulisan-tulisan tentang ilmu sihir itu dapat ditemukan dalam kitab Jawahirul Khamsa (Lima Permata) dan diakui sebagai kitab ilmu sihir keagamaan. Dalam praktiknya, ilmu sihir sebenarnya merupakan wahana untuk menyampaikan ajaran melalui kata-kata kiasan. Sufisme telah menggunakan terminologi ilmu sihir yang dihalalkan itu (seperti kimia, filsafat, ilmu pengetahuan) untuk menyampaikan ajaran-ajarannya. Teknik penggunan istilah ini dalam menyampaikan suatu disiplin ilmu telah diperkenalkan di Barat cukup dini. Menurut Profesor Guillaume, seorang Sufi aliran pencerahan, yakni Ibnu Masarra dari Cordoba, "merupakan orang pertama yang memperkenalkan suatu pemakaian istilah umum yang sangat ambigu dan samar ke Barat. Kepeloporan Ibnu Masarra ini telah diikuti sebagian besar penulis Sufi."4
Kitab Jawahirul Khamsa sendiri sebagian besar diturunkan dari kitab-kitab ilmu sihir al-Buni, ahli sihir Barat yang berasal dari Arab. Adapun seluruh tradisi besar ilmu sihir di Eropa pada Abad Pertengahan sangat dipengaruhi berbagai penyaduran yang mencakup dokumen-dokumen ilmu sihir dari para ilmuwan Arab-Spanyol. Salah satu alasan dalam mengangkat dokumen-dokumen ilmu sihir itu adalah karena naskah-naskah tersebut mengandung nilai-nilai tradisi (kehidupan) yang begitu kuat, mengandung pesan-pesan karakteristik yang abadi. Oleh karena itu, bisa dipahami, sebagaimana telah dibuktikan sebuah penyelidikan, bahwa sebagian besar tradisi pengetahuan Sufi yang dianggap tidak memadai makna oleh teologisnya itu disampaikan dalam bentuk-bentuk magis.
Ilmu sihir adalah sebuah sistem pendidikan (training system), tidak lebih dari itu. Mungkin ia didasarkan pada pengalaman, ilham atau sejenisnya, maupun agama. Ilmu sihir tidak hanya mencakup kemampuan menciptakan pengaruh-pengaruh tertentu melalui teknik-teknik khusus, namun juga mendidik individu menjalankan teknik-teknik tersebut. Sebagaimana kita kenal saat ini, ilmu sihir mungkin menjadi subyek setiap bentuk rasionalisasi. Sebagai suatu kumpulan tulisan menyeluruh, ilmu sihir mencakup praktik-praktik minor seperti teknik hipnotis, dan kepercayaan-kepercayaan akan kemampuan meniru peristiwa-peristiwa alamiah. Meskipun unsur-unsur Sufisme tidak dapat dilihat secara terpisah, namun tradisi ilmu sihir sebagai salah satu unsur ajaran Sufi dapat dikaji secara mandiri. Pokok perhatian kita di sini hanyalah ilmu sihir yang meliputi upaya mengolah persepsi-persepsi baru dan upaya mengembangkan kemampuan organ-organ manusia.
Berdasar pada penjelasan ini, kita memahami bahwa tradisi agung ilmu sihir yang diwariskan turun-temurun itu (biasanya meliputi juga praktik-praktik keagamaan) ternyata berkaitan dengan upaya-upaya tersebut. Ilmu sihir tidak sepenuhnya berdasar pada asumsi bahwa segala sesuatu mungkin untuk mentransendir kemampuan-kemampuan manusia ataupun hanya berdasar pada kemampuan intuitif bahwa, jika Anda setuju, "iman dapat menggetarkan gunung". Kegiatan-kegiatan magis yang dirancang untuk melatih kemampuan memikirkan atau menggagas sesuatu, kemampuan menatap masa depan, ataupun kemampuan mengadakan hubungan dengan sebuah sumber pengetahuan superior (maha unggul) itu, pada dasarnya memberikan pencerahan bagi kesadaran manusia yang suram bahwa ada suatu kemampuan manusia untuk ikut serta secara sadar dalam evolusi kehidupannya serta suatu kemampuan mengembangkan kepekaan organ persepsi di luar teori-teori ilmu fisika dewasa ini.
Jadi, ilmu sihir itu sendiri harus dinilai menurut kriteria Sufi. Apakah ia merupakan salah satu cara mengembangkan kehidupan mental manusia? Jika ya, di mana letak hubungannya dengan ajaran utama Sufi itu? Dari sudut pandang Sufisme, ilmu sihir pada umumnya dipandang sebagai suatu kemerosotan dari sistem Sufi tertentu. Metodologi dan reputasi sistem tersebut masih lestari, namun kepedulian untuk melestarikan hakikat sistem tersebut tidak diperhatikan lagi. Tukang sihir yang berupaya mengembangkan kemampuan-kemampuannya agar dapat menguasai kekuatan-kekuatan ekstra fisik tertentu hanyalah mengikuti sebagian sistem tersebut. Oleh karena itu, peringatan-peringatan akan bahaya fatal dalam mencoba-coba atau terobsesi mempraktikkan ilmu sihir kerapkali hampir selalu dikemukakan. Orang kemudian seringkali beranggapan bahwa alasan para praktisi ilmu sihir dalam memperingatkan bahaya itu sebenarnya karena mereka ingin tetap mempertahankan monopolinya. Dari sudut pandang luasnya bidang ilmu sihir, Sebenarnya para praktisi sendiri hanya mempunyai suatu pengalaman yang tidak sempurna tentang keseluruhan fenomena, hanya sebagiannya saja. "Bahaya fatal" dari aliran listrik sama sekali tidak mempengaruhi orang yang terbiasa bekerja dengannya dan mempunyai pengetahuan teknis yang sempurna tentangnya.
Sihir dipraktikkan melalui upaya memperkuat tegangan emosi. Tidak ada fenomena sihir yang terjadi dalam suasana laboratorium yang tenang. Manakala emosi itu mencapai ketegangan tertentu, maka seolah-olah telah terjadi suatu lompatan yang melampaui sebuah jurang dan apa yang dianggap sebagai peristiwa supranatural sebenarnya telah dialami. Sebuah contoh yang lazim adalah fenomena poltergeist, yaitu fenomena yang hanya terjadi pada anak muda ketika mengalami perasaan gelisah yang terus-menerus menguasai dirinya. Pada titik puncak emosinya, ia melempar-lemparkan bebatuan dengan keras sekenanya, sehingga peristiwa itu tampak bertentangan dengan hukum gravitasi lantaran begitu kuat lemparan-lemparannya. Pada saat itu pun ia bisa mendorong benda-benda yang sangat berat. Akan tetapi, ketika seorang penyihir sedang mencoba mengangkat seseorang atau sebuah benda (berat) atau mempengaruhi jalan pikiran seseorang dengan cara tertentu, ia harus menjalankan suatu prosedur (yang kurang lebih kompleks, panjang) untuk membangkitkan atau memusatkan kekuatan emosional. Lantaran kemampuan membangkitkan emosi-emosi tertentu tidak sama pada setiap orang, maka sihir cenderung merupakan pemusatan kekuatan subyektif, seperti cinta dan benci. Sensasi-sensasi inilah yang, bagi individu lemah mental, menyediakan semacam bahan bakar paling sederhana, emosi "aliran listrik" sebagai pendorong untuk melompati jurang yang akan membawanya dalam suatu aliran yang lebih lestari. Ketika para pengikut sebuah tradisi kanuragan di Eropa dewasa ini berputar-putar di sebuah lingkaran untuk membangkitkan suatu "inti kekuatan", mereka sebenarnya sedang menjalankan suatu tradisi sihir.
Namun peramal, yaitu orang yang sengaja merenung pada saat-saat tertentu untuk menembus rintangan waktu, dan penyihir yang menjalani sejumlah latihan untuk mencapai tujuan tertentu, tidak sama dengan Sufi. Tugas Sufi adalah melatih diri sedemikian rupa agar dapat mengembangkan kemampuan organ persepsi yang bermakna dan melakukan suatu tindakan (aksi) yang menimbulkan suatu dampak yang lestari. Peramal dan penyihir, seperti kebanyakan mistikus Kristen, sama sekali tidak mengembangkan dan membangun diri kembali seperti para Sufi itu. Yoga mungkin mirip dengan Sufisme, namun tidak menghasilkan sesuatu yang sangat bermakna. Penganut Budha yang menjalankan kontemplasinya mungkin dapat mencapai tujuan yang dipatoknya, namun kontemplasi tersebut sama sekali tidak menghasilkan manfaat, atau dinamisme kegiatannya itu tidak berarti, terutama bagi masyarakat.
Untuk mengerti ragam mistisisme itu, kita sebaiknya membaca buku Miss Underhill, Mysticism, dan hampir setiap orang yang tertarik pada mistisisme telah membacanya. Miss Underhill menunjukkan kemiripan cara berpikir antara agama dan sihir, mistik dan magis (ragam sihir). Dari sudut pandang Sufi, kemiripan tersebut terletak pada tujuan dasarnya, yaitu konsep "mencapai kemajuan". Konsep ini merupakan tujuan dasar dari setiap kegiatan manusia, antara lain kemajuan peradaban, pengetahuan yang lebih mendasar. Miss Underhill menyimpulkan bahwa tujuan mistik adalah "menjadi", dan tujuan setiap ilmu sihir adalah "mengetahui". Tentu saja tujuan Sufi juga "menjadi", namun berbeda dengan tipe mistik lainnya, tujuan Sufi sekaligus "menge-. tahui". Namun Sufi membedakan antara mengetahui fakta-fakta apa adanya dan mengetahui realitas secara mendalam. Kegiatan Sufi adalah mengaitkan dan menyelaraskan semua faktor tersebut, yaitu memahami, menjadi dan mengetahui.
Disamping itu, metodologi Sufi juga mengorganisir kekuatan emosional, yang berusaha dibangkitkan oleh penyihir itu, sesuai dengan pemanfaatannya yang benar untuk "menjadi" dan "mengetahui" itu.
Jadi dari sudut pandang Sufisme, baik sihir tingkat tinggi maupun mistisisme biasa hanya menerapkan suatu metodologi parsial yang direproduksi dari polanya sendiri. Namun apabila kedua aliran tersebut berusaha mengembangkan apa yang diwarisinya dan sebenarnya ada suatu ruang pengembangan genetis serta kekuatan yang memadai untuk melakukannya, maka hal ini akan mengurangi anakronisme. Akan tetapi upaya-upaya tersebut mungkin suatu pelarian dari nasib individu dan masyarakat.
Lalu, apakah ritual-ritual magis merupakan sebagian tradisi para Sufi yang sejati? Bukan, bagi Sufi, simbol-simbol hanya mempunyai fungsi asosiatif dan dinamis tertentu. Sufi menggunakannya atau dipergunakannya secara instinktif. Bagi Sufi yang telah matang (pengalamannya), tujuan ritual itu bukan untuk kebaktian kepada gurunya, namun untuk memusatkan pikiran serta melatih "meningkatkan" kematangan emosi dan dapat dilakukan tanpa mengasingkan diri. Adapun pageantry (semacam peragaan spektakuler para penganut mistik) dan ritual yang dijalankan dalam kehidupan non-Sufi [yaitu arak-arakan, regalia (lambang-lambang yang dikenakan sebagai aksesori) serta ungkapan-ungkapan simbolis] dipandang tidak ada manfaatnya oleh para Sufi, karena hanya bertujuan untuk menarik perhatian tanpa upaya menyebabkan faktor-faktor pengembangan spiritual itu. Kebanyakan para penganut tradisi pageantry memang sama sekali tidak pernah mengetahui hal itu dan kerapkali tidak mampu memahaminya walaupun diuraikan secara sederhana kepada mereka.
Psikologi Sufi mengacu pada suatu mekanisme batin yang secara spontan berkemampuan menyelaraskan (menguasai) dampak-dampak yang ditimbulkan emosi. Dampak-dampak emosi ini misalnya terjadi ketika orang menentang sesuatu yang tidak diyakininya, atau ketika masyarakat maupun kelompok tertentu menentang keyakinan yang tertanam dalam pikiran (kesadaran)nya. Di dunia Barat modern, sebuah metode sastra yang kadangkala disebut debunking (upaya membongkar kepalsuan-kepalsuan dalam masyarakat) sengaja dilakukan. Namun Debunker (sang pembongkar) mungkin tidak mampu menguasai dirinya sendiri, karena ia harus mampu menguasai dampak-dampak pembongkaran itu terhadap dirinya. Masyarakatnya mungkin menerima pembongkaran itu sebagai anugerah, karena pembongkaran itu ibarat makanan bagi orang kelaparan yang dengan lahap menyantapnya tanpa mengetahui (mempedulikan) sopan-santun. Intelek sama sekali tidak mampu menguasai emosi, karena emosi dalam keadaan tersebut sebenarnya ibarat sebuah bara yang harus diberikan kepada orang yang tepat, atau sebuah beban yang harus dipikulkan kepada orang yang mampu, atau sebuah kekuatan yang harus digunakan secara benar. Gejolak emosi ini sama sekali tidak dapat ditangkal dengan pemikiran, bahkan tidak dapat diarahkan kembali secara benar dengan memanfaatkannya atau memulihkannya. Dalam hal ini, para psikolog Barat menggunakan istilah katarsis untuk menunjuk orang yang mudah meledak atau melemah emosinya, karena mereka mungkin merasa putus asa dalam menjelaskan fenomena tersebut. Mereka menggunakan alternatif tersebut, karena mereka tidak mempunyai cara lain untuk menjelaskan fenomena orang lain agar dapat dipahami masyarakat. Hal ini mungkin cukup memadai bagi masyarakat modern. Namun tidak demikian bagi Sufi, karena ia menganggap bahwa manusia adalah pribadi "yang bebas pergi ke mana saja", bukan pribadi yang harus dikekang atau dipulihkan, suatu norma sosial yang tidak dapat dipahami oleh logika murni atau dinilai dengan kriteria-kriteria kebijaksanaan massal. Semua ini bukan berarti bahwa Sufi bukanlah psikolog. Sebaliknya, cara mereka mengatasi masalah psikosomatik ini mempunyai nilai yang bermakna bagi masyarakat luas, sehingga dalam beberapa hal "Sufi" adalah seorang "tabib". Maka dari itu mereka dianggap sebagai tukang sihir atau mistikus. Namun pada dasarnya Sufi dimaksud menunjukkan sesuatu bukan hanya mengobati orang sakit dan orang cacat. Kemampuan-kemampuannya untuk mengobati secara psikologis sangat berdasar pada operasi (pengobatan) menolak (penyakit). Pengetahuannya tentang ketidaksempurnaan orang yang dianggap waras adalah sumber kemampuannya untuk mengobati orang yang sebenarnya tidak waras. Bahkan di dalam "publik", masyarakat dan mistisisme tradisional, orang suci tidak diakui sebagai orang suci karena ia sekadar menjadi tabib, namun orang diakui sebagai tabib karena ia memang orang suci --bahkan yang terbaik di antara mereka. Hal ini membawa kita kembali pada persoalan pengalaman intuitif. "Ketika singa sakit, ia makan beberapa tumbuhan liar untuk mengobati dirinya sendiri. Ia melakukan ini karena penyakit mempunyai suatu daya tarik-menarik dengan tumbuhan tertentu, atau dengan dzatnya. Setiap penyakit selalu ada obatnya. Pergunakanlah pengetahuan ini, maka engkau akan lebih mengetahui (tentang obat-obatan) daripada dokter yang hanya mengingat fakta-fakta dan hafalan-hafalan yang dapat diterapkannya. Ada perbedaan antara asumsi-asumsi yang sangat menjanjikan itu dengan pengetahuan positif (sang dokter), karena kasus setiap penyakit hampir berbeda." [Thibbul-Arif, karya Abdul Wali, Salik].
Ikhwanush-Shafa [Persaudaraan Seiman, di Inggris biasanya dikenal Brethren of Sincerity (Persaudaraan Sehati)] adalah sebuah kelompok raksasa yang terkenal dengan kelima puluh dua risalahnya. Karya ini dipublikasikan di Basrah sekitar 980 Masehi. Tujuan madzhab ini adalah menyampaikan bagan pengetahuan yang utuh di zamannya. Bidang kajian mereka meliputi filsafat, agama, ilmu pengetahuan dan bidang kajian lainnya. Mereka seringkali dituduh sebagai kelompok penyihir. Seperti Rosicrucian Eropa yang telah dipengaruhi mereka, mereka pun dianggap telah menyebarkan suatu pengetahuan batin. Langkah pertama Ikhwanush-Shafa adalah membuat sebuah media untuk menyampaikan bidang kajian yang lebih terorganisir. Para anggotanya tidak harus selalu sebagai pengarang, namun hubungan mereka dengan para Sufi tidak diragukan. Nama shafa adalah asonansi (penyesuaian beberapa konsonan atau vokal) dari salah satu interprestasi kata "Sufi". Sedang konsep keseimanan dan mencintai persahabatan merupakan sebuah konsep Sufi. Selain itu, nama mereka mungkin telah diadopsi dari sekelompok binatang dalam kumpulan kisah-kisah alegoris kalilah, yaitu kisah sekelompok binatang yang saling setia untuk melindungi diri dari seorang pemburu.
Guru Sufi yang Agung, al-Ghazali menyatakan telah berhutang budi kepada mereka dalam menyusun Ihya'-nya. Guru Sufi lainnya, al-Ma'ari, pelopor Omar Khayyam, konon sering menghadiri pertemuan-pertemuan mereka. Al-Majriti, ahli ilmu falak dari Madrid atau muridnya al-Karmani dari Cordoba dan Ibnu Rusyd telah memperkenalkan ajaran-ajaran mereka di Barat, termasuk teori-teori musik. Mereka sangat mempengaruhi perkembangan musik serta filsafat moral yang berkaitan dengan filsafat pencerahan Sufi.
Sang Sufi yang Agung, Rumi menyatakan kesepakatannya dengan ajaran-ajaran Ikhwanush-Shafa. Sebagai ensiklopedi Sufi yang sangat mengesankan, Rumi menulis:
Renungkanlah (ajaran-ajaran) Ikhwanush-Shafa, sekalipun mereka tampak bersikap kasar kepadamu. Selagi prasangka buruk menguasai dirimu, ini akan menjauhkanmu dari para sahabat. Bila seorang sahabat yang baik hati mengujimu dengan perlakuan keras, "maka tak beralasan untuk menjauhinya.5Peringatan seperti ini merupakan sebagian metode pengajaran Sufi yang digunakan Rumi untuk menguji ketabahan muridnya, atau tujuan Rumi menunjukkan bahwa perlakuan-perlakuan yang tampak keras itu bertujuan mengembangkan dasar-dasar pengalaman spiritual Sufi.
Sebelum tahun 1066, al-Majriti (The Madridian) dari Cordoba serta muridnya, al-Karmani, membawa Encyclopaedia karya Ikhwanush-Shafa dari Timur Dekat itu ke Spanyol. Karya ilmiah Majriti ini diterjemahkan seorang berkebangsaan Inggris, Adelard of Bath, ahli Arab pertama dan ilmuwan besar Inggris sebelum Roger Bacon.6 Sumbangan penting Adelard bagi kajian-kajian Sufi di Barat sangat besar, karena ia telah membuka jalur awal bagi transmisi ajaran Sufi selama masa klasik. Dalam hal ini, Adelard pasti telah membuka hubungan dengan pusat-pusat kajian Sufi di Spanyol dan Syria yang giat menyebarkan buku-buku tentang ilmu pengetahuan serta ajaran-ajaran spiritual.
Karena pandangannya itu, Adelard dianggap sebagai seorang Platonis, meskipun dari sudut pandang Sufi, Platonisme dianggap sebagai sebuah ragam Sufisme yang kemudian. Seorang sejarawan kontemporer ahli Abad Pertengahan' memaparkan bagaimana Adelard mengenalkan pandangan-pandangan Sufi, sebagai sumbangan besar pada "pusat kajian bagian kemanusiaan dan Platonisme" dari madzhab Chartres: "Adelard memandang bahwa (konsep) individual sama dengan (konsep) universal. Bagi kami, pandangan ini mengacaukan konsep individual itu sendiri ... Adelard adalah pemikir pertama pada masa itu yang menunjukkan hubungan langsung antara ide-ide Ilahi dengan benda-benda. Secara garis besar, pandangan ini merupakan hasil (perpaduan) pengetahuannya tentang ilmu-ilmu Yunani dan Arab."
Akan tetapi, pengaruh Ikhwanush-Shafa atas bentuk-bentuk mistisisme lainnya dan pemikiran transendental di Barat sebenarnya lebih mengejutkan.
Sejak abad kesebelas Masehi, sistem (ajaran) yang dikenal sebagai Cabala --konsep mistik Yahudi tentang mikrokosmos dan makrokosmos serta cabang-cabang teoritis dan praktisnya telah begitu menarik perhatian pikiran-pikiran besar di Barat dan Timur. Dengan menjalankan sistem Cabala ini, orang akan mampu memahami dirinya sendiri, memiliki kekuatan-kekuatan yang luar biasa, mampu menampilkan hal-hal yang menakjubkan, melakukan dan menjadi apa pun. Hasrat kuat orang-orang Yahudi dan Kristen untuk mempelajari dan mempraktikkan sistem Cabala timbul, karena mereka menganggap sistem tersebut benar-benar berakar pada esensi doktrin Ibrani Kuno, yaitu ajaran yang sejati dan Kuno tentang kebatinan, doktrin rahasia. Tidak ada aliran okultis (semacam kanuragan), ilmu sihir ataupun mistik sebelum sistem tersebut menyebar luas di Barat. Sedang arti kata Cabala sendiri adalah hasrat kuat memahami misteri, hasrat kuat memperoleh kekuatan. Lalu apa sumber Cabala itu?
Cabala adalah suatu ilmu pengetahuan karakteristik Yahudi yang memadukan antara kejujuran dan ketidakberpihakan dengan suatu upaya mencari kebenaran. Yang mungkin mengejutkan adalah Jewish Encyclopaedia ternyata telah mencatat peran yang sangat menentukan dari Ikhwanush-Shafa dalam pembentukan sistem Cabala: "Asal-usul ajaran persaudaraan seiman dari Basrah itu adalah tentang delapan unsur sifat Tuhan yang kemudian diubah oleh seorang filosuf Yahudi menjadi sepuluh unsur."7
(Ajaran) Cabala bermula dari dua wilayah penyebaran ajaran-ajaran Ikhwanush-Shafa, yaitu Italia dan Spanyol. Sistem pemakaian istilahnya mungkin diturunkan dari ajaran kuno Yahudi yang ternyata sejalan dengan ajaran Ikhwanush-Shafa, namun tetap berdasarkan tata bahasa Arab. Lebih dari itu ada suatu kaitan yang sangat menarik antara ajaran Sufi dengan ajaran Yahudi itu, sehingga para Sufi menggarisbawahi kesamaan identitas yang mendasari kedua aliran tersebut. Beberapa fakta yang menunjukkan kaitan antara ajaran Sufi dan mistik Yahudi-Kristiani itu adalah sebagai berikut:
Ibnu Masarra dari Spanyol adalah seorang pendahulu Sulaiman ibnu Gabirol (Avicebron atau Avencebrol) yang telah menyebarkan pikiran-pikirannya. Menurut Jewish Encyclopaedia, ajaran kedua Sufi ini mempunyai pengaruh yang lebih besar atas perkembangan Cabala daripada sistem filsafat mana pun. Tentu saja, Ibnu Gabirol, pengikut Sufi berdarah Yahudi ini, diakui telah mempunyai pengaruh sangat besar terhadap pemikiran Barat. Menurut sang guru Yahudi Azriel dalam sistem ajarannya itu, Cabala, Tuhan disebut ENSOF, ketakterbatasan mutlak. Hal ini adalah upaya (Azriel) untuk menjelaskan sistem ajaran Cabala kepada para filosuf setelah kedatangannya di Eropa. Tentu saja, kajian tata bahasa dan makna-makna kata Arab merupakan dasar pemakaian istilah dalam sistem ajaran Cabala untuk tujuan-tujuan mistik. Tata bahasa Arab sendiri merupakan model (acuan) bagi tata bahasa Ibrani. Sedang tata bahasa Ibrani pertama kali ditulis Sa'di (orang Yahudi, w. 942) dalam bahasa Arab, seperti karya-karya tulis awal. Judul kitab tersebut Kitab al-Lughah, "dalam bahasa Arab dan di bawah pengaruh filologi Arab" (Jewish Encyclopaedia, Vol. 6, hlm. 69). Tata bahasa Ibrani baru mulai dikaji bangsa Yahudi dalam bahasa Ibrani sendiri pada pertengahan abad kedua belas.
Ternyata para Sufi dan Ikhwanush-Shafa telah menciptakan apa yang mereka anggap sebagai ajaran paling luhur, yaitu tradisi pengetahuan rahasia tentang keseluruhan (realitas) dan kekuatan. Tradisi pengetahuan ini telah diwariskan kepada Yahudi-Arab. Cabalis Yahudi telah menyadur ajaran tersebut dalam pemikiran Yahudi kontemporer, sehingga Cabala Arab menjadi Cabala Yahudi, kemudian Cabala Kristen. Namun, meskipun tidak pernah menyusun buku pengetahuan yang utuh sebagai sumber kajian, Ikhwanush-Shafa tetap memadukan ritus-ritus Sufi dengan pokok-pokok ajaran Cabala yang murni itu. Sebenarnya sistem ajaran Cabala Arab ini telah banyak berpengaruh terhadap mistisisme Yahudi, bukan Cabala Yahudi sendiri.
Jewish Encyclopaedia menggarisbawahi pengaruh tradisi Sufi ini: "Penyebaran Sufisme pada abad kedelapan kemungkinan besar telah mempunyai peran dalam menghidupkan kembali mistisisme di kalangan para pengikut Muhammad. Di bawah pengaruh langsung para Sufi itu, kemudian lahir sebuah sekteYahudi yang disebut Yudghani." (Vol. xi, hlm. 579). Sedang pengaruh sistem ajaran Sufi terhadap aliran mistik Yahudi Markabah --para pengendara, sangat kuat terhadap beberapa fenomena dari mistik itu yang identik dengan Sufisme (misalnya, tradisi warna yang kemudian menjadi ketakberwarnaan). Hasidisme, aliran kesalehan mistik yang lahir di Polandia pada abad kedelapan belas, tidak hanya merupakan "kesinambungan nyata dari ajaran Cabala, namun benar-benar berdasarkan kepada Sufisme atau sebagian ajaran Cabala yang identik dengan Sufisme". Sumber yang sama mencatat "analogi yang sangat jelas" antara praktik-praktik dari kedua aliran mistik Yahudi dengan "pokok-pokok praktik Sufisme" dalam aktivitas Hasidis, termasuk hubungan antara murid dan guru. Sedangkan buku pertama tentang etika pada periode Yahudi-Arab berdasar sebuah teladan Sufi. Maka dari itu, "Sufisme memperoleh perhatian khusus dari para sarjana Yahudi, karena pengaruhnya terhadap karya tulis etika dan mistik pada masa Yahudi-Arab itu".
Kiranya perlu ditambahkan bahwa kata sifat "Arab" dan 'Yahudi" tidak begitu penting bagi Sufi. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa ada semacam saling pengertian antara orang Spanyol yang telah mengikuti tarekat Sufi dan orang Spanyol yang sangat banyak berperan dalam menyebarkan ajaran-ajaran Sufi ke Barat Kristen.
Tentu saja Cabala adalah sebuah formulasi, sebuah kerangka dasar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Seperti kebanyakan sistem ajaran mistik --demikian pula kerangka sistem Tarekat-tarekat Sufi-- seperti api di dalam sekam, ia tetap hidup setelah masa keterputusannya dan setelah berlangsungnya readaptasi (penyesuaian kembali ajaran-ajarannya yang murni).
Jadi menurut Sufi, sihir dan keajaiban mempunyai fungsi yang sama dan bersifat aktif. Keduanya terjadi sesuai dengan ruang dan waktu serta dengan syarat-syarat tertentu. Lantaran keduanya terikat waktu sekaligus arah suatu perkembangan, maka sihir dan keajaiban harus dilihat sebagai hal yang luar biasa di satu sisi dan hal yang lazim di sisi lain. Apabila orang masih melihatnya di luar kriteria-kriteria tersebut, maka mereka tentu akan menganggapnya sebagai suatu hal yang ajaib dan tidak berguna.
Catatan:
1 Gairdner, Introduction pada the Niche for Lights, hlm. 6.2 Seorang teolog, Profesor A. Guillaume, Islam, London, 1954, hlm. 152.
3 Sufism, Its Seeds and Shrines, Lucknow, 1938, hlm. 182-3.
4 Op.cit., hlin. 266.
5 Versi Whinfield, Matsnawi, Buku V, Kisah X, London, 1887.
6 Prof P K. Hitti, History of the Arabs, London, 1960, hlm. 573 dan seterusnya. Gordon Leff, Medieval Thought, London, 1958, hlm. 116 dan seterusnya.
7 Perubahan dasar Cabalisme itu telah memberi cacat pada perkembangan sistem ini, terutama tujuan dan arti pentingnya. Oleh karena itu, literatur Cabala Ibrani dan Kristiani pada akhir abad kedua belas tidaklah begitu berarti. Literatur-literatur itu mencakup semua aspek Cabala, yaitu Sepuluh Unsur, dan berbeda dengan "Eight Cabala."
Sumber: ISNET
No comments:
Post a Comment