Oleh: Gabriele Veneziano
(Sumber: Special Edition Scientific American – A Matter of Time, 2006, hal. 72-81)
Teori string mengindikasikan bahwa BIG BANG bukanlah awal-mula alam semesta melainkan sekadar hasil dari kondisi yang eksis sebelumnya
Apakah big bang betul-betul merupakan permulaan waktu? Ataukah alam semesta eksis sebelum itu? Satu dekade silam, pertanyaan semacam ini terasa menghina Tuhan. Sebagian besar kosmolog bersikeras bahwa itu sama sekali tak masuk akal—bahwa merenungkan waktu/masa sebelum big bang adalah seperti menanyakan arah menuju tempat di utara Kutub Utara. Tapi perkembangan fisika teoritis, khususnya kenaikan teori string, telah mengubah perspektif mereka. Alam semesta pra-big bang telah menjadi batas teranyar kosmologi.
Kemauan baru untuk mempertimbangkan apa yang mungkin terjadi sebelum big bang merupakan ayunan mutakhir pendulum intelektual yang telah berayun selama bermilenium-milenium. Dalam satu atau lain bentuk, isu permulaan pokok telah menyeret filsuf dan teolog di hampir setiap kebudayaan. Ini terjalin dengan satu set besar persoalan, yang mahsyur diungkapkan secara ringkas dalam sebuah lukisan tahun 1987 karya Paul Gauguin: D’ou venons-nous? Que sommes-nous? Ou allons-nous? / Where do we come from? What are we? Where are we going? / Dari mana kita? Siapa kita? Akan ke mana kita? Karya ini menggambarkan siklus kelahiran, kehidupan, dan kematian—asal-usul, identitas, dan takdir tiap-tiap individu—dan persoalan personal ini terhubung langsung dengan persoalan kosmik. Kita dapat menelusuri silsilah kita menuju generasi-generasi ke belakang, menuju leluhur binatang kita, menuju bentuk awal kehidupan dan protokehidupan, menuju unsur-unsur yang tersintesiskan di alam semesta purba, menuju energi tak berbentuk yang tersimpan di ruang sebelum itu. Apakah pohon keluarga kita mengulur ke belakang seterusnya/selamanya? Ataukah akarnya memiliki ujung? Apakah kosmos sama tak permanennya dengan kita?
Orang-orang Yunani kuno memperdebatkan awal-mula waktu secara sengit. Aristoteles, mengambil kubu “tanpa-permulaan”, menyatakan bahwa dari kenihilan tidak mungkin ada yang muncul. Jikalau alam semesta tidak pernah beranjak dari kenihilan menuju keeksisan, ia pasti senantiasa eksis. Atas alasan ini dan lainnya, waktu pasti membentang abadi ke masa lampau dan masa depan. Para teolog Kristen cenderung mengambil sudut pandang berlawanan. Augustine berpendapat bahwa Tuhan eksis di luar ruang dan waktu, sanggup menjadikan bentuk-bentuk ini eksis sebagaimana Dia mampu menempa aspek lain dunia kita. Tatkala ditanya, “Apa yang Tuhan lakukan sebelum Dia menciptakan dunia?” Augustine menjawab, “Waktu sendiri merupakan bagian dari ciptaan Tuhan, jadi tak ada sebelum!”
Teori relativitas umum Albert Einstein membawa para kosmolog modern ke kesimpulan yang hampir sama. Teori ini berpendapat bahwa ruang dan waktu adalah entitas lembut dan lunak. Pada skala paling besar, ruang bersifat dinamis, mengembang atau menyusut seiring waktu, mengangkut materi layaknya kayu apung di atas gelombang pasang. Astronom mengkonfirmasikan pada 1920-an bahwa alam semesta kita sedang mengembang: galaksi-galaksi jauh bergerak menjauh dari satu sama lain. Konsekuensinya, sebagaimana dibuktikan oleh Stephen W. Hawking dan Roger Penrose pada 1960-an, adalah bahwa waktu tidak bisa membentang ke masa lalu tak terbatas. Saat Anda memutar mundur sejarah kosmik, galaksi-galaksi semuanya bersatu menjadi satu titik amat kecil, dikenal sebagai singularitas—seolah-olah mereka jatuh ke dalam black hole. Tiap galaksi atau pendahulunya teremas ke ukuran nol. Kuantitas seperti densitas, temperatur, dan lengkungan ruangwaktu menjadi tak terhingga. Singularitas adalah bencana terhebat, leluhur kosmik kita tak bisa membentang melebihi itu.
Overview
Rincinya, pikirkan apa yang terjadi selama 13,7 miliar tahun sejak pelepasan radiasi gelombang mikro kosmik latar. Jarak antara galaksi-galaksi telah tumbuh sebesar sekitar faktor 1.000 (akibat perluasan), sedangkan radius alam semesta yang bisa diamati telah tumbuh dengan faktor yang jauh lebih besar yakni 100.000 (sebab kecepatan cahaya melampaui kecepatan perluasan). Kita melihat bagian-bagian alam semesta hari ini yang tidak bisa kita lihat 13,7 miliar tahun silam. Betul, inilah pertama kalinya dalam sejarah kosmik, cahaya dari galaksi-galaksi terjauh menjangkau Bima Sakti.
Kebetulan Aneh
Meski demikian, atribut Bima Sakti pada dasarnya sama dengan atribut galaksi-galaksi jauh. Seakan-akan Anda muncul di sebuah pesta hanya untuk mendapati diri Anda mengenakan pakaian yang sama dengan lusinan kawan terdekat Anda. Jika dua saja dari kalian bersetelan sama, itu mungkin bisa didalihkan sebagai kebetulan, tapi angka lusinan mengindikasikan bahwa para tamu pesta telah mengkoordinir pakaian mereka sebelumnya. Dalam kosmologi, angka ini bukan lusinan melainkan puluhan ribu—jumlah petak langit terpisah tapi identik secara statistik dalam gelombang mikro latar.
Satu kemungkinannya adalah bahwa semua kawasan ruang tersebut diberkahi atribut identik saat lahir—dengan kata lain, homogenitas itu hanya kebetulan. Namun, fisikawan telah memikirkan dua jalan keluar yang lebih alami dari kebuntuan tersebut: alam semesta awal jauh lebih kecil atau jauh lebih tua daripada [perkiraan] kosmologi standar. Salah satunya (atau keduanya, dengan beraksi bersama) telah memungkinkan interkomunikasi.
Pilihan paling populer mengikuti alternatif pertama. Ia mempostulatkan bahwa alam semesta mengalami periode perluasan mencepat, dikenal sebagai inflasi, di sejarah awalnya. Sebelum fase ini, galaksi-galaksi atau pendahulunya berdesak-desakan sehingga mereka bisa dengan mudah mengkoordinasikan atribut mereka. Selama inflasi, mereka hilang kontak lantaran cahaya tak mampu bekerja sama cepatnya dengan perluasan hingar-bingar tersebut. Setelah inflasi berakhir, perluasan mulai melambat, sehingga galaksi-galaksi lambat-laun kembali muncul dalam penglihatan satu sama lain.
Fisikawan mengatributkan dorongan inflasi pada energi potensial yang tersimpan di sebuah medan quantum baru, inflasi, sekitar 10-35 detik setelah big bang. Energi potensial, berlawanan dengan energi kinetik atau massa diam, menimbulkan tolakan gravitasi. Bukannya memperlambat perluasan, seperti yang dilakukan gravitasi materi biasa, inflasi justru mempercepatnya. Diajukan pada 1981, inflasi telah menjelaskan beragam observasi dengan akurat [lihat “The Inflationary Universe”, tulisan Alan H. Guth dan Pul J. Steinhardt, Scientific American, Mei 1984 dan “Four Keys to Cosmology”, Special Report, Scientific American, Februari 2004]. Namun, sejumlah kemungkinan persoalan teoritis masih tersisa, diawali dengan pertanyaan tentang apa persisnya inflasi itu dan apa yang memberinya energi potensial awal sedemikian besar.
Cara yang kurang dikenal luas untuk memecahkan teka-teki ini mengikuti alternatif kedua dengan membuang singularitas. Jika waktu tidak dimulai saat big bang, jika era panjang mendahului permulaan perluasan kosmik sekarang, materi bisa punya waktu melimpah untuk menyusun dirinya secara lembut. Karenanya, para periset telah memeriksa ulang pertimbangan yang membawa mereka menyimpulkan singularitas.
