Berikut
adalah bagian kedua dari sebuah makalah panjang yang ditulis seorang
teman untuk bahan diskusi lintas disiplin dengan tema Tuhan dan masa
modern. Bagian ini membahas isu epistemologi dalam sains dan kaitannya
dengan Tuhan.
Bagian pertama bisa dibaca disini: Part 1
Menurut
Einstein, sains adalah usaha membuat keanekaragaman yang kacau dalam
pengalaman inderawi kita menjadi sebuah sistem pemikiran yang seragam
secara logis (Einstein, 1954). Definisi ini membatasi sains ke dalam dua
batasan: pertama, ia harus bersangkut paut dengan pengalaman inderawi.
Kedua, ia harus membentuk sistem pemikiran yang konsisten. Batasan
pertama sering disebut empiris dan batasan kedua disebut teoritis.
Inilah dua pilar utama sains. Kedua pilar ini kemudian dibangun atas
landasan yang tersirat dalam definisi Einstein di atas, yaitu logika.
Logika
adalah asas kelurusan berpikir (Sudarminta, 2002: 40). Pengalaman
inderawi dan sistem pemikiran yang menyusun sains berinteraksi dengan
perangkat kelurusan berpikir ini. Ada tiga cara bagaimana dua unsur
sains tersebut berinteraksi yaitu cara deduktif, induktif, dan abduktif.
Bernalar deduktif menarik kesimpulan dari sebuah pernyataan atau hukum
umum. Bernalar induktif adalah menarik kesimpulan dari beberapa
pernyataan atau kejadian khusus yang mirip. Bernalar abduktif adalah
menarik kesimpulan dari sebuah dugaan yang kebenarannya masih harus
diuji coba. Dengan ketiga bentuk bernalar ini, beserta logika, maka
sainspun berkembang.
Pada
perkembangannya, sains memiliki tujuan ekstrinsik dan tujuan intrinsik
(Nola dan Irzik, 2005:189). Tujuan ekstrinsik adalah tujuan demi
kepentingan manusia itu sendiri entah untuk berperang atau menciptakan
perdamaian. Tujuan ekstrinsik terikat pada siapa ilmuan yang mengerjakan
sains itu. Sama halnya dengan pisau, tujuan ekstrinsiknya adalah
memotong sayur atau menikam manusia, tergantung siapa penggunanya.
Tujuan
intrinsik adalah tujuan sains untuk sains itu sendiri. Ini adalah
sesuatu yang ideal dan dapat diringkas sebagai menjaga kehidupan sains
itu sendiri. Tujuan ini antara lain: (1) keterujian, (2) Memperoleh
kebenaran dan menghindari kesalahan, (3) Prediksi, dan (4) kemajuan.
Keterujian (testability)
merujuk pada kemampuan sains untuk menguji pernyataan. Hal ini dapat
ditarik dari pandangan falsifikasi yang diajukan oleh filsuf Karl
Popper. Menurutnya, “karakteristik pembeda dari pernyataan empiris
(adalah) kerentanannya pada revisi – faktanya ia dapat dikritik dan
diganti oleh yang lebih baik” (Popper, 1959:49). Sains hanya berurusan
dengan pernyataan empiris, yaitu pernyataan yang hanya dapat
difalsifikasi. Sebuah pernyataan yang tidak dapat dikritik bukanlah
pernyataan ilmiah dan bukan urusan dari sains. Dengan kata lain, sebuah
teori yang tidak dapat diuji benar-salahnya bukanlah teori yang ilmiah.
Agar dapat diuji, sebuah teori harus berkaitan dengan dunia nyata dan
harus bersifat objektif. Hal ini sejalan juga dengan pendapat filsuf
Quine dan Ullian (1978:79) yang disebut ketertolakan. Ketertolakan
berarti sebuah pernyataan harus dapat ditolak oleh suatu pernyataan jika
pernyataan penolak tersebut benar.
Sifat
keterujian ini menjadikan sebuah makalah penelitian sains berbeda
dengan makalah bidang ilmu lainnya. Sebuah makalah penelitian sains
mengandung bagian ‘metode’ (Gorsuch, 2002). Bagian metode ini merupakan
bagian wajib dan menjadi inti dari sebuah karya ilmiah sains. Bagian
metode memungkinkan orang lain meniru bagaimana penelitian dilakukan dan
mengkonfirmasi kebenarannya. Ketika sebuah metode menemukan hasil dan
para ilmuan lainnya, menggunakan metode yang sama, menemukan hasil yang
sama, maka ia menjadi fakta.
