From Casirrer, Ernst. Newton and Leibniz. The Philosophical Review, Vol. 52, No.4, Juli, 1943.
Perseteruan antara Newton dan Leibniz
telah sering diceritakan di dalam banyak buku teks maupun buku-buku
ilmiah populer lainnya. Yang dibahas di dalamnya biasanya adalah
mengenai klaim penciptaan kalkulus. Sebuah perdebatan lain sering kali
lolos dari perhatian banyak orang, dan perdebatan inilah yang diangkat
oleh Cassirer di dalam sebuah tulisannya di dalam Jurnal The Philosophical Review.
Perdebatan ini adalah mengenai posisi epistemologis kedua raksasa
filsafat ini dalam melihat ilmu alam atau—di dalam bahasa yang dipakai
di zaman itu—filsafat alam.
Untuk melihat perbedaan yang mendasar di
antara kedua filsuf alam tersebut bukanlah sebuah perkara yang mudah.
Sentimen-sentimen yang menyertai perdebatan tersebut mengaburkan esensi
dari perdebatan itu sendiri. Surat menyurat yang terjadi di tahun 1715
dan 1716 antara Leibniz dan Samuel Clarke yang membela Newton juga tidak
banyak membantu untuk melihat masalah ini lebih jelas. Bahkan
tuduhan-tuduhan yang saling dilontarkan satu sama lain malah melebar
pada masalah agama. Untuk itu kita perlu masuk ke dalam pemikiran kedua
filsuf ini secara mendasar supaya bisa memahami betul inti perdebatan
mereka.
Newton dan Leibniz secara sederhana bisa
dilihat sebagai pengusung dua tradisi ilmiah yang berbeda; Newton
mengedepankan induksi sebagai pengusung empirisisme dan Leibniz
mengedepankan deduksi. Sebagai pengusung empirisisme, Newton
mementingkan data faktual sebagai sebuah realitas. Leibniz berangkat
dari hal yang berbeda dengan mengandalkan rasio, yang menurutnya dapat
menjelaskan seluruh realitas.
Tetapi mengotakkan Newton dan Leibniz
menjadi pengusung cara berpikir induktif atau deduktif bisa jadi juga
kurang tepat, mengingat induksi dan deduksi bisa dipakai secara longgar.
Cara berpikir induktif Newton tidaklah sama dengan Francis Bacon atau
John Stuart Mill. Induksi Newton bisa ditelurusi dari metode induksi
Galileo ketimbang melalui Bacon. Bacon sendiri melalui metode induksinya
mencita-citakan sebuah “rasionalisasi” dari seluruh data-data empiris,
sehingga ditemukan “forma murni” dari seluruh fenomena yang berubah-ubah
dan banyak. Ini bukanlah cara yang ditempuh Galileo dan Newton. Metode
Bacon adalah ektensifikasi dan amplifikasi dengan mengumpulkan data
empiris sebanyak-banyaknya. Newton tidak tertarik dengan ini. Ia tidak
ingin mencari “forma murni” dari gravitasi misalnya. Ia sekedar ingin
mereduksi fenomena alam menjadi hukum-hukum alam dan menurunkan
hukum-hukum alam ini secara matematis. Metodenya adalah intensifikasi
dan simplifikasi. Dengan metode ini proses akumulasi dan komparasi
induksi Baconian diubah menjadi sebuah proses analitis. Cara ini oleh
Newton dinamakan induksi analitis. Tanpa proses analitis tersebut, tidak
akan dapat dihasilkan buah dari semua data empiris tersebut, yaitu
sebuah hukum alam yang menggambarkan gejala yang dapat dinyatakan secara
matematis.
Dengan induksi analitis ini, pengumpulan
data empiris bukanlah tujuan utama. Interpretasi dari data-data yang
sudah ada menjadi lebih penting. Hukum gravitasi umum telah lama
didiskusikan sebelum terbitnya Principia Newton. Bahkan rumusan
matematis hukum gravitasi umum Newton pun bukan barang baru;
Christopher Wren, Robert Hooke, dan Edmond Halley telah mengembangkan
teori daya tarik yang berbanding terbalik dengan kuadrat jarak.
Sumbangan Newton bukanlah di situ, melainkan memberikan sebuah kerangka
berpikir yang sungguh baru, yang kemudian bisa dijadikan landasan
pijakan yang kuat bagi para penerusnya.