Salah satu asumsinya—bahwa teori relativitas selalu valid—diragukan. Dekat dengan singularitas, efek-efek quantum pasti penting, bahkan dominan. Relativitas standar tidak menerangkan efek semacam itu, jadi menerima singularitas sama dengan mempercayai teori tersebut tanpa akal sehat. Untuk mengetahui apa yang betul-betul terjadi, fisikawan harus memasukkan relativitas ke dalam teori gravitasi quantum. Tugas ini telah menyibukkan para teoris sejak Einstein, tapi kemajuannya hampir nol sampai pertengahan 1980-an.
Evolusi Sebuah Revolusi
Hari ini terdapat dua pendekatan menonjol. Pertama, berjalan dengan nama loop quantum gravity, mempertahankan teori Einstein tetap utuh secera esensi tapi mengubah prosedur pengimplementasiannya dalam mekanika quantum [lihat “Atom Ruang dan Waktu”, tulisan Lee Smolin]. Praktisi loop gravity quantum telah mengambil langkah pesat dan mencapai pemahaman mendalam pada beberapa tahun belakangan. Namun, pendekatan mereka masih belum cukup revolusioner untuk memecahkan persoalan fundamental quantisasi gravitasi. Persoalan yang sama dihadapi oleh teoris partikel setelah Enrico Fermi memperkenalkan teori gaya nuklir lemahnya yang efektif pada 1934. Semua upaya untuk membangun teori Fermi versi quantum telah gagal secara menyedihkan. Yang diperlukan bukanlah teknik baru melainkan modifikasi mendalam yang dibawakan oleh teori elektrolemah Sheldon L. Glashow, Steven Weinberg, dan Abdus Salam di akhir 1960-an.
Pendekatan kedua, yang saya pikir lebih menjanjikan, adalah teori string—modifikasi teori Einstein yang sungguh-sungguh revolusioner. Artikel ini akan fokus pada teori tersebut, walaupun para pendukung loop gravity quantum mengklaim mencapai banyak kesimpulan yang sama.
Teori string tumbuh dari model yang saya tulis pada 1968 untuk menggambarkan dunia partikel nuklir (seperti proton dan neutron) dan interaksinya. Walaupun mulanya timbul banyak kegemparan, model tersebut gagal. Ia dibuang beberapa tahun kemudian demi kromodinamika quantum, yang menggambarkan partikel nuklir dari segi konstituen yang lebih elementer, quark. Quark terkurung di dalam proton atau neutron, seolah-olah ia diikat oleh string elastis. Jika ditinjau kembali, teori string original telah menangkap aspek string dunia nuklir tersebut. Baru beberapa waktu kemudianlah ia dihidupkan kembali sebagai kandidat untuk menggabungkan relativitas umum dan teori quantum.
Ide dasarnya adalah bahwa partikel unsur bukanlah mirip titik melainkan objek satu-dimensi yang agak tipis tak terhingga, string. Hutan besar partikel unsur, masing-masing dengan atribut khasnya sendiri, mencerminkan banyak kemungkinan pola vibrasi sebuah string. Bagaimana teori sedungu itu bisa menggambarkan dunia partikel yang rumit dan interaksinya? Jawabannya dapat ditemukan pada apa yang kita boleh sebut sulap string quantum. Sekali aturan mekanika quantum diterapkan pada string bervibrasi—persis seperti miniatur string biola, kecuali bahwa vibrasinya menjalar dengan kecepatan cahaya—timbul atribut baru. Semuanya mempunyai implikasi mendalam untuk fisika partikel dan kosmologi.
Pertama, string quantum mempunyai ukuran terhingga. Seandainya bukan karena efek quantum, string biola bisa digunting setengah, digunting setengah lagi, dan seterusnya, sampai akhirnya menjadi partikel mirip-titik tak bermassa. Tapi prinsip ketidakpastian Heisenberg akhirnya mengganggu dan mencegah string teringan diiris lebih kecil dari sekitar 10-34 meter. Quantum panjang yang tak bisa diperkecil lagi ini, dilambangkan dengan ls, merupakan konstanta alam baru yang diperkenalkan oleh teori string, berdampingan dengan kecepatan cahaya (c) dan konstanta Planck (h). Ia memainkan peran kunci di hampir setiap aspek teori string, menempatkan batas terhingga pada kuantitas yang bisa menjadi nol atau tak terhingga.
Kedua, string quantum mungkin memiliki momentum sudut sekalipun tak bermassa. Dalam fisika klasik, momentum sudut merupakan atribut sebuah objek yang berotasi berdasarkan poros. Rumus momentum sudut mengalikan kecepatan, massa, dan jarak dari poros; karenanya, objek tak bermassa tidak memiliki momentum sudut. Tapi fluktuasi quantum mengubah situasi ini. Sebuah string kecil bisa memperoleh hingga dua unit h momentum sudut tanpa mendapatkan massa. Fitur ini sangat menggembirakan sebab ia secara akurat cocok dengan atribut pengangkut semua gaya fundamental, seperti photon (untuk elektromagnetisme) dan graviton (untuk gravitasi). Secara historis, momentum sudut memberi petunjuk kepada fisikawan mengenai implikasi gravitasi-quantum teori string.
Ketiga, string quantum menuntut eksistensi dimensi ruang tambahan, di samping tiga dimensi ruang biasa. Sementara string biola klasik akan bervibrasi tak peduli bagaimanapun atribut ruang dan waktunya, string quantum lebih rewel. Persamaan yang menggambarkan vibrasi menjadi tak konsisten, kecuali jika ruangwaktu amat melengkung (bertentangan dengan observasi) atau mengandung enam dimensi ruang tambahan.
Keempat, konstanta fisik—seperti konstanta Newton dan Coulomb, yang muncul dalam persamaan-persamaan fisika dan menetapkan atribut alam—tak lagi memiliki harga acak tertentu. Mereka terdapat dalam teori string seperti halnya medan, lebih seperti medan elektromagnet, yang bisa menyesuaikan harga secara dinamis. Medan-medan ini mungkin memangku harga berlainan di masa kosmologis berlainan atau di kawasan-kawasan ruang terpencil, dan bahkan hari ini “konstanta” fisik mungkin berubah-ubah sedikit. Mengobservasi suatu perubahan akan menyediakan dorongan besar untuk teori string.
Medan semacam itu, disebut dilaton, merupakan kunci utama teori string; ia menentukan kekuatan semua interaksi secara keseluruhan. Dilaton membuat para teoris string terpesona sebab harganya bisa ditafsirkan ulang sebagai ukuran dimensi ruang tambahan, menghasilkan total 11 dimensi ruangwaktu.
Menangani Keberantakan
Terakhir, string quantum telah memperkenalkan fisikawan kepada beberapa kesimetrian alam yang baru dan mengejutkan yang dikenal sebagai dualitas, yang mengubah intuisi kita tentang apa yang terjadi manakala objek berukuran terlampau kecil. Saya telah menyinggung sebuah bentuk dualitas: normalnya, string pendek lebih ringan daripada string panjang, tapi bila kita berupaya meremas ukurannya ke bawah panjang fundamental ls, string menjadi berat lagi.
Bentuk kesimetrian lain, dualitas-T, berpandangan bahwa dimensi tambahan yang kecil dan besar adalah ekuivalen. Kesimetrian ini timbul karena string bisa bergerak secara lebih rumit dibanding partikel mirip-titik. Pikirkan sebuah string tertutup (ikalan) yang terdapat di ruang berbentuk silinder, yang perlintangan sirkulernya melambangkan satu dimensi tambahan terbatas. Selain bervibrasi, string bisa mengitari silinder atau melilitnya, sekali atau beberapa kali, seperti gelang karet yang dibelitkan pada gulungan poster [lihat boks Teori String 101].
Biaya energi dua kondisi string ini tergantung pada ukuran silinder. Energi pelilitan berbanding lurus dengan radius silinder: slinder yang lebih besar mengharuskan string merentang lebih banyak saat membelitnya, sehingga pelilitan tersebut mengandung lebih banyak energi ketimbang pada silinder kecil. Energi yang diasosiasikan dengan gerakan mengitari lingkaran, di sisi lain, berbanding terbalik dengan radiusnya: silinder yang lebih besar memperkenankan panjang gelombang yang lebih panjang (frekuensi lebih kecil), yang melambangkan lebih sedikitnya energi ketimbang pada panjang gelombang yang lebih pendek. Jika silinder besar diganti dengan silinder kecil, dua kondisi gerak ini bisa bertukar peran. Energi yang dihasilkan oleh gerak sirkuler dihasilkan lewat pelilitan, dan sebaliknya. Pengamat luar hanya melihat level energi, bukan asal-usul level itu. Bagi pengamat tersebut, radius besar dan kecil adalah ekuivalen secara fisikal.