Tujuan
kedua, yaitu memperoleh kebenaran dan menghindari kesalahan adalah
sebuah tujuan berpasangan. Memperoleh kebenaran dan menghindari
kesalahan merupakan tujuan yang ideal. Pada prakteknya, tujuan sains
adalah memaksimalkan jumlah kebenaran yang didapatkan dan meminimalkan
jumlah kesalahan yang diperoleh. Hal ini berkaitan dengan teori sebagai
senjata sains. Sebuah teori terdiri dari beberapa pernyataan, sebagian
empiris dan sebagian tidak. Jika sebuah teori memiliki proposisi yang
seluruhnya empiris dan benarpun, ia tidak dipandang sebagai benar
mewakili realitas. Mungkin ada sebuah teori lain yang memiliki proposisi
lebih banyak, semua empiris, dan semua terbukti benar. Hal ini telah
terjadi pada kasus teori gerak Newton yang digantikan oleh teori
relativitas Einstein.
Tujuan ketiga
adalah prediksi. Prediksi merupakan tujuan tertua dari sains. Sebagai
contoh, para astronom di masa Mesir Kuno tidak bicara tentang
falsifikasi, tapi bicara apakah sebuah teori mampu memprediksi sesuatu.
Di sisi lain, Marx dan Comte tampaknya memandang prediksi sebagai tahap
final dimana ilmu melakukan prediksi dan memegang kedaulatan mutlak atas
kepastian dan kebenaran (Watloly, 2001:82). Fakta yang diperoleh
sebelumnya lewat metode, kemudian dimasukkan dalam teori dan teori yang
telah dimasuki fakta tersebut kemudian dituntut menghasilkan prediksi.
Jika teori tersebut mampu memprediksi sesuatu, katakanlah kapan
terjadinya gerhana, teori tersebut dapat dipandang ilmiah. Lebih lanjut,
jika prediksi teori ilmiah tersebut benar dan konsisten, maka ia
dipandang sebagai teori yang benar. Beberapa teori tandingannya yang
tidak mampu memprediksi hal tersebut akan diragukan. Pada gilirannya,
hanya satu dua teori saja yang dipandang kokoh dan teori-teori lain yang
tidak memiliki kekuatan penjelas atau terbukti salah akan dihapus. Hal
ini telah ditunjukkan dalam kasus teori evolusi.
Pada abad ke-19, ada tujuh versi teori evolusi (Mayr, 2001:117).
Seiring waktu, hanya satu dari tujuh teori ini yang bertahan hingga
sekarang yaitu teori evolusi dengan seleksi alam
dari Darwin. Teori evolusi lain, seperti Lamarck, Haeckel,
Neo-Lamarckian, Huxley, De Vries, dan Morgan, gugur dan tak lagi
dipandang. Sains terlihat tidak menyukai pluralisme teori karena
mengejar kebenaran ini. Penolakan atas pluralisme teori inipun membawa
pada tujuan sains selanjutnya yaitu kemajuan.
Tujuan
sains yang keempat adalah kemajuan. Sains berusaha mencapai
keseluruhan. Teori-teori berkembang dari satu ranah menuju ke ranah yang
lebih luas. Teori tentang bulan harus dapat diselaraskan dengan teori
tentang matahari dan membentuk teori yang lebih luas tentang tata surya
misalkan. Hal ini terus beranjak hingga teori mencapai puncaknya yaitu
bicara tentang keseluruhan alam semesta. Dalam sains, hirarki teori
dapat diperluas terus mencapai detail dan mencapai keluasan. Mulai dari
ilmu sosial yang bicara tentang masyarakat manusia menuju ke psikologi
yang bicara sifat manusia, terus menanjak ke biologi hingga mencakup
seluruh kehidupan. Beberapa pakar mengharap suatu saat seluruh sains
akan lengkap dan mencapai kemandekan dimana segalanya telah dipelajari
dan diketahui (Horgan, 1997). Hal ini tergambar dengan baik dalam peta
sains yang dibuat oleh Tegmark (2007).
Gambar 1: Peta Sains (diadaptasi dari Tegmark, 2007)
Dalam
pijakan dasar di atas, sains hidup lewat metode ilmiah. Metode ilmiah
yang digunakan di masa sekarang berangkat dari dua filsuf masa renaisans
yaitu Bacon dengan bukunya Novum Organum dan Descartes dalam bukunya Discourse on the Method of Properly Conducting One’s Reason and of Seeking the Truth in the Sciences.
Metode ilmiah yang dirintis oleh mereka berdua membagi proses sains ke
dalam dua tahap: empiris dan statistik (Alper, 2008:15).
