(Sumber: Special Edition Scientific American – A Matter of Time, 2006, hal. 34-41)
Beberapa bangunan otak berkontribusi terhadap “waktu pikiran”,
menyusun pengalaman-pengalaman kita ke dalam kronologi peristiwa yang
diingat.
Kita bangun sesuai waktu, berkat jam alarm, dan menjalani hari yang
dialirkan oleh waktu—pertemuan, pengunjung, panggilan konferensi, dan
makan siang semuanya disetel untuk dimulai pada jam tertentu. Kita dapat
mengkoordinasi aktivitas kita sendiri dengan aktivitas orang lain
karena kita semua sepakat penuh untuk mengikuti sistem tunggal
pengukuran waktu, sistem yang didasarkan pada naik turunnya cahaya siang
yang tak bisa ditawar. Dalam perjalanan evolusi, manusia telah
mengembangkan jam biologis yang disetel pada ritme terang dan gelap yang
berselang-seling ini. Jam ini, terletak di hipothalamus otak, mengatur apa yang saya sebut sebagai waktu tubuh [lihat “Waktu Kehidupan Kita”, tulisan Karen Wright].
Tapi ada jenis waktu lain. “Waktu pikiran” berurusan dengan bagaimana
kita mengalami aliran waktu dan bagaimana kita menyusun kronologi.
Meski detakan jam itu tetap, durasi bisa terasa cepat atau lambat,
pendek atau panjang. Dan ketidaktetapan ini bisa terjadi pada skala
berbeda-beda, mulai dari dekade, musim, minggu, jam, sampai interval
musik terkecil—rentang not atau momen bisu di antara dua not. Kita juga
menempatkan peristiwa-peristiwa dalam waktu, memutuskan kapan mereka
terjadi, di urutan mana dan pada skala berapa, apakah seumur hidup atau
beberapa detik.
Overview
- Para periset memahami bagaimana tubuh menjaga/mencatat waktu lewat ritme circadian tapi tidak paham bagaimana otak mampu menempatkan peristiwa dalam urutan kronologis yang benar.
- Studi mutakhir mengindikasikan bahwa berbagai bangunan otak, mencakup hippocampus, otak depan dasar, dan cuping temporal, memainkan peran dalam mencatat “waktu pikiran”.
Bagaimana waktu pikiran berkaitan dengan jam biologis waktu tubuh,
itu belum diketahui. Juga tidak jelas apakah waktu pikiran bergantung
kepada satu perangkat pencatat waktu atau apakah pengalaman kita atas
durasi dan urutan waktu bersandar pada terutama, atau bahkan
semata-mata, pemrosesan informasi. Bila yang kedua terbukti benar, waktu
pikiran pasti ditentukan oleh perhatian yang kita berikan kepada
peristiwa-peristiwa dan emosi yang kita rasakan saat peristiwa tersebut
terjadi. Ia juga pasti dipengaruhi oleh cara kita merekam peristiwa itu
dan kesimpulan yang kita buat saat kita mempersepsikan dan mengingatnya.
BRAIN BASICS
Menemukan Waktu
Menemukan Waktu
Waktu dan Ingatan
Saya pertama kali tertarik pada persoalan pemrosesan waktu lewat
pekerjaan saya dengan pasien-pasien neurologis. Orang yang menderita
kerusakan pada kawasan-kawasan otak yang digunakan dalam belajar dan
mengingat fakta baru mengalami gangguan penting dalam kemampuan mereka
menempatkan peristiwa-peristiwa masa lalu di periode dan urutan yang
tepat. Selain itu, para pengidap amnesia ini kehilangan kemampuan untuk
mengestimasi aliran waktu secara akurat pada skala jam, bulan, tahun,
dan dekade. Jam biologis mereka, di sisi lain, seringkali tetap utuh,
sehingga mereka mampu mengindera durasi singkat yang berlangsung satu
menit atau kurang dan mampu mengurutkannya secara semestinya. Terakhir,
pengalaman pasien-pasien ini menyiratkan bahwa pemrosesan waktu dan tipe
ingatan tertentu pasti berbagi beberapa jalur neurologis bersama.
