Stephen Hawking
Pertama yang harus diperhatikan disini
adalah, siapa sih Tuhan? Tanpa jelas apa itu Tuhan, maka kita
membicarakan sesuatu yang bisa saja berbeda. Sebagai contoh, Paijo
mengatakan kalau ia tinggal di Bandung. Temannya, Poniran, memprotes
karena ia tidak tinggal di Bandung. Tapi jelas Paijo benar karena yang
dimaksud Bandung oleh Paijo adalah rumah kapal di sungai Kapuas,
Kalimantan Barat. Di sana rumah kapal disebut Bandung. Poniran juga
benar, karena apa yang ia maksud adalah kota Bandung, Ibu kota Jawa
Barat. Tapi keduanya bertengkar karena semata berbeda pengertian dari
kata Bandung.
Begitu juga, Tuhan yang dibicarakan oleh
Hawking berbeda dengan Tuhan yang dibicarakan oleh pemuka agama Islam,
kristen, yahudi, dsb. Bagi Hawking, ia menyindir Tuhan yang dipakai
sebagai penjealasan atas fenomena alam. Baginya Tuhan hanyalah sebuah
alat penjelasan sementara. Anda tidak tahu petir, katakan itu amarah
Tuhan. Anda tidak tahu tsunami, katakan itu cobaan Tuhan. Tuhan disini adalah pengisi kekosongan sementara. Apa yang disebut orang sebagai God of the Gap.
Dan pernyataan Hawking adalah bahwa fisika sudah cukup maju sehingga
Tuhan tidak muat lagi untuk diselipkan dalam bolongan-bolongan dalam
kotak fenomena alam yang belum terjawab.
Di sisi lain, para pemuka agama, memiliki
perbedaan konsep mengenai Tuhan. Agama kristen, jelas punya Tuhan yang
berbeda dengan Agama Islam. Belum lagi Agama Yahudi dan agama lainnya
yang memiliki Tuhannya sendiri-sendiri. Bagi mereka, Tuhan bukanlah
alat, tapi tuhan adalah udara. Syarat utama untuk hidup, syarat untuk
bernapas.
Bila anda belum mengerti perbedaan antara
Tuhan yang dimaksud Hawking dengan Tuhan yang dimaksud para ulama, saya
bisa menawarkan analogi disket dan Komputer. Tuhan bagi Hawking adalah
disket. Buat apa disket lagi sekarang kalau kita sudah punya flash disk
atau hard disk eksternal atau CD Writer yang kapasitasnya jauh lebih
hebat. Lagian disket sering terjangkiti dengan virus. Sementara bagi
ulama, Tuhan adalah komputer. Tanpa komputer, orang tidak akan terpikir
menciptakan disket, flash disk atau hardisk eksternal.
Tapi ada kesamaan antara disket dan
komputer. Keduanya sama-sama alat elektronik. Sama halnya dengan
Tuhannya Hawking dan Tuhannya orang beragama, sama-sama dipandang
sebagai pencipta Alam Semesta.
Richard Dawkins
Sekarang, bayangkan di atmosfer kita ada
sebuah debu berwarna merah. Ada tak terhitung debu di atmosfer kita.
Sekarang bila kita tidak menemukan debu demikian, apakah itu berarti
debu tersebut tidak ada? Bisa saja kita kurang teliti mencarinya, bisa
saja kita hanya memakai sampel, bukannya populasi, untuk membuat
kesimpulan tersebut. Tapi bila memang seseorang entah bagaimana
berhasil menyapu bersih semua debu di atmosfer dan mengumpulkannya,
melihatnya satu-satu dan tidak menemukan debu berwarna merah. Ini adalah
bukti nyata kalau debu tersebut tidak ada.
Ini kembali ke pernyataan di awal
paragraf : Bayangkan ada debu berwarna merah di atmosfer. Ini
kontradiktif dengan kalimat terakhir yang mengatakan debu tersebut tidak
ada. Bagi ilmuan, kalimat pertama di atas adalah sebuah hipotesis.
Sebuah dugaan semata dan bisa dihapus oleh kalimat terakhir. Bagi orang
religius, kalimat pertama adalah fakta. Kalimat terakhir tidak dapat
diterima karena kontradiktif dengan kalimat pertama. Ini perbedaan
antara agama dan Sains.
Sekarang sains sedang berusaha menyapu
bersih semua debu di atmosfer. Sains memiliki sebuah tujuan, memahami
dunia kita. Di bidang fisika, sebagai ilmu yang mempelajari realitas,
maka ini berarti menemukan sebuah teori gabungan. Sebuah teori puncak.
Sebuah sapu bersih terhadap debu di atmosfer analogis kita. Bila sains
menemukan teori puncak ini apakah agama akan menerima seandainya sains
membuktikan tuhan tidak ada? Ataukah agama akan terus hidup dalam
penafsiran celah-celah kecil sekecil virus dalam teori segalanya?
Agama selama ini berusaha mendapatkan dukungan sains. Tentang terbelahnya laut merah, lapisan bumi, lapisan atmosfer, embriologi manusia, terbelahnya bulan,
dsb. Walaupun telah dibantah oleh sains kalau itu salah. Tetap saja
tafsiran-tafsiran baru bermunculan. Di sisi lain, sains masih banyak
punya misteri untuk dipecahkan. Dan disinilah agama menyusup. Bisakah
sains meramalkan kematian? Bisakah sains menjelaskan tentang ini,
tentang itu. Celah ini jelas semakin lama semakin sempit.
Dua milenium lalu sains tidak mampu
menjelaskan kenapa seseorang bisa sakit, sekarang berbagai jenis anti
virus serta segala jenis antibiotik mencegah kita terkena infeksi kuman.
Dua milenium lalu, agama menawarkan penjelasannya. Orang sakit karena
kutukan, karena dosa, karena durhaka, karena cobaan tuhan, dsb. Bahkan
sekarang masih ada orang yang mengatakan kalau gempa disebabkan dosa.
Demikianlah, agama seperti orang yang
tidak punya harapan lagi, dan mengambil remah-remah dari sains yang
semakin gemuk. Mereka mengambil sedikit ruangan kosong di halaman istana
sains yang megah. Saat sang tuan rumah keluar, penghuni halaman istana
ini menunjuk mengatakan kalau, hei lihat bajunya itu buatan kakek dari
kakek ku dari kakekku, atau hei, gorden istananya itu buatan sepupu jauh
saya.
Sains telah mengalahkan sebagian besar
pertanyaan yang dulunya coba dijawab oleh agama lewat dongeng dan fiksi.
Masih ada pertanyaan seperti darimana datangnya hukum fisika, apakah
kita hidup di satu alam semesta yang merupakan bagian dari sebuah multi
jagad, dsb.
Dengan perbedaan antara Tuhannya Hawking
dan Tuhannya Agama, tampak kalau titik temu tidak akan pernah tercapai.
Sebagai contoh, David Wilkinson, seorang ulama sekaligus astrofisikawan
mengatakan adanya tiga ruang kosong yang bisa menjadi celah adanya Tuhan
dalam pernyataan Hawking.
- Tujuan Alam Semesta. Sains bisa menemukan mekanismenya, tapi masih ada pertanyaan mengenai apa tujuannya.
- Dari mana datangnya hukum fisika. Sains mempelajari hukum namun tidak mempelajari darimana datangnya hukum itu.
- Kecerdasan di alam semesta. Albert Einstein pernah mengatakan bahwa yang paling tidak dapat dipahami dari alam semesta ini adalah karena ia dapat dipahami. Alam semesta begitu teratur, dan ini, menunjukkan ada kecerdasan yang mengaturnya.
Richard Dawkins, biologiwan besar,
mengatakan bahwa ketiga celah yang dikatakan David Wilkinson tidak perlu
ada. Berikut detail penjelasannya.
Tujuan Alam Semesta
Kenapa mesti Alam Semesta memiliki
tujuan? Apa tujuan dari gunung? Apa tujuan dari tsunami? Apa tujuan dari
wabah bubonik? Ini pertanyaan yang konyol. Begitu juga dengan alam
semesta. Banyak pertanyaan yang masuk akal. Seperti bagaimana cara
kerja sel syaraf? Apa nilai keberlangsungan hidup darwinian dari ekor
merak? Ada banyak sekali pertanyaan yang masuk akal, yang berusaha
dijawab sains selama ini. “Apa tujuan dari X?” hanya masuk akal jika ada
entitas bertujuan, seperti manusia, untuk memiliki tujuan tersebut.
Tsunami tidak memiliki tujuan. Pertanyaan “Apa tujuan dari X?” tidak
perlu dijawab secara ilmiah. Namun pertanyaan semacam ini memerlukan
keberadaan agen. Anda tidak dapat menerapkan pertanyaan ini pada gunung
atau badai, atau tsunami atau alam semesta. Bahkan seandainya benar alam
semesta memiliki tujuan, lalu apa tujuannya? Apakah agama dapat
menjawabnya? Akan ada banyak jawaban. Agama Islam menjawab tujuannya
Islam, kristen menjawab tujuannya kristen dan yahudi menjawab tujuannya
yahudi. Belum lagi agama lainnya.
Asal Hukum Fisika
Bahkan bila yang tersisa adalah
pertanyaan ini, ia tidak akan dijawab oleh keberadaan Tuhan, yang justru
memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Hal ini memang
seperti apa yang dilakukan ilmuan. Sebuah penelitian seringkali
memunculkan lebih banyak pertanyaan dari jawaban. Saat anda mengetahui
mengenai asal usul medan magnet, anda bertanya tentang bagaimana
mekanismenya di tingkat atom? Bagaimana keselarasan bisa tercipta antara
gerak atom dengan perwujudan makro? Walau begitu, sains menarik karena
memiliki banyak perangkat di dalamnya untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang muncul, berbeda dengan meletakkan Tuhan di
tengah jalan.
Keteraturan Alam Semesta
Seperti apa alam semesta yang tidak di
atur dengan cerdas? Kenapa alam semesta harus diatur dengan kecerdasan?
Disini Dawkins membuat asumsi kalau Tuhan memerlukan penjelasan, sama
alasannya dengan bagaimana anda menganggap alam semesta memerlukan
penjelasan. Tapi Hawking telah berusaha menjelaskan mengenai alam
semesta, tinggal siapa yang akan menjelaskan mengenai Tuhan. Apakah para
ilmuan ataukah agamawan. Tampaknya bila dilihat pada track recordnya,
maka ilmuanlah yang paling berhak.
Apa Manfaatnya Tuhan?
Hawking berpendapat kalau sains akan
menang terhadap agama karena sains memang berhasil menyelamatkan hidup
kita dari dulu. Tapi iman juga demikian, setidaknya bagi orang miskin
dan terbelakang. Hasil dari survey di situs ini: http://www.nytimes.com/2010/09/04/opinion/04blow.html?_r=3&ref=opinion
Ia menunjukkan kalau Indonesia adalah salah satu negara paling banyak
memiliki orang beriman, dan disisi lain, merupakan negara dengan jumlah
penduduk miskin yang besar. Bisa jadi agama yang membuat mereka miskin,
atau bisa jadi pula kemiskinan yang menjadikan mereka beragama.
Bagi orang yang merasa kemiskinan yang
menjadikan mereka beriman, mereka merasa mendapat sebuah perlindungan.
Saat sakit mereka berdoa dan merasa nyaman, sebuah gejala psikologis.
Terlepas dari apakah Tuhan ada ataukah tidak. Di negara yang kaya, saat
sakit seseorang tinggal berobat ke dokter dan sains akan menyembuhkannya
dengan mudah. Ia tidak perlu berdoa karena merasa yakin sains pasti
berhasil menyelamatkannya.
Itulah manfaat Tuhan selama ini. Ia menjadi pengisi celah psikologis, bukan lagi pengisi celah sains. Ia ber-evolusi
menuju sebuah posisi yang lebih sulit lagi dijamah sains, mungkin
dikarenakan kendala sumberdaya manusia, ekonomi maupun politik.
Tentang apakah sains membuktikan Tuhan
tidak ada, itu kembali pada setiap diri orang beriman. Seperti apa bukti
yang mereka inginkan agar sains dapat jelas dalam menunjukkan kalau
Tuhan tidak ada. Ia sesuatu yang sepenuhnya subjektif.
Sumber: FaktaIlmiah.com dan The God Debate
No comments:
Post a Comment