Walaupun dualitas-T biasanya digambarkan dari segi ruang silinder, di mana satu dimensi (keliling) adalah terbatas, sebuah variannya berlaku pada tiga dimensi biasa kita, yang terlihat merentang tak terbatas. Kita harus berhati-hati saat berbicara soal perluasan ruang tak terhingga. Ukuran keseluruhannya tidak bisa berubah; ia tetap tak terhingga. Tapi ia masih bisa mengembang, dalam pengertian bahwa benda-benda yang tersimpan di dalamnya, seperti galaksi, bergerak menjauh dari satu sama lain. Variabel krusialnya bukanlah ukuran ruang secara keseluruhan melainkan faktor skalanya—faktor besaran perubahan jarak antara galaksi-galaksi, memanifestasikan diri sebagai redshift galaksi yang diamati para astronom. Menurut dualitas-T, alam semesta berfaktor skala kecil adalah ekuivalen dengan alam semesta berfaktor skala besar. Kesimetrian semacam itu tidak hadir dalam persamaan Einstein; itu muncul dari unifikasi yang diwujudkan oleh teori string, dengan dilaton yang memainkan peran sentral.
Selama bertahun-tahun, teoris string berpikir bahwa dualitas-T hanya berlaku pada string tertutup, berlawanan dengan string terbuka, yang memiliki ujung-ujung kendur dan karenanya tidak bisa melilit. Pada 1995, Joseph Polchinski dari Universitas California, Santa Barbara, menyadari bahwa dualitas-T bisa berlaku pada string terbuka, asalkan pergantian antara radius besar dan kecil diiringi oleh perubahan kondisi di titik-titik ujung string. Hingga saat itu, fisikawan mempostulatkan kondisi batas di mana tidak ada gaya yang beraksi terhadap ujung-ujung string, membiarkan ujung-ujung tersebut bebas mengelepak. Dengan dualitas-T, kondisi ini menjadi “kondisi batas Dirichlet”, di mana ujung-ujung tetap [pada posisinya].
Suatu string tertentu bisa mencampur dua tipe kondisi batas. Misal, elektron mungkin adalah string yang ujung-ujungnya bisa bergerak bebas di tiga (dari sepuluh) dimensi ruang tapi terpaku di tujuh dimensi lainnya. Tiga dimensi tersebut membentuk subruang yang dikenal sebagai membran Dirichlet, atau bran-D. Pada 1996, Petr Horava dari Universitas California, Berkeley, dan Edward Witten dari Institute for Advanced Study di Princeton, N.J., mengajukan bahwa alam semesta kita bertempat di bran demikian. Mobilitas parsial elektron dan partikel lain menjelaskan mengapa kita tak mampu merasakan semarak ruang 10-dimensi utuh. Semua atribut ajaib string quantum menunjuk ke satu arah: string tidak menyukai ketakterhinggaan. Ia tidak bisa kolaps ke titik amat kecil, sehingga ia menghindari paradoks-paradoks yang diminta oleh kekolapsan.
Ukuran non-nolnya dan kesimetrian barunya menetapkan batas atas pada kuantitas fisik yang meningkat tanpa batas dalam teori-teori konvensional, dan ia menetapkan batas bawah pada kuantitas yang menurun. Teori string menduga bahwa saat seseorang memutar mundur sejarah alam semesta, lengkungan ruangwaktu mulai meningkat. Tapi bukannya menuju ketakterhinggaan (singularitas, dalam big bang tradisional), itu akhirnya menyentuh [titik] maksimum dan menyusut sekali lagi. Sebelum teori string, fisikawan harus mengatasi kesulitan membayangkan suatu mekanisme yang bisa begitu rapi menyingkirkan singularitas.
Menjinakkan Ketakterhinggaan
Kondisi dekat waktu nol big bang begitu ekstrim sehingga tak ada yang tahu bagaimana caranya memecahkan persamaan. Namun demikian, teoris string telah coba-coba menebak tentang alam semesta pra-big bang. Dua model populer sedang tersiar.
Pertama, dikenal sebagai skenario pra-big bang, yang mulai dikembangkan oleh saya dan kolega saya pada 1991, mengkombinasikan dualitas-T dengan kesimetrian pembalikan waktu (time reversal) yang lebih dikenal, di mana persamaan-persamaan fisika bekerja sama baiknya saat diterapkan waktu mundur atau maju. Kombinasi itu melahirkan kemungkinan kosmologi baru di mana alam semesta, katakanlah lima detik sebelum big bang, mengembang sama cepatnya dengan lima detik setelah big bang. Tapi laju perubahan perluasan itu berlawanan di kedua jenak tersebut: jika setelah bang perluasannya melambat, sebelum bang perluasannya mencepat. Ringkasnya, big bang mungkin bukanlah awal-mula alam semesta, melainkan sekadar transisi kasar dari percepatan menuju perlambatan.
Keindahan gambaran ini adalah bahwa ia otomatis memasukkan pemahaman hebat teori inflasi standar—yakni, bahwa alam semesta harus mengalami periode akselerasi untuk menjadi begitu homogen dan isotropik. Dalam teori standar, akselerasi terjadi setelah big bang berkat medan inflasi khusus. Dalam skenario pra-big bang, itu terjadi sebelum bang sebagai hasil alami kesimetrian baru teori string.
Menurut skenario tersebut, alam semesta pra-big bang hampir merupakan citra terbalik alam semesta pasca-big bang [lihat boks Skenario Pra-Big Bang]. Jika alam semesta itu kekal sampai masa depan, artinya ia juga kekal sampai masa lampau. Jauh di masa lalu tak terhingga, ia hampir hampa, hanya berisikan gas radiasi yang renggang, tersebar luas, dan chaos serta materi. Gaya-gaya alam, dikendalikan oleh medan dilaton, begitu lemah sehingga partikel-partikel di gas ini hampir tidak berinteraksi.
Seraya waktu berjalan, gaya-gaya itu menguat dan mengumpulkan materi. Secara acak, beberapa kawasan menghimpun materi dengan mengorbankan sekelilingnya. Akhirnya, densitas di kawasan-kawasan ini menjadi begitu tinggi sehingga black hole mulai terbentuk. Materi di dalam kawasan itu kemudian terputus dari luar, mencerai-beraikan alam semesta menjadi potongan terputus.
Di dalam sebuah black hole, ruang dan waktu bertukar peran. Pusat black hole bukanlah titik ruang melainkan jenak waktu. Seraya materi yang jatuh masuk mendekati pusat black hole, pusat tersebut mencapai densitas yang semakin tinggi. Tapi saat densitas, temperatur, dan lengkungan mencapai harga maksimum yang diperkenankan oleh teori string, kuantitas-kuantitas ini mempelanting dan mulai menurun. Momen pembalikan tersebutlah yang kita sebut big bang. Interior salah satu black hole itu menjadi alam semesta kita.
Tak heran, skenario non-konvensional semacam itu telah menimbulkan kontroversi. Andrei Linde dari Universitas Stanford membantah bahwa agar skenario ini cocok dengan observasi, black hole yang melahirkan alam semesta kita harus terbentuk dengan ukuran luar biasa besar—jauh lebih besar daripada skala panjang teori string. Jawaban atas keberatan ini adalah bahwa persamaan-persamaan memprediksikan black hole dengan semua kemungkinan ukuran. Alam semesta kita kebetulan saja terbentuk di dalam black hole yang cukup besar.
Keberatan yang lebih serius, diangkat oleh Thibault Damour dari Institut des Hautes Études Scientifiques di Bures-sur-Yvette, Prancis, dan Marc Henneaux dari Free University of Brussels, adalah bahwa materi dan ruangwaktu berperilaku chaos dekat momen big bang, kontradiktif dengan keteraturan alam semesta awal.
Baru-baru ini saya mengajukan bahwa kondisi chaos akan menghasilkan gas padat miniatur lubang string (string hole)—string-string yang begitu kecil dan masif sehingga mereka berada di ambang [perubahan] menjadi black hole. Perilaku lubang-lubang ini dapat menjawab persoalan yang diidentifikasi oleh Damour dan Henneaux. Proposal serupa diajukan oleh Thomas Banks dari Universitas Rutgers dan Willy Fischler dari Universitas Texas di Austin. Juga terdapat kritik lainnya, masih harus ditentukan apakah mereka telah menemukan cacat fatal dalam skenario ini.