Hubungan antara amnesia dan waktu dapat dilihat secara dramatis dalam kasus kerusakan otak permanen pada hippocampus,
kawasan otak yang penting bagi ingatan, dan pada cuping temporal di
dekatnya, kawasan yang melaluinya hippocampus mengadakan komunikasi dua
arah dengan seluruh korteks otak besar. Kerusakan pada hippocampus
mencegah pembentukan ingatan baru. Kemampuan untuk membentuk ingatan
merupakan bagian yang sangat diperlukan dalam mengkonstruksi persepsi
kronologi kita sendiri. Kita membangun timeline kita peristiwa
demi peristiwa, dan kita mengkoneksikan kejadian pribadi dengan kejadian
yang terjadi di sekeliling kita. Saat hippocampus rusak, pasien jadi
tak mampu menyimpan ingatan faktual selama lebih dari sekitar satu
menit. Pasien yang begitu menderita dikatakan mempunyai amnesia anterograde.
Yang membuat penasaran, ingatan yang dibantu dibentuk oleh
hippocampus bukan disimpan di hippocampus. Ia didistribusikan di
jaringan syaraf yang terdapat di bagian-bagian korteks otak besar
(termasuk cuping temporal) yang terkait dengan material yang direkam:
area yang didedikasikan untuk kesan visual, suara, informasi yang
diraba, dan seterusnya. Jaringan-jaringan ini pasti diaktifkan untuk
menaruh dan mengingat ingatan; manakala mereka rusak, pasien tidak bisa
memulihkan ingatan jangka panjang, kondisi yang dikenal sebagai amnesia retrograde.
Ingatan yang paling mencolok hilang dalam amnesia retrograde adalah
ingatan yang justru mengandung stempel waktu: ingatan atas
peristiwa-peristiwa unik yang terjadi dalam konteks tertentu pada
kesempatan tertentu. Contohnya, ingatan atas pernikahan seseorang
mengandung satu stempel waktu. Ingatan lain tapi terkait—katakanlah,
ingatan tentang konsep acara perkawinan—tidak memuat tanggal seperti
itu. Cuping temporal yang mengelilingi hippocampus sangat krusial dalam
membuat dan mengingat ingatan semacam itu.
Pada pasien-pasien yang menderita kerusakan pada korteks cuping
temporal, ingatan otobiografi selama bertahun-tahun dan bahkan
berdekade-dekade bisa terhapus dan tak dapat ditarik kembali. Viral encephalitis
(radang otak akibat virus), stroke, dan penyakit Alzheimer termasuk di
antara kerugian neurologis yang bertanggung jawab atas kerusakan paling
parah.
Untuk pasien seperti itu, yang telah saya dan kolega saya pelajari
selama 25 tahun, gap waktu hilang hampir sepenuhnya hingga tempat
kelahiran. Saat pasien saya berumur 46 tahun, dia menderita kerusakan
pada hippocampus dan bagian-bagian cuping temporal. Jadi, dia mengalami
amnesia anterograde dan amnesia retrograde: dia tidak dapat membentuk
ingatan faktual baru, dan tidak dapat mengingat ingatan faktual lama.
Pasien menghuni masa kini permanen, tak mampu mengingat apa yang terjadi
satu menit atau 20 tahun yang lalu.
Benar, dia tidak mempunyai persepsi waktu sama sekali. Dia tidak bisa
memberitahu kita tanggal, dan saat diminta untuk menerka, responnya
liar—seberbeda 1942 dan 2013. Dia bisa menerka waktu secara lebih akurat
jika dia mempunyai akses ke jendela dan bisa memperkirakannya
berdasarkan cahaya dan bayangan. Tapi bila dia dijauhkan dari jam atau
jendela, pagi tidak ada bedanya dengan sore, dan malam tidak ada bedanya
dengan siang; jam waktu tubuh tidak membantu. Pasien ini juga tidak
bisa menyebutkan usianya. Dia bisa menerka, tapi terkaannya cenderung
salah.
Dua dari segelintir hal spesifik yang dia ketahui secara pasti adalah
bahwa dia telah menikah dan bahwa dia adalah ayah dua orang anak. Tapi
kapan dia menikah? Dia tidak bisa menyebutkannya. Kapan anak-anaknya
lahir? Dia tidak tahu. Dia tidak dapat menempatkan diri dalam timeline
kehidupan keluarganya. Dia memang menikah, tapi istrinya menceraikannya
lebih dari dua dekade silam. Anak-anaknya sudah lama menikah dan
memiliki anak sendiri.