Pada tahap empiris, manusia mengindera alam. Ia mencari pola-pola tertentu di alam seperti kesadaran kalau matahari selalu terbit dan tenggelam atau eksperimen atau pengamatan modern yang melibatkan alat bantu inderawi seperti teleskop, mikroskop, dan sebagainya. Ia mencoba membuat penjelasan atas peristiwa tersebut dan mengujinya dengan tahap kedua, yaitu tahap statistik. Tahap statistik bertujuan memeriksa apakah penjelasan yang dibuatnya itu benar atau salah dengan mengajukan sebuah prediksi yang akan diuji. Tahap statistik tidak harus diartikan sebuah uji statistik seperti yang dilakukan piranti komputasi seperti SPSS atau Excel. Sebuah pengamatan yang konsisten kalau matahari selalu terbit dan tenggelam sudah menjadi bentuk uji statistik dengan kepastian 100%. Tentu saja, sains sangat hati-hati memberikan nilai 100% ini. Dalam penelitian-penelitian modern, para ilmuan paling tinggi memberikan kepastian 99.9999….%. Sebuah prediksi dikatakan lemah jika ia hanya punya kepastian di bawah 95%.
Pada tahap empiris, manusia mengindera alam. Ia mencari pola-pola tertentu di alam seperti kesadaran kalau matahari selalu terbit dan tenggelam atau eksperimen atau pengamatan modern yang melibatkan alat bantu inderawi seperti teleskop, mikroskop, dan sebagainya. Ia mencoba membuat penjelasan atas peristiwa tersebut dan mengujinya dengan tahap kedua, yaitu tahap statistik. Tahap statistik bertujuan memeriksa apakah penjelasan yang dibuatnya itu benar atau salah dengan mengajukan sebuah prediksi yang akan diuji. Tahap statistik tidak harus diartikan sebuah uji statistik seperti yang dilakukan piranti komputasi seperti SPSS atau Excel. Sebuah pengamatan yang konsisten kalau matahari selalu terbit dan tenggelam sudah menjadi bentuk uji statistik dengan kepastian 100%. Tentu saja, sains sangat hati-hati memberikan nilai 100% ini. Dalam penelitian-penelitian modern, para ilmuan paling tinggi memberikan kepastian 99.9999….%. Sebuah prediksi dikatakan lemah jika ia hanya punya kepastian di bawah 95%.
Secara
filsafat, sains bertolak belakang dengan humanisme. Sains memandang
manusia hanya sebagai sebuah hal materiil (materialisme), jiwa dipandang
hanya seperangkat jaringan input, indera, syaraf, dan otak. Manusia
tidak dipandang superior dan terpisah dari alam, namun sebagai sesuatu
komponen alam dan tidak memiliki kelebihan dari komponen alamiah
lainnya. Humanisme sebaliknya, memuliakan manusia atas alam
(antroposentrisme) yang pada bentuk ekstrimnya memunculkan
eksistensialisme yang memuliakan individu manusia atas alam. Baik
buruknya aliran filsafati ini kita serahkan pada filsafat moral.
Eratnya
sains dengan materialisme karena sains berusaha menjelaskan alam
semesta dengan sebab-sebab natural. Sebab-sebab natural yang dimaksud
disini adalah sesuatu yang dapat diperiksa kebenarannya lewat metode
yang objektif dan memenuhi tujuan-tujuan internal sains yang telah
disebutkan sebelumnya. Sesuatu dapat dipandang objektif jika ia dapat
didefinisikan dengan baik. Pendefinisian pada dasarnya adalah pembatasan
sifat suatu konsep sehingga ia dapat diperiksa oleh berbagai pihak
secara konsisten (objektif). Tuhan tidak dapat didefinisikan karena
mendefinisikan Tuhan berarti membatasinya dengan seperangkat sifat.
Kalaupun didefinisikan, seperti sifat-sifat tertentu yang diberikan oleh
agama-agama kepada Tuhannya, tidak ada cara yang objektif untuk memilih
mana Tuhan dari agama mana yang dimaksud.
Lanjut ke Part 3
Referensi:
Alper, A. 2008. The God Part of the Brain: A Scientific Interpretation of Human Spirituality and God. Naperville: Sourcebooks, Inc.
Einstein, A. 1954. Ideas and Opinions. New York: Crown Publishers
Gorsuch, R. L. 2002. The Pyramids of Sciences and of Humanities, American Behavioral Scientist 45, 1822–38.
Horgan, J. 1997. The End of Science: Facing the Limits of Knowledge in the Twilight of the Scientific Age. New York: Bantam Books.
Mayr, E. 2001. What Evolution Is? Orion Publishing Group.
Nola, R., Irzik, G. 2005. Philosophy, Science, Education, and Culture. Amsterdam: Springer.
Popper, K. 1959. The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge
Quine, W., Ullian, J. 1978. The Web of Belief. New York: Random House
Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius
Tegmark, M. 2007. The Multiverse Hierarchy. Dalam Universe or Multiverse? B. Carr (ed), Cambridge: Cambridge University Press
Watloly, A. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural. Jakarta: Kanisius.
Sumber: FaktaIlmiah.com
No comments:
Post a Comment