Leibniz di lain pihak memulai dari titik
lain. Jika Newton mulai dengan menganalisis fenomena alam, Leibniz
memulai dengan analisis logika. Sebagaimana yang dikatakan Leibniz:
“Jika seseorang ingin membuat bangunan di tanah berpasir, ia harus terus
menggali sampai menemukan dasar kokoh berbatu, seperti orang yang ingin
mengurai benang kusut harus menemukan awalnya, dan seperti Archimedes
yang membutuhkan tumpuan diam untuk memindahkan dunia—jadi yang kita
butuhkan adalah sebuah titik tetap sebagai fondasi di mana kita bisa
mendirikan pengetahuan manusia. Dan titik awal ini adalah analisis dari
macam-macam kebenaran.”
Ini bukan berarti Leibniz tidak mengakui
nilai dari kebenaran empiris. Kebenaran empiris baginya hanyalah sebuah
bagian kecil dari seluruh semesta kebenaran. Adalah tugas para filsuf
untuk bisa menemukan kebenaran sejati di belakang kebenaran fenomenal.
Di dalam ilmu fisika kita menemukan kebenaran faktual, di dalam logika,
aritmatika dan geometri kita menemukan kebenaran abadi. Kebenaran
faktual tidak terpisah dari kebenaran logika dan matematika, atau
bertentangan dengannya. Masing-masing dunia memiliki hukum-hukumnya
masing-masing. Di dalam suratnya kepada Clarke, Leibniz menunjukkan:
“Fondasi agung dari matematika adalah prinsip kontradiksi atau
identitas, yaitu sebuah proposisi tidak mungkin benar dan salah pada
saat yang sama; dan oleh karena itu ia adalah yang itu dan tidak bisa
yang lain. Prinsip ini cukup untuk mendemonstrasikan setiap bagian dari
aritmatika dan geometri, yang merupakan seluruh dari prinsip-prinsip
matematika. Tetapi untuk meneruskan dari matematika ke filsafat alam,
sebuah prinsip yang lain diperlukan … prinsip kecukupan sebab (sufficient reason), bahwa tak satu pun yang terjadi tanpa sebab sehingga ia harus terjadi demikian ketimbang yang lain.”
Leibniz mengatakan bahwa kebenaran logika
dan matematika adalah niscaya, sedangkan kebenaran faktual adalah
kontingen. Ia kemudian meneruskan bahwa perbedaan antara kebenaran yang
niscaya dan kontingen ini hanya memiliki nilai relatif, bukan absolut.
Keduanya memang tidak berada pada domain yang sama. Keduanya tidak dapat
dibandingkan. Meskipun demikian ini tidak berarti mereka tidak memiliki
hubungan. Leibniz memberikan contoh dengan bilangan irasional. Sebuah
bilangan irasional tidak ditemukan di dalam pengukuran faktual,
melainkan hanya ditemukan dalam konsep matematika. Namun bilangan
irasional tetap dapat didekati dengan deret tak hingga bilangan rasional
sehingga keduanya tetap berhubungan.
Leibniz mengakui bahwa di dalam banyak
bidang kita hanya bisa mendapatkan kebenaran faktual. Yang bisa kita
lakukan adalah mengumpulkan fakta tanpa bisa mendeduksi fakta dari
prinsip-prinsip rasio yang lebih tinggi. Namun ini hanyalah langkah
pertama. Seorang ilmuwan atau filsuf tidak akan pernah puas dengan hasil
seperti ini. Mereka tidak hanya sekedar mengumpulkan fakta, melainkan
mau mencoba mengerti fenomena alam. Kebenaran rasional inilah yang
menjadi batas dari ilmu pengetahuan. Kita mungkin tidak akan pernah tahu
penyebab dari segala sesuatu, tetapi kita tidak boleh berputus asa
untuk terus mencari dan membuktikan penyebab-penyebab tersebut. Semuanya
ini bisa dirangkum dalam sebuah kalimat, “Semua kebenaran empiris dapat
digambarkan dalam kebenaran rasional dan dapat direduksi ke dalam
bentuk kebenaran rasional.”
