Diterjemahkan oleh Tim TACU
Werner Heisenberg (1901-1976) lahir di
Würzberg, Jerman, dan menerima gelar doktor dalam fisika teoritis dari
University of Munich. Ia menjadi terkenal karena terobosannya, yakni
Prinsip Ketidakpastian dan penerima Penghargaan Nobel dalam Fisika di
tahun 1932. Setelah Perang Dunia II, ia diangkat sebagai direktur Max
Planck Institute untuk Fisika dan Astrofisika.
-------------------
Suatu malam selama Konferensi Solvay,
beberapa anggota muda tetap tinggal di lounge hotel. Yang termasuk
kelompok ini ialah Wolfgang Pauli dan saya sendiri, dan tak lama
kemudian bergabung Paul Dirac. Salah satu dari kami berkata: “Einstein
terus berbicara tentang Tuhan, apa yang bisa kita perbuat dengan itu?
Hal ini sangat sulit untuk membayangkan bahwa seorang ilmuwan seperti
Einstein harus memiliki ikatan yang kuat, seperti dengan tradisi
keagamaan”.
“Tidak begitu banyak bagi Einstein
dibandingkan Max Planck,” keberatan seseorang. “Dari beberapa ucapan
Planck akan terlihat bahwa ia tidak melihat adanya kontradiksi antara
agama dan sains, memang bahwa ia percaya keduanya sangat kompatibel.”
Saya ditanya tentang apa yang saya tahu mengenai pandangan Planck atas subjek tersebut, dan apa yang saya pikirkan tentang itu bahwa saya berbicara kepada Planck hanya pada beberapa kesempatan, terutama tentang fisika dan bukan tentang pertanyaan umum, tapi saya berkenalan dengan beberapa teman dekat Planck, yang mengatakan kepada saya banyak tentang sikapnya.
“Saya berasumsi,” jawab saya, “bahwa
Planck menganggap agama dan sains kompatibel karena dalam pandangannya,
keduanya mengacu pada aspek yang sangat berbeda dari realitas yang
dihadapi. Sains berhadapan dengan objektifitas dan dunia material. Hal
ini tentu saja mengajak kita untuk membuat pernyataan yang akurat
tentang realitas objektif dan memahami interkoneksi. Agama, di sisi
lain, berkaitan dengan dunia nilai. Ia memerintahkan apa yang seharusnya
atau apa yang harus kita lakukan (What ought to be or what to do), bukan mengenai apakah sesuatu itu (what is).
Dalam sains kita memperhatikan betul dalam menemukan apa yang benar
atau salah, sedangkan dalam agama bahasanya berubah menjadi apa yang
baik, dan apa yang jahat, mulia atau biasa saja. Sains adalah dasar dari
teknologi, agama dasar etika. Singkatnya, konflik antara keduanya, yang
telah berkecamuk sejak abad kedelapan belas, tampaknya didirikan pada
landasan kesalahpahaman, atau lebih tepatnya, pada kebingungan gambar
dan perumpamaan agama dengan pernyataan ilmiah. Sangat disayangkan,
hasilnya tidak masuk akal sama sekali. Pandangan ini, yang saya kenal
dengan baik dari orang tua saya, menghormati adanya dua alam dengan
aspek obyektif dan subyektif dari dunia masing-masing. Sains adalah
sikap di mana kita berkonfrontasi, berargumen, tentang sisi objektif
realitas. Sedangkan Iman dalam keberagamaan adalah ekspresi keputusan
subjektif yang membantu kita memilih standar yang mana kita dianjurkan
untuk bertindak dan hidup. Memang, kita umumnya membuat keputusan sesuai
dengan sikap dari kelompok yang kita miliki, baik itu keluarga, bangsa,
atau budaya. keputusan kita sangat dipengaruhi oleh faktor pendidikan
dan lingkungan, tetapi pada akhirnya keputusan itu bersifat subjektif
dan karenanya tidak diatur oleh kriteria benar atau salah. Max Planck,
bila Saya memahaminya dengan benar, telah menggunakan kebebasan ini dan
hadir tepat di sisi tradisi Kristen, baik pikiran dan tindakannya,
terutama karena kerangka tradisi ini telah mempengaruhi hubungan
pribadinya secara sesuai, dan tak seorang pun akan menghormatinya kurang
daripada itu. Oleh karena itu, dua alam—yang objektif dan subjektif
dari dunia—meskipun terpisah, tapi saya harus mengakui bahwa saya
sendiri tidak merasa sama sekali senang dengan pemisahan ini. Saya ragu
apakah masyarakat manusia dapat hidup dengan begitu tajam perbedaan
antara sains dan iman.”