PERSEPSI
Bagaimana Film Rope-nya Hitchcock Meregangkan Waktu
Bagaimana Film Rope-nya Hitchcock Meregangkan Waktu
Elastisitas waktu mungkin paling diapresiasi dengan baik manakala kita menjadi penonton pertunjukan, baik film, sandiwara, konser, ataupun kuliah. Durasi aktual pertunjukan dan durasi mentalnya merupakan hal berbeda. Untuk mengilustrasikan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap beraneka pengalaman waktu ini, saya tidak dapat memikirkan contoh yang lebih baik daripada film Rope karya Alfred Hitchcock (1948), sebuah karya luar biasa teknis yang dibuat dalam pengambilan gambar 10 menit berketerusan dan tanpa pengeditan; beberapa film telah diproduksi menggunakan pendekatan ini secara total. Orson Welles dalam Touch of Evil, Robert Altman dalam The Player, dan Martin Scorsese dalam GoodFellas mempergunakan pembuatan film yang panjang dan berketerusan, tapi tidak sekonsisten Rope. [Kendati sang sutradara memperoleh banyak sorak pujian atas inovasinya, pembuatan filmnya terbukti menjadi mimpi buruk bagi semua yang terlibat, dan Hitchcock hanya menggunakan metode tersebut lagi dalam bagian film dia berikutnya, Under Capricorn.]
Hichcock menemukan teknik ini untuk alasan spesifik dan pantas. Dia berusaha melukiskan sebuah cerita yang telah dikisahkan dalam sandiwara yang berlangsung dalam waktu berketerusan. Tapi dia dibatasi oleh jumlah film yang dapat dimuat ke kamera, kira-kira cukup untuk 10 menit babak.
Nah, mari kita pikirkan bagaimana waktu riil Rope bermain dalam pikiran kita. Dalam sebuah wawancara dengan François Truffaut pada 1966, Hitchcock menyatakan bahwa cerita dimulai pada pukul 19.30, dan berakhir pukul 21.15, 105 menit kemudian. Sedangkan film terdiri dari delapan rol berdurasi masing-masing 10 menit: total 81 menit, jika ditambah credits di awal dan akhir film. Ke mana perginya yang 25 menit itu? Apakah kita merasa film tersebut lebih pendek dari 105 menit? Tidak sama sekali. Film tak pernah terasa lebih pendek dari semestinya, dan penonton tidak mendapat kesan ketergesaan atau pemotongan. Sebaliknya, bagi banyak orang, film tersebut terasa lebih panjang dari waktu proyeksinya.
Saya menduga bahwa beberapa aspek bertanggung jawab atas pengubahan waktu yang dipersepsikan ini. Pertama, sebagian besar babak berlangsung di ruang tinggal sebuah penthouse (flat/apartemen di atap atau lantai puncak gedung tinggi—penj) di musim panas, dan kaki langit New York bisa dilihat lewat panorama jendela. Di awal film cahayanya mengindikasikan sore sekali; di akhir film, malam telah tiba. Pengalaman harian kita atas memudarnya cahaya siang membuat kita mempersepsikan babak real-time tersebut mengambil waktu cukup panjang untuk menutupi beberapa jam kedatangan malam, padahal faktanya perubahan cahaya itu dipercepat secara artifisial oleh Hitchcock.
Dengan cara yang sama, sifat dan konteks babak yang dilukiskan mendatangkan penilaian otomatis lain terkait waktu. Setelah pembunuhan Hitchcock yang terkenal itu, yang terjadi di awal rol pertama film, cerita fokus kepada pesta makan malam elegan yang diselenggarakan oleh kedua pembunuh menjijikkan yang dihadiri oleh sanak-famili dan teman korban. Durasi aktual penyajian makan adalah sekitar dua rol. Tapi penonton mengatributkan lebih banyak waktu kepada sekuens tersebut lantaran kita tahu bahwa tak akan ada penyelenggara ataupun tamu, yang tampak keren, sopan, dan tak tergesa-gesa, yang mau melahap makan malam secepat itu. Saat babak tersebut kemudian terpecah—beberapa tamu mengobrol di ruang tinggal di hadapan kamera, sementara yang lainnya kembali ke ruang makan untuk melihat-lihat buku langka—kita pantas mengatributkan durasi lebih panjang kepada episode di luar kamera ini daripada beberapa menit yang dibutuhkan dalam film aktual.