Dengan kalimat ini, sesungguhnya Leibniz-lah seorang rasionalis par excellence,
melebihi rasionalis-rasionalis lainnya. Ia meyakini bahwa ilmu
pengetahuan adalah proses pencarian kebenaran ini, bukan sekedar
pengumpulan fakta, tetapi sebuah proses mengerucut yang semakin
mendekati kebenaran. Seluruh kebenaran empiris bisa direduksi menjadi
prinsip-prinsip umum yang universal. Ia bahkan melampaui batas-batas
ilmu alam, dengan juga menerapkan prinsip-prinsip universal ini pada
ranah lain yaitu masalah politik, sosial dan religius.
Ambisi Leibniz memang terlihat begitu
besar, sebesar kepercayaannya pada rasio manusia yang bisa mengerti
semua hal. Ia mendambakan sebuah Scientia Generalis yang
membuat semua fenomena terjelaskan. Newton tidak seambisius itu. Bagi
Newton, dunia sekedar dapat dimasuki, tetapi tidak dapat dipahami oleh
rasio manusia. Sains mungkin bisa memimpin kita sampai jauh, tetapi
tidak mampu melihat sampai pada kedalaman “lautan kebenaran”.
Meskipun cara mereka melihat kebenaran
begitu berbeda, mereka berdua memakai matematika. Keduanya meletakkan
fondasi matematika yang sangat kokoh sampai saat ini, yaitu matematika
nilai variasi, atau matematika perubahan, yang kita kenal sekarang
dengan istilah kalkulus. Namun mereka berdua melihat matematika secara
berbeda. Bagi Leibniz, matematika adalah salah satu dari aplikasi umum
prinsip-prinsip logikanya. Kalkulus ciptaannya adalah pengejawantahan
logika dalam bentuk simbolisme matematika. Simbol-simbol ini, dengan
kejelasan dan kesederhanaannya, terbukti lebih superior dibandingkan
dengan metode fluxion ciptaan Newton.
Newton memperlakukan matematika secara
berbeda. Ia melampaui tradisi matematika para pendahulunya. Sejak Plato,
matematika dipakai sebagai penggambaran kebenaran yang abadi—yang tidak
berubah. Matematika tidak berubah menurut keadaan, seperti yang terjadi
pada fenomena, oleh karena itulah, matematika dilihat sebagai kebenaran
yang sempurna. Newton justru melakukan hal yang sebaliknya. Newton
menggunakan matematika untuk menggambarkan perubahan. Matematika yang ia
kembangkan digunakan untuk menggambarkan gerak. Ia bahkan mereduksi
seluruh fenomena alam menjadi gerak. Gerak tidak lagi menjadi sekedar
fenomena, melainkan konsep dari alam itu sendiri, sebagai sebuah
kategori matematis. Bagi Newton, matematika baru ini bukanlah sekedar
ada di dalam pikiran manusia, melainkan realitas itu sendiri.
Leibniz juga menempatkan matematika di
posisi yang tinggi. Namun ia melihat matematika sebagi subordinat dari
logika. Ia adalah seorang Platonis sejati dan pembela tradisi Yunani
klasik yang ketat secara logika deduktif. Kalkulus ciptaannya bukanlah
dibangun dari fenomena alam, seperti halnya Newton, melainkan konsep
yang diturunkan dari logika.
Perbedaan yang mendasar dari Newton dan
Leibniz juga terlihat dari bagaimana mereka memandang ruang dan waktu.
Bagi Newton, ruang dan waktu bukan hanya realitas, melainkan adalah juga
kerangka dari realitas itu sendiri. Bahkan Newton sebagai seorang yang
religius menyebutkan bahwa ruang dan waktu bukan hanya realitas material
biasa melainkan atribut absolut dari Allah sendiri. Mereka adalah forma
dan tatanan, bukan benda. Leibniz sebagai seorang ahli logika
melihatnya secara berbeda. Ruang dan waktu baginya tidak memiliki
eksistensi secara metafisis. Ruang adalah keadaan di mana benda
terletak, dan waktu adalah keadaan menurut urutan posisi kejadian. Untuk
melihat ruang, kita cukup melihat posisi relatif antara benda-benda,
tanpa perlu menciptakan sebuah realitas tersendiri. Begitu pula dengan
waktu, ia adalah sekedar urutan kejadian, yang tidak perlu dijadikan
sebuah eksistensi terpisah.