Wolfgang berbagi keprihatinan saya. “Ini
semua pasti berakhir dengan air mata,” katanya. “Pada masa awal agama,
semua pengetahuan tentang komunitas tertentu musti disesuaikan ke dalam
kerangka spiritual, sebagian besar didasarkan pada nilai-nilai dan
ide-ide keagamaan. Kerangka spiritual itu sendiri harus berada dalam
jangkauan dari anggota masyarakat yang paling sederhana. Bahkan, aneka
perumpamaan dan gambar disampaikan tidak lebih dari tanda-tanda samar
untuk nilai-nilai yang mendasari ide-ide mereka. Tetapi jika seseorang
ingin hidup dengan nilai-nilai itu, maka ia harus diyakinkan bahwa
kerangka spiritual telah mencakup seluruh kebijaksanaan yang ada di
masyarakatnya. Untuknya, “kepercayaan” bukanlah sesuatu yang datang dari
sononya (taking for granted), melainkan nilai-nilai yang
sudah diterima oleh masyarakat dan harus ia yakini sebagai petunjuk.
Itulah sebabnya masyarakat berada dalam keadaan bahaya setiap kali
pengetahuan baru datang mengancam untuk meledakkan bentuk-bentuk
spiritual lama. Pemisahan antara sains dan iman bisa menjadi tolak ukur
tertentu yang menggugah kesadaran kita. Dalam budaya Barat, misalnya,
kita mungkin mencapai titik dalam waktu yang tidak terlalu jauh di mana
perumpamaan dan gambar dari agama-agama lama akan kehilangan kekuatan
persuasif mereka. Bahkan, untuk orang awam. Ketika itu terjadi, saya
takut bahwa semua etika lama akan runtuh seperti rumah kartu dan bahwa
kengerian yang tak terbayangkan akan dilakukan. Singkatnya, saya tidak
bisa benar-benar mendukung filosofi Planck. Bahkan, jika hal itu logis
dan terbukti valid, meskipun saya menghormati sikap manusia yang
menyebabkan hal itu bisa terjadi. Saya lebih sepakat konsepsi Einstein.
Tuhannya, entah bagaimana sangat terlibat dalam hukum alam yang tak
berubah. Einstein memiliki perasaan tentang pusat tatanan akan segala
hal. Ia dapat mendeteksi kesederhanaan hukum alam. Kita mungkin
menganggap bahwa ia merasa kesederhanaan ini sangat kuat dan selama
penemuan teori relativitas berlangsung. Memang, ini adalah jauh dari
muatan agama. Saya tidak percaya Einstein terikat pada tradisi keagamaan
dan saya pikir gagasan tentang jati diri Tuhan personal sepenuhnya
asing baginya. Tapi sejauh ia (Einstein) tidak mengkhawatirkan adanya
perpecahan antara sains dan agama; Pusat tatanan merupakan bagian dari
subjektif serta ranah objektif, dan hal ini memberikan saya titik awal
yang lebih baik.”
“Sebuah titik awal untuk apa?” tanyaku.
“Jika Anda menganggap sikap manusia terhadap tatanan pusat semata-mata
urusan pribadi, maka Anda boleh setuju dengan pandangan Einstein, tapi
kemudian Anda juga harus mengakui bahwa tidak ada sama sekali yang
mengikuti pandangan ini.”
“Mungkin tidak,” jawab Wolfgang.