Satu faktor lain mungkin berkontribusi pula terhadap perlambatan waktu. Tidak ada pemotongan dalam setiap rol 10 menit itu; kamera meluncur perlahan menuju dan menjauh dari setiap karakter. Tapi untuk menghubungkan setiap segmen ke [segmen] berikutnya, Hitchcock menyelesaikan sebagian besar pengambilan gambar secara close-up. Dalam kebanyakan contoh, kamera berpindah ke belakang aktor yang mengenakan setelan hitam dan layar menjadi hitam selama beberapa detik; pengambilan gambar berikutnya dimulai saat kamera menjauh dari punggung aktor. Walaupun interupsinya singkat dan tidak dimaksudkan untuk menandakan rehat waktu, itu mungkin berkontribusi terhadap pemanjangan waktu lantaran kita terbiasa menafsirkan rehat kontinuitas persepsi visual sebagai jeda kontinuitas waktu. Muslihat pengeditan film seperti dissolve dan fade seringkali menyebabkan penonton berkesimpulan bahwa waktu telah berlalu antara pengambilan film sebelumnya dan pengambilan berikutnya. Dalam Rope, masing-masing dari tujuh rehat men-delay waktu riil sebanyak setengah detik. Tapi secara kumulatif, bagi beberapa penonton rehat tersebut mungkin mengindikasikan bahwa waktu yang telah berlalu lebih banyak.
Kandungan emosional material itu juga mungkin memperpanjang waktu. Saat kita merasa tak nyaman atau khawatir, kita sering merasa waktu berjalan lebih lambat karena kita fokus kepada gambaran negatif yang terhubung dengan kegelisahan kita. Studi di laboratorium saya menunjukkan bahwa otak membangkitkan gambaran secara lebih cepat saat kita merasakan emosi positif (barangkali inilah alasannya mengapa waktu berjalan cepat saat kita bersenang-senang) dan mengurangi laju pembentukan gambaran selama emosi negatif. Dalam penerbangan berturbulensi berat baru-baru ini, contohnya, saya merasa aliran waktu berjalan pelan menyakitkan sebab perhatian saya tertuju kepada ketidaknyamanan pengalaman tersebut. Mungkin ketidaknyamanan situasi dalam Rope bekerja secara serupa untuk meregangkan waktu.
Rope menyediakan perbedaan nyata antara waktu riil dan persepsi waktu penonton. Dalam melakukannya, ia mengilustrasikan bagaimana perasaan atas durasi merupakan sebuah konsepsi. Itu didasarkan pada faktor-faktor seperti kandungan peristiwa yang dipersepsikan, reaksi emosional yang ditimbulkan, dan cara bagaimana gambaran disajikan kepada kita, serta kesimpulan sadar dan tak sadar yang mengiringinya.
Stempel Waktu
Bagaimana otak mengatributkan sebuah peristiwa kepada waktu tertentu dan
kemudian menaruh peristiwa tersebut dalam urutan kronologis—atau dalam
kasus pasien saya, gagal dilakukan—masih merupakan misteri. Kita hanya
tahu bahwa itu melibatkan ingatan tentang fakta dan ingatan tentang
hubungan ruang dan waktu antara fakta-fakta tersebut. Karena itu, saat
kuliah di Universitas Iowa, saya bersama kolega saya Daniel Tranel dan
Robert Jones memutuskan untuk menyelidiki bagaimana timeline
otobiografi dibangun. Dengan meneliti orang-orang yang menderita
berbagai jenis kerusakan ingatan, kami berharap mengidentifikasi kawasan
otak mana yang diperlukan untuk menempatkan ingatan di periode yang
tepat.
Kami memilih empat kelompok partisipan, total 20 orang. Kelompok
pertama terdiri dari pasien penderita amnesia yang disebabkan oleh
kerusakan pada cuping temporal. Pasien penderita amnesia yang disebabkan
oleh kerusakan pada otak depan basal, area lain yang relevan untuk
ingatan, berada di kelompok kedua. Kelompok ketiga tersusun dari pasien
tanpa amnesia yang mengalami kerusakan pada tempat lain, bukan cuping
temporal atau otak depan basal. Untuk subjek pengawas, kami memilih
individu-individu tanpa penyakit neurologis, yang mempunyai ingatan
normal dan yang sebanding dengan pasien dari segi usia dan tingkat
pendidikan.
Setiap partisipan melengkapi kuesioner detail mengenai peristiwa
penting dalam kehidupan mereka. Kami menanyakan kepada mereka tentang
orangtua, saudara, dan bermacam sanak-famili, sekolah, pertemanan, dan
aktivitas profesi, dan kemudian kami memverifikasi jawabannya dengan
sanak-famili dan riwayat mereka. Kami juga menyusun apa yang diingat
oleh partisipan tentang peristiwa penting publik, seperti pemilihan
pejabat, perang, bencana alam, dan perkembangan budaya yang mencolok.
Lalu kami menyuruh tiap-tiap partisipan menempatkan kartu khusus yang
melukiskan peristiwa spesifik pribadi atau publik di atas papan hingga
menyusun timeline tahun-demi-tahun dan dekade-demi-dekade
selama tahun 1900-an. Bagi para partisipan, situasi tersebut merupakan
pengalaman yang mirip dengan bermain game papan Life. Bagi para
penyelidik, susunan itu memperkenankan pengukuran akurasi penempatan
waktu.
Dapat diprediksi, pasien amnesia berbeda dari subjek pengawas.
Individu normal relatif akurat dalam penempatan waktu: rata-rata mereka
keliru [dengan selisih] 1,9 tahun. Pasien amnesia membuat jauh lebih
banyak kesalahan, terutama mereka yang menderita kerusakan otak depan
basal. Walaupun mereka mengingat peristiwa secara tepat, mereka salah
menandai [dengan selisih] rata-rata 5,2 tahun. Tapi ingatan mereka atas
peristiwa lebih hebat daripada pasien cuping temporal, yang lebih akurat
dalam hal penstempelan waktu—mereka salah [dengan selisih] rata-rata
2,9 tahun saja.
Hasil ini menyiratkan bahwa penstempelan waktu dan pengingatan
peristiwa merupakan proses yang bisa dipisahkan. Yang lebih membuat
penasaran, hasil ini mengindikasikan bahwa otak depan dasar mungkin
sangat krusial dalam membantu membangun konteks yang memperkenankan kita
menempatkan ingatan di periode yang benar. Pendapat ini sesuai dengan
observasi klinis atas pasien otak depan basal. Tak seperti beberapa
rekan mereka penderita kerusakan cuping temporal, pasien ini mempelajari
fakta baru. Tapi mereka seringkali mengingat fakta yang baru mereka
pelajari dalam urutan yang tidak tepat, merekonstruksi urutan peristiwa
dalam [gaya] naratif fiksi yang bisa berubah dari waktu ke waktu.
Terlambat Untuk Menyadari
Kebanyakan dari kita tidak harus bergulat dengan gap ingatan besar atau
kebingungan kronologis yang dialami oleh banyak pasien saya. Tapi kita
semua berbagi mental time lag aneh, sebuah fenomena yang
pertama kali disoroti pada tahun 1970-an oleh neuropsikolog Benjamin
Libet dari Universitas California, San Fransisco. Dalam sebuah
eksperimen, Libet mendokumentasikan gap antara waktu ketika seorang
individu menyadari keputusan melenturkan jarinya (dan merekam persis
momen kesadaran tersebut) dan waktu ketika gelombang otaknya
mengindikasikan bahwa pelenturan itu segera terjadi. Aktivitas otak
tersebut terjadi sepertiga detik sebelum orang itu secara sadar
memutuskan untuk menggerakkan jarinya. Dalam eksperimen lain, Libet
menguji apakah stimulus yang diterapkan secara langsung pada otak
menimbulkan suatu sensasi pada beberapa pasien bedahnya, yang berada
dalam keadaan bangun, sebagaimana kebanyakan pasien operasi semacam itu.
Dia menemukan bahwa muatan listrik halus ke korteks menghasilkan rasa
perih di tangan pasien—setengah detik setelah stimulus diterapkan.
Walaupun penafsiran atas eksperimen-eksperimen itu, dan eksperimen
lainnya di bidang studi kesadaran, terjerat kontroversi, muncul satu
fakta umum dari penelitian Libet. Rupanya terdapat lag antara dimulainya
peristiwa syaraf yang membawa kepada kesadaran dan momen ketika
seseorang betul-betul mengalami konsekuensi dari peristiwa tersebut.
Sekilas temuan ini mungkin mengejutkan, tapi alasan delay
(kelambatan) itu lumayan jelas. Perlu waktu bagi perubahan fisik yang
membentuk peristiwa untuk menimpa tubuh dan memodifikasi detektor sensor
sebuah organ seperti retina. Perlu waktu untuk mentransmisikan hasil
modifikasi elektrokimiawi sebagai sinyal ke sistem syaraf pusat. Perlu
waktu untuk membangkitkan pola syaraf di peta sensor otak. Terakhir,
perlu waktu untuk menghubungkan peta peristiwa syaraf dan gambaran
mental yang timbul darinya dengan peta syaraf dan gambaran mental
diri—yakni, pikiran tentang siapa kita—langkah terakhir dan krusial yang
tanpanya peristiwa tersebut takkan pernah menjadi peristiwa sadar.
Kita menggambarkan ini tak lebih dari beberapa milidetik saja, namun demikian terdapat delay. Situasi ini begitu aneh sampai-sampai pembaca mungkin bertanya-tanya mengapa kita tidak menyadari delay
ini. Satu penjelasan menarik menyatakan bahwa karena kita mempunyai
otak yang serupa dan mereka bekerja dengan cara serupa, kita semua jadi
terlambat menyadari dan tak ada yang memperhatikannya. Tapi mungkin ada
alasan lain. Otak dapat mengadakan koneksinya sendiri dalam pemrosesan
sentral peristiwa secara sedemikian rupa sampai, pada level mikrowaktu,
ia berupaya “mendahului” beberapa peristiwa sehingga proses ter-delay tersebut bisa tampak kurang ter-delay dan proses ter-delay lainnya bisa tampak mempunyai delay serupa.
Kemungkinan ini, yang direnungkan oleh Libet, barangkali menjelaskan
mengapa kita memelihara kontinuitas waktu dan ruang saat mata kita
berpindah cepat dari satu target ke target lain. Kita tidak melihat blur
menyertai pergerakan mata ataupun waktu yang diperlukan oleh mata untuk
berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Patrick Haggard dari
University College London dan John C. Rothwell dari Institute of
Cognitive Neuroscience di London menyatakan bahwa otak mendahului
persepsi/penanggapan atas target sebanyak 120 milidetik, akibatnya
memberi kita semua persepsi penglihatan tanpa kerut.
Kemampuan otak untuk mengedit pengalaman visual kita dan untuk
menanamkan rasa kemauan setelah syaraf bertindak merupakan indikasi
sensitivitasnya yang sangat halus terhadap waktu. Walaupun pemahaman
kita mengenai waktu pikiran belum lengkap, kita lambat-laun tahu lebih
banyak mengapa kita mengalami waktu secara demikian berubah-ubah dan apa
yang otak perlukan untuk menciptakan timeline.
Penulis
Penulis adalah profesor dan direktur Institute for the Neurological
Study of Emotion, Decision-Making and Creativity di University of
Southern California dan ajun profesor di Salk Institute for Biological
Studies di La Jolla, California. Dia diakui atas studinya mengenai
kelainan syaraf pikiran dan perilaku. Damasio juga merupakan penulis
tiga buah buku: Descartes’ Error, The Feeling of What Happens, dan Looking for Spinoza.
Untuk Digali Lebih Jauh
- Time and the Observer: The Where and When of Consciousness in the Brain. Daniel C. Dennett dan Marcel Kinsbourne dalam Behavioral and Brain Sciences, Vol. 15, No. 2, hal. 183–247; 1992.
- The Influence of Affective Factors on Time Perception. Alessandro Angrilli, Paolo Cherubini, Antonella Pavese, dan Sara Manfredini dalam Perception and Psychophysics, Vol. 59, No. 6, hal. 972–982; August 1997.
- From Physical Time to the First and Second Moments of Psychological Time. Simon Grondin in Psychological Bulletin, Vol. 127, No. 1, hal. 22–44; January 2001.
- Illusory Perceptions of Space and Time Preserve Cross-Saccadic Perceptual Continuity. Kielan Yarrow, Patrick Haggard, Ron Heal, Peter Brown, dan John C. Rothwell dalam Nature, Vol. 414, hal. 302–305; November 15, 2001.
- Time Perception: Brain Time or Event Time?. Alan Johnston dan Shin’ya Nishida dalam Current Biology, Vol. 11, No. 11, hal. R427–R430; 2001.
Sumber: Sainstory - Sains Social History
No comments:
Post a Comment