Model menonjol lain untuk alam semesta pra-big bang adalah skenario ekpyrotic (“lautan api”). Dikembangkan lima tahun silam oleh sekelompok kosmolog dan teoris string—Justin Khoury dari Universitas Columbia, Paul J. Steinhardt dari Universitas Princeton, Burt A. Ovrut dari Universitas Pennsylvania, Nathan Seiberg dari Institute for Advanced Study, dan Neil Turok dari Universitas Cambridge—skenario ekpyrotic bersandar pada ide yang disebutkan oleh Hioava-Witten sebelumnya bahwa alam semesta kita bertengger di satu ujung ruang dimensi tinggi dan sebuah “bran tersembunyi” bertengger di ujung berlawanan. Kedua bran mengerahkan gaya tarik terhadap satu sama lain dan adakalanya bertubrukan, membuat dimensi tambahan tersebut menyusut hingga nol sebelum tumbuh kembali. Big bang dapat disamakan dengan waktu tubrukan [lihat boks Skenario Pra-Big Bang].
Dalam sebuah varian skenario ini, tubrukan terjadi secara siklus. Dua bran mungkin berbenturan, mempelanting dari satu sama lain, bergerak memisah, saling menarik, berbenturan lagi, dan seterusnya. Di antara tubrukan, bran-bran itu berperilaku seperti Silly Putty, mengembang saat mundur dan menyusut saat berkumpul kembali. Selama perubahan haluan tersebut, laju perluasan berakselerasi; perluasan alam semesta yang kini berakselerasi mungkin sebetulnya meramalkan tubrukan berikutnya.
Skenario pra-big bang dan ekpyrotic berbagi beberapa fitur yang sama. Keduanya berawal dengan alam semesta besar, dingin, dan hampir hampa, dan keduanya berbagi persoalan yang sulit (dan tak terpecahkan) yakni transisi antara fase pra-big bang dan pasca-big bang. Secara matematis, perbedaan utama di antara skenario tersebut adalah perilaku medan dilaton. Dalam skenario pra-big bang, dilaton berawal dengan harga rendah—sehingga gaya-gaya alam adalah lemah—dan terus-menerus memperoleh kekuatan. Hal sebaliknya terdapat dalam skenario ekpyrotic, di mana tubrukan terjadi ketika gaya-gaya berada pada kondisi terlemahnya.
Para pengembang teori ekpyrotic mulanya berharap bahwa kelemahan gaya-gaya akan memungkinkan pemelantingan dianalisis secara lebih mudah, tapi mereka masih dihadapkan dengan situasi lengkungan tinggi yang sulit, sehingga terdapat perselisihan apakah skenario tersebut sungguh-sungguh menghindari singularitas. Selain itu, skenario ekpyrotic meminta syarat-syarat sangat istimewa untuk memecahkan teka-teki komologi biasa.
Contoh, bran-bran yang akan bertubrukan harus hampir persis paralel dengan satu sama lain, kalau tidak, tubrukan tidak akan melahirkan bang yang cukup homogen. Versi siklus mungkin mampu mengurus persoalan ini, sebab tubrukan-tubrukan yang berturut-turut akan memperkenankan bran-bran meluruskan diri.
Di samping tugas sulit dalam menjustifikasi sepenuhnya dua skenario ini secara matematis, fisikawan harus bertanya apakah mereka mempunyai konsekuensi fisikal tertentu yang bisa diamati. Sekilas, kedua skenario tidak terlihat seperti upaya fisika melainkan metafisika—ide-ide menarik yang tak pernah bisa dibuktikan benar atau salah oleh pengamat. Sikap tersebut terlalu pesimis. Seperti detail-detail fase inflasi, detail-detail masa pra-big bang mungkin mempunyai konsekuensi yang bisa diamati, khususnya untuk perubahan kecil yang teramati dalam temperatur gelombang mikro kosmik latar.
Pertama, observasi menunjukkan bahwa fluktuasi temperatur dibentuk oleh gelombang-gelombang akustik selama beberapa ratus ribu tahun. Keteraturan fluktuasi mengindikasikan bahwa gelombang-gelombang itu sinkron. Kosmolog telah membuang banyak model kosmologi selama bertahun-tahun sebab model-model itu gagal menerangkan kesinkronan ini. Skenario inflasi, pra-big bang, dan ekpyrotic lulus ujian pertama ini. Dalam tiga model ini, gelombang-gelombang dipicu oleh proses quantum yang menguat selama periode perluasan kosmik berakselerasi. Fase-fase gelombang disejajarkan.
Kedua, tiap model memprediksikan distribusi fluktuasi temperatur yang berbeda berkenaan dengan ukuran sudut. Pengamat telah menemukan bahwa fluktuasi dari semua ukuran memiliki amplitudo yang kurang-lebih sama. (Penyimpangan yang terlihat hanya terjadi pada skala sangat kecil, yang karenanya fluktuasi purba digantikan oleh proses berikutnya.) Model-model inflasi mereproduksi distribusi ini secara rapi. Selama inflasi, lengkungan ruang berubah secara relatif lambat, sehingga fluktuasi dari berbagai ukuran dihasilkan di bawah kondisi yang hampir sama. Dalam kedua model string, lengkungan berevolusi secara cepat, menaikkan amplitudo fluktuasi skala kecil, tapi proses-proses lain menaikkan fluktuasi skala besar, menghasilkan semua fluktuasi dengan kekuatan yang sama. Untuk skenario ekpyrotic, proses-proses lain tersebut melibatkan dimensi ruang tambahan, yang memisahkan bran-bran yang bertubrukan. Untuk skenario pra-big bang, proses itu melibatkan sebuah medan quantum, axion, yang terhubung dengan dilaton. Ringkasnya, ketiga model cocok dengan data.
Ketiga, perubahan temperatur bisa timbul akibat dua proses berbeda di alam semesta awal: fluktuasi densitas materi dan periakan disebabkan oleh gelombang-gelombang gravitasi. Inflasi melibatkan kedua proses, sedangkan skenario pra-big bang dan ekpyrotic kebanyakan melibatkan perubahan densitas. Gelombang-gelombang gravitasi berukuran tertentu akan meninggalkan tanda khas pada polarisasi gelombang mikro latar [lihat Echoes from Big Bang, tulisan Robert R. Caldwell dan Marc Kamionkowski; Scientific American, Januari 2001]. Observatorium masa depan, seperti satelit Plank-nya European Space Agency, semestinya mampu melihat tanda itu, jika memang eksis—menyediakan ujian yang hampir menentukan.
Keempat ujian menyinggung statistik fluktuasi. Dalam skenario inflasi, fluktuasi mengikuti kurva berbentuk lonceng, yang dikenal oleh fisikawan sebagai Gaussian. Hal yang sama mungkin berlaku pula dalam kasus ekpyrotic, sedangkan skenario pra-big bang memperkenankan penyimpangan lumayan dari Gaussianitas.
Analisis gelombang mikro latar bukanlah satu-satunya cara untuk memverifikasi teori-teori ini. Skenario pra-big bang semestinya menghasilkan pula gelombang gravitasi latar acak dalam rentang frekuensi yang, meski tak relevan untuk gelombang mikro latar, seharusnya bisa dideteksi oleh observatorium gelombang gravitasi masa depan. Selain itu, karena skenario pra-big bang dan ekpyrotic melibatkan perubahan medan dilaton, yang berpasangan dengan medan elektromagnet, keduanya akan membawa pada fluktuasi skala besar medan magnet. Sisa-sisa fluktuasi ini mungkin terlihat di medan magnet galaksi dan antargalaksi.
Jadi, kapan waktu berawal? Sains belum memiliki jawaban meyakinkan, tapi setidaknya dua teori yang berpotensi teruji berpendapat masuk akal bahwa alam semesta—dan karenanya waktu—eksis sebelum big bang. Jika salah satu skenario tersebut benar, kosmos itu senantiasa eksis dan, sekalipun suatu hari ia kolaps kembali, takkan pernah berakhir.
Penulis
Gabriel Veneziano, fisikawan teoritis di CERN, merupakan bapak teori string di akhir 1960-an—sebuah pencapaian yang membuatnya dianugerahi Heineman Prize tahun 2004 dari American Physical Society dan American Institute of Physics. Pada waktu itu, teori ini dianggap sebagai kegagalan; ia tidak mencapai sasarannya yakni menjelaskan nukleus atom, dan Veneziano segera mengalihkan perhatiannya kepada kromodinamika quantum, di mana dia memberi kontribusi utama. Setelah teori string muncul kembali sebagai teori gravitasi pada 1980-an, Veneziano menjadi salah satu fisikawan yang menerapkannya pada black hole dan kosmologi.
Untuk Digali Lebih Jauh
(Sumber: Special Edition Scientific American – A Matter of Time, 2006, hal. 72-81)
Teori string mengindikasikan bahwa BIG BANG bukanlah awal-mula alam semesta melainkan sekadar hasil dari kondisi yang eksis sebelumnya
Apakah big bang betul-betul merupakan permulaan waktu? Ataukah alam semesta eksis sebelum itu? Satu dekade silam, pertanyaan semacam ini terasa menghina Tuhan. Sebagian besar kosmolog bersikeras bahwa itu sama sekali tak masuk akal—bahwa merenungkan waktu/masa sebelum big bang adalah seperti menanyakan arah menuju tempat di utara Kutub Utara. Tapi perkembangan fisika teoritis, khususnya kenaikan teori string, telah mengubah perspektif mereka. Alam semesta pra-big bang telah menjadi batas teranyar kosmologi.
Kemauan baru untuk mempertimbangkan apa yang mungkin terjadi sebelum big bang merupakan ayunan mutakhir pendulum intelektual yang telah berayun selama bermilenium-milenium. Dalam satu atau lain bentuk, isu permulaan pokok telah menyeret filsuf dan teolog di hampir setiap kebudayaan. Ini terjalin dengan satu set besar persoalan, yang mahsyur diungkapkan secara ringkas dalam sebuah lukisan tahun 1987 karya Paul Gauguin: D’ou venons-nous? Que sommes-nous? Ou allons-nous? / Where do we come from? What are we? Where are we going? / Dari mana kita? Siapa kita? Akan ke mana kita? Karya ini menggambarkan siklus kelahiran, kehidupan, dan kematian—asal-usul, identitas, dan takdir tiap-tiap individu—dan persoalan personal ini terhubung langsung dengan persoalan kosmik. Kita dapat menelusuri silsilah kita menuju generasi-generasi ke belakang, menuju leluhur binatang kita, menuju bentuk awal kehidupan dan protokehidupan, menuju unsur-unsur yang tersintesiskan di alam semesta purba, menuju energi tak berbentuk yang tersimpan di ruang sebelum itu. Apakah pohon keluarga kita mengulur ke belakang seterusnya/selamanya? Ataukah akarnya memiliki ujung? Apakah kosmos sama tak permanennya dengan kita?
Orang-orang Yunani kuno memperdebatkan awal-mula waktu secara sengit. Aristoteles, mengambil kubu “tanpa-permulaan”, menyatakan bahwa dari kenihilan tidak mungkin ada yang muncul. Jikalau alam semesta tidak pernah beranjak dari kenihilan menuju keeksisan, ia pasti senantiasa eksis. Atas alasan ini dan lainnya, waktu pasti membentang abadi ke masa lampau dan masa depan. Para teolog Kristen cenderung mengambil sudut pandang berlawanan. Augustine berpendapat bahwa Tuhan eksis di luar ruang dan waktu, sanggup menjadikan bentuk-bentuk ini eksis sebagaimana Dia mampu menempa aspek lain dunia kita. Tatkala ditanya, “Apa yang Tuhan lakukan sebelum Dia menciptakan dunia?” Augustine menjawab, “Waktu sendiri merupakan bagian dari ciptaan Tuhan, jadi tak ada sebelum!”
Teori relativitas umum Albert Einstein membawa para kosmolog modern ke kesimpulan yang hampir sama. Teori ini berpendapat bahwa ruang dan waktu adalah entitas lembut dan lunak. Pada skala paling besar, ruang bersifat dinamis, mengembang atau menyusut seiring waktu, mengangkut materi layaknya kayu apung di atas gelombang pasang. Astronom mengkonfirmasikan pada 1920-an bahwa alam semesta kita sedang mengembang: galaksi-galaksi jauh bergerak menjauh dari satu sama lain. Konsekuensinya, sebagaimana dibuktikan oleh Stephen W. Hawking dan Roger Penrose pada 1960-an, adalah bahwa waktu tidak bisa membentang ke masa lalu tak terbatas. Saat Anda memutar mundur sejarah kosmik, galaksi-galaksi semuanya bersatu menjadi satu titik amat kecil, dikenal sebagai singularitas—seolah-olah mereka jatuh ke dalam black hole. Tiap galaksi atau pendahulunya teremas ke ukuran nol. Kuantitas seperti densitas, temperatur, dan lengkungan ruangwaktu menjadi tak terhingga. Singularitas adalah bencana terhebat, leluhur kosmik kita tak bisa membentang melebihi itu.
Overview
Singularitas tak terhindarkan ini menimbulkan persoalan serius bagi kosmolog. Terutama, itu duduk gelisah bersama derajat tinggi homogenitas dan isotropi yang dipertontonkan oleh alam semesta pada skala besar. Agar kosmos terlihat sama di setiap tempat, suatu jenis komunikasi harus melintas di antara kawasan-kawasan ruang yang jauh, mengkoordinasikan atribut kawasan tersebut. Tapi ide komunikasi semacam itu bertentangan dengan paradigma kosmologi lama.
- Filsuf, teolog, dan ilmuwan sudah lama memperdebatkan apakah waktu abadi atau terbatas/terhingga—yakni, apakah alam semesta telah senantiasa eksis ataukah memiliki awal-mula tertentu. Teori relativitas umum Einstein mengimplikasikan keterhinggaan. Alam semesta mengembang pasti berawal dari big bang.
- Tapi relativitas umum berhenti berfungsi di sekitar bang sebab mekanika quantum masuk ke dalam permainan. Kandidat utama hari ini untuk teori gravitasi quantum—teori string—memperkenalkan quantum panjang minimal sebagai konstanta alam yang baru dan fundamental, menjadikan konsep dasar bang tidak dapat dipertahankan.
- Bang tetap terjadi, tapi tidak melibatkan momen densitas tak terhingga, dan alam semesta mungkin mendahului masa itu. Kesimetrian teori string mengindikasikan bahwa waktu tidak memiliki permulaan dan tidak akan berakhir. Alam semesta boleh jadi bermula [dalam keadaan] hampir hampa dan berkembang hingga terjadi bang, atau bahkan mungkin ia menjalani siklus kematian dan kelahiran ulang. Dalam kedua kasus, masa pra-big bang telah membentuk kosmos sekarang.
Rincinya, pikirkan apa yang terjadi selama 13,7 miliar tahun sejak pelepasan radiasi gelombang mikro kosmik latar. Jarak antara galaksi-galaksi telah tumbuh sebesar sekitar faktor 1.000 (akibat perluasan), sedangkan radius alam semesta yang bisa diamati telah tumbuh dengan faktor yang jauh lebih besar yakni 100.000 (sebab kecepatan cahaya melampaui kecepatan perluasan). Kita melihat bagian-bagian alam semesta hari ini yang tidak bisa kita lihat 13,7 miliar tahun silam. Betul, inilah pertama kalinya dalam sejarah kosmik, cahaya dari galaksi-galaksi terjauh menjangkau Bima Sakti.
Kebetulan Aneh
Meski demikian, atribut Bima Sakti pada dasarnya sama dengan atribut galaksi-galaksi jauh. Seakan-akan Anda muncul di sebuah pesta hanya untuk mendapati diri Anda mengenakan pakaian yang sama dengan lusinan kawan terdekat Anda. Jika dua saja dari kalian bersetelan sama, itu mungkin bisa didalihkan sebagai kebetulan, tapi angka lusinan mengindikasikan bahwa para tamu pesta telah mengkoordinir pakaian mereka sebelumnya. Dalam kosmologi, angka ini bukan lusinan melainkan puluhan ribu—jumlah petak langit terpisah tapi identik secara statistik dalam gelombang mikro latar.
Satu kemungkinannya adalah bahwa semua kawasan ruang tersebut diberkahi atribut identik saat lahir—dengan kata lain, homogenitas itu hanya kebetulan. Namun, fisikawan telah memikirkan dua jalan keluar yang lebih alami dari kebuntuan tersebut: alam semesta awal jauh lebih kecil atau jauh lebih tua daripada [perkiraan] kosmologi standar. Salah satunya (atau keduanya, dengan beraksi bersama) telah memungkinkan interkomunikasi.
Pilihan paling populer mengikuti alternatif pertama. Ia mempostulatkan bahwa alam semesta mengalami periode perluasan mencepat, dikenal sebagai inflasi, di sejarah awalnya. Sebelum fase ini, galaksi-galaksi atau pendahulunya berdesak-desakan sehingga mereka bisa dengan mudah mengkoordinasikan atribut mereka. Selama inflasi, mereka hilang kontak lantaran cahaya tak mampu bekerja sama cepatnya dengan perluasan hingar-bingar tersebut. Setelah inflasi berakhir, perluasan mulai melambat, sehingga galaksi-galaksi lambat-laun kembali muncul dalam penglihatan satu sama lain.
Fisikawan mengatributkan dorongan inflasi pada energi potensial yang tersimpan di sebuah medan quantum baru, inflasi, sekitar 10-35 detik setelah big bang. Energi potensial, berlawanan dengan energi kinetik atau massa diam, menimbulkan tolakan gravitasi. Bukannya memperlambat perluasan, seperti yang dilakukan gravitasi materi biasa, inflasi justru mempercepatnya. Diajukan pada 1981, inflasi telah menjelaskan beragam observasi dengan akurat [lihat “The Inflationary Universe”, tulisan Alan H. Guth dan Pul J. Steinhardt, Scientific American, Mei 1984 dan “Four Keys to Cosmology”, Special Report, Scientific American, Februari 2004]. Namun, sejumlah kemungkinan persoalan teoritis masih tersisa, diawali dengan pertanyaan tentang apa persisnya inflasi itu dan apa yang memberinya energi potensial awal sedemikian besar.
Cara yang kurang dikenal luas untuk memecahkan teka-teki ini mengikuti alternatif kedua dengan membuang singularitas. Jika waktu tidak dimulai saat big bang, jika era panjang mendahului permulaan perluasan kosmik sekarang, materi bisa punya waktu melimpah untuk menyusun dirinya secara lembut. Karenanya, para periset telah memeriksa ulang pertimbangan yang membawa mereka menyimpulkan singularitas.
Salah satu asumsinya—bahwa teori relativitas selalu valid—diragukan. Dekat dengan singularitas, efek-efek quantum pasti penting, bahkan dominan. Relativitas standar tidak menerangkan efek semacam itu, jadi menerima singularitas sama dengan mempercayai teori tersebut tanpa akal sehat. Untuk mengetahui apa yang betul-betul terjadi, fisikawan harus memasukkan relativitas ke dalam teori gravitasi quantum. Tugas ini telah menyibukkan para teoris sejak Einstein, tapi kemajuannya hampir nol sampai pertengahan 1980-an.
Evolusi Sebuah Revolusi
Hari ini terdapat dua pendekatan menonjol. Pertama, berjalan dengan nama loop quantum gravity, mempertahankan teori Einstein tetap utuh secera esensi tapi mengubah prosedur pengimplementasiannya dalam mekanika quantum [lihat “Atom Ruang dan Waktu”, tulisan Lee Smolin]. Praktisi loop gravity quantum telah mengambil langkah pesat dan mencapai pemahaman mendalam pada beberapa tahun belakangan. Namun, pendekatan mereka masih belum cukup revolusioner untuk memecahkan persoalan fundamental quantisasi gravitasi. Persoalan yang sama dihadapi oleh teoris partikel setelah Enrico Fermi memperkenalkan teori gaya nuklir lemahnya yang efektif pada 1934. Semua upaya untuk membangun teori Fermi versi quantum telah gagal secara menyedihkan. Yang diperlukan bukanlah teknik baru melainkan modifikasi mendalam yang dibawakan oleh teori elektrolemah Sheldon L. Glashow, Steven Weinberg, dan Abdus Salam di akhir 1960-an.
Pendekatan kedua, yang saya pikir lebih menjanjikan, adalah teori string—modifikasi teori Einstein yang sungguh-sungguh revolusioner. Artikel ini akan fokus pada teori tersebut, walaupun para pendukung loop gravity quantum mengklaim mencapai banyak kesimpulan yang sama.
Teori string tumbuh dari model yang saya tulis pada 1968 untuk menggambarkan dunia partikel nuklir (seperti proton dan neutron) dan interaksinya. Walaupun mulanya timbul banyak kegemparan, model tersebut gagal. Ia dibuang beberapa tahun kemudian demi kromodinamika quantum, yang menggambarkan partikel nuklir dari segi konstituen yang lebih elementer, quark. Quark terkurung di dalam proton atau neutron, seolah-olah ia diikat oleh string elastis. Jika ditinjau kembali, teori string original telah menangkap aspek string dunia nuklir tersebut. Baru beberapa waktu kemudianlah ia dihidupkan kembali sebagai kandidat untuk menggabungkan relativitas umum dan teori quantum.
Ide dasarnya adalah bahwa partikel unsur bukanlah mirip titik melainkan objek satu-dimensi yang agak tipis tak terhingga, string. Hutan besar partikel unsur, masing-masing dengan atribut khasnya sendiri, mencerminkan banyak kemungkinan pola vibrasi sebuah string. Bagaimana teori sedungu itu bisa menggambarkan dunia partikel yang rumit dan interaksinya? Jawabannya dapat ditemukan pada apa yang kita boleh sebut sulap string quantum. Sekali aturan mekanika quantum diterapkan pada string bervibrasi—persis seperti miniatur string biola, kecuali bahwa vibrasinya menjalar dengan kecepatan cahaya—timbul atribut baru. Semuanya mempunyai implikasi mendalam untuk fisika partikel dan kosmologi.
Pertama, string quantum mempunyai ukuran terhingga. Seandainya bukan karena efek quantum, string biola bisa digunting setengah, digunting setengah lagi, dan seterusnya, sampai akhirnya menjadi partikel mirip-titik tak bermassa. Tapi prinsip ketidakpastian Heisenberg akhirnya mengganggu dan mencegah string teringan diiris lebih kecil dari sekitar 10-34 meter. Quantum panjang yang tak bisa diperkecil lagi ini, dilambangkan dengan ls, merupakan konstanta alam baru yang diperkenalkan oleh teori string, berdampingan dengan kecepatan cahaya (c) dan konstanta Planck (h). Ia memainkan peran kunci di hampir setiap aspek teori string, menempatkan batas terhingga pada kuantitas yang bisa menjadi nol atau tak terhingga.
Kedua, string quantum mungkin memiliki momentum sudut sekalipun tak bermassa. Dalam fisika klasik, momentum sudut merupakan atribut sebuah objek yang berotasi berdasarkan poros. Rumus momentum sudut mengalikan kecepatan, massa, dan jarak dari poros; karenanya, objek tak bermassa tidak memiliki momentum sudut. Tapi fluktuasi quantum mengubah situasi ini. Sebuah string kecil bisa memperoleh hingga dua unit h momentum sudut tanpa mendapatkan massa. Fitur ini sangat menggembirakan sebab ia secara akurat cocok dengan atribut pengangkut semua gaya fundamental, seperti photon (untuk elektromagnetisme) dan graviton (untuk gravitasi). Secara historis, momentum sudut memberi petunjuk kepada fisikawan mengenai implikasi gravitasi-quantum teori string.
Ketiga, string quantum menuntut eksistensi dimensi ruang tambahan, di samping tiga dimensi ruang biasa. Sementara string biola klasik akan bervibrasi tak peduli bagaimanapun atribut ruang dan waktunya, string quantum lebih rewel. Persamaan yang menggambarkan vibrasi menjadi tak konsisten, kecuali jika ruangwaktu amat melengkung (bertentangan dengan observasi) atau mengandung enam dimensi ruang tambahan.
Keempat, konstanta fisik—seperti konstanta Newton dan Coulomb, yang muncul dalam persamaan-persamaan fisika dan menetapkan atribut alam—tak lagi memiliki harga acak tertentu. Mereka terdapat dalam teori string seperti halnya medan, lebih seperti medan elektromagnet, yang bisa menyesuaikan harga secara dinamis. Medan-medan ini mungkin memangku harga berlainan di masa kosmologis berlainan atau di kawasan-kawasan ruang terpencil, dan bahkan hari ini “konstanta” fisik mungkin berubah-ubah sedikit. Mengobservasi suatu perubahan akan menyediakan dorongan besar untuk teori string.
Medan semacam itu, disebut dilaton, merupakan kunci utama teori string; ia menentukan kekuatan semua interaksi secara keseluruhan. Dilaton membuat para teoris string terpesona sebab harganya bisa ditafsirkan ulang sebagai ukuran dimensi ruang tambahan, menghasilkan total 11 dimensi ruangwaktu.
Menangani Keberantakan
Terakhir, string quantum telah memperkenalkan fisikawan kepada beberapa kesimetrian alam yang baru dan mengejutkan yang dikenal sebagai dualitas, yang mengubah intuisi kita tentang apa yang terjadi manakala objek berukuran terlampau kecil. Saya telah menyinggung sebuah bentuk dualitas: normalnya, string pendek lebih ringan daripada string panjang, tapi bila kita berupaya meremas ukurannya ke bawah panjang fundamental ls, string menjadi berat lagi.
Bentuk kesimetrian lain, dualitas-T, berpandangan bahwa dimensi tambahan yang kecil dan besar adalah ekuivalen. Kesimetrian ini timbul karena string bisa bergerak secara lebih rumit dibanding partikel mirip-titik. Pikirkan sebuah string tertutup (ikalan) yang terdapat di ruang berbentuk silinder, yang perlintangan sirkulernya melambangkan satu dimensi tambahan terbatas. Selain bervibrasi, string bisa mengitari silinder atau melilitnya, sekali atau beberapa kali, seperti gelang karet yang dibelitkan pada gulungan poster [lihat boks Teori String 101].
Biaya energi dua kondisi string ini tergantung pada ukuran silinder. Energi pelilitan berbanding lurus dengan radius silinder: slinder yang lebih besar mengharuskan string merentang lebih banyak saat membelitnya, sehingga pelilitan tersebut mengandung lebih banyak energi ketimbang pada silinder kecil. Energi yang diasosiasikan dengan gerakan mengitari lingkaran, di sisi lain, berbanding terbalik dengan radiusnya: silinder yang lebih besar memperkenankan panjang gelombang yang lebih panjang (frekuensi lebih kecil), yang melambangkan lebih sedikitnya energi ketimbang pada panjang gelombang yang lebih pendek. Jika silinder besar diganti dengan silinder kecil, dua kondisi gerak ini bisa bertukar peran. Energi yang dihasilkan oleh gerak sirkuler dihasilkan lewat pelilitan, dan sebaliknya. Pengamat luar hanya melihat level energi, bukan asal-usul level itu. Bagi pengamat tersebut, radius besar dan kecil adalah ekuivalen secara fisikal.
Walaupun dualitas-T biasanya digambarkan dari segi ruang silinder, di mana satu dimensi (keliling) adalah terbatas, sebuah variannya berlaku pada tiga dimensi biasa kita, yang terlihat merentang tak terbatas. Kita harus berhati-hati saat berbicara soal perluasan ruang tak terhingga. Ukuran keseluruhannya tidak bisa berubah; ia tetap tak terhingga. Tapi ia masih bisa mengembang, dalam pengertian bahwa benda-benda yang tersimpan di dalamnya, seperti galaksi, bergerak menjauh dari satu sama lain. Variabel krusialnya bukanlah ukuran ruang secara keseluruhan melainkan faktor skalanya—faktor besaran perubahan jarak antara galaksi-galaksi, memanifestasikan diri sebagai redshift galaksi yang diamati para astronom. Menurut dualitas-T, alam semesta berfaktor skala kecil adalah ekuivalen dengan alam semesta berfaktor skala besar. Kesimetrian semacam itu tidak hadir dalam persamaan Einstein; itu muncul dari unifikasi yang diwujudkan oleh teori string, dengan dilaton yang memainkan peran sentral.
Selama bertahun-tahun, teoris string berpikir bahwa dualitas-T hanya berlaku pada string tertutup, berlawanan dengan string terbuka, yang memiliki ujung-ujung kendur dan karenanya tidak bisa melilit. Pada 1995, Joseph Polchinski dari Universitas California, Santa Barbara, menyadari bahwa dualitas-T bisa berlaku pada string terbuka, asalkan pergantian antara radius besar dan kecil diiringi oleh perubahan kondisi di titik-titik ujung string. Hingga saat itu, fisikawan mempostulatkan kondisi batas di mana tidak ada gaya yang beraksi terhadap ujung-ujung string, membiarkan ujung-ujung tersebut bebas mengelepak. Dengan dualitas-T, kondisi ini menjadi “kondisi batas Dirichlet”, di mana ujung-ujung tetap [pada posisinya].
Suatu string tertentu bisa mencampur dua tipe kondisi batas. Misal, elektron mungkin adalah string yang ujung-ujungnya bisa bergerak bebas di tiga (dari sepuluh) dimensi ruang tapi terpaku di tujuh dimensi lainnya. Tiga dimensi tersebut membentuk subruang yang dikenal sebagai membran Dirichlet, atau bran-D. Pada 1996, Petr Horava dari Universitas California, Berkeley, dan Edward Witten dari Institute for Advanced Study di Princeton, N.J., mengajukan bahwa alam semesta kita bertempat di bran demikian. Mobilitas parsial elektron dan partikel lain menjelaskan mengapa kita tak mampu merasakan semarak ruang 10-dimensi utuh. Semua atribut ajaib string quantum menunjuk ke satu arah: string tidak menyukai ketakterhinggaan. Ia tidak bisa kolaps ke titik amat kecil, sehingga ia menghindari paradoks-paradoks yang diminta oleh kekolapsan.
Ukuran non-nolnya dan kesimetrian barunya menetapkan batas atas pada kuantitas fisik yang meningkat tanpa batas dalam teori-teori konvensional, dan ia menetapkan batas bawah pada kuantitas yang menurun. Teori string menduga bahwa saat seseorang memutar mundur sejarah alam semesta, lengkungan ruangwaktu mulai meningkat. Tapi bukannya menuju ketakterhinggaan (singularitas, dalam big bang tradisional), itu akhirnya menyentuh [titik] maksimum dan menyusut sekali lagi. Sebelum teori string, fisikawan harus mengatasi kesulitan membayangkan suatu mekanisme yang bisa begitu rapi menyingkirkan singularitas.
Menjinakkan Ketakterhinggaan
Kondisi dekat waktu nol big bang begitu ekstrim sehingga tak ada yang tahu bagaimana caranya memecahkan persamaan. Namun demikian, teoris string telah coba-coba menebak tentang alam semesta pra-big bang. Dua model populer sedang tersiar.
Pertama, dikenal sebagai skenario pra-big bang, yang mulai dikembangkan oleh saya dan kolega saya pada 1991, mengkombinasikan dualitas-T dengan kesimetrian pembalikan waktu (time reversal) yang lebih dikenal, di mana persamaan-persamaan fisika bekerja sama baiknya saat diterapkan waktu mundur atau maju. Kombinasi itu melahirkan kemungkinan kosmologi baru di mana alam semesta, katakanlah lima detik sebelum big bang, mengembang sama cepatnya dengan lima detik setelah big bang. Tapi laju perubahan perluasan itu berlawanan di kedua jenak tersebut: jika setelah bang perluasannya melambat, sebelum bang perluasannya mencepat. Ringkasnya, big bang mungkin bukanlah awal-mula alam semesta, melainkan sekadar transisi kasar dari percepatan menuju perlambatan.
Keindahan gambaran ini adalah bahwa ia otomatis memasukkan pemahaman hebat teori inflasi standar—yakni, bahwa alam semesta harus mengalami periode akselerasi untuk menjadi begitu homogen dan isotropik. Dalam teori standar, akselerasi terjadi setelah big bang berkat medan inflasi khusus. Dalam skenario pra-big bang, itu terjadi sebelum bang sebagai hasil alami kesimetrian baru teori string.
Menurut skenario tersebut, alam semesta pra-big bang hampir merupakan citra terbalik alam semesta pasca-big bang [lihat boks Skenario Pra-Big Bang]. Jika alam semesta itu kekal sampai masa depan, artinya ia juga kekal sampai masa lampau. Jauh di masa lalu tak terhingga, ia hampir hampa, hanya berisikan gas radiasi yang renggang, tersebar luas, dan chaos serta materi. Gaya-gaya alam, dikendalikan oleh medan dilaton, begitu lemah sehingga partikel-partikel di gas ini hampir tidak berinteraksi.
Seraya waktu berjalan, gaya-gaya itu menguat dan mengumpulkan materi. Secara acak, beberapa kawasan menghimpun materi dengan mengorbankan sekelilingnya. Akhirnya, densitas di kawasan-kawasan ini menjadi begitu tinggi sehingga black hole mulai terbentuk. Materi di dalam kawasan itu kemudian terputus dari luar, mencerai-beraikan alam semesta menjadi potongan terputus.
Di dalam sebuah black hole, ruang dan waktu bertukar peran. Pusat black hole bukanlah titik ruang melainkan jenak waktu. Seraya materi yang jatuh masuk mendekati pusat black hole, pusat tersebut mencapai densitas yang semakin tinggi. Tapi saat densitas, temperatur, dan lengkungan mencapai harga maksimum yang diperkenankan oleh teori string, kuantitas-kuantitas ini mempelanting dan mulai menurun. Momen pembalikan tersebutlah yang kita sebut big bang. Interior salah satu black hole itu menjadi alam semesta kita.
Tak heran, skenario non-konvensional semacam itu telah menimbulkan kontroversi. Andrei Linde dari Universitas Stanford membantah bahwa agar skenario ini cocok dengan observasi, black hole yang melahirkan alam semesta kita harus terbentuk dengan ukuran luar biasa besar—jauh lebih besar daripada skala panjang teori string. Jawaban atas keberatan ini adalah bahwa persamaan-persamaan memprediksikan black hole dengan semua kemungkinan ukuran. Alam semesta kita kebetulan saja terbentuk di dalam black hole yang cukup besar.
Keberatan yang lebih serius, diangkat oleh Thibault Damour dari Institut des Hautes Études Scientifiques di Bures-sur-Yvette, Prancis, dan Marc Henneaux dari Free University of Brussels, adalah bahwa materi dan ruangwaktu berperilaku chaos dekat momen big bang, kontradiktif dengan keteraturan alam semesta awal.
Baru-baru ini saya mengajukan bahwa kondisi chaos akan menghasilkan gas padat miniatur lubang string (string hole)—string-string yang begitu kecil dan masif sehingga mereka berada di ambang [perubahan] menjadi black hole. Perilaku lubang-lubang ini dapat menjawab persoalan yang diidentifikasi oleh Damour dan Henneaux. Proposal serupa diajukan oleh Thomas Banks dari Universitas Rutgers dan Willy Fischler dari Universitas Texas di Austin. Juga terdapat kritik lainnya, masih harus ditentukan apakah mereka telah menemukan cacat fatal dalam skenario ini.
Model menonjol lain untuk alam semesta pra-big bang adalah skenario ekpyrotic (“lautan api”). Dikembangkan lima tahun silam oleh sekelompok kosmolog dan teoris string—Justin Khoury dari Universitas Columbia, Paul J. Steinhardt dari Universitas Princeton, Burt A. Ovrut dari Universitas Pennsylvania, Nathan Seiberg dari Institute for Advanced Study, dan Neil Turok dari Universitas Cambridge—skenario ekpyrotic bersandar pada ide yang disebutkan oleh Hioava-Witten sebelumnya bahwa alam semesta kita bertengger di satu ujung ruang dimensi tinggi dan sebuah “bran tersembunyi” bertengger di ujung berlawanan. Kedua bran mengerahkan gaya tarik terhadap satu sama lain dan adakalanya bertubrukan, membuat dimensi tambahan tersebut menyusut hingga nol sebelum tumbuh kembali. Big bang dapat disamakan dengan waktu tubrukan [lihat boks Skenario Pra-Big Bang].
Dalam sebuah varian skenario ini, tubrukan terjadi secara siklus. Dua bran mungkin berbenturan, mempelanting dari satu sama lain, bergerak memisah, saling menarik, berbenturan lagi, dan seterusnya. Di antara tubrukan, bran-bran itu berperilaku seperti Silly Putty, mengembang saat mundur dan menyusut saat berkumpul kembali. Selama perubahan haluan tersebut, laju perluasan berakselerasi; perluasan alam semesta yang kini berakselerasi mungkin sebetulnya meramalkan tubrukan berikutnya.
Skenario pra-big bang dan ekpyrotic berbagi beberapa fitur yang sama. Keduanya berawal dengan alam semesta besar, dingin, dan hampir hampa, dan keduanya berbagi persoalan yang sulit (dan tak terpecahkan) yakni transisi antara fase pra-big bang dan pasca-big bang. Secara matematis, perbedaan utama di antara skenario tersebut adalah perilaku medan dilaton. Dalam skenario pra-big bang, dilaton berawal dengan harga rendah—sehingga gaya-gaya alam adalah lemah—dan terus-menerus memperoleh kekuatan. Hal sebaliknya terdapat dalam skenario ekpyrotic, di mana tubrukan terjadi ketika gaya-gaya berada pada kondisi terlemahnya.
Para pengembang teori ekpyrotic mulanya berharap bahwa kelemahan gaya-gaya akan memungkinkan pemelantingan dianalisis secara lebih mudah, tapi mereka masih dihadapkan dengan situasi lengkungan tinggi yang sulit, sehingga terdapat perselisihan apakah skenario tersebut sungguh-sungguh menghindari singularitas. Selain itu, skenario ekpyrotic meminta syarat-syarat sangat istimewa untuk memecahkan teka-teki komologi biasa.
Contoh, bran-bran yang akan bertubrukan harus hampir persis paralel dengan satu sama lain, kalau tidak, tubrukan tidak akan melahirkan bang yang cukup homogen. Versi siklus mungkin mampu mengurus persoalan ini, sebab tubrukan-tubrukan yang berturut-turut akan memperkenankan bran-bran meluruskan diri.
Di samping tugas sulit dalam menjustifikasi sepenuhnya dua skenario ini secara matematis, fisikawan harus bertanya apakah mereka mempunyai konsekuensi fisikal tertentu yang bisa diamati. Sekilas, kedua skenario tidak terlihat seperti upaya fisika melainkan metafisika—ide-ide menarik yang tak pernah bisa dibuktikan benar atau salah oleh pengamat. Sikap tersebut terlalu pesimis. Seperti detail-detail fase inflasi, detail-detail masa pra-big bang mungkin mempunyai konsekuensi yang bisa diamati, khususnya untuk perubahan kecil yang teramati dalam temperatur gelombang mikro kosmik latar.
Pertama, observasi menunjukkan bahwa fluktuasi temperatur dibentuk oleh gelombang-gelombang akustik selama beberapa ratus ribu tahun. Keteraturan fluktuasi mengindikasikan bahwa gelombang-gelombang itu sinkron. Kosmolog telah membuang banyak model kosmologi selama bertahun-tahun sebab model-model itu gagal menerangkan kesinkronan ini. Skenario inflasi, pra-big bang, dan ekpyrotic lulus ujian pertama ini. Dalam tiga model ini, gelombang-gelombang dipicu oleh proses quantum yang menguat selama periode perluasan kosmik berakselerasi. Fase-fase gelombang disejajarkan.
Kedua, tiap model memprediksikan distribusi fluktuasi temperatur yang berbeda berkenaan dengan ukuran sudut. Pengamat telah menemukan bahwa fluktuasi dari semua ukuran memiliki amplitudo yang kurang-lebih sama. (Penyimpangan yang terlihat hanya terjadi pada skala sangat kecil, yang karenanya fluktuasi purba digantikan oleh proses berikutnya.) Model-model inflasi mereproduksi distribusi ini secara rapi. Selama inflasi, lengkungan ruang berubah secara relatif lambat, sehingga fluktuasi dari berbagai ukuran dihasilkan di bawah kondisi yang hampir sama. Dalam kedua model string, lengkungan berevolusi secara cepat, menaikkan amplitudo fluktuasi skala kecil, tapi proses-proses lain menaikkan fluktuasi skala besar, menghasilkan semua fluktuasi dengan kekuatan yang sama. Untuk skenario ekpyrotic, proses-proses lain tersebut melibatkan dimensi ruang tambahan, yang memisahkan bran-bran yang bertubrukan. Untuk skenario pra-big bang, proses itu melibatkan sebuah medan quantum, axion, yang terhubung dengan dilaton. Ringkasnya, ketiga model cocok dengan data.
Ketiga, perubahan temperatur bisa timbul akibat dua proses berbeda di alam semesta awal: fluktuasi densitas materi dan periakan disebabkan oleh gelombang-gelombang gravitasi. Inflasi melibatkan kedua proses, sedangkan skenario pra-big bang dan ekpyrotic kebanyakan melibatkan perubahan densitas. Gelombang-gelombang gravitasi berukuran tertentu akan meninggalkan tanda khas pada polarisasi gelombang mikro latar [lihat Echoes from Big Bang, tulisan Robert R. Caldwell dan Marc Kamionkowski; Scientific American, Januari 2001]. Observatorium masa depan, seperti satelit Plank-nya European Space Agency, semestinya mampu melihat tanda itu, jika memang eksis—menyediakan ujian yang hampir menentukan.
Keempat ujian menyinggung statistik fluktuasi. Dalam skenario inflasi, fluktuasi mengikuti kurva berbentuk lonceng, yang dikenal oleh fisikawan sebagai Gaussian. Hal yang sama mungkin berlaku pula dalam kasus ekpyrotic, sedangkan skenario pra-big bang memperkenankan penyimpangan lumayan dari Gaussianitas.
Analisis gelombang mikro latar bukanlah satu-satunya cara untuk memverifikasi teori-teori ini. Skenario pra-big bang semestinya menghasilkan pula gelombang gravitasi latar acak dalam rentang frekuensi yang, meski tak relevan untuk gelombang mikro latar, seharusnya bisa dideteksi oleh observatorium gelombang gravitasi masa depan. Selain itu, karena skenario pra-big bang dan ekpyrotic melibatkan perubahan medan dilaton, yang berpasangan dengan medan elektromagnet, keduanya akan membawa pