Monday, June 18, 2018

Newton dan Leibniz; Peletak Fondasi Sains

From Casirrer, Ernst. Newton and Leibniz. The Philosophical Review, Vol. 52, No.4, Juli, 1943.

Perseteruan antara Newton dan Leibniz telah sering diceritakan di dalam banyak buku teks maupun buku-buku ilmiah populer lainnya. Yang dibahas di dalamnya biasanya adalah mengenai klaim penciptaan kalkulus. Sebuah perdebatan lain sering kali lolos dari perhatian banyak orang, dan perdebatan inilah yang diangkat oleh Cassirer di dalam sebuah tulisannya di dalam Jurnal The Philosophical Review. Perdebatan ini adalah mengenai posisi epistemologis kedua raksasa filsafat ini dalam melihat ilmu alam atau—di dalam bahasa yang dipakai di zaman itu—filsafat alam.

Untuk melihat perbedaan yang mendasar di antara kedua filsuf alam tersebut bukanlah sebuah perkara yang mudah. Sentimen-sentimen yang menyertai perdebatan tersebut mengaburkan esensi dari perdebatan itu sendiri. Surat menyurat yang terjadi di tahun 1715 dan 1716 antara Leibniz dan Samuel Clarke yang membela Newton juga tidak banyak membantu untuk melihat masalah ini lebih jelas. Bahkan tuduhan-tuduhan yang saling dilontarkan satu sama lain malah melebar pada masalah agama. Untuk itu kita perlu masuk ke dalam pemikiran kedua filsuf ini secara mendasar supaya bisa memahami betul inti perdebatan mereka.

Newton dan Leibniz secara sederhana bisa dilihat sebagai pengusung dua tradisi ilmiah yang berbeda; Newton mengedepankan induksi sebagai pengusung empirisisme dan Leibniz mengedepankan deduksi. Sebagai pengusung empirisisme, Newton mementingkan data faktual sebagai sebuah realitas. Leibniz berangkat dari hal yang berbeda dengan mengandalkan rasio, yang menurutnya dapat menjelaskan seluruh realitas.

Tetapi mengotakkan Newton dan Leibniz menjadi pengusung cara berpikir induktif atau deduktif bisa jadi juga kurang tepat, mengingat induksi dan deduksi bisa dipakai secara longgar. Cara berpikir induktif Newton tidaklah sama dengan Francis Bacon atau John Stuart Mill. Induksi Newton bisa ditelurusi dari metode induksi Galileo ketimbang melalui Bacon. Bacon sendiri melalui metode induksinya mencita-citakan sebuah “rasionalisasi” dari seluruh data-data empiris, sehingga ditemukan “forma murni” dari seluruh fenomena yang berubah-ubah dan banyak. Ini bukanlah cara yang ditempuh Galileo dan Newton. Metode Bacon adalah ektensifikasi dan amplifikasi dengan mengumpulkan data empiris sebanyak-banyaknya. Newton tidak tertarik dengan ini. Ia tidak ingin mencari “forma murni” dari gravitasi misalnya. Ia sekedar ingin mereduksi fenomena alam menjadi hukum-hukum alam dan menurunkan hukum-hukum alam ini secara matematis. Metodenya adalah intensifikasi dan simplifikasi. Dengan metode ini proses akumulasi dan komparasi induksi Baconian diubah menjadi sebuah proses analitis. Cara ini oleh Newton dinamakan induksi analitis. Tanpa proses analitis tersebut, tidak akan dapat dihasilkan buah dari semua data empiris tersebut, yaitu sebuah hukum alam yang menggambarkan gejala yang dapat dinyatakan secara matematis.

Dengan induksi analitis ini, pengumpulan data empiris bukanlah tujuan utama. Interpretasi dari data-data yang sudah ada menjadi lebih penting. Hukum gravitasi umum telah lama didiskusikan sebelum terbitnya Principia Newton. Bahkan rumusan matematis hukum gravitasi umum Newton pun bukan barang baru; Christopher Wren, Robert Hooke, dan Edmond Halley telah mengembangkan teori daya tarik yang berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Sumbangan Newton bukanlah di situ, melainkan memberikan sebuah kerangka berpikir yang sungguh baru, yang kemudian bisa dijadikan landasan pijakan yang kuat bagi para penerusnya.

Leibniz di lain pihak memulai dari titik lain. Jika Newton mulai dengan menganalisis fenomena alam, Leibniz memulai dengan analisis logika. Sebagaimana yang dikatakan Leibniz: “Jika seseorang ingin membuat bangunan di tanah berpasir, ia harus terus menggali sampai menemukan dasar kokoh berbatu, seperti orang yang ingin mengurai benang kusut harus menemukan awalnya, dan seperti Archimedes yang membutuhkan tumpuan diam untuk memindahkan dunia—jadi yang kita butuhkan adalah sebuah titik tetap sebagai fondasi di mana kita bisa mendirikan pengetahuan manusia. Dan titik awal ini adalah analisis dari macam-macam kebenaran.”

Ini bukan berarti Leibniz tidak mengakui nilai dari kebenaran empiris. Kebenaran empiris baginya hanyalah sebuah bagian kecil dari seluruh semesta kebenaran. Adalah tugas para filsuf untuk bisa menemukan kebenaran sejati di belakang kebenaran fenomenal. Di dalam ilmu fisika kita menemukan kebenaran faktual, di dalam logika, aritmatika dan geometri kita menemukan kebenaran abadi. Kebenaran faktual tidak terpisah dari kebenaran logika dan matematika, atau bertentangan dengannya. Masing-masing dunia memiliki hukum-hukumnya masing-masing. Di dalam suratnya kepada Clarke, Leibniz menunjukkan: “Fondasi agung dari matematika adalah prinsip kontradiksi atau identitas, yaitu sebuah proposisi tidak mungkin benar dan salah pada saat yang sama; dan oleh karena itu ia adalah yang itu dan tidak bisa yang lain. Prinsip ini cukup untuk mendemonstrasikan setiap bagian dari aritmatika dan geometri, yang merupakan seluruh dari prinsip-prinsip matematika. Tetapi untuk meneruskan dari matematika ke filsafat alam, sebuah prinsip yang lain diperlukan … prinsip kecukupan sebab (sufficient reason), bahwa tak satu pun yang terjadi tanpa sebab sehingga ia harus terjadi demikian ketimbang yang lain.”

Leibniz mengatakan bahwa kebenaran logika dan matematika adalah niscaya, sedangkan kebenaran faktual adalah kontingen. Ia kemudian meneruskan bahwa perbedaan antara kebenaran yang niscaya dan kontingen ini hanya memiliki nilai relatif, bukan absolut. Keduanya memang tidak berada pada domain yang sama. Keduanya tidak dapat dibandingkan. Meskipun demikian ini tidak berarti mereka tidak memiliki hubungan. Leibniz memberikan contoh dengan bilangan irasional. Sebuah bilangan irasional tidak ditemukan di dalam pengukuran faktual, melainkan hanya ditemukan dalam konsep matematika. Namun bilangan irasional tetap dapat didekati dengan deret tak hingga bilangan rasional sehingga keduanya tetap berhubungan.

Leibniz mengakui bahwa di dalam banyak bidang kita hanya bisa mendapatkan kebenaran faktual. Yang bisa kita lakukan adalah mengumpulkan fakta tanpa bisa mendeduksi fakta dari prinsip-prinsip rasio yang lebih tinggi. Namun ini hanyalah langkah pertama. Seorang ilmuwan atau filsuf tidak akan pernah puas dengan hasil seperti ini. Mereka tidak hanya sekedar mengumpulkan fakta, melainkan mau mencoba mengerti fenomena alam. Kebenaran rasional inilah yang menjadi batas dari ilmu pengetahuan. Kita mungkin tidak akan pernah tahu penyebab dari segala sesuatu, tetapi kita tidak boleh berputus asa untuk terus mencari dan membuktikan penyebab-penyebab tersebut. Semuanya ini bisa dirangkum dalam sebuah kalimat, “Semua kebenaran empiris dapat digambarkan dalam kebenaran rasional dan dapat direduksi ke dalam bentuk kebenaran rasional.”

Dengan kalimat ini, sesungguhnya Leibniz-lah seorang rasionalis par excellence, melebihi rasionalis-rasionalis lainnya. Ia meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah proses pencarian kebenaran ini, bukan sekedar pengumpulan fakta, tetapi sebuah proses mengerucut yang semakin mendekati kebenaran. Seluruh kebenaran empiris bisa direduksi menjadi prinsip-prinsip umum yang universal. Ia bahkan melampaui batas-batas ilmu alam, dengan juga menerapkan prinsip-prinsip universal ini pada ranah lain yaitu masalah politik, sosial dan religius.

Ambisi Leibniz memang terlihat begitu besar, sebesar kepercayaannya pada rasio manusia yang bisa mengerti semua hal. Ia mendambakan sebuah Scientia Generalis yang membuat semua fenomena terjelaskan. Newton tidak seambisius itu. Bagi Newton, dunia sekedar dapat dimasuki, tetapi tidak dapat dipahami oleh rasio manusia. Sains mungkin bisa memimpin kita sampai jauh, tetapi tidak mampu melihat sampai pada kedalaman “lautan kebenaran”.

Meskipun cara mereka melihat kebenaran begitu berbeda, mereka berdua memakai matematika. Keduanya meletakkan fondasi matematika yang sangat kokoh sampai saat ini, yaitu matematika nilai variasi, atau matematika perubahan, yang kita kenal sekarang dengan istilah kalkulus. Namun mereka berdua melihat matematika secara berbeda. Bagi Leibniz, matematika adalah salah satu dari aplikasi umum prinsip-prinsip logikanya. Kalkulus ciptaannya adalah pengejawantahan logika dalam bentuk simbolisme matematika. Simbol-simbol ini, dengan kejelasan dan kesederhanaannya, terbukti lebih superior dibandingkan dengan metode fluxion ciptaan Newton.

Newton memperlakukan matematika secara berbeda. Ia melampaui tradisi matematika para pendahulunya. Sejak Plato, matematika dipakai sebagai penggambaran kebenaran yang abadi—yang tidak berubah. Matematika tidak berubah menurut keadaan, seperti yang terjadi pada fenomena, oleh karena itulah, matematika dilihat sebagai kebenaran yang sempurna. Newton justru melakukan hal yang sebaliknya. Newton menggunakan matematika untuk menggambarkan perubahan. Matematika yang ia kembangkan digunakan untuk menggambarkan gerak. Ia bahkan mereduksi seluruh fenomena alam menjadi gerak. Gerak tidak lagi menjadi sekedar fenomena, melainkan konsep dari alam itu sendiri, sebagai sebuah kategori matematis. Bagi Newton, matematika baru ini bukanlah sekedar ada di dalam pikiran manusia, melainkan realitas itu sendiri.

Leibniz juga menempatkan matematika di posisi yang tinggi. Namun ia melihat matematika sebagi subordinat dari logika. Ia adalah seorang Platonis sejati dan pembela tradisi Yunani klasik yang ketat secara logika deduktif. Kalkulus ciptaannya bukanlah dibangun dari fenomena alam, seperti halnya Newton, melainkan konsep yang diturunkan dari logika.

Perbedaan yang mendasar dari Newton dan Leibniz juga terlihat dari bagaimana mereka memandang ruang dan waktu. Bagi Newton, ruang dan waktu bukan hanya realitas, melainkan adalah juga kerangka dari realitas itu sendiri. Bahkan Newton sebagai seorang yang religius menyebutkan bahwa ruang dan waktu bukan hanya realitas material biasa melainkan atribut absolut dari Allah sendiri. Mereka adalah forma dan tatanan, bukan benda. Leibniz sebagai seorang ahli logika melihatnya secara berbeda. Ruang dan waktu baginya tidak memiliki eksistensi secara metafisis. Ruang adalah keadaan di mana benda terletak, dan waktu adalah keadaan menurut urutan posisi kejadian. Untuk melihat ruang, kita cukup melihat posisi relatif antara benda-benda, tanpa perlu menciptakan sebuah realitas tersendiri. Begitu pula dengan waktu, ia adalah sekedar urutan kejadian, yang tidak perlu dijadikan sebuah eksistensi terpisah.

Salah satu sanggahan Leibniz adalah seperti ini: jika ada dua benda bergerak sejajar satu sama lain dengan kecepatan yang sama sehingga posisi keduanya tidak berubah, bagaimana kita bisa tahu mereka bergerak terhadap ruang atau tidak. Bagaimana kita bisa tahu kedua benda tersebut diam atau bergerak, mengingat posisi relatif keduanya adalah sama. Dalam kata-katanya sendiri Leibniz menjelaskan, “Aku meyakini bahwa ruang dan waktu adalah sesuatu yang murni relatif. Ruang adalah sebuah tatanan koeksistensi dan waktu adalah tatanan suksesi. Ruang menyatakan kemungkinan tatanan benda-benda, sejauh mereka ada bersama-sama, di dalam waktu yang sama, bagaimanapun cara mereka berada. Di manapun kita melihat banyak hal berbeda, kita sadar akan tatanan di antara mereka.”

Menjadi semakin jelas bahwa perbedaan mereka adalah Newton melihat kebenaran sebagai apa yang ada di alam—in rerum natura—sedangkan Leibniz melihat bahwa apa yang benar adalah apa yang logis. Bahkan matematika menurut Newton adalah sebuah kebenaran karena ia dapat ditemukan dalam alam. Meskipun berbeda, mereka berdua menolak sensasionalisme. Keduanya sepakta bahwa fakta empiris saja tidak mencukupi. Dengan demikian mereka berbeda dengan tradisi empirisisme Inggris, yang mengatakan bahwa semuanya itu hanyalah persepsi semata. Bagi Newton ruang dan waktu adalah realitas ultima yang substansial, dan bagi Leibniz, ruang dan waktu adalah asumsi yang niscaya, yang memungkinkan realitas yang lain untuk dipahami.

Sejarah kemudian membuktikan bahwa batu pijakan yang didirikan oleh Newton-lah yang membuat revolusi di dalam ilmu alam. Dengan mereduksi seluruh fenomena alam menjadi gerak yang dapat dinyatakan secara matematis, seluruh fenomena alam dapat dipotong-potong dan dianalisis geraknya saja. Ini menghindarkan mereka dari debat deduktif yang melelahkan tentang esensi dari realitas itu sendiri. Metode Leibniz, walaupun terbukti tangguh secara logika matematis, lebih sukar untuk dijadikan pijakan. Waktu dan ruang yang relatif terbukti lebih sulit untuk dipahami, apalagi dirumuskan secara matematis. Sejarah membutuhkan beberapa abad kemudian ketika Einstein mengemukakan teori relativitas dan mampu mengemukannya secara matematis.

Perkembangan fisika modern memang menunjukkan seolah-olah mereka kembali kepada pemikiran Leibniz. Teori relativitas menunjukkan bahwa ruang dan waktu tidaklah absolut. Model Standar yang sekarang dipakai juga terlihat semakin matematis, sehingga dengan demikian adalah logika. Beberapa postulat di dalamnya belum memiliki pijakan pengamatan empiris. Logika terlihat mendahului data faktual. Begitu pula dengan cita-cita adanya sebuah Grand Unified Theory yang menyatukan semua teori-teori fisika. Ini terlihat seperti cita-cita Scientia Generalis-nya Leibniz.

Namun ini tidak berarti fisika Newtonian telah diruntuhkan. Ia lebih merupakan sebuah konstruksi baru sains. Fisika Newton tetap menjadi dasar pijakan yang memungkinkan fisika berkembang, sehingga pada suatu titik dimungkinkan sebuah loncatan kepada sebuah fisika baru. Sentimen-sentimen Inggris vs. Jerman telah membuat kemungkinan konstruksi lebih awal gagal terjadi. Begitu pula dengan dogmatisme ajaran-ajaran Newton yang tidak disikapi dengan kritis, yang telah menghambat pertumbuhan sains.

Menarik untuk dilihat bahwa walaupun Newton dan Leibniz berbeda secara epistemologis, keduanya mampu disatukan dalam fisika modern. Posisi Newton lebih mewakili posisi saintis, dan posisi Leibniz lebih mewakili posisi para filsuf. Perbenturan keduanya terlihat seperti perbenturan antara fisika dan filsafat. Yang satu mementingkan data empiris dan yang lainnya keketatan logika. Perbedaan ini terbukti lebih konstruktif ketimbang destruktif. Justru karena perbedaan-perbedaan itulah sains menjadi berkembang.

Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com

No comments:

Post a Comment