Salah satu sanggahan Leibniz adalah
seperti ini: jika ada dua benda bergerak sejajar satu sama lain dengan
kecepatan yang sama sehingga posisi keduanya tidak berubah, bagaimana
kita bisa tahu mereka bergerak terhadap ruang atau tidak. Bagaimana kita
bisa tahu kedua benda tersebut diam atau bergerak, mengingat posisi
relatif keduanya adalah sama. Dalam kata-katanya sendiri Leibniz
menjelaskan, “Aku meyakini bahwa ruang dan waktu adalah sesuatu yang
murni relatif. Ruang adalah sebuah tatanan koeksistensi dan waktu adalah
tatanan suksesi. Ruang menyatakan kemungkinan tatanan benda-benda,
sejauh mereka ada bersama-sama, di dalam waktu yang sama, bagaimanapun
cara mereka berada. Di manapun kita melihat banyak hal berbeda, kita
sadar akan tatanan di antara mereka.”
Menjadi semakin jelas bahwa perbedaan mereka adalah Newton melihat kebenaran sebagai apa yang ada di alam—in rerum natura—sedangkan
Leibniz melihat bahwa apa yang benar adalah apa yang logis. Bahkan
matematika menurut Newton adalah sebuah kebenaran karena ia dapat
ditemukan dalam alam. Meskipun berbeda, mereka berdua menolak
sensasionalisme. Keduanya sepakta bahwa fakta empiris saja tidak
mencukupi. Dengan demikian mereka berbeda dengan tradisi empirisisme
Inggris, yang mengatakan bahwa semuanya itu hanyalah persepsi semata.
Bagi Newton ruang dan waktu adalah realitas ultima yang substansial, dan
bagi Leibniz, ruang dan waktu adalah asumsi yang niscaya, yang
memungkinkan realitas yang lain untuk dipahami.
Sejarah kemudian membuktikan bahwa batu
pijakan yang didirikan oleh Newton-lah yang membuat revolusi di dalam
ilmu alam. Dengan mereduksi seluruh fenomena alam menjadi gerak yang
dapat dinyatakan secara matematis, seluruh fenomena alam dapat
dipotong-potong dan dianalisis geraknya saja. Ini menghindarkan mereka
dari debat deduktif yang melelahkan tentang esensi dari realitas itu
sendiri. Metode Leibniz, walaupun terbukti tangguh secara logika
matematis, lebih sukar untuk dijadikan pijakan. Waktu dan ruang yang
relatif terbukti lebih sulit untuk dipahami, apalagi dirumuskan secara
matematis. Sejarah membutuhkan beberapa abad kemudian ketika Einstein
mengemukakan teori relativitas dan mampu mengemukannya secara matematis.
Perkembangan fisika modern memang
menunjukkan seolah-olah mereka kembali kepada pemikiran Leibniz. Teori
relativitas menunjukkan bahwa ruang dan waktu tidaklah absolut. Model
Standar yang sekarang dipakai juga terlihat semakin matematis, sehingga
dengan demikian adalah logika. Beberapa postulat di dalamnya belum
memiliki pijakan pengamatan empiris. Logika terlihat mendahului data
faktual. Begitu pula dengan cita-cita adanya sebuah Grand Unified Theory yang menyatukan semua teori-teori fisika. Ini terlihat seperti cita-cita Scientia Generalis-nya Leibniz.
Namun ini tidak berarti fisika Newtonian
telah diruntuhkan. Ia lebih merupakan sebuah konstruksi baru sains.
Fisika Newton tetap menjadi dasar pijakan yang memungkinkan fisika
berkembang, sehingga pada suatu titik dimungkinkan sebuah loncatan
kepada sebuah fisika baru. Sentimen-sentimen Inggris vs. Jerman telah
membuat kemungkinan konstruksi lebih awal gagal terjadi. Begitu pula
dengan dogmatisme ajaran-ajaran Newton yang tidak disikapi dengan
kritis, yang telah menghambat pertumbuhan sains.
Menarik untuk dilihat bahwa walaupun
Newton dan Leibniz berbeda secara epistemologis, keduanya mampu
disatukan dalam fisika modern. Posisi Newton lebih mewakili posisi
saintis, dan posisi Leibniz lebih mewakili posisi para filsuf.
Perbenturan keduanya terlihat seperti perbenturan antara fisika dan
filsafat. Yang satu mementingkan data empiris dan yang lainnya keketatan
logika. Perbedaan ini terbukti lebih konstruktif ketimbang destruktif.
Justru karena perbedaan-perbedaan itulah sains menjadi berkembang.
Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com
No comments:
Post a Comment