Diterjemahkan oleh: TACU
J.
Anderson Thomson is a psychiatrist at the University of Virginia. He
serves as a trustee of the Richard Dawkins Foundation for Reason and
Science. Clare Aukofer is a medical writer. They are the authors of “Why
We Believe in God(s): A Concise Guide to the Science of Faith.”
Sebelum John Lennon menuliskan lirik—dalam lagu imagine, “living life in peace,” dia menulis bait “no heaven … / no hell below us …/ and no religion too.”
No religion: Apakah sebenarnya
yang dimaksudkan oleh Lennon? Sebagai permulaan, sebuah dunia tanpa
utusan-utusan “ilahi” seperti Osama bin Laden yang memicu kekerasan.
Sebuah dunia di mana kesalahan, seperti dalam peristiwa badai Katrina
yang menghilangkan banyak nyawa, sesungguhnya bisa dihindari dan
ditanggulangi, tapi bukan dihubungkan dengan “kehendak Tuhan.” di mana
politisi tidak lagi bersaing untuk membuktikan yang mana lebih
dipercayai secara irasional dan tidak dapat dipertahankan. Di mana
berpikir kritis adalah ideal. Singkatnya, dunia yang masuk akal.
Dalam beberapa tahun terakhir para
ilmuwan yang mengkhususkan diri dalam bidang pikiran dan kejiwaan telah
mengungkapkan DNA agama. Mereka telah menghasilkan teori-teori yang
kuat, didukung oleh bukti empiris (termasuk studi “pencitraan” otak di
tempat kerja), yang mendukung kesimpulan bahwa manusia-lah yang
menciptakan Tuhan, bukan sebaliknya. Dan semakin baik kita memahami
sains, semakin kita mendekat kepada no heaven … / no hell below us …/ and no religion too.
Seperti DNA fisiologis kita, mekanisme
psikologis yang melatarbelakangi iman berevolusi selama ribuan tahun
melalui seleksi alam. Mereka membantu nenek moyang kita bekerja secara
efektif dalam kelompok kecil dan bertahan hidup dan bereproduksi,
berkembang lama sebelum adanya sejarah tertulis, jauh mendasari mamalia,
primata dan masa lalu spesies kita di Afrika yang mengumpulkan makanan
dengan cara berburu.
Sebagai contoh, kita dilahirkan dengan
kebutuhan yang kuat untuk ketergantungan, yang diidentifikasi sejak
tahun 1940-an oleh psikiater John Bowlby dan diperluas oleh psikolog
Mary Ainsworth. Peningkatan kelangsungan hidup individu lekat dengan
adanya kebutuhan akan sosok pelindung, mulai dari para ibu. Kelekatan
ini diperkuat secara fisiologis melalui kimia otak, dan kita berevolusi
dan mempertahankan jaringan saraf karena benar-benar mendedikaskan untuk
hal itu. Kita dengan mudah memperluas kebutuhan bawaan untuk pelindung
terhadap figur otoritas apapun, termasuk tokoh agama dan, termasuk
Tuhan. Tuhan menjadi orangtua super yang mampu melindungi kita dan
merawat kita bahkan ketika sistem corporeal yang mendukung kita menghilang oleh karena kematian atau jarak.
Para ilmuwan sejauh ini mengidentifikasi
sekitar 20 implementasi yang mengembangkan kemampuan “adaptasi” sebagai
blok bangunan agama. Seperti lampiran, mereka adalah mekanisme yang
mendasari interaksi manusia: Kajian Pencitraan-Otak di National
Institutes of Health menunjukkan bahwa ketika subjek ujicoba membaca
pernyataan tentang agama dan diminta untuk setuju atau tidak setuju,
jaringan otak yang sama yang memproses perilaku sosial manusia—kemampuan
kita untuk menegosiasikan hubungan dengan orang lain—ikut terlibat.
Di antara adaptasi psikologis yang
berkaitan dengan agama sebagai kebutuhan resiprokal kita, yaitu
kecenderungan kita untuk mengatribusikan peristiwa yang tidak diketahui
oleh manusia, bahkan kepada sosok manusia itu sendiri, seperti kapasitas
kita untuk keromantisan, ketakutan dan kebencian kita kepada orang di
luar komunitas, atau lingkaran kita. Begitu juga dengan loyalitas yang
ada dalam sistem kekerabatan dan persekutuan. Agama membajak sifat-sifat
tersebut. Persaingan antara Sunni dan Syiah dalam Muslim, misalnya,
atau pertempuran doktrinal antara Protestan dan Katolik mencerminkan
kecenderungan “groupish” kita.
Selain adaptasi ini, manusia telah
mengembangkan kemampuan yang luar biasa untuk berpikir tentang apa yang
terjadi di dalam pikiran orang lain dan membuat serta melatih untuk
berinteraksi secara kompleks dengan hal lain yang tak terlihat. Dalam
pikiran kita, kita dapat melerai kognisi dari waktu, tempat dan keadaan.
Kita menganggap apa yang orang lain mungkin bisa lakukan di tempat kita
dengan memproyeksikan skenario masa depan, atau memutar ulang peristiwa
masa lalu. Ini adalah lompatan mudah untuk mengatakan, kita bisa
bercakap-cakap dengan orang mati atau menghadirkan sosok Tuhan dan
berdoa kepada mereka.
Moralitas, yang bagi sebagian orang
adalah datang dari Tuhan atau agama untuk membuat manusia lebih beradab,
tetapi sains melihat bahwa moralitas adalah persoalan strategi adaptif
yang diwariskan kepada kita oleh seleksi alam.
Profesor psikologi di Yale, Paul Bloom
mencatat bahwa “Akan sangat bermanfaat bagi manusia untuk bekerja sama,
yang mana hal itu berarti akan menjadi cara manusia beradaptasi ketika
mengevaluasi kebaikan dan keburukan yang diterima dari sesamanya.” dalam
sebuah terobosan penelitian, ia dan timnya menemukan bahwa bayi dalam
tahun pertama hidup mereka menunjukkan aspek rasa bawaan benar dan
salah, baik dan buruk, bahkan adil dan tidak adil. Ketika ditunjukkan
boneka mendaki gunung, baik dibantu atau dihalangi oleh boneka kedua,
maka bayi-bayi akan berorientasi pada boneka yang membantu. Mereka mampu
membuat penilaian evaluatif sosial, dalam arti respon moral.
Michael Tomasello, seorang psikolog
perkembangan yang ikut mengembangkan studi Antropologi Evolusioner di
Institut Max Planck, Leipzig, Jerman, juga melakukan pekerjaan yang
berkaitan dengan moralitas dan anak pada usia sangat muda. Ia dan
rekan-rekannya telah menghasilkan banyak penelitian yang menunjukkan
kemampuan altruisme anak sedari dini. Dia berpendapat bahwa kita lahir
secara alamiah adalah altruis yang kemudian harus mempelajari
kepentingan pribadi yang strategis.
Selain adaptasi psikologis dan mekanis,
para ilmuwan telah menemukan penjelasan neurologis untuk hal-hal yang
sering ditafsirkan sebagai bukti keberadaan ilahi. Psikolog Kanada,
Michael Persinger, yang mengembangkan apa yang disebutnya “helm Tuhan”
yang menghalangi penglihatan dan suara tapi merangsang lobus temporal
otak, mencatat bahwa banyak subjek penelitian helm-nya melaporkan rasa
kehadiran “yang lain.” Tergantung pada riwayat pribadi dan budaya
mereka, yang kemudian dalam menafsirkan kehadiran tersebut dirasakan
sebagai sosok supranatural atau figur agama. Bisa dibayangkan bahwa
konversi dramatis St. Paulus di jalan menuju Damaskus adalah, dalam
kenyataannya, disebabkan oleh kejang akibat terkena epilepsi lobus
temporal.
Semakin baik kita memahami psikologi
manusia dan neurologi, semakin kita akan mengungkap dasar-dasar agama.
Beberapa dari mereka, seperti sistem kelekatan/ketergantungan, mendorong
kita menuju kepercayaan pada Tuhan dan sulit menolak hal tersebut,
meski itu mungkin terjadi.
Kita bisa menjadi lebih baik sebagai
spesies jika kita mengakui agama sebagai konstruksi buatan manusia. Kita
berutang kepada diri kita sendiri untuk setidaknya mempertimbangkan
akar/asal muasal yang nyata atas keyakinan agama, sehingga kita dapat
menghadapi kehidupan ini sebagaimana adanya, yang mungkin jika kita
ingin mengambil keuntungan dari proses adaptasi, maka bisa kemampuan
adaptasi dari pikiran kita, yaitu untuk menggunakan akal.
No comments:
Post a Comment