“Perkembangan ilmu pengetahuan selama dua abad terakhir telah pasti
mengubah pikiran manusia. Bahkan, di luar Kristen Barat. Oleh karena
itu, penting sedikit apa yang fisikawan pikir, dan itu justru ide
tentang dunia objektif yang berjalan dalam ruang dan waktu sesuai dengan
hukum kausal yang ketat yang menghasilkan bentrokan tajam antara sains
dan formulasi spiritual dari berbagai agama. Jika sains melampaui
pandangan ketat itu—dan memang benar telah terjadi dengan adanya teori
relativitas dan kemungkinan untuk pergi lebih jauh lagi dengan adanya
teori kuantum—maka hubungan antara sains dan muatan agama yang terus
diekspresikan, suatu waktu harus berubah sekali lagi. Mungkin sains,
dengan mengungkapkan adanya hubungan baru selama tiga puluh tahun
terakhir, telah memberikan kita pikiran yang jauh lebih mendalam. Konsep
saling melengkapi, misalnya, yang Niels Bohr anggap sangat penting
untuk menginterpretasi teori kuantum, itupun tidak berarti tidak
diketahui para filsuf, bahkan jika mereka tidak mengungkapkan begitu
singkat. Namun, sisi eksakta sains telah menentukan perubahan; gagasan
tentang objek-objek material yang benar-benar independen dari cara di
mana kita mengamati mereka terbukti bukanlah sesuatu selain hanya
ekstrapolasi (perluasan data di luar data yg tersedia, tetapi tetap
mengikuti pola kecenderungan data yg tersedia itu) abstrak, sesuatu yang
tidak memiliki bandingannya secara alamiah. Dalam filsafat Asia dan
agama-agama Timur kita menemukan ide pelengkap yang murni berasal dari
subjek pengetahuan, yang tidak mengkonfrontasikan objek apapun. Ide ini
juga akan membuktikan ekstrapolasi abstrak, yang tidak menyesuaikan
dengan realitas spiritual atau mental. Jika kita berpikir tentang
konteks yang lebih luas, mungkin di masa depan kita akan dipaksa untuk
berada di jalur tengah antara kutub-kutub ekstrim ini, mungkin salah
satu yang dipetakan oleh konsep pelengkapnya Bohr. Sains yang selalu
menyesuaikan diri dengan bentuk pemikiran tidak hanya akan lebih toleran
terhadap berbagai bentuk agama, namun, memiliki pandangan yang lebih
luas keseluruhan, juga dapat berkontribusi pada keragaman nilai.”
Pada saat bersamaan Paul Dirac telah
bergabung bersama kami. Dia (Paul Dirac) baru saja memasuki usia dua
puluh lima tahun, dan memiliki sedikit waktu untuk toleransi. “Saya
tidak tahu mengapa kita berbicara tentang agama,” dia keberatan. “Jika
kita jujur—dan ilmuwan memang harus begitu—kita harus mengakui bahwa
agama merupakan campur aduk dari pernyataan palsu, tanpa dasar dalam
kenyataan. Gagasan tentang Tuhan merupakan produk imajinasi manusia. Hal
ini cukup dimengerti mengapa orang primitif, yang lebih banyak terkena
kekuatan alam daripada kita saat ini, mempersonifikasi kekuatan-kekuatan
itu dalam gemetar ketakutan mereka. Tapi saat ini, ketika kita memahami
proses alam begitu banyak, kita tidak memiliki kebutuhan untuk solusi
tersebut. Saya tidak bisa melihat bagaimana dalil ketuhanan membantu
kehidupan kita dengan cara apapun. Yang saya lihat adalah bahwa asumsi
ini mengarah ke pertanyaan-pertanyaan yang tidak produktif seperti
mengapa Tuhan membiarkan begitu banyak kesengsaraan dan ketidakadilan,
eksploitasi orang miskin oleh kaya dan semua kengerian lainnya yang bisa
dicegah olehNya. Jika agama masih diajarkan, itu tidak berarti karena
ide-ide yang masih meyakinkan kita, tetapi hanya karena sebagian dari
kita ingin menjaga kelas bawah tenang. Dengan ketenangan orang lebih
mudah untuk diatur daripada gemuruh ketidakpuasan. Mereka juga lebih
mudah untuk dieksploitasi. Agama adalah semacam opium yang memungkinkan
bangsa membuai diri menjadi mimpi, angan dan lupa akan ketidakadilan
yang sedang dilakukan terhadap rakyat. Oleh karena itu, keduanya
merupakan aliansi erat antara dua kekuatan politik yang besar, Negara
dan Gereja. Keduanya membutuhkan ilusi bahwa Tuhan baik hati memberikan
ganjaran—di surga nanti jika tidak di bumi—bagi semua orang yang tidak
bangkit melawan ketidakadilan, yang telah melakukan tugasnya dengan
tenang dan tanpa mengeluh. Justru inilah alasannya mengapa pernyataan
jujur bahwa Tuhan adalah produk dari imajinasi manusia dicap sebagai
yang terburuk dari semua dosa berat.”
