Oleh: Max Tegmark
(Sumber: Exclusive Online Issue Scientific American – Extreme Physics, hal. 26-37)
Bukan sekadar sains fiksi, [eksistensi] alam semesta lain merupakan implikasi langsung obesrvasi kosmologis
Apakah ada salinan diri Anda yang sedang membaca artikel ini? Seseorang yang bukan Anda tapi tinggal di planet bernama Bumi, dengan pegunungan berkabut, ladang subur, dan kota-kota terbentang, di sebuah tata surya bersama delapan planet lain? Kehidupan orang ini identik dengan Anda dalam segala hal. Tapi barangkali dia sekarang memutuskan untuk menaruh artikel ini tanpa menyelesaikannya, sedangkan Anda membaca terus.
Ide alter ego (diri kedua/tersembunyi) semacam itu terasa aneh dan tak masuk akal, tapi sepertinya kita harus menerimanya, sebab didukung oleh observasi astronomis. Model kosmologis paling sederhana dan populer hari ini memprediksi bahwa Anda mempunyai kembaran di sebuah galaksi yang berjarak sekitar 10 sampai 1028 meter dari sini. Jarak ini begitu besar sehingga tak terjangkau secara astronomis, tapi itu tidak membuat doppelgänger (bayangan kembar orang hidup—penj) Anda kurang riil. Estimasi ini diperoleh dari probabilitas dasar dan bahkan tidak mengambil fisika modern yang spekulatif, bahwa ruang berukuran tak terhingga (atau setidaknya cukup besar) dan dipenuhi materi secara hampir seragam, sebagaimana diindikasikan oleh observasi. Di ruang tak terhingga, peristiwa-peristiwa paling tak mungkin pun pasti terjadi di suatu tempat. Ada planet berpenghuni lain dalam jumlah tak terhingga, bukan cuma satu melainkan tak terhingga yang memiliki orang-orang dengan rupa, nama, dan ingatan yang sama dengan Anda, yang memainkan setiap kemungkinan permutasi pilihan hidup Anda.
Anda barangkali takkan pernah melihat diri lain Anda itu. Jarak terjauh yang bisa Anda amati adalah jarak yang mampu ditempuh cahaya selama 14 miliar tahun sejak perluasan big bang dimulai. Objek tampak (visible object) terjauh kini sekitar 4 x 1026 jauhnya—sebuah jarak yang menetapkan alam semesta teramati (observable universe) kita, juga disebut volume Hubble, volume horizon kita, atau sederhananya alam semesta kita. Demikian pula, alam semesta-alam semesta diri lain Anda adalah bola berukuran sama yang berpusat pada planet mereka. Alam semesta-alam semesta tersebut adalah contoh alam semesta paralel yang paling langsung. Tiap alam semesta merupakan bagian kecil saja dari “multiverse” besar.
Berdasarkan definisi “alam semesta” ini, seseorang mungkin menduga gagasan multiverse berada dalam domain metafisika. Tapi garis batas antara fisika dan metafisika ditetapkan oleh apakah sebuah teori dapat diuji secara eksperimen, bukan oleh apakah ia ganjil atau melibatkan entitas tak teramati. Batas fisika perlahan-lahan telah meluas hingga memasukkan konsep-konsep yang lebih abstrak lagi (dan dulu metafisikal) seperti Bumi bundar, medan elektromagnet tak tampak, perlambatan waktu pada kecepatan tinggi, superposisi quantum, ruang melengkung, dan black hole. Pada beberapa tahun belakangan, konsep multiverse telah bergabung ke dalam daftar ini. Ia memiliki landasan dalam teori-teori yang teruji dengan baik seperti relativitas dan mekanika quantum, dan ia memenuhi dua kriteria dasar sains empiris: membuat prediksi dan bisa disalahgambarkan. Ilmuwan telah membahas sebanyak empat tipe alam semesta paralel yang berbeda. Pertanyaan kuncinya bukan apakah multiverse eksis melainkan berapa banyak level yang dimilikinya.
Level I: Di Luar Horizon Kosmik Kita
Alam semesta paralel diri tersembunyi Anda menyusun multiverse Level I. Ini merupakan tipe yang paling kurang kontroversial. Kita semua mengakui eksistensi sesuatu yang tidak dapat kita lihat tapi terlihat jika kita pindah ke titik menguntungkan lain atau cukup menunggu, seperti orang-orang yang menunggu datangnya kapal di atas horizon. Objek-objek di luar horizon kosmik memiliki status serupa. Alam semesta teramati tumbuh sebesar satu tahun-cahaya setiap tahun saat cahaya dari jauh sempat menjangkau kita. Ketakterhingaan terbentang di luar sana, menanti untuk dilihat. Anda barangkali akan mati jauh sebelum diri tersembunyi Anda muncul dalam pandangan, tapi pada prinsipnya, dan jika perluasan kosmik bekerjasama, keturunan Anda dapat mengamati mereka lewat teleskop yang cukup powerful.
Multiverse Level I terdengar nyata. Bagaimana ruang bisa tidak tak terhingga? Adakah tanda di suatu tempat yang menyatakan “Ruang Berakhir Di Sini—Awas Jurang”? Jika demikian, apa yang terdapat di belakangnya? Nyatanya, teori gravitasi Einstein menyangsikan intuisi ini. Ruang bisa terhingga jika memliki lengkungan cembung atau topologi tak biasa (yakni, kesaling-terhubungan). Alam semesta spheris berbentuk donat atau kue kering akan memiliki volume terbatas dan tak bertepi. Radiasi gelombang mikro kosmik latar memungkinkan uji sensitif terhadap skenario demikian. [lihat “Apakah Ruang Terhingga?”, tulisan Jean-Pierre Luminet, Glenn D. Starkman, dan Jeffrey R. Weeks]. Namun, sejauh ini bukti menentangnya. Model-model [ruang] tak terhingga cocok dengan data, dan batas keras telah dikenakan pada alternatif-alternatif.
Kemungkinan lain adalah bahwa ruang itu tak terhingga tapi materi terkurung di kawasan terhingga di sekeliling kita—secara historis, populer sebagai model “pulau alam semesta”. Dalam sebuah varian model ini, materi menipis pada skala besar dalam pola fraktal. Dalam kedua kasus, hampir semua alam semesta di multiverse Level I akan hampa dan mati. Tapi observasi mutakhir terhadap distribusi tiga-dimensi galaksi dan gelombang mikro latar telah menunjukkan bahwa susunan materi menghasilkan keseragaman pada skala besar, tanpa struktur-struktur koheren [pada jarak] lebih dari sekitar 1024 meter. Dengan asumsi bahwa pola ini membentang terus, ruang di luar alam semesta teramati kita dipenuhi dengan galaksi, bintang, dan planet.
Pengamat yang tinggal di alam semesta paralel Level I mengalami hukum fisika yang sama dengan kita tapi kondisi awalnya berbeda. Menurut teori-teori mutakhir, proses di awal big bang menyebarkan materi ke sekeliling dengan derajat keacakan, menghasilkan semua kemungkinan susunan dengan probabilitas non-nol.
Kosmolog berasumsi bahwa alam semesta kita, dengan distribusi materi yang hampir seragam dan fluktuasi densitas awal sebesar satu bagian dalam 100.000, adalah alam semesta yang lumayan tipikal (setidaknya di antara alam semesta-alam semesta yang mengandung pengamat). Asumsi tersebut mendasari estimasi bahwa salinan identik terdekat Anda berjarak 10 sampai 1028 meter. Sekitar jarak 10 sampai 1092 meter semestinya terdapat bola beradius 100 tahun-cahaya yang identik dengan bola yang berpusat di sini, sehingga semua persepsi yang kita punya selama seabad ke depan akan identik dengan persepsi rekan tandingan kita di sana. Sekitar jarak 10 sampai 10118 meter semestinya terdapat volume Hubble yang identik dengan volume Hubble kita.
Estimasi-estimasi ini sangat konservatif, diperoleh dengan cukup menghitung semua kemungkinan status quantum yang bisa dimiliki volume Hubble jika ia tidak lebih panas dari 108 kelvin. Satu cara untuk melakukan kalkulasi tersebut adalah mencaritahu seberapa banyak proton yang dapat dimasukkan ke dalam volume Hubble pada temperatur tersebut. Jawabannya adalah 10118 proton. Nyatanya, masing-masing partikel tersebut mungkin ya atau mungkin tidak hadir, yang menyusun 2 sampai 10118 kemungkinan susunan proton. Sebuah kotak yang mengandung volume Hubble sebanyak itu menggunakan segala kemungkinan. Jika Anda membulatkan bilangan, kotak semacam itu berdiameter sekitar 10 sampai 10118 meter. Di luar kotak tersebut, alam semesta-alam semesta—termasuk alam semesta kita—harus mengulangi diri. Bilangan yang kurang-lebih sama dapat diperoleh dengan menggunakan estimasi termodinamika atau gravitasi quantum terhadap total kandungan informasi alam semesta.
Doppelgänger terdekat Anda kemungkinan besar jauh lebih dekat daripada yang diindikasikan oleh bilangan ini, berdasarkan proses pembentukan planet dan evolusi biologis yang berpihak kepada Anda. Astronom menduga bahwa volume Hubble kita memiliki sekurangnya 1020 planet layak huni; beberapa mungkin mirip dengan Bumi.
Kerangka multiverse Level I rutin digunakan untuk mengevaluasi teori-teori dalam kosmologi modern, walaupun prosedur ini jarang diuraikan secara eksplisit. Contoh, pertimbangkan bagaimana kosmolog menggunakan gelombang mikro latar untuk mengesampingkan geometri spheris terhingga. Titik-titik dingin dan panas di peta gelombang mikro latar mempunyai ukuran khas yang tergantung pada lengkungan ruang, dan titik-titik teramati tersebut terlihat terlalu kecil untuk konsisten dengan bentuk spheris. Tapi penting sekali bersikap teliti secara statistik. Ukuran rata-rata titik bervariasi secara acak mulai dari satu volume Hubble sampai lainnya, jadi mungkin alam semesta kita sedang mengelabui kita—boleh jadi ia spheris tapi kebetulan memiliki titik-titik kecil secara abnormal. Saat kosmolog mengatakan telah mengesampingkan model spheris dengan keyakinan 99,9 persen, mereka sebetulnya bermaksud bahwa seandainya model ini benar, kurang dari satu dalam 1.000 volume Hubble akan memperlihatkan titik-titik sekecil yang kita amati.
Pelajarannya adalah bahwa teori multiverse dapat diuji dan disalahgambarkan sekalipun kita tidak bisa melihat alam semesta-alam semesta lain itu. Kuncinya adalah memprediksi bagaimana ansambel alam semesta paralel itu dan merinci distribusi probabilitas, atau yang matematikawan sebut “ukuran”, pada ansambel tersebut. Alam semesta kita semestinya muncul sebagai salah satu yang paling probabel. Jika tidak—jika, menurut teori multiverse, kita tinggal di alam semesta improbabel—maka teori tersebut dalam masalah. Sebagaimana akan saya bahas nanti, persoalan ukuran ini bisa sungguh menantang.
Level II: Gelembung Lain Pascainflasi
Jika multiverse Level I sulit dicerna, coba bayangkan set multiverse-multiverse Level I berlainan yang tak terhingga, beberapa barangkali memiliki dimensionalitas ruangwaktu dan konstanta fisik berbeda. Multiverse-multiverse lain itu—yang menyusun multiverse Level II—diprediksikan oleh teori yang saat ini populer, chaotic eternal inflation (inflasi chaos abadi).
Teori inflasi adalah ekstensi teori big bang dan menangani keberantakan dalam teori tersebut, seperti mengapa alam semesta begitu besar, begitu seragam, dan begitu flat. Peregangan pesat ruang di masa lalu dapat menjelaskan semua atribut ini dan lainnya dalam satu pukulan [lihat “The Inflationary Universe”, tulisan Alan H. Guth dan Paul J. Steinhardt, Scientific American, Mei 1984; dan “Alam Semesta Berinflasi yang Mereproduksi Diri”, tulisan Andrei Linde]. Peregangan demikian diprediksikan oleh banyak teori partikel unsur, dan semua bukti yang tersedia menguatkannya. Frase “chaotic eternal” merujuk pada apa yang terjadi pada skala terbesar. Ruang secara keseluruhan meregang dan akan terus demikian selamanya, tapi beberapa kawasan ruang berhenti meregang dan membentuk gelembung-gelembung berbeda, seperti kantong-kantong gas dalam sehelai roti yang mengembang. Tak terhingga gelembung demikian muncul. Masing-masing adalah embrio multiverse Level I: berukuran tak terhingga dan dipenuhi dengan materi yang disimpan oleh medan energi yang mendorong inflasi.
Gelembung-gelembung ini lebih tak terhingga jauhnya dari Bumi, dalam arti bahwa Anda takkan pernah sampai ke sana sekalipun Anda berjalan dengan kecepatan cahaya selamanya. Alasannya adalah bahwa ruang di antara gelembung kita dan tetangganya mengembang lebih cepat daripada kecepatan Anda melintasinya. Keturunan Anda takkan pernah melihat doppelgänger mereka di tempat lain di Level II. Atas alasan yang sama, jika perluasan kosmik mencepat, sebagaimana diindikasikan sekarang oleh observasi, mereka bahkan mungkin takkan melihat diri tersembunyi mereka di Level I.
Multiverse Level II jauh lebih beragam daripada multiverse Level I. Gelembung-gelembung bervariasi bukan hanya pada kondisi awal mereka tapi juga pada aspek alam yang tetap. Pandangan yang berlaku dalam fisika hari ini adalah bahwa dimensionalitas ruangwaktu, kualitas partikel unsur, dan banyak konstanta fisik bukan dibangun menjadi hukum fisika melainkan merupakan hasil proses yang dikenal sebagai kerusakan kesimetrian. Contoh, teoris berpikir bahwa ruang di alam semesta kita pernah memiliki sembilan dimensi, semuanya berada pada pijakan yang sama. Di awal sejarah kosmik, tiga dari mereka ambil bagian dalam perluasan kosmik dan menjadi tiga dimensi yang kita amati sekarang. Enam lainnya kini tak dapat diamati, karena mereka tetap mikroskopis dengan topologi mirip donat atau karena semua materi terkurung di permukaan tiga-dimensi (membran, atau sederhananya “bran”) di ruang sembilan-dimensi.
Dengan demikian, kesimetrian awal di antara dimensi-dimensi itu rusak. Fluktuasi quantum yang mendorong inflasi chaos dapat menyebabkan kerusakan kesimetrian berbeda pada gelembung berlainan. Beberapa mungkin menjadi empat-dimensi, yang lainnya bisa hanya mengandung dua (bukan tiga) generasi quark, dan yang lain lagi mungkin memiliki konstanta kosmologis lebih kuat daripada alam semesta kita.
Cara lain untuk menghasilkan multiverse Level II mungkin melalui siklus kelahiran dan kehancuran alam semesta-alam semesta. Dalam konteks ilmiah, ide ini diperkenalkan oleh fisikawan Richard C. Tolman pada 1930-an dan baru-baru ini diuraikan panjang lebar oleh fsikawan Paul J. Steinhardt dari Universitas Princeton dan Neil Turok dari Universitas Cambridge. Proposal dan model Steinhardt dan Turok melibatkan bran tiga-dimensi kedua yang sungguh-sungguh paralel dengan bran kita, hanya pengganti di dimensi lebih tinggi [lihat “Been There, Done That”, tulisan George Muser, Scientific American, Maret 2002]. Alam semesta paralel ini bukan alam semesta yang betul-betul terpisah, sebab ia berinteraksi dengan alam semesta kita. Tapi ansambel alam semesta—masa lalu, masa kini, dan masa depan—yang diciptakan bran-bran ini akan membentuk multiverse, dengan keragaman yang mirip dengan yang dihasilkan oleh inflasi chaos. Sebuah ide yang diajukan oleh fisikawan Lee Smolin dari Perimeter Institute di Waterloo, Ontario, melibatkan multiverse lain lagi yang keragamannya sebanding dengan Level II tapi bermutasi dan menunaskan alam semesta-alam semesta baru lewat black hole ketimbang lewat fisika bran.
Walaupun kita tak bisa berinteraksi dengan alam semesta paralel Level II lain, kosmolog dapat menyimpulkan kehadiran mereka secara tak langsung, sebab eksistensi mereka dapat menerangkan kebetulan tak terjelaskan di alam semesta kita. Sebagai analogi, asumsikan Anda mendaftar masuk hotel, kamar yang diberikan adalah nomor 1967 dan ini merupakan tahun kelahiran Anda. Betapa kebetulan, Anda bilang. Namun, setelah sejenak merenung, Anda menyimpulkan bahwa bagaimanapun ini tidak begitu mengejutkan. Hotel tersebut punya ratusan kamar, dan Anda tidak akan memiliki pemikiran seperti ini jika Anda diberi kamar dengan nomor yang tak berarti bagi Anda. Pelajarannya adalah bahwa sekalipun Anda tak tahu apa-apa tentang hotel, Anda dapat menyimpulkan eksistensi kamar hotel lain untuk mejelaskan kebetulan tersebut.
Sebagai contoh yang lebih relevan, pikirkan massa matahari. Massa sebuah bintang menentukan keberkilauannya, dan dengan menggunakan fisika dasar, seseorang dapat memperhitungkan bahwa kehidupan yang kita kenal di Bumi hanya dimungkinkan jika massa matahari berada di kisaran antara 1,6 x 1030 sampai 2,4 x 1030 kilogram. Kalau tidak, iklim Bumi akan lebih dingin dari Mars sekarang atau lebih panas dari Venus sekarang. Massa surya yang terukur adalah 2,0 x 1030 kilogram. Sekilas, kebetulan nyata dalam hal harga massa teramati dan layak huni ini terlihat seperti kemujuran liar belaka. Massa bintang berkisar dari 1029 sampai 1032 kilogram, jadi jika matahari memperoleh massanya secara sembarang, ia hanya punya peluang kecil untuk jatuh ke dalam kisaran layak huni. Tapi sebagaimana dalam contoh hotel, seseorang dapat menjelaskan kebetulan nyata ini dengan mempostulatkan ansambel (dalam kasus ini, sejumlah sistem planet) dan efek seleksi (fakta bahwa kita harus mendapati diri kita tinggal di planet layak huni). Efek seleksi yang terkait dengan pengamat ini disebut sebagai “antropik”, dan walaupun “kata A” terkenal memicu kontroversi, fisikawan umumnya sependapat bahwa efek seleksi ini tidak dapat diabaikan saat menguji teori-teori fundamental.
Yang berlaku pada kamar hotel dan sistem planet berlaku pula pada alam semesta paralel. Sebagian besar, jika tidak semua, atribut yang diset oleh kerusakan kesimetrian terlihat disetel halus (fine-tuning). Pengubahan harga mereka sebesar sedang akan menghasilkan alam semesta yang berbeda secara kualitatif—alam semesta di mana kita mungkin takkan eksis. Seandainya proton 0,2 persen lebih berat, ia tak dapat membusuk menjadi neutron, mendestabilkan atom. Seandainya gaya elektromagnet 4 persen lebih lemah, tak akan ada hidrogen dan bintang normal. Seandainya interaksi lemah jauh lebih lemah, hidrogen takkan eksis, seandainya jauh lebih kuat, supernova akan gagal menyemai ruang antarbintang dengan unsur-unsur berat. Seandainya konstanta kosmologis jauh lebih besar, alam semesta akan meniup dirinya hingga berpisahan sebelum galaksi-galaksi dapat terbentuk.
Walaupun derajat fine-tuning masih diperdebatkan, contoh-contoh ini mengindikasikan eksistensi alam semesta paralel dengan harga konstanta fisik yang lain [lihat “Mengeksplorasi Alam Semesta Kita dan Alam Semesta Lain”, tulisan Martin Rees, Scientific American, Desember 1999]. Teori multiverse Level II memprediksi bahwa fisikawan takkan pernah mampu menetapkan harga konstanta-konstanta ini dari prinsip pertama. Mereka hanya akan mengkomputasi distribusi probabilitas atas apa yang mereka harap temukan, memperhitungkan efek seleksi. Hasilnya semestinya generik dan konsisten dengan eksistensi kita.
Level III: Many Worlds Quantum
Multiverse Level I dan Level II melibatkan dunia-dunia paralel yang jauh sekali, bahkan di luar domain astronom. Tapi level multiverse berikutnya persis di sekitar Anda. Ia timbul dari interpretasi many worlds mekanika quantum yang terkenal dan kontroversial—ide bahwa proses quantum acak menyebabkan alam semesta mencabang menjadi berkali-lipat salinan, satu untuk setiap kemungkinan hasil.
Pada awal abad 20, teori mekanika quantum merevolusi fisika dengan menjelaskan alam atom, yang tidak mematuhi aturan klasik mekanika Newtonian. Meski teori tersebut mendapat keberhasilan nyata, berkecamuk debat panas mengenai makna sebenarnya. Teori itu merinci status alam semesta bukan dari segi klasik, seperti posisi dan kecepatan semua partikel, melainkan dari segi objek matematis yang disebut fungsi gelombang.
Menurut persamaan Schrödinger, status ini berevolusi seiring waktu dengan cara yang matematikawan istilahkan sebagai “uniter”, artinya fungsi gelombang berotasi di ruang abstrak berdimensi tak terhingga yang disebut ruang Hilbert. Walaupun mekanika quantum sering digambarkan sebagai acak dan tak pasti, fungsi gelombang berevolusi secara deterministis. Tak ada yang acak atau tak pasti tentangnya.
Bagian sulitnya adalah bagaimana menghubungkan fungsi gelombang ini dengan apa yang kita amati. Banyak fungsi gelombang logis dapat disamakan dengan situasi kontraintuitif, misalnya kucing yang mati dan hidup pada waktu bersamaan dalam superposisi. Pada 1920-an, fisikawan menghilangkan keganjilan ini dengan mempostulatkan bahwa fungsi gelombang “kolaps” menjadi suatu hasil klasik definitif setiap kali seseorang melakukan pengamatan. [Postulat] tambahan ini mengandung kebaikan yaitu menjelaskan pengamatan, tapi mengubah teori uniter elegan menjadi teori nonuniter janggal. Keacakan intrinsik yang biasa diatributkan pada mekainika quantum adalah hasil postulat ini.
Selama bertahun-tahun banyak fisikawan membuang pandangan ini karena lebih menyukai teori yang dikembangkan pada 1957 oleh mahasiswa sarjana Princeton, Hugh Everett III. Dia menunjukkan bahwa postulat kekolapsan tidaklah diperlukan. Teori quantum murni tidak, nyatanya, menimbulkan kontradiksi apapun. Walaupun [teori Hugh] memprediksi bahwa satu realitas klasik perlahan-lahan membelah menjadi superposisi banyak realitas demikian, pengamat secara subjektif mengalami pembelahan ini sekadar sebagai keacakan tipis, dengan probabilitas yang persis cocok dengan probabilitas dari postulat kekolapsan. Superposisi dunia-dunia klasik ini merupakan multiverse Level III.
Interpretasi many worlds Everett telah mengejutkan pikiran di dalam dan di luar kalangan fisika selama lebih dari empat dekade. Tapi teori tersebut menjadi lebih mudah dimengerti manakala seseorang membedakan di antara dua cara memandang teori fisika: pandangan luar seorang fisikawan yang mempelajari persamaan matematisnya, seperti burung yang mensurvey pemandangan dari atas, dan pandangan dalam seorang pengamat yang hidup di dunia yang digambarkan oleh persamaan itu, seperti katak yang tinggal di pemandangan yang disurvey oleh burung tadi.
Dari perspektif burung, multiverse Level III adalah sederhana. Hanya ada satu fungsi gelombang. Ia berevolusi secara halus dan deterministis seiring waktu tanpa pembelahan atau paralelisme apapun. Dunia quantum abstrak yang digambarkan oleh fungsi gelombang berevolusi ini mengandung garis-garis kisah klasik paralel yang banyak sekali, terus-menerus membelah dan bergabung, serta sejumlah fenomena quantum yang tak memiliki deskripsi klasik. Dari perspektif katak, pengamat hanya melihat sebagian kecil realitas utuh ini. Mereka dapat memandang alam semesta Level I mereka, tapi sebuah proses yang disebut dekoherensi—yang menyerupai kekolapsan fungsi gelombang sambil mempertahankan keuniteran—mencegah mereka melihat salinan diri paralel Level III.
Setiap kali pengamat diajukan pertanyaan, membuat keputusan tergesa-gesa, dan memberikan jawaban, efek-efek quantum di otak mereka melahirkan superposisi hasil-hasil, seperti “Terus membaca artikel” dan “Taruh artikel”. Dari perspektif burung, tindakan pengambilan keputusan menyebabkan seseorang membelah menjadi berkali-lipat salinan: seseorang yang terus membaca dan seseorang yang tidak melanjutkan membaca. Namun dari perspektif katak, tiap-tiap diri tersembunyi ini tidak menyadari yang lainnya dan melihat pencabangan itu sekadar sebagai keacakan tipis: probabilitas pasti untuk terus membaca atau tidak.
Meski ini terdengar aneh, situasi yang persis sama bahkan terdapat pada multivers Level I. Anda jelas telah memutuskan untuk terus membaca artikel ini, tapi salah satu diri tersembunyi Anda di sebuah galaksi jauh menaruh majalah ini setelah paragraf pertama. Satu-satunya perbedaan antara Level I dan Level III adalah letak doppelgänger-doppelgänger Anda bertempat tinggal. Di Level I, mereka tinggal di tempat lain di ruang tiga-dimensi lama. Di Level III, mereka tinggal di cabang quantum lain di ruang Hilbert berdimensi tak terhingga.
Eksistensi Level III tergantung pada satu asumsi krusial: evolusi waktu panjang gelombang adalah uniter. Sejauh ini para pelaksana eksperimen belum menjumpai penyimpangan dari kenuiteran. Dalam beberapa dekade belakangan, mereka telah mengkonfirmasikan keuniteran untuk sistem-sistem yang lebih besar lagi, meliputi molekul buckyball karbon 60 dan serat optik sepanjang satu kilometer. Di sisi teoritis, kasus keuniteran telah didukung oleh penemuan dekoherensi [lihat “100 Tahun Misteri Quantum”, tulisan Max Tegmark dan John Archibald Wheeler]. Beberapa teoris yang mengerjakan gravitasi quantum menyangsikan keuniteran; perhatiannya adalah bahwa black hole yang menguap mungkin menghancurkan informasi, yang merupakan proses nonuniter. Tapi terobosan mutakhir dalam teori string yang dikenal sebagai korespondensi Ads/CFT mengindikasikan bahwa gravitasi quantum pun uniter. Jika demikian, black hole tidak menghancurkan informasi melainkan sekadar mentransmisikannya ke tempat lain. [Catatan editor: artikel mendatang akan membahas korespondensi ini secara lebih detail].
Jika fisika adalah uniter, maka gambaran standar tentang bagaimana fluktuasi beroperasi di awal big bang harus berubah. Fluktuasi-fluktuasi ini tidak menghasilkan kondisi awal secara acak. Justru mereka menghasilkan superposisi quantum semua kemungkinan kondisi awal, yang berkoeksis secara serentak. Dekoherensi kemudian menyebabkan kondisi-kondisi awal ini berperilaku secara klasik di cabang-cabang quantum terpisah. Berikut adalah poin krusialnya: distribusi hasil-hasil di cabang-cabang quantum berlainan di volume Hubble tertentu (Level III) adalah identik dengan distribusi hasil-hasil di volume-volume Hubble berlainan di sebuah cabang quantum (Level I). Atribut fluktuasi quantum ini dikenal dalam mekanika statistik sebagai ergodisitas.
Argumentasi yang sama berlaku pada Level II. Proses kerusakan kesimetrian tidak menghasilkan sebuah hasil unik melainkan superposisi semua hasil, yang secara cepat menempuh jalan mereka masing-masing. Jadi jika konstanta fisik, dimensionalitas ruangwaktu, dan sebagainya dapat bervariasi di antara cabang-cabang quantum paralel di Level III, maka mereka juga akan bervariasi di antara alam semesta-alam semesta paralel di Level II.
Dengan kata lain, multiverse Level III tidak menambahkan yang baru di luar Level I dan Level II, cuma salinan alam semesta yang sama yang lebih tak dapat dibedakan—garis kisah yang sama yang bermain lagi dan lagi di cabang-cabang quantum lain. Karenanya, perdebatan sengit mengenai teori Everett rasanya berakhir dalam antiklimaks besar, dengan penemuan multiverse kurang kontroversial (Level I dan II) yang sama-sama besar.
Tak perlu dikatakan, implikasinya mendalam, dan fisikawan baru mulai mengeksplorasinya. Contoh, pikirkan percabangan jawaban pada pertanyaan lama: Apakah jumlah alam semesta bertambah secara eksponensial seiring waktu? Jawaban mengejutkannya adalah tidak. Dari perspektif burung, tentu saja hanya ada satu alam semesta quantum. Dari perspektif katak, yang menjadi soal adalah jumlah alam semesta yang dapat dibedakan pada jenak tertentu—yakni, jumlah volume-volume Hubble yang berlainan. Bayangkan memindahkan planet-planet ke lokasi sembarang yang baru, bayangkan menikahi seseorang yang lain, dan sebagainya. Pada level quantum, terdapat 10 sampai 10118 alam semesta bertemperatur di bawah 108 kelvin. Itu jumlah yang besar, tapi terhingga.
Dari perspektif katak, evolusi fungsi gelombang dapat disamakan dengan pergelinciran tanpa akhir dari salah satu (dari 10 sampai 10118 status) status ini ke status lainnya. Kini Anda berada di alam semesta A, alam semesta di mana Anda sedang membaca kalimat ini. Kini Anda berada di alam semesta B, alam semesta di mana Anda sedang membaca salinan kalimat ini. Dengan kata lain, alam semesta B memiliki pengamat yang identik dengan pengamat di alam semesta A, kecuali dengan jenak ingatan tambahan. Semua kemungkinan status eksis di setiap jenak, jadi aliran waktu mungkin berada dalam pandangan pelihat—sebuah ide yang digali dalam novel sains-fiksi tahun 1994 karya Greg Egan berjudul Permutation City dan dikembangkan oleh fisikawan David Deutsch dari Universitas Oxford, fisikawan independen Julian Barbour, dan yang lainnya. Dengan demikian kerangka multiverse mungkin terbukti esensial untuk memahami sifat waktu.
Level IV: Struktur Matematis Lain
Kondisi awal dan konstanta fisik di multiverse-multiverse Level I, Level II, dan Level III bisa bervariasi, tapi hukum fundamental yang mengatur alam tetap sama. Mengapa berhenti di situ? Mengapa tidak mengizinkan hukum itu sendiri bervariasi? Bagaimana dengan alam semesta yang mematuhi hukum fisika klasik, tanpa efek quantum? Bagaimana dengan waktu yang tersusun dari langkah-langkah diskret, sebagaimana pada komputer, bukannya continuous? Bagaimana dengan alam semesta yang berupa dodekahedron hampa? Di multiverse level IV, semua realitas alternatif ini sungguh-sungguh eksis.
Petunjuk bahwa multiverse semacam itu bukan sekadar suatu spekulasi adalah korespondensi ketat antara dunia argumentasi abstrak dan dunia realitas teramati. Persamaan-persamaan dan, lebih umumnya, struktur-struktur matematis seperti bilangan, vektor, dan objek geometris menggambarkan dunia dengan kemungkinan benar yang luar biasa. Dalam kulisah terkenal tahun 1959, fisikawan Eugene P. Wigner berargumen bahwa “manfaat hebat matematika dalam ilmu alam adalah sesuatu yang berbatasan dengan misteri.” Sebaliknya, struktur-struktur matematis memiliki rasa riil terhadap misteri. Mereka memenuhi kriteria sentral eksistensi objektif: mereka tetap sama tak peduli siapa yang mempelajarinya. Sebuah teorema adalah benar tanpa menghiraukan apakah ia dibuktikan oleh manusia, komputer, atau lumba-lumba cerdas. Peradaban alien kontemplatif akan menemukan struktur matematis yang sama dengan punya kita. Karena itu, para matematikawan umumnya mengatakan bahwa dirinya menemukan struktur matematis bukan menciptakannya.
Ada dua paradigma yang dapat dipertahankan tapi bertentangan secara diametris untuk memahami korespondensi antara matematika dan fisika, sebuah dikotomi yang berawal dari Plato dan Aristoteles. Menurut paradigma Aristotelian, realitas fisik adalah fundamental dan bahasa matematis adalah sekadar penaksiran bermanfaat. Menurut paradigma Platonis, struktur matematis adalah realitas sejati dan pengamat melihatnya secara tak sempurna. Dengan kata lain, kedua paradigma ini tak sependapat pada hal yang lebih dasar, perspektif pengamat ala katak atau perspektif hukum fisika ala burung. Paradigma Aristotelian lebih menyukai perspektif katak, sedangkan paradigma Platonis lebih menyukai perspektif burung.
Saat kanak-kanak, jauh sebelum kita mendengar matematika, kita semua diindoktrinasi dengan paradigma Aristotelian. Pandangan Platonis adalah kebiasaan yang diperoleh kemudian. Fisikawan teoritis modern cenderung Platonis, menduga bahwa matematika menggambarkan alam semesta dengan begitu baik karena alam semesta bersifat matematis. Maka seluruh fisika pada akhirnya merupakan persoalan matematika: seorang matematikawan berkecerdasan dan bersumber daya tak terbatas pada prinsipnya dapat mengkomputasi perspektif katak—yakni, mengkomputasi pengamat sadar-diri bagaimana yang dikandung alam semesta, apa yang mereka lihat, dan bahasa apa yang mereka ciptakan untuk menggambarkan persepsi mereka kepada satu sama lain.
Struktur matematis adalah entitas abstrak tetap yang eksis di luar ruang dan waktu. Seandainya sejarah adalah sebuah film, struktur tersebut dapat disamakan dengan keseluruhan rekaman, bukan dengan satu frame saja. Pikirkan, contohnya, sebuah dunia yang tersusun dari partikel mirip titik yang bergerak-gerak di ruang tiga-dimensi. Di ruangwaktu empat-dimensi—perspektif burung—trayektori partikel ini menyerupai kekusutan spageti. Jika katak melihat partikel bergerak dengan kecepatan konstan, burung melihat seuntai lurus spageti mentah. Jika katak melihat sepasang partikel yang mengorbit, burung melihat dua untai spageti yang berjalin seperti heliks ganda. Bagi katak, dunia digambarkan oleh hukum gerak dan gravitasi Newton—sebuah struktur matematis. Katak itu sendiri adalah segumpal pasta kental belaka, yang perjalinan kompleksnya dapat disamakan dengan segugus partikel yang menyimpan dan memproses informasi. Alam semesta kita jauh lebih rumit daripada contoh ini, dan ilmuwan belum tahu ia dapat disamakan dengan struktur matematis apa, jika ada.
Paradigma Platonis menimbulkan pertanyaan tentang mengapa alam semesta begini adanya. Bagi seorang Aristotelian, ini merupakan pertanyaan tak berarti: alam semesta beginilah adanya. Tapi seorang Platonis mau tak mau harus bertanya-tanya mengapa alam semesta tidak [berkondisi] lain. Jika alam semesta bersifat matematis, maka mengapa hanya satu yang terpilih dari sekian banyak struktur matematis untuk menggambarkan alam semesta? Keasimetrian fundamental kelihatannya terpasang di dalam jantung realitas.
Sebagai jalan keluar dari teka-teki ini, saya telah menyatakan bahwa kesimetrian matematis lengkap berpandangan bahwa: semua struktur matematis eksis secara fisik juga. Setap strktur matematis dapat disamakan dengan alam semesta paralel. Elemen-elemen multiverse ini tidak bertempat di ruang yang sama tapi eksis di luar ruang dan waktu. Sebagian besar mereka barangkali sama sekali tanpa pengamat. Hipotesis ini bisa dipandang sebagai sebentuk Platonisme radikal, menegaskan bahwa struktur-struktur matematis dalam alam ide Plato atau “mindscape” matematikawan Rudy Rucker dari San Jose State University eksis dalam pergertian fisik. Ini sama dengan apa yang disebut oleh kosmolog John D. Barrow (Universitas Cambridge) sebagai “π di langit”, apa yang disebut oleh filsuf Robert Nozick (Universitas Harvard) sebagai principle of fecundity (prinsip kesuburan), dan apa yang disebut oleh filsuf David K. Lewis (Princeton) sebagai modal realism. Level IV menutup hirarki multiverse, sebab teori fisika fundamental yang konsisten manapun dapat diutarakan sebagai suatu jenis struktur matematis.
Hipotesis multiverse Level IV membuat prediksi yang dapat diuji. Sebagaimana dengan Level II, ia melibatkan sebuah ansambel (dalam kasus ini, barisan lengkap struktur matematis) dan efek seleksi. Begitu matematikawan melanjutkan untuk mengkategorikan struktur-struktur matematis, mereka semestinya menemukan bahwa struktur yang menggambarkan dunia kita adalah struktur paling generik yang konsisten dengan observasi kita. Demikian pula, observasi kita di masa depan semestinya merupakan observasi paling generik yang konsisten dengan observasi kita di masa lalu, dan observasi kita di masa lalu semestinya merupakan observasi paling generik yang konsisten dengan eksistensi kita.
Mengukur arti “generik” adalah persoalan berat, dan penyelidikan ini baru dimulai. Tapi satu fitur struktur matematis yang mengejutkan dan membesarkan hati adalah bahwa atribut kesimetrian dan invariansi yang bertanggung jawab atas kesederhanaan dan keteraturan alam semesta kita cenderung generik, lebih banyak aturan daripada pengecualian. Struktur matematis cenderung memilikinya secara default, dan aksioma rumit tambahan harus ditambahkan untuk membuatnya hilang.
Mana yang Berbunyi Occam
(Occam’s razor: prinsip bahwa kita mesti condong kepada teori yang lebih sederhana sampai kita memperoleh penjelasan berbobot bukti lebih baik.)
Teori-teori ilmiah alam semesta paralel, karenanya, membentuk hirarki empat level, di mana alam semesta-alam semesta menjadi semakin berbeda dari alam semesta kita. Mereka mungkin memiliki kondisi awal berbeda (Level I); konstanta fisik dan partikel berbeda (Level II); atau hukum fisika berbeda (Level IV). Ironisnya, Level III adalah level yang paling mendapat dukungan dalam dekade-dekade belakangan, sebab merupakan satu-satunya yang tidak menambahkan tipe-tipe alam semesta yang baru secara kualitatif.
Dalam dekade mendatang, pengukuran kosmologis yang meningkat drastis terhadap gelombang mikro latar dan distribusi materi skala besar akan mendukung atau membantah Level I dengan lebih jauh menekankan lengkungan dan topologi ruang. Pengukuran-pengukuran ini juga akan menyelidiki Level II dengan menguji teori chaotic eternal inflation. Kemajuan dalam astrofisika dan fisika high-energy semestinya juga mengklarifikasi tingkat fine-tuning konstanta fisik, dengan demikian memperlemah atau memperkuat dukungan untuk Level II.
Jika upaya saat ini untuk membangun komputer quantum berhasil, perangkat tersebut akan menyediakan bukti lebih jauh untuk Level II, sebab pada esensinya perangkat akan mengeksploitasi paralelisme multiverse Level III untuk komputasi paralel. Para pelaksana eksperimen juga sedang mencari bukti pelanggaran keuniteran, yang akan menyingkirkan Level III. Terakhir, keberhasilan atau kegagalan dalam tantangan besar fisika modern—penyatuan relativitas umum dan teori medan quantum—akan mengayun opini kepada Level IV. Kita akan menemukan struktur matematis yang persis cocok dengan alam semesta kita, atau kita akan menabrak batas keefektifan matematika yang keterlaluan dan harus membuang level tersebut.
Jadi haruskah Anda mempercayai alam semesta paralel? Argumen prinsipil yang menentangnya adalah bahwa [eksistensi alam semesta paralel] itu pemborosan dan ganjil. Argumen pertama adalah bahwa teori-teori multiverse rentan terhadap Occams razor sebab mempostulatkan eksistensi dunia-dunia lain yang takkan pernah bisa kita amati. Mengapa alam mesti begitu boros dan menuruti kemewahan semisal ketakterhinggaan dunia berlainan? Tapi argumen ini bisa dibalikkan untuk mendukung multiverse. Apa persisnya yang diboroskan oleh alam? Tentu bukan ruang, massa, atau atom—multiverse Level I yang tak kontroversial telah mengandung ketiganya dalam jumlah tak terhingga, jadi siapa peduli bila alam memboroskan lebih banyak lagi? Isu riil di sini adalah pengurangan nyata kesederhanaan. Seorang skeptis pasti memikirkan semua informasi yang diperlukan untuk merinci semua dunia tak terlihat itu.
Tapi keseluruhan ansambel seringkali jauh lebih sederhana daripada salah satu anggotanya. Prinsip ini dapat dinyatakan secara lebih formal memakai gagasan kandungan informasi algoritmik. Kandungan informasi algoritmik dalam sebuah bilangan adalah, kurang lebih, panjang program komputer terpendek yang akan menghasilkan bilangan tersebut sebagai output. Contoh, pikirkan set semua bilangan bulat. Mana yang lebih sederhana, keseluruhan set atau satu bilangan saja? Secara naif, Anda mungkin berpikir bahwa satu bilangan adalah lebih sederhana, padahal keseluruhan set dapat dihasilkan oleh program komputer sepele, sedangkan satu bilangan bisa amat panjang. Karenanya, keseluruhan set sesungguhnya lebih sederhana.
Demikian pula, set semua solusi persamaan medan Einstein adalah lebih sederhana daripada satu solusi spesifik. Set semua solusi digambarkan oleh beberapa persamaan, sedangkan satu solusi spesifik membutuhkan spesifikasi data awal yang banyak sekali mengenai suatu permukaan hiper. Pelajarannya adalah bahwa kompleksitas meningkat saat kita membatasi perhatian kita kepada satu elemen khusus sebuah ansambel, dengan demikian kehilangan kesimetrian dan kesederhanaan yang inheren dalam keseluruhan semua elemen jika disatukan.
Dalam pengertian ini, multiverse level tinggi adalah lebih sederhana. Beranjak dari alam semesta kita menuju multiverse Level I akan menyingkirkan keharusan untuk merinci kondisi awal, naik ke Level II akan menyingkirkan keharusan untuk merinci konstanta fisik, dan naik ke multiverse Level IV akan menyingkirkan keharusan untuk merinci segala sesuatu sama sekali. Kemewahan kompleksitas hanya ada pada persepsi subjektif pengamat—perspektif katak. Dari perspektif burung, multiverse selalu sederhana.
Keluhan soal keganjilan lebih bersifat estetis daripada ilmiah, dan itu sebetulnya hanya masuk akal dalam pandangan keduniaan Aristotelian. Tapi apa yang kita harapkan? Saat kita mengajukan pertanyaan tentang sifat realitas, bukankah kita mengharapkan jawaban yang terdengar aneh? Evolusi menyediakan kita intuisi untuk fisika keseharian yang memiliki nilai kelangsungan hidup bagi leluhur jauh kita, jadi kapanpun kita mengarungi melampaui dunia keseharian kita, kita pasti mengharapnya aneh.
Fitur umum keempat level multiverse di atas adalah bahwa teori paling sederhana dan elegan melibatkan alam semesta paralel secara default. Untuk menyangkal eksistensi alam semesta-alam semesta itu, seseorang harus memperumit teori tersebut dengan menambahkan proses tak berlandaskan eksperimen dan postulat khusus: ruang terhingga, kekolapsan fungsi gelombang, dan keasimetrian ontologis. Karenanya penilaian kami jatuh pada apa yang kami dapati lebih boros dan tak elegan: many worlds atau many words. Barangkali lambat-laun kita akan terbiasa dengan cara ganjil kosmos kita dan mendapati keanehannya sebagai bagian pesonanya.
Penulis
Max Tegmark menulis game komputer Tetris versi empat-dimensi saat kuliah. Di alam semesta lain, dia berlanjut menjadi pengembang software berbayaran tinggi. Namun di alam semesta kita, dia berakhir sebagai profesor fisika dan astronomi di Universitas Pennsylvania. Tegmark adalah pakar dalam menganalisa gelombang mikro kosmik latar dan penggugusan galaksi. Banyak karyanya menyinggung konsep alam semesta paralel: mengevaluasi bukti ruang tak terhingga dan inflasi kosmologis; mengembangkan pemahaman tentang dekoherensi quantum; dan mempelajari kemungkinan bahwa amplitudo fluktuasi gelombang mikro latar, dimensionalitas ruangwaktu, dan hukum fisika fundamental bisa bervariasi dari tempat ke tempat.
Untuk Digali Lebih Jauh
(Sumber: Exclusive Online Issue Scientific American – Extreme Physics, hal. 26-37)
Bukan sekadar sains fiksi, [eksistensi] alam semesta lain merupakan implikasi langsung obesrvasi kosmologis
Ide alter ego (diri kedua/tersembunyi) semacam itu terasa aneh dan tak masuk akal, tapi sepertinya kita harus menerimanya, sebab didukung oleh observasi astronomis. Model kosmologis paling sederhana dan populer hari ini memprediksi bahwa Anda mempunyai kembaran di sebuah galaksi yang berjarak sekitar 10 sampai 1028 meter dari sini. Jarak ini begitu besar sehingga tak terjangkau secara astronomis, tapi itu tidak membuat doppelgänger (bayangan kembar orang hidup—penj) Anda kurang riil. Estimasi ini diperoleh dari probabilitas dasar dan bahkan tidak mengambil fisika modern yang spekulatif, bahwa ruang berukuran tak terhingga (atau setidaknya cukup besar) dan dipenuhi materi secara hampir seragam, sebagaimana diindikasikan oleh observasi. Di ruang tak terhingga, peristiwa-peristiwa paling tak mungkin pun pasti terjadi di suatu tempat. Ada planet berpenghuni lain dalam jumlah tak terhingga, bukan cuma satu melainkan tak terhingga yang memiliki orang-orang dengan rupa, nama, dan ingatan yang sama dengan Anda, yang memainkan setiap kemungkinan permutasi pilihan hidup Anda.
Anda barangkali takkan pernah melihat diri lain Anda itu. Jarak terjauh yang bisa Anda amati adalah jarak yang mampu ditempuh cahaya selama 14 miliar tahun sejak perluasan big bang dimulai. Objek tampak (visible object) terjauh kini sekitar 4 x 1026 jauhnya—sebuah jarak yang menetapkan alam semesta teramati (observable universe) kita, juga disebut volume Hubble, volume horizon kita, atau sederhananya alam semesta kita. Demikian pula, alam semesta-alam semesta diri lain Anda adalah bola berukuran sama yang berpusat pada planet mereka. Alam semesta-alam semesta tersebut adalah contoh alam semesta paralel yang paling langsung. Tiap alam semesta merupakan bagian kecil saja dari “multiverse” besar.
Berdasarkan definisi “alam semesta” ini, seseorang mungkin menduga gagasan multiverse berada dalam domain metafisika. Tapi garis batas antara fisika dan metafisika ditetapkan oleh apakah sebuah teori dapat diuji secara eksperimen, bukan oleh apakah ia ganjil atau melibatkan entitas tak teramati. Batas fisika perlahan-lahan telah meluas hingga memasukkan konsep-konsep yang lebih abstrak lagi (dan dulu metafisikal) seperti Bumi bundar, medan elektromagnet tak tampak, perlambatan waktu pada kecepatan tinggi, superposisi quantum, ruang melengkung, dan black hole. Pada beberapa tahun belakangan, konsep multiverse telah bergabung ke dalam daftar ini. Ia memiliki landasan dalam teori-teori yang teruji dengan baik seperti relativitas dan mekanika quantum, dan ia memenuhi dua kriteria dasar sains empiris: membuat prediksi dan bisa disalahgambarkan. Ilmuwan telah membahas sebanyak empat tipe alam semesta paralel yang berbeda. Pertanyaan kuncinya bukan apakah multiverse eksis melainkan berapa banyak level yang dimilikinya.
Level I: Di Luar Horizon Kosmik Kita
Alam semesta paralel diri tersembunyi Anda menyusun multiverse Level I. Ini merupakan tipe yang paling kurang kontroversial. Kita semua mengakui eksistensi sesuatu yang tidak dapat kita lihat tapi terlihat jika kita pindah ke titik menguntungkan lain atau cukup menunggu, seperti orang-orang yang menunggu datangnya kapal di atas horizon. Objek-objek di luar horizon kosmik memiliki status serupa. Alam semesta teramati tumbuh sebesar satu tahun-cahaya setiap tahun saat cahaya dari jauh sempat menjangkau kita. Ketakterhingaan terbentang di luar sana, menanti untuk dilihat. Anda barangkali akan mati jauh sebelum diri tersembunyi Anda muncul dalam pandangan, tapi pada prinsipnya, dan jika perluasan kosmik bekerjasama, keturunan Anda dapat mengamati mereka lewat teleskop yang cukup powerful.
Multiverse Level I terdengar nyata. Bagaimana ruang bisa tidak tak terhingga? Adakah tanda di suatu tempat yang menyatakan “Ruang Berakhir Di Sini—Awas Jurang”? Jika demikian, apa yang terdapat di belakangnya? Nyatanya, teori gravitasi Einstein menyangsikan intuisi ini. Ruang bisa terhingga jika memliki lengkungan cembung atau topologi tak biasa (yakni, kesaling-terhubungan). Alam semesta spheris berbentuk donat atau kue kering akan memiliki volume terbatas dan tak bertepi. Radiasi gelombang mikro kosmik latar memungkinkan uji sensitif terhadap skenario demikian. [lihat “Apakah Ruang Terhingga?”, tulisan Jean-Pierre Luminet, Glenn D. Starkman, dan Jeffrey R. Weeks]. Namun, sejauh ini bukti menentangnya. Model-model [ruang] tak terhingga cocok dengan data, dan batas keras telah dikenakan pada alternatif-alternatif.
Overview
- Salah satu dari banyak implikasi observasi kosmologis mutakhir adalah bahwa konsep alam semesta paralel bukan metafora belaka. Ruang kelihatannya berukuran tak terhingga. Jika demikian, maka di suatu tempat di luar sana, segala kemungkinan menjadi riil, tak peduli seberapa improbabel pun itu. Di luar jangkauan teleskop kita terdapat kawasan-kawasan ruang lain yang identik dengan punya kita. Kawasan-kawasan itu merupakan tipe alam semesta paralel. Ilmuwan bahkan dapat mengkalkulasi seberapa jauh alam semesta-alam semesta ini, secara rata-rata.
- Dan itu fisika yang lumayan solid. Saat kosmolog mempertimbangkan teori-teori yang kurang kuat, mereka menyimpulkan bahwa alam semesta lain bisa memiliki atribut dan hukum fisika yang sama sekali berbeda. Kehadiran alam semesta-alam semesta itu akan menjelaskan berbagai aspek aneh alam semesta kita. Bahkan dapat menjawab pertanyaan fundamental mengenai sifat waktu dan komprehensibilitas dunia fisik.
Kemungkinan lain adalah bahwa ruang itu tak terhingga tapi materi terkurung di kawasan terhingga di sekeliling kita—secara historis, populer sebagai model “pulau alam semesta”. Dalam sebuah varian model ini, materi menipis pada skala besar dalam pola fraktal. Dalam kedua kasus, hampir semua alam semesta di multiverse Level I akan hampa dan mati. Tapi observasi mutakhir terhadap distribusi tiga-dimensi galaksi dan gelombang mikro latar telah menunjukkan bahwa susunan materi menghasilkan keseragaman pada skala besar, tanpa struktur-struktur koheren [pada jarak] lebih dari sekitar 1024 meter. Dengan asumsi bahwa pola ini membentang terus, ruang di luar alam semesta teramati kita dipenuhi dengan galaksi, bintang, dan planet.
Pengamat yang tinggal di alam semesta paralel Level I mengalami hukum fisika yang sama dengan kita tapi kondisi awalnya berbeda. Menurut teori-teori mutakhir, proses di awal big bang menyebarkan materi ke sekeliling dengan derajat keacakan, menghasilkan semua kemungkinan susunan dengan probabilitas non-nol.
Kosmolog berasumsi bahwa alam semesta kita, dengan distribusi materi yang hampir seragam dan fluktuasi densitas awal sebesar satu bagian dalam 100.000, adalah alam semesta yang lumayan tipikal (setidaknya di antara alam semesta-alam semesta yang mengandung pengamat). Asumsi tersebut mendasari estimasi bahwa salinan identik terdekat Anda berjarak 10 sampai 1028 meter. Sekitar jarak 10 sampai 1092 meter semestinya terdapat bola beradius 100 tahun-cahaya yang identik dengan bola yang berpusat di sini, sehingga semua persepsi yang kita punya selama seabad ke depan akan identik dengan persepsi rekan tandingan kita di sana. Sekitar jarak 10 sampai 10118 meter semestinya terdapat volume Hubble yang identik dengan volume Hubble kita.
Estimasi-estimasi ini sangat konservatif, diperoleh dengan cukup menghitung semua kemungkinan status quantum yang bisa dimiliki volume Hubble jika ia tidak lebih panas dari 108 kelvin. Satu cara untuk melakukan kalkulasi tersebut adalah mencaritahu seberapa banyak proton yang dapat dimasukkan ke dalam volume Hubble pada temperatur tersebut. Jawabannya adalah 10118 proton. Nyatanya, masing-masing partikel tersebut mungkin ya atau mungkin tidak hadir, yang menyusun 2 sampai 10118 kemungkinan susunan proton. Sebuah kotak yang mengandung volume Hubble sebanyak itu menggunakan segala kemungkinan. Jika Anda membulatkan bilangan, kotak semacam itu berdiameter sekitar 10 sampai 10118 meter. Di luar kotak tersebut, alam semesta-alam semesta—termasuk alam semesta kita—harus mengulangi diri. Bilangan yang kurang-lebih sama dapat diperoleh dengan menggunakan estimasi termodinamika atau gravitasi quantum terhadap total kandungan informasi alam semesta.
Doppelgänger terdekat Anda kemungkinan besar jauh lebih dekat daripada yang diindikasikan oleh bilangan ini, berdasarkan proses pembentukan planet dan evolusi biologis yang berpihak kepada Anda. Astronom menduga bahwa volume Hubble kita memiliki sekurangnya 1020 planet layak huni; beberapa mungkin mirip dengan Bumi.
Kerangka multiverse Level I rutin digunakan untuk mengevaluasi teori-teori dalam kosmologi modern, walaupun prosedur ini jarang diuraikan secara eksplisit. Contoh, pertimbangkan bagaimana kosmolog menggunakan gelombang mikro latar untuk mengesampingkan geometri spheris terhingga. Titik-titik dingin dan panas di peta gelombang mikro latar mempunyai ukuran khas yang tergantung pada lengkungan ruang, dan titik-titik teramati tersebut terlihat terlalu kecil untuk konsisten dengan bentuk spheris. Tapi penting sekali bersikap teliti secara statistik. Ukuran rata-rata titik bervariasi secara acak mulai dari satu volume Hubble sampai lainnya, jadi mungkin alam semesta kita sedang mengelabui kita—boleh jadi ia spheris tapi kebetulan memiliki titik-titik kecil secara abnormal. Saat kosmolog mengatakan telah mengesampingkan model spheris dengan keyakinan 99,9 persen, mereka sebetulnya bermaksud bahwa seandainya model ini benar, kurang dari satu dalam 1.000 volume Hubble akan memperlihatkan titik-titik sekecil yang kita amati.
Pelajarannya adalah bahwa teori multiverse dapat diuji dan disalahgambarkan sekalipun kita tidak bisa melihat alam semesta-alam semesta lain itu. Kuncinya adalah memprediksi bagaimana ansambel alam semesta paralel itu dan merinci distribusi probabilitas, atau yang matematikawan sebut “ukuran”, pada ansambel tersebut. Alam semesta kita semestinya muncul sebagai salah satu yang paling probabel. Jika tidak—jika, menurut teori multiverse, kita tinggal di alam semesta improbabel—maka teori tersebut dalam masalah. Sebagaimana akan saya bahas nanti, persoalan ukuran ini bisa sungguh menantang.
Level II: Gelembung Lain Pascainflasi
Jika multiverse Level I sulit dicerna, coba bayangkan set multiverse-multiverse Level I berlainan yang tak terhingga, beberapa barangkali memiliki dimensionalitas ruangwaktu dan konstanta fisik berbeda. Multiverse-multiverse lain itu—yang menyusun multiverse Level II—diprediksikan oleh teori yang saat ini populer, chaotic eternal inflation (inflasi chaos abadi).
Teori inflasi adalah ekstensi teori big bang dan menangani keberantakan dalam teori tersebut, seperti mengapa alam semesta begitu besar, begitu seragam, dan begitu flat. Peregangan pesat ruang di masa lalu dapat menjelaskan semua atribut ini dan lainnya dalam satu pukulan [lihat “The Inflationary Universe”, tulisan Alan H. Guth dan Paul J. Steinhardt, Scientific American, Mei 1984; dan “Alam Semesta Berinflasi yang Mereproduksi Diri”, tulisan Andrei Linde]. Peregangan demikian diprediksikan oleh banyak teori partikel unsur, dan semua bukti yang tersedia menguatkannya. Frase “chaotic eternal” merujuk pada apa yang terjadi pada skala terbesar. Ruang secara keseluruhan meregang dan akan terus demikian selamanya, tapi beberapa kawasan ruang berhenti meregang dan membentuk gelembung-gelembung berbeda, seperti kantong-kantong gas dalam sehelai roti yang mengembang. Tak terhingga gelembung demikian muncul. Masing-masing adalah embrio multiverse Level I: berukuran tak terhingga dan dipenuhi dengan materi yang disimpan oleh medan energi yang mendorong inflasi.
Gelembung-gelembung ini lebih tak terhingga jauhnya dari Bumi, dalam arti bahwa Anda takkan pernah sampai ke sana sekalipun Anda berjalan dengan kecepatan cahaya selamanya. Alasannya adalah bahwa ruang di antara gelembung kita dan tetangganya mengembang lebih cepat daripada kecepatan Anda melintasinya. Keturunan Anda takkan pernah melihat doppelgänger mereka di tempat lain di Level II. Atas alasan yang sama, jika perluasan kosmik mencepat, sebagaimana diindikasikan sekarang oleh observasi, mereka bahkan mungkin takkan melihat diri tersembunyi mereka di Level I.
Multiverse Level II jauh lebih beragam daripada multiverse Level I. Gelembung-gelembung bervariasi bukan hanya pada kondisi awal mereka tapi juga pada aspek alam yang tetap. Pandangan yang berlaku dalam fisika hari ini adalah bahwa dimensionalitas ruangwaktu, kualitas partikel unsur, dan banyak konstanta fisik bukan dibangun menjadi hukum fisika melainkan merupakan hasil proses yang dikenal sebagai kerusakan kesimetrian. Contoh, teoris berpikir bahwa ruang di alam semesta kita pernah memiliki sembilan dimensi, semuanya berada pada pijakan yang sama. Di awal sejarah kosmik, tiga dari mereka ambil bagian dalam perluasan kosmik dan menjadi tiga dimensi yang kita amati sekarang. Enam lainnya kini tak dapat diamati, karena mereka tetap mikroskopis dengan topologi mirip donat atau karena semua materi terkurung di permukaan tiga-dimensi (membran, atau sederhananya “bran”) di ruang sembilan-dimensi.
Dengan demikian, kesimetrian awal di antara dimensi-dimensi itu rusak. Fluktuasi quantum yang mendorong inflasi chaos dapat menyebabkan kerusakan kesimetrian berbeda pada gelembung berlainan. Beberapa mungkin menjadi empat-dimensi, yang lainnya bisa hanya mengandung dua (bukan tiga) generasi quark, dan yang lain lagi mungkin memiliki konstanta kosmologis lebih kuat daripada alam semesta kita.
Cara lain untuk menghasilkan multiverse Level II mungkin melalui siklus kelahiran dan kehancuran alam semesta-alam semesta. Dalam konteks ilmiah, ide ini diperkenalkan oleh fisikawan Richard C. Tolman pada 1930-an dan baru-baru ini diuraikan panjang lebar oleh fsikawan Paul J. Steinhardt dari Universitas Princeton dan Neil Turok dari Universitas Cambridge. Proposal dan model Steinhardt dan Turok melibatkan bran tiga-dimensi kedua yang sungguh-sungguh paralel dengan bran kita, hanya pengganti di dimensi lebih tinggi [lihat “Been There, Done That”, tulisan George Muser, Scientific American, Maret 2002]. Alam semesta paralel ini bukan alam semesta yang betul-betul terpisah, sebab ia berinteraksi dengan alam semesta kita. Tapi ansambel alam semesta—masa lalu, masa kini, dan masa depan—yang diciptakan bran-bran ini akan membentuk multiverse, dengan keragaman yang mirip dengan yang dihasilkan oleh inflasi chaos. Sebuah ide yang diajukan oleh fisikawan Lee Smolin dari Perimeter Institute di Waterloo, Ontario, melibatkan multiverse lain lagi yang keragamannya sebanding dengan Level II tapi bermutasi dan menunaskan alam semesta-alam semesta baru lewat black hole ketimbang lewat fisika bran.
Walaupun kita tak bisa berinteraksi dengan alam semesta paralel Level II lain, kosmolog dapat menyimpulkan kehadiran mereka secara tak langsung, sebab eksistensi mereka dapat menerangkan kebetulan tak terjelaskan di alam semesta kita. Sebagai analogi, asumsikan Anda mendaftar masuk hotel, kamar yang diberikan adalah nomor 1967 dan ini merupakan tahun kelahiran Anda. Betapa kebetulan, Anda bilang. Namun, setelah sejenak merenung, Anda menyimpulkan bahwa bagaimanapun ini tidak begitu mengejutkan. Hotel tersebut punya ratusan kamar, dan Anda tidak akan memiliki pemikiran seperti ini jika Anda diberi kamar dengan nomor yang tak berarti bagi Anda. Pelajarannya adalah bahwa sekalipun Anda tak tahu apa-apa tentang hotel, Anda dapat menyimpulkan eksistensi kamar hotel lain untuk mejelaskan kebetulan tersebut.
Sebagai contoh yang lebih relevan, pikirkan massa matahari. Massa sebuah bintang menentukan keberkilauannya, dan dengan menggunakan fisika dasar, seseorang dapat memperhitungkan bahwa kehidupan yang kita kenal di Bumi hanya dimungkinkan jika massa matahari berada di kisaran antara 1,6 x 1030 sampai 2,4 x 1030 kilogram. Kalau tidak, iklim Bumi akan lebih dingin dari Mars sekarang atau lebih panas dari Venus sekarang. Massa surya yang terukur adalah 2,0 x 1030 kilogram. Sekilas, kebetulan nyata dalam hal harga massa teramati dan layak huni ini terlihat seperti kemujuran liar belaka. Massa bintang berkisar dari 1029 sampai 1032 kilogram, jadi jika matahari memperoleh massanya secara sembarang, ia hanya punya peluang kecil untuk jatuh ke dalam kisaran layak huni. Tapi sebagaimana dalam contoh hotel, seseorang dapat menjelaskan kebetulan nyata ini dengan mempostulatkan ansambel (dalam kasus ini, sejumlah sistem planet) dan efek seleksi (fakta bahwa kita harus mendapati diri kita tinggal di planet layak huni). Efek seleksi yang terkait dengan pengamat ini disebut sebagai “antropik”, dan walaupun “kata A” terkenal memicu kontroversi, fisikawan umumnya sependapat bahwa efek seleksi ini tidak dapat diabaikan saat menguji teori-teori fundamental.
Yang berlaku pada kamar hotel dan sistem planet berlaku pula pada alam semesta paralel. Sebagian besar, jika tidak semua, atribut yang diset oleh kerusakan kesimetrian terlihat disetel halus (fine-tuning). Pengubahan harga mereka sebesar sedang akan menghasilkan alam semesta yang berbeda secara kualitatif—alam semesta di mana kita mungkin takkan eksis. Seandainya proton 0,2 persen lebih berat, ia tak dapat membusuk menjadi neutron, mendestabilkan atom. Seandainya gaya elektromagnet 4 persen lebih lemah, tak akan ada hidrogen dan bintang normal. Seandainya interaksi lemah jauh lebih lemah, hidrogen takkan eksis, seandainya jauh lebih kuat, supernova akan gagal menyemai ruang antarbintang dengan unsur-unsur berat. Seandainya konstanta kosmologis jauh lebih besar, alam semesta akan meniup dirinya hingga berpisahan sebelum galaksi-galaksi dapat terbentuk.
Walaupun derajat fine-tuning masih diperdebatkan, contoh-contoh ini mengindikasikan eksistensi alam semesta paralel dengan harga konstanta fisik yang lain [lihat “Mengeksplorasi Alam Semesta Kita dan Alam Semesta Lain”, tulisan Martin Rees, Scientific American, Desember 1999]. Teori multiverse Level II memprediksi bahwa fisikawan takkan pernah mampu menetapkan harga konstanta-konstanta ini dari prinsip pertama. Mereka hanya akan mengkomputasi distribusi probabilitas atas apa yang mereka harap temukan, memperhitungkan efek seleksi. Hasilnya semestinya generik dan konsisten dengan eksistensi kita.
Level III: Many Worlds Quantum
Multiverse Level I dan Level II melibatkan dunia-dunia paralel yang jauh sekali, bahkan di luar domain astronom. Tapi level multiverse berikutnya persis di sekitar Anda. Ia timbul dari interpretasi many worlds mekanika quantum yang terkenal dan kontroversial—ide bahwa proses quantum acak menyebabkan alam semesta mencabang menjadi berkali-lipat salinan, satu untuk setiap kemungkinan hasil.
Pada awal abad 20, teori mekanika quantum merevolusi fisika dengan menjelaskan alam atom, yang tidak mematuhi aturan klasik mekanika Newtonian. Meski teori tersebut mendapat keberhasilan nyata, berkecamuk debat panas mengenai makna sebenarnya. Teori itu merinci status alam semesta bukan dari segi klasik, seperti posisi dan kecepatan semua partikel, melainkan dari segi objek matematis yang disebut fungsi gelombang.
Menurut persamaan Schrödinger, status ini berevolusi seiring waktu dengan cara yang matematikawan istilahkan sebagai “uniter”, artinya fungsi gelombang berotasi di ruang abstrak berdimensi tak terhingga yang disebut ruang Hilbert. Walaupun mekanika quantum sering digambarkan sebagai acak dan tak pasti, fungsi gelombang berevolusi secara deterministis. Tak ada yang acak atau tak pasti tentangnya.
Bagian sulitnya adalah bagaimana menghubungkan fungsi gelombang ini dengan apa yang kita amati. Banyak fungsi gelombang logis dapat disamakan dengan situasi kontraintuitif, misalnya kucing yang mati dan hidup pada waktu bersamaan dalam superposisi. Pada 1920-an, fisikawan menghilangkan keganjilan ini dengan mempostulatkan bahwa fungsi gelombang “kolaps” menjadi suatu hasil klasik definitif setiap kali seseorang melakukan pengamatan. [Postulat] tambahan ini mengandung kebaikan yaitu menjelaskan pengamatan, tapi mengubah teori uniter elegan menjadi teori nonuniter janggal. Keacakan intrinsik yang biasa diatributkan pada mekainika quantum adalah hasil postulat ini.
Selama bertahun-tahun banyak fisikawan membuang pandangan ini karena lebih menyukai teori yang dikembangkan pada 1957 oleh mahasiswa sarjana Princeton, Hugh Everett III. Dia menunjukkan bahwa postulat kekolapsan tidaklah diperlukan. Teori quantum murni tidak, nyatanya, menimbulkan kontradiksi apapun. Walaupun [teori Hugh] memprediksi bahwa satu realitas klasik perlahan-lahan membelah menjadi superposisi banyak realitas demikian, pengamat secara subjektif mengalami pembelahan ini sekadar sebagai keacakan tipis, dengan probabilitas yang persis cocok dengan probabilitas dari postulat kekolapsan. Superposisi dunia-dunia klasik ini merupakan multiverse Level III.
Interpretasi many worlds Everett telah mengejutkan pikiran di dalam dan di luar kalangan fisika selama lebih dari empat dekade. Tapi teori tersebut menjadi lebih mudah dimengerti manakala seseorang membedakan di antara dua cara memandang teori fisika: pandangan luar seorang fisikawan yang mempelajari persamaan matematisnya, seperti burung yang mensurvey pemandangan dari atas, dan pandangan dalam seorang pengamat yang hidup di dunia yang digambarkan oleh persamaan itu, seperti katak yang tinggal di pemandangan yang disurvey oleh burung tadi.
Dari perspektif burung, multiverse Level III adalah sederhana. Hanya ada satu fungsi gelombang. Ia berevolusi secara halus dan deterministis seiring waktu tanpa pembelahan atau paralelisme apapun. Dunia quantum abstrak yang digambarkan oleh fungsi gelombang berevolusi ini mengandung garis-garis kisah klasik paralel yang banyak sekali, terus-menerus membelah dan bergabung, serta sejumlah fenomena quantum yang tak memiliki deskripsi klasik. Dari perspektif katak, pengamat hanya melihat sebagian kecil realitas utuh ini. Mereka dapat memandang alam semesta Level I mereka, tapi sebuah proses yang disebut dekoherensi—yang menyerupai kekolapsan fungsi gelombang sambil mempertahankan keuniteran—mencegah mereka melihat salinan diri paralel Level III.
Setiap kali pengamat diajukan pertanyaan, membuat keputusan tergesa-gesa, dan memberikan jawaban, efek-efek quantum di otak mereka melahirkan superposisi hasil-hasil, seperti “Terus membaca artikel” dan “Taruh artikel”. Dari perspektif burung, tindakan pengambilan keputusan menyebabkan seseorang membelah menjadi berkali-lipat salinan: seseorang yang terus membaca dan seseorang yang tidak melanjutkan membaca. Namun dari perspektif katak, tiap-tiap diri tersembunyi ini tidak menyadari yang lainnya dan melihat pencabangan itu sekadar sebagai keacakan tipis: probabilitas pasti untuk terus membaca atau tidak.
Meski ini terdengar aneh, situasi yang persis sama bahkan terdapat pada multivers Level I. Anda jelas telah memutuskan untuk terus membaca artikel ini, tapi salah satu diri tersembunyi Anda di sebuah galaksi jauh menaruh majalah ini setelah paragraf pertama. Satu-satunya perbedaan antara Level I dan Level III adalah letak doppelgänger-doppelgänger Anda bertempat tinggal. Di Level I, mereka tinggal di tempat lain di ruang tiga-dimensi lama. Di Level III, mereka tinggal di cabang quantum lain di ruang Hilbert berdimensi tak terhingga.
Eksistensi Level III tergantung pada satu asumsi krusial: evolusi waktu panjang gelombang adalah uniter. Sejauh ini para pelaksana eksperimen belum menjumpai penyimpangan dari kenuiteran. Dalam beberapa dekade belakangan, mereka telah mengkonfirmasikan keuniteran untuk sistem-sistem yang lebih besar lagi, meliputi molekul buckyball karbon 60 dan serat optik sepanjang satu kilometer. Di sisi teoritis, kasus keuniteran telah didukung oleh penemuan dekoherensi [lihat “100 Tahun Misteri Quantum”, tulisan Max Tegmark dan John Archibald Wheeler]. Beberapa teoris yang mengerjakan gravitasi quantum menyangsikan keuniteran; perhatiannya adalah bahwa black hole yang menguap mungkin menghancurkan informasi, yang merupakan proses nonuniter. Tapi terobosan mutakhir dalam teori string yang dikenal sebagai korespondensi Ads/CFT mengindikasikan bahwa gravitasi quantum pun uniter. Jika demikian, black hole tidak menghancurkan informasi melainkan sekadar mentransmisikannya ke tempat lain. [Catatan editor: artikel mendatang akan membahas korespondensi ini secara lebih detail].
Jika fisika adalah uniter, maka gambaran standar tentang bagaimana fluktuasi beroperasi di awal big bang harus berubah. Fluktuasi-fluktuasi ini tidak menghasilkan kondisi awal secara acak. Justru mereka menghasilkan superposisi quantum semua kemungkinan kondisi awal, yang berkoeksis secara serentak. Dekoherensi kemudian menyebabkan kondisi-kondisi awal ini berperilaku secara klasik di cabang-cabang quantum terpisah. Berikut adalah poin krusialnya: distribusi hasil-hasil di cabang-cabang quantum berlainan di volume Hubble tertentu (Level III) adalah identik dengan distribusi hasil-hasil di volume-volume Hubble berlainan di sebuah cabang quantum (Level I). Atribut fluktuasi quantum ini dikenal dalam mekanika statistik sebagai ergodisitas.
Argumentasi yang sama berlaku pada Level II. Proses kerusakan kesimetrian tidak menghasilkan sebuah hasil unik melainkan superposisi semua hasil, yang secara cepat menempuh jalan mereka masing-masing. Jadi jika konstanta fisik, dimensionalitas ruangwaktu, dan sebagainya dapat bervariasi di antara cabang-cabang quantum paralel di Level III, maka mereka juga akan bervariasi di antara alam semesta-alam semesta paralel di Level II.
Dengan kata lain, multiverse Level III tidak menambahkan yang baru di luar Level I dan Level II, cuma salinan alam semesta yang sama yang lebih tak dapat dibedakan—garis kisah yang sama yang bermain lagi dan lagi di cabang-cabang quantum lain. Karenanya, perdebatan sengit mengenai teori Everett rasanya berakhir dalam antiklimaks besar, dengan penemuan multiverse kurang kontroversial (Level I dan II) yang sama-sama besar.
Tak perlu dikatakan, implikasinya mendalam, dan fisikawan baru mulai mengeksplorasinya. Contoh, pikirkan percabangan jawaban pada pertanyaan lama: Apakah jumlah alam semesta bertambah secara eksponensial seiring waktu? Jawaban mengejutkannya adalah tidak. Dari perspektif burung, tentu saja hanya ada satu alam semesta quantum. Dari perspektif katak, yang menjadi soal adalah jumlah alam semesta yang dapat dibedakan pada jenak tertentu—yakni, jumlah volume-volume Hubble yang berlainan. Bayangkan memindahkan planet-planet ke lokasi sembarang yang baru, bayangkan menikahi seseorang yang lain, dan sebagainya. Pada level quantum, terdapat 10 sampai 10118 alam semesta bertemperatur di bawah 108 kelvin. Itu jumlah yang besar, tapi terhingga.
Dari perspektif katak, evolusi fungsi gelombang dapat disamakan dengan pergelinciran tanpa akhir dari salah satu (dari 10 sampai 10118 status) status ini ke status lainnya. Kini Anda berada di alam semesta A, alam semesta di mana Anda sedang membaca kalimat ini. Kini Anda berada di alam semesta B, alam semesta di mana Anda sedang membaca salinan kalimat ini. Dengan kata lain, alam semesta B memiliki pengamat yang identik dengan pengamat di alam semesta A, kecuali dengan jenak ingatan tambahan. Semua kemungkinan status eksis di setiap jenak, jadi aliran waktu mungkin berada dalam pandangan pelihat—sebuah ide yang digali dalam novel sains-fiksi tahun 1994 karya Greg Egan berjudul Permutation City dan dikembangkan oleh fisikawan David Deutsch dari Universitas Oxford, fisikawan independen Julian Barbour, dan yang lainnya. Dengan demikian kerangka multiverse mungkin terbukti esensial untuk memahami sifat waktu.
MISTERI PROBABILITAS: APA KEMUNGKINANNYA?
Begitu teori-teori multiverse memperoleh kepercayaan, isu melekat tentang bagaimana caranya mengkomputasi probabilitas dalam fisika tumbuh dari gangguan kecil menjadi hal besar yang memalukan. Jika memang ada banyak salinan identik Anda, gagasan tradisional determinisme menguap. Anda tidak bisa mengkomputasi masa depan Anda sendiri sekalipun Anda memiliki pengetahuan lengkap mengenai keseluruhan status multiverse, sebab tidak ada cara bagi Anda untuk menentukan mana dari salinan-salinan ini yang merupakan diri Anda (mereka semua merasa sebagai diri). Karenanya yang bisa Anda prediksikan hanyalah probabilitas untuk apa yang Anda amati. Jika sebuah hasil memiliki probabilitas, katakanlah, 50 persen, artinya separuh dari pengamat-pengamat itu mengamati hasil tersebut.
Sayangnya, bukanlah tugas mudah untuk mengkomputasi seberapa sedikit dari pengamat berjumlah tak terhingga itu melihat sesuatu. Jawabannya tergantung pada urutan Anda menghitung mereka. Analoginya, sebagian kecil bilangan bulat yang genap adalah 50 persen jika Anda mengurut mereka secara numeris (1,2,3,4,…) tapi mendekati 100 persen jika Anda menyortir mereka digit per digit, mirip dengan word processor/software pengolah kata (1, 10, 100, 1000,…) Ketika pengamat-pengamat bertempat di alam semesta-alam semesta terputus, jelas tak ada cara alami untuk mengurut mereka. Malah, seseorang harus mengambil sampel dari alam semesta-alam semesta berbeda dengan suatu bobot statistik yang disebut oleh matematikawan sebagai “ukuran”.
Persoalan ini muncul secara ringan dan dapat diatasi di Level I, menjadi parah di Level II, telah menimbulkan banyak perdebatan di Level III, dan menghebohkan di Level IV. Di Level II, misalnya, Alexander Vilenkin dari Universitas Tufts dan yang lainnya telah mempublikasikan prediksi-prediksi untuk distribusi probabilitas berbagai parameter kosmologis. Mereka berargumen bahwa alam semesta paralel berlainan yang telah berinflasi dengan besaran berbeda mesti diberi bobot statistik yang proporsional dengan volumenya. Di sisi lain, matematikawan manapun akan memberitahu Anda bahwa 2 x ∞ = ∞, jadi tak ada pengertian objektif di mana sebuah alam semesta tak terhingga yang sudah mengembang sebesar faktor dua telah membesar. Lagipula, sebuah alam semesta terhingga bertopologi torus adalah ekuivalen dengan alam semesta periodik sempurna bervolume tak terhingga, yang pertama dari perspektif matematis burung dan yang kedua dari perspektif pengamat ala katak yang berada di dalamnya. Jadi mengapa volume kecil tak terhingga mesti memberinya bobot statistik nol? Bagaimanapun juga, di multiverse Level I pun, volume-volume Hubble mulai mengulangi diri (walaupun dalam urutan acak, bukan periodik) setelah sekitar 10 sampai 10118 meter.
Jika Anda pikir itu buruk, pertimbangkan persoalan pengatributan bobot statistik pada struktur-struktur matematis berlainan di Level IV. Fakta bahwa alam semesta kita relatif sederhana telah menuntun banyak orang untuk menyatakan bahwa ukuran tepat melibatkan kompleksitas.
Level IV: Struktur Matematis Lain
Kondisi awal dan konstanta fisik di multiverse-multiverse Level I, Level II, dan Level III bisa bervariasi, tapi hukum fundamental yang mengatur alam tetap sama. Mengapa berhenti di situ? Mengapa tidak mengizinkan hukum itu sendiri bervariasi? Bagaimana dengan alam semesta yang mematuhi hukum fisika klasik, tanpa efek quantum? Bagaimana dengan waktu yang tersusun dari langkah-langkah diskret, sebagaimana pada komputer, bukannya continuous? Bagaimana dengan alam semesta yang berupa dodekahedron hampa? Di multiverse level IV, semua realitas alternatif ini sungguh-sungguh eksis.
Petunjuk bahwa multiverse semacam itu bukan sekadar suatu spekulasi adalah korespondensi ketat antara dunia argumentasi abstrak dan dunia realitas teramati. Persamaan-persamaan dan, lebih umumnya, struktur-struktur matematis seperti bilangan, vektor, dan objek geometris menggambarkan dunia dengan kemungkinan benar yang luar biasa. Dalam kulisah terkenal tahun 1959, fisikawan Eugene P. Wigner berargumen bahwa “manfaat hebat matematika dalam ilmu alam adalah sesuatu yang berbatasan dengan misteri.” Sebaliknya, struktur-struktur matematis memiliki rasa riil terhadap misteri. Mereka memenuhi kriteria sentral eksistensi objektif: mereka tetap sama tak peduli siapa yang mempelajarinya. Sebuah teorema adalah benar tanpa menghiraukan apakah ia dibuktikan oleh manusia, komputer, atau lumba-lumba cerdas. Peradaban alien kontemplatif akan menemukan struktur matematis yang sama dengan punya kita. Karena itu, para matematikawan umumnya mengatakan bahwa dirinya menemukan struktur matematis bukan menciptakannya.
Ada dua paradigma yang dapat dipertahankan tapi bertentangan secara diametris untuk memahami korespondensi antara matematika dan fisika, sebuah dikotomi yang berawal dari Plato dan Aristoteles. Menurut paradigma Aristotelian, realitas fisik adalah fundamental dan bahasa matematis adalah sekadar penaksiran bermanfaat. Menurut paradigma Platonis, struktur matematis adalah realitas sejati dan pengamat melihatnya secara tak sempurna. Dengan kata lain, kedua paradigma ini tak sependapat pada hal yang lebih dasar, perspektif pengamat ala katak atau perspektif hukum fisika ala burung. Paradigma Aristotelian lebih menyukai perspektif katak, sedangkan paradigma Platonis lebih menyukai perspektif burung.
Saat kanak-kanak, jauh sebelum kita mendengar matematika, kita semua diindoktrinasi dengan paradigma Aristotelian. Pandangan Platonis adalah kebiasaan yang diperoleh kemudian. Fisikawan teoritis modern cenderung Platonis, menduga bahwa matematika menggambarkan alam semesta dengan begitu baik karena alam semesta bersifat matematis. Maka seluruh fisika pada akhirnya merupakan persoalan matematika: seorang matematikawan berkecerdasan dan bersumber daya tak terbatas pada prinsipnya dapat mengkomputasi perspektif katak—yakni, mengkomputasi pengamat sadar-diri bagaimana yang dikandung alam semesta, apa yang mereka lihat, dan bahasa apa yang mereka ciptakan untuk menggambarkan persepsi mereka kepada satu sama lain.
Struktur matematis adalah entitas abstrak tetap yang eksis di luar ruang dan waktu. Seandainya sejarah adalah sebuah film, struktur tersebut dapat disamakan dengan keseluruhan rekaman, bukan dengan satu frame saja. Pikirkan, contohnya, sebuah dunia yang tersusun dari partikel mirip titik yang bergerak-gerak di ruang tiga-dimensi. Di ruangwaktu empat-dimensi—perspektif burung—trayektori partikel ini menyerupai kekusutan spageti. Jika katak melihat partikel bergerak dengan kecepatan konstan, burung melihat seuntai lurus spageti mentah. Jika katak melihat sepasang partikel yang mengorbit, burung melihat dua untai spageti yang berjalin seperti heliks ganda. Bagi katak, dunia digambarkan oleh hukum gerak dan gravitasi Newton—sebuah struktur matematis. Katak itu sendiri adalah segumpal pasta kental belaka, yang perjalinan kompleksnya dapat disamakan dengan segugus partikel yang menyimpan dan memproses informasi. Alam semesta kita jauh lebih rumit daripada contoh ini, dan ilmuwan belum tahu ia dapat disamakan dengan struktur matematis apa, jika ada.
Paradigma Platonis menimbulkan pertanyaan tentang mengapa alam semesta begini adanya. Bagi seorang Aristotelian, ini merupakan pertanyaan tak berarti: alam semesta beginilah adanya. Tapi seorang Platonis mau tak mau harus bertanya-tanya mengapa alam semesta tidak [berkondisi] lain. Jika alam semesta bersifat matematis, maka mengapa hanya satu yang terpilih dari sekian banyak struktur matematis untuk menggambarkan alam semesta? Keasimetrian fundamental kelihatannya terpasang di dalam jantung realitas.
Sebagai jalan keluar dari teka-teki ini, saya telah menyatakan bahwa kesimetrian matematis lengkap berpandangan bahwa: semua struktur matematis eksis secara fisik juga. Setap strktur matematis dapat disamakan dengan alam semesta paralel. Elemen-elemen multiverse ini tidak bertempat di ruang yang sama tapi eksis di luar ruang dan waktu. Sebagian besar mereka barangkali sama sekali tanpa pengamat. Hipotesis ini bisa dipandang sebagai sebentuk Platonisme radikal, menegaskan bahwa struktur-struktur matematis dalam alam ide Plato atau “mindscape” matematikawan Rudy Rucker dari San Jose State University eksis dalam pergertian fisik. Ini sama dengan apa yang disebut oleh kosmolog John D. Barrow (Universitas Cambridge) sebagai “π di langit”, apa yang disebut oleh filsuf Robert Nozick (Universitas Harvard) sebagai principle of fecundity (prinsip kesuburan), dan apa yang disebut oleh filsuf David K. Lewis (Princeton) sebagai modal realism. Level IV menutup hirarki multiverse, sebab teori fisika fundamental yang konsisten manapun dapat diutarakan sebagai suatu jenis struktur matematis.
Hipotesis multiverse Level IV membuat prediksi yang dapat diuji. Sebagaimana dengan Level II, ia melibatkan sebuah ansambel (dalam kasus ini, barisan lengkap struktur matematis) dan efek seleksi. Begitu matematikawan melanjutkan untuk mengkategorikan struktur-struktur matematis, mereka semestinya menemukan bahwa struktur yang menggambarkan dunia kita adalah struktur paling generik yang konsisten dengan observasi kita. Demikian pula, observasi kita di masa depan semestinya merupakan observasi paling generik yang konsisten dengan observasi kita di masa lalu, dan observasi kita di masa lalu semestinya merupakan observasi paling generik yang konsisten dengan eksistensi kita.
Mengukur arti “generik” adalah persoalan berat, dan penyelidikan ini baru dimulai. Tapi satu fitur struktur matematis yang mengejutkan dan membesarkan hati adalah bahwa atribut kesimetrian dan invariansi yang bertanggung jawab atas kesederhanaan dan keteraturan alam semesta kita cenderung generik, lebih banyak aturan daripada pengecualian. Struktur matematis cenderung memilikinya secara default, dan aksioma rumit tambahan harus ditambahkan untuk membuatnya hilang.
Mana yang Berbunyi Occam
(Occam’s razor: prinsip bahwa kita mesti condong kepada teori yang lebih sederhana sampai kita memperoleh penjelasan berbobot bukti lebih baik.)
Teori-teori ilmiah alam semesta paralel, karenanya, membentuk hirarki empat level, di mana alam semesta-alam semesta menjadi semakin berbeda dari alam semesta kita. Mereka mungkin memiliki kondisi awal berbeda (Level I); konstanta fisik dan partikel berbeda (Level II); atau hukum fisika berbeda (Level IV). Ironisnya, Level III adalah level yang paling mendapat dukungan dalam dekade-dekade belakangan, sebab merupakan satu-satunya yang tidak menambahkan tipe-tipe alam semesta yang baru secara kualitatif.
Dalam dekade mendatang, pengukuran kosmologis yang meningkat drastis terhadap gelombang mikro latar dan distribusi materi skala besar akan mendukung atau membantah Level I dengan lebih jauh menekankan lengkungan dan topologi ruang. Pengukuran-pengukuran ini juga akan menyelidiki Level II dengan menguji teori chaotic eternal inflation. Kemajuan dalam astrofisika dan fisika high-energy semestinya juga mengklarifikasi tingkat fine-tuning konstanta fisik, dengan demikian memperlemah atau memperkuat dukungan untuk Level II.
Jika upaya saat ini untuk membangun komputer quantum berhasil, perangkat tersebut akan menyediakan bukti lebih jauh untuk Level II, sebab pada esensinya perangkat akan mengeksploitasi paralelisme multiverse Level III untuk komputasi paralel. Para pelaksana eksperimen juga sedang mencari bukti pelanggaran keuniteran, yang akan menyingkirkan Level III. Terakhir, keberhasilan atau kegagalan dalam tantangan besar fisika modern—penyatuan relativitas umum dan teori medan quantum—akan mengayun opini kepada Level IV. Kita akan menemukan struktur matematis yang persis cocok dengan alam semesta kita, atau kita akan menabrak batas keefektifan matematika yang keterlaluan dan harus membuang level tersebut.
Jadi haruskah Anda mempercayai alam semesta paralel? Argumen prinsipil yang menentangnya adalah bahwa [eksistensi alam semesta paralel] itu pemborosan dan ganjil. Argumen pertama adalah bahwa teori-teori multiverse rentan terhadap Occams razor sebab mempostulatkan eksistensi dunia-dunia lain yang takkan pernah bisa kita amati. Mengapa alam mesti begitu boros dan menuruti kemewahan semisal ketakterhinggaan dunia berlainan? Tapi argumen ini bisa dibalikkan untuk mendukung multiverse. Apa persisnya yang diboroskan oleh alam? Tentu bukan ruang, massa, atau atom—multiverse Level I yang tak kontroversial telah mengandung ketiganya dalam jumlah tak terhingga, jadi siapa peduli bila alam memboroskan lebih banyak lagi? Isu riil di sini adalah pengurangan nyata kesederhanaan. Seorang skeptis pasti memikirkan semua informasi yang diperlukan untuk merinci semua dunia tak terlihat itu.
Tapi keseluruhan ansambel seringkali jauh lebih sederhana daripada salah satu anggotanya. Prinsip ini dapat dinyatakan secara lebih formal memakai gagasan kandungan informasi algoritmik. Kandungan informasi algoritmik dalam sebuah bilangan adalah, kurang lebih, panjang program komputer terpendek yang akan menghasilkan bilangan tersebut sebagai output. Contoh, pikirkan set semua bilangan bulat. Mana yang lebih sederhana, keseluruhan set atau satu bilangan saja? Secara naif, Anda mungkin berpikir bahwa satu bilangan adalah lebih sederhana, padahal keseluruhan set dapat dihasilkan oleh program komputer sepele, sedangkan satu bilangan bisa amat panjang. Karenanya, keseluruhan set sesungguhnya lebih sederhana.
Demikian pula, set semua solusi persamaan medan Einstein adalah lebih sederhana daripada satu solusi spesifik. Set semua solusi digambarkan oleh beberapa persamaan, sedangkan satu solusi spesifik membutuhkan spesifikasi data awal yang banyak sekali mengenai suatu permukaan hiper. Pelajarannya adalah bahwa kompleksitas meningkat saat kita membatasi perhatian kita kepada satu elemen khusus sebuah ansambel, dengan demikian kehilangan kesimetrian dan kesederhanaan yang inheren dalam keseluruhan semua elemen jika disatukan.
Dalam pengertian ini, multiverse level tinggi adalah lebih sederhana. Beranjak dari alam semesta kita menuju multiverse Level I akan menyingkirkan keharusan untuk merinci kondisi awal, naik ke Level II akan menyingkirkan keharusan untuk merinci konstanta fisik, dan naik ke multiverse Level IV akan menyingkirkan keharusan untuk merinci segala sesuatu sama sekali. Kemewahan kompleksitas hanya ada pada persepsi subjektif pengamat—perspektif katak. Dari perspektif burung, multiverse selalu sederhana.
Keluhan soal keganjilan lebih bersifat estetis daripada ilmiah, dan itu sebetulnya hanya masuk akal dalam pandangan keduniaan Aristotelian. Tapi apa yang kita harapkan? Saat kita mengajukan pertanyaan tentang sifat realitas, bukankah kita mengharapkan jawaban yang terdengar aneh? Evolusi menyediakan kita intuisi untuk fisika keseharian yang memiliki nilai kelangsungan hidup bagi leluhur jauh kita, jadi kapanpun kita mengarungi melampaui dunia keseharian kita, kita pasti mengharapnya aneh.
Fitur umum keempat level multiverse di atas adalah bahwa teori paling sederhana dan elegan melibatkan alam semesta paralel secara default. Untuk menyangkal eksistensi alam semesta-alam semesta itu, seseorang harus memperumit teori tersebut dengan menambahkan proses tak berlandaskan eksperimen dan postulat khusus: ruang terhingga, kekolapsan fungsi gelombang, dan keasimetrian ontologis. Karenanya penilaian kami jatuh pada apa yang kami dapati lebih boros dan tak elegan: many worlds atau many words. Barangkali lambat-laun kita akan terbiasa dengan cara ganjil kosmos kita dan mendapati keanehannya sebagai bagian pesonanya.
Penulis
Max Tegmark menulis game komputer Tetris versi empat-dimensi saat kuliah. Di alam semesta lain, dia berlanjut menjadi pengembang software berbayaran tinggi. Namun di alam semesta kita, dia berakhir sebagai profesor fisika dan astronomi di Universitas Pennsylvania. Tegmark adalah pakar dalam menganalisa gelombang mikro kosmik latar dan penggugusan galaksi. Banyak karyanya menyinggung konsep alam semesta paralel: mengevaluasi bukti ruang tak terhingga dan inflasi kosmologis; mengembangkan pemahaman tentang dekoherensi quantum; dan mempelajari kemungkinan bahwa amplitudo fluktuasi gelombang mikro latar, dimensionalitas ruangwaktu, dan hukum fisika fundamental bisa bervariasi dari tempat ke tempat.
Untuk Digali Lebih Jauh
- Why Is the CMB Fluctuation Level 10–5? Max Tegmark dan Martin Rees dalam Astrophysical Journal, Vol. 499, No. 2, hal. 526–532; 1 Juni 1998. Tersedia online di www.arxiv.org/abs/astro-ph/9709058.
- Is “The Theory of Everything” Merely the Ultimate Ensemble Theory? Max Tegmark dalam Annals of Physics, Vol. 270, No.1, hal. 1–51; 20 November 1998. Tersedia online di www.arxiv.org/abs/gr-qc/9704009.
- Many Worlds in One. Jaume Garriga dan Alexander Vilenkin dalam Physical Review, Vol. D64, No. 043511; 26 Juli 2001. Tersedia online di www.arxiv.org/abs/gr-qc/0102010.
- Our Cosmic Habitat. Martin Rees. Princeton University Press, 2001.
- Inflation, Quantum Cosmology and the Anthropic Principle. Andrei Linde dalam Science and Ultimate Reality: From Quantum to Cosmos. Disunting oleh J. D. Barrow, P.C.W. Davies, dan C. L. Harper. Cambridge University Press, 2003. Tersedia online di www.arxiv.org/abs/hep-th/0211048.
- Website penulis memuat lebih banyak informasi, www.hep.upenn.edu/~max/multiverse.html.
No comments:
Post a Comment