“Anda hanya menilai agama dari sisi
penyalahgunaan institusi politiknya,” saya keberatan, “dan karena
kebanyakan hal di dunia ini dapat disalahgunakan—bahkan ideologi komunis
yang baru saja Anda kemukakan—semua penilaian tersebut tidak dapat
diterima. Setelah semua itu, akan selalu ada masyarakat manusia, dan
mereka harus menemukan bahasa yang sama di mana mereka dapat berbicara
tentang kehidupan dan kematian, dan tentang konteks yang lebih luas di
mana hidup mereka ditetapkan. Bentuk spiritual yang telah dikembangkan
secara historis muncul untuk mencari bahasa yang umum harus memiliki
kekuatan persuasif yang besar—sehingga banyak orang telah hidup dengan
semua itu selama berabad-abad Agama tidak bisa diberhentikan dengan
begitu mudahnya? Tapi mungkin Anda tertarik ke agama lain, seperti China
kuno, di mana tidak ada ide tentang Tuhan yang personal?”
“Pada prinsipnya saya tidak suka mitos
agama,” jawab Dirac, “Jika hanya karena mitos dari berbagai agama
bertentangan satu sama lain, itu semua murni kebetulan bahwa saya lahir
di Eropa dan bukan di Asia. Dan yang pasti tidak ada kriteria untuk
menilai apa yang benar atau apa saya harus percaya dan saya hanya bisa
percaya apa yang benar. Adapun sebagai tindakan yang benar, saya dapat
menyimpulkan hal itu dengan alasan deduktif dari situasi di mana saya
berada: saya hidup dalam masyarakat dengan orang lain, kepada siapa,
pada prinsipnya, saya harus memberikan hak yang sama yang saya klaim
untuk diri saya sendiri. Saya hanya mencoba untuk memberikan
keseimbangan yang adil, tidak ada lagi yang bisa diminta dari saya.
Semua ini berbicara tentang kehendak Tuhan, tentang dosa dan pertobatan,
tentang melampaui dunia yang mana hidup kita harus diarahkan dan hanya
berfungsi untuk menyamarkan kebenaran. Percaya kepada Tuhan nyatanya
mendorong kita untuk berpikir bahwa Tuhan menghendaki kita untuk tunduk
kepada kekuatan yang lebih tinggi, dan itu adalah ide yang membantu
untuk melestarikan struktur sosial yang mungkin sangat berguna di hari
mereka tetapi tidak lagi cocok dengan dunia modern. Semua pembicaraan
Anda tentang konteks yang lebih luas dan sejenisnya membuat saya tak
bisa menerimanya. Hidup, ketika semua dikatakan dan dilakukan, seperti
halnya sains: kita melawan segala kesulitan dan harus menyelesaikannya
Dan kita tidak pernah dapat memecahkan lebih dari satu kesulitan pada
suatu waktu, konteks lebih luas Anda hanyalah suprastruktur mental yang
menambahkan sebuah aposteriori (pengetahuan yang didapat setelah
pengalaman).”
Dan demikianlah diskusi berlangsung, kami
semua terkejut melihat bahwa Wolfgang terus bergeming diam. Dia akan
menarik wajah panjang atau tersenyum menyeringai dari waktu ke waktu,
tapi ia tak mengatakan apa-apa. Pada akhirnya, kita harus meminta dia
untuk mengungkapkan pikirannya. Dia tampak sedikit terkejut dan kemudian
berkata: “Baiklah, teman kita Dirac, juga memiliki agama yang pada
prinsipnya adalah: Tidak ada Tuhan dan Dirac adalah Nabi-Nya.” kami
semua tertawa, termasuk Dirac dan ini membawa malam kami di lounge hotel
terhenti.
Beberapa waktu kemudian, mungkin di
Kopenhagen, saya mengatakan kepada Niels tentang percakapan kami. Dia
segera mempertahankan argumen anggota termuda dari lingkaran kami. “Saya
menganggap itu luar biasa,” katanya, “bahwa Paul Dirac begitu tak kenal
kompromi dalam pembelaannya dari semua yang dapat dinyatakan dalam
bahasa yang jelas dan logis. Ia percaya bahwa apa yang dapat dikatakan
sama sekali dapat dikatakan dengan jelas—atau seperti Wittgenstein
katakan tentang siapapun yang tak dapat membicarakan sesuatu, seharusnya
orang itu diam dari membicarakanya. Setiap kali Dirac mengirimkan saya
sebuah naskah, tulisannya begitu rapi dan bebas dari koreksi sehingga
melihatnya merupakan kenikmatan estetis. Jika saya sarankan beberapa
perubahan kecil, Paul menjadi sangat tidak bahagia dan umumnya tidak ada
perubahan sama sekali. Karyanya adalah, dalam setiap kasus, cukup
cemerlang. Baru-baru ini kami berdua pergi ke pameran yang di dalamnya
terdapat pemandangan laut biru abu-abu buah karya Manet. Latar depannya
adalah sebuah perahu, dan di samping itu, di dalam air, tempat abu-abu
gelap, yang artinya tidak cukup jelas. Dirac berkata, ‘Titik ini tidak
dapat diterima.’ sebuah cara yang aneh melihat seni, tapi ia mungkin
cukup tepat. Dalam sebuah karya seni yang baik, seperti di bagian yang
baik dari karya ilmiah, setiap detail harus ditetapkan cukup tegas,
tidak ada ruang untuk hal yang bersifat semata kecelakaan.
“Namun, agama lebih merupakan hal yang
berbeda. Saya merasa sedikit banyak mirip Dirac: Gagasan tentang Tuhan
personal adalah asing bagi saya. Tapi kita harus ingat bahwa agama
menggunakan bahasa cukup dalam dengan cara yang berbeda dari ilmu
pengetahuan. Bahasa agama adalah lebih erat terkait dengan bahasa puisi
daripada bahasa ilmu pengetahuan. Benar, kita cenderung berpikir bahwa
ilmu pengetahuan berhubungan dengan informasi tentang fakta-fakta
objektif dan puisi dengan perasaan subjektif. Oleh karena itu, kita
menyimpulkan bahwa jika agama memang berurusan dengan kebenaran
objektif, maka haruslah mengadopsi kriteria yang sama dengan kebenaran
yang diterapkan dalam sains. Tapi saya sendiri menganggap pembagian
dunia menjadi sisi objektif dan subjektif terlalu sewenang-wenang. Fakta
bahwa agama-agama selama berabad-abad telah berbicara dalam gambar,
perumpamaan, dan paradoks berarti bahwa tidak ada cara lain untuk
menangkap realitas yang mereka lihat. Tapi itu tidak berarti bukanlah
sebuah realitas yang sejati. Dan dengan membelah kenyataan ini menjadi
sisi objektif dan sisi subjektif tidak akan membawa kita terlalu jauh.
“Itulah sebabnya saya memperhatikan
perkembangan-perkembangan itu dalam fisika selama dekade terakhir, yang
telah menunjukkan bagaimana sangat problematisnya konsep-konsep seperti
objektif dan subjektif, sebagai kebebasan berpikir. Semuanya dimulai
dengan teori relativitas. Di masa lalu, pernyataan adanya dua peristiwa
yang simultan dianggap sebagai pernyataan objektif, yang bisa
dikomunikasikan cukup sederhana dan itu terbuka untuk verifikasi oleh
siapapun. Hari ini kita tahu bahwa ‘simultanitas’ mengandung unsur
subjektif karena dua peristiwa yang muncul simultan untuk seorang
pengamat yang diam tidak selalu simultan untuk seorang pengamat yang
bergerak. Namun, deskripsi relativistik juga objektif karena setiap
pengamat dapat menyimpulkan dengan perhitungan yang mana oleh pengamat
lain akan dimengerti atau telah diketahui. Untuk semua itu, kita
berangkat dari gagasan ideal klasik mengenai deskripsi objektif.
“Dalam mekanika kuantum keberangkatan
dari idealitas ini bahkan lebih radikal. Kita masih bisa menggunakan
bahasa objektif fisika klasik untuk membuat pernyataan tentang
fakta-fakta yang dapat diamati. Misalnya, kita dapat mengatakan bahwa
piring fotografi telah menghitam, atau bahwa tetesan awan telah
terbentuk. Tapi kita tak dapat mengatakan apa-apa tentang atom itu
sendiri. Dan atas dasar apa kita memprediksikan temuan tersebut
tergantung pada cara kita mengajukan pertanyaan eksperimental, dan di
sini pengamat memiliki kebebasan untuk memilih. Tentu, masih ada bedanya
apakah pengamat adalah seorang pria, binatang, atau aparat, tetapi
tidak mungkin untuk membuat prediksi tanpa mengacu kepada pengamat atau
sarana pengamatan. Sejauh itu, setiap proses fisik dapat dikatakan
memiliki fitur objektif dan subjektif. Dunia objektifitas saintifik pada
abad kesembilan belas, seperti yang kita kenal sekarang, berpijak pada
idealitas, kasuistik, tetapi bukanlah keseluruhan realitas. Memang,
bahkan dalam pertemuan kita di masa depan terhadap realitas, kita masih
harus membedakan antara sisi objektif dan subjektif, untuk membuat
pembagian antara keduanya. Tapi titik pemisahannya mungkin tergantung
pada cara pandang; sampai batas tertentu dapat dipilih sesuka hati.
Karena itu, saya cukup bisa mengerti mengapa kita tidak dapat berbicara
tentang konten agama dalam bahasa objektif. Fakta bahwa agama-agama yang
berbeda mencoba untuk mengungkapkan konten ini dalam bentuk spiritual
yang berbeda bukanlah suatu bantahan. Mungkin kita harus melihat pada
bentuk-bentuk yang berbeda sebagai deskripsi komplementer, meskipun
mereka mengecualikan satu sama lain, yang diperlukan untuk menyampaikan
kemungkinan-kemungkinan yang mengalir dalam hubungan antar manusia
dengan pusat tatanan.”
“Jika Anda membedakan begitu tajam antara
bahasa agama, ilmu pengetahuan dan seni,” tanya saya, “apakah
pengertian yang Anda lampirkan pada semacam pernyataan apodiktis seperti
‘Ada Tuhan yang hidup’ atau ‘Ada jiwa yang abadi’? Apa makna ‘ada’
dalam jenis bahasa ini? Sains, seperti Dirac, membantah
formulasi-formulasi tersebut. Biarkan saya menggambarkan sisi
epistemologis permasalahan ini dengan cara analogi berikut:
“Pakar Matematika, seperti semua orang tahu, bekerja sama dengan unit imajiner, akar kuadrat dari -1, disebut i. Kita tahu bahwa i tidak
ada di antara angka-angka. Namun demikian, cabang penting dari
matematika, misalnya teori fungsi analitis, didasarkan pada unit
imajiner ini, yaitu, pada kenyataan bahwa -1 adalah ada. Apakah Anda
setuju bahwa pernyataan ‘Ada -1’ berarti tidak lain ‘Ada hubungan
matematis penting yang paling sederhana diwakili oleh pengenalan konsep
-1? Bahkan, walau tanpa itu hubungan ini akan tetap ada. Itulah mengapa
jenis matematika ini sangat berguna dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi. Apa yang menentukan, misalnya, dalam teori fungsi, adalah
eksistensi seberapa penting hukum matematika yang mengatur perilaku
berpasang-pasangan dari variabel yang berkelanjutan. Hubungan ini akan
lebih komprehensif dipahami dengan pengenalan konsep abstrak -1,
meskipun konsep tersebut pada dasarnya tidak diperlukan bagi pemahaman
kita, dan meskipun tidak memiliki keterkaitan di antara bilangan
angka-angka.
Sebuah konsep yang abstrak yang sama
adalah ketakterhinggaan, yang juga memainkan peran sangat penting dalam
matematika modern. Ini juga, tidak ada korelasinya, dan terlebih lagi
menimbulkan masalah serius. Singkatnya, matematika memperkenalkan tahap
yang lebih tinggi dari abstraksi yang membantu kita mencapai pemahaman
yang koheren tentang alam secara lebih luas. Untuk kembali ke pertanyaan
awal, apakah benar untuk memandang agama ‘ada’ hanya sebagai upaya
lainnya, meskipun berbeda, untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi
dari abstraksi? Sebuah usaha untuk memfasilitasi pemahaman kita mengenai
koneksi universal? Koneksi itu sendiri cukup nyata, tidak peduli bentuk
rohani seperti apa yang kita upayakan untuk menempatkan mereka.”
“Sehubungan dengan sisi epistemologis
permasalahan ini, perbandingan Anda dapat dilewati,” jawab Bohr. “Tapi
dalam hal lain itu cukup memadai. Dalam matematika kita dapat mengambil
jarak antara batin kita dengan isi pernyataan kita. Pada Akhirnya,
analisis matematika adalah permainan mental yang bisa kita mainkan atau
tidak sebagaimana yang kita pilih. Agama, di sisi lain, berhubungan
dengan diri kita sendiri, dengan hidup dan kematian kita; janji-janji
agama dimaksudkan untuk mengatur tindakan kita dan dengan demikian,
setidaknya secara tidak langsung, ditujukan bagi eksistensi kita. Kita
tidak bisa hanya melihat agama tanpa ekspresi dari luar. Selain itu,
sikap kita terhadap pertanyaan agama tidak bisa dipisahkan dari sikap
kita kepada masyarakat. Bahkan, jika agama muncul sebagai struktur
spiritual masyarakat tertentu, dapat dikatakan agama tetap menjadi
kekuatan terkuat pembentuk masyarakat melalui sejarah, atau apakah
masyarakat terbentuk dan mengembangkan struktur rohani yang baru serta
menyesuaikan mereka ke tingkat tertentu yang dianggap sebagai
pengetahuan. Saat ini, tiap individu tampaknya dapat memilih kerangka
spiritual atas pikiran dan tindakan mereka dengan cukup bebas, dan
kebebasan ini mencerminkan fakta bahwa batas-batas antara berbagai
budaya dan masyarakat mulai menjadi lebih cair. Bahkan, ketika seseorang
mencoba untuk mencapai tingkat terbesar dari kekebabasan, ia masih akan
terpengaruh oleh struktur spiritual yang ada—sadar atau tidak sadar.
Karena itu, ia juga harus mampu berbicara tentang kehidupan dan kematian
serta kondisi manusia kepada anggota lain dalam masyarakat di mana dia
memilih untuk hidup. Ia harus mendidik anak-anaknya sesuai dengan
norma-norma masyarakat itu, yang masuk ke dalam hidupnya. Cara berpikir
yang sesat secara epistemologis tidak mungkin membantunya mencapai
tujuan ini. Di sini, hubungan antara pemikiran kritis tentang muatan
spiritual dari agama tertentu dan tindakan berdasarkan penerimaan
terhadap konten tersebut secara sengaja juga bersifat komplementer. Dan
penerimaan tersebut, jika datang dengan kesadaran, mengisi individu
dengan kekuatan akan tujuan, membantunya mengatasi keraguan dan, jika ia
harus menderita, memberikannya dengan sejenis pelipur lara yang dapat
memberikan perlindungan di bawahnya. Dalam hal ini, agama membantu untuk
membuat kehidupan sosial yang lebih harmonis; tugas yang paling penting
adalah untuk mengingatkan kita, dalam bahasa gambar dan perumpamaan,
dari kerangka yang lebih luas di mana kehidupan kita dipersiapkan.”
“Anda terus mengacu pada pilihan bebas
individu,” kata saya, “dan Anda membandingkannya dengan kebebasan di
mana fisikawan dapat mengatur percobaan atomik dengan cara begini, atau
begitu. Sekarang ini fisikawan klasik tidak memiliki kebebasan seperti
itu. Apakah itu berarti bahwa fitur khusus dari fisika modern memiliki
ganjalan langsung terhadap masalah kebebasan kehendak? Seperti yang Anda
tahu, fakta bahwa proses atom tidak dapat sepenuhnya dideterminasi
sering digunakan sebagai argumen yang mendukung kehendak bebas dan
campur tangan ilahi?”
“Saya yakin bahwa seluruh penyikapan ini
didasarkan pada kesalahpahaman yang sederhana, atau lebih tepatnya pada
kebingungan pertanyaan, yang, sejauh yang saya bisa lihat, menimpa pada
cara-cara komplementer yang berbeda ketika melihat segala sesuatunya.
Jika kita berbicara tentang kehendak bebas, kita merujuk pada situasi di
mana kita harus membuat keputusan. Situasi ini, di mana situasi satunya
kita menganalisis motif dari tindakan kita, atau satunya lagi ketika
kita mempelajari proses fisiologis, misalnya proses elektrokimia dalam
otak kita, mempunyai hubungan yang saling eksklusif. Dengan kata lain,
mereka saling melengkapi, sehingga pertanyaan apakah hukum alam
menentukan peristiwa sepenuhnya atau hanya statistik tidak berpengaruh
langsung terhadap pertanyaan akan kehendak bebas. Alamiahnya, cara kita
yang berbeda dalam melihat segala hal harus saling menyesuaikan dalam
jangka panjang, yaitu, kita harus mampu mengenali mereka sebagai bagian
yang tidak kontradiksi dari realitas yang sama, meskipun kita belum bisa
mengatakan bagaimananya secara tepat. Ketika kita berbicara tentang
campur tangan ilahi, kita cukup jelas tidak mengacu pada penentuan
ilmiah dari suatu peristiwa, tetapi berdasarkan pada hubungan yang
bermakna antara peristiwa dan orang lain atau pemikiran manusia.
Sekarang ini koneksi intelektual menjadi bagian dari realitas sebagai
kausalitas ilmiah, itu akan menjadi penyederhanaan yang terlalu kasar
jika kita menganggapnya secara eksklusif sebagai sisi subjektif dari
realitas. Sekali lagi kita bisa belajar dari situasi analogis dalam
sains secara alamiah. Ada hubungan-hubungan biologis yang sudah
diketahui yang tidak kita gambarkan secara kausalitas, melainkan secara
finalistik, yaitu, menghormati tujuan akhir mereka. Kita hanya
memikirkan proses penyembuhan pada suatu organisme yang terluka.
Interpretasi finalistik memiliki hubungan khas yang melengkapi suatu
hubungan berdasarkan psiko-kimia, atau hukum atom, yaitu dalam kasus
yang mana kita tanyakan apakah prosesnya mengarah ke tujuan yang
diinginkan, pemulihan kondisi normal dalam organisme; dalam kasus lain
kita menanyakan tentang rantai kausal yang menentukan proses molekuler.
Kedua deskripsi satu sama lain saling eksklusif, tetapi belum tentu
bertentangan. Kita memiliki alasan yang baik untuk mengasumsikan bahwa
hukum mekanika kuantum dapat dibuktikan keberlakuannya dalam organisme
hidup seperti mereka berlaku pula pada benda mati. Untuk semua itu,
deskripsi finalistik sama validnya. Saya percaya bahwa jika perkembangan
fisika atom telah mengajarkan kita apa saja, maka kita harus belajar
untuk berpikir lebih halus daripada di masa lalu.”
“Kita selalu kembali ke sisi
epistemologis agama,” saya keberatan. “Tapi serangan Dirac terhadap
agama ditujukan terutama di sisi etis Dirac tidak sepakat terutama dari
ketidakjujuran dan penipuan diri yang terlalu sering digabungkan dengan
pemikiran keagamaan. Dalam kebenciannya ia telah menjadi pendukung
fanatik rasionalisme, dan saya memiliki perasaan bahwa rasionalisme
tidaklah cukup.”
“Saya pikir Dirac melakukannya dengan
baik,” kata Niels, “untuk memperingatkan Anda begitu kuatnya bahaya
penipuan diri sendiri dan kontradiksi yang terdapat di dalam diri, tapi
Wolfgang sama benarnya ketika ia bercanda bahwa Dirac kesulitan menarik
perhatian yang luar biasa untuk keluar dari bahaya ini seluruhnya.”
Niels menutup percakapan dengan salah satu cerita yang suka
diceritakannya pada acara-acara seperti: “Salah satu tetangga kami di
Tisvilde pernah memaku tapal kuda di atas pintu rumahnya. Ketika
berkenalan kami bertanya, ‘Apakah Anda benar-benar percaya takhayul
bahwa tapal kuda ini akan membawa Anda keberuntungan?’ dia menjawab,
‘Tentu saja tidak, tetapi mereka mengatakan bahwa benda itu akan sangat
membantu. Bahkan, jika Anda tidak percaya.”
From Physics and Beyond, By Werner Heisenberg, (Harper & Row, 1971). Republished in Physics And Philosophy: The Evolution Of Modern Science by Werner Heisenberg, (Harper Perrennial, 2007).
No comments:
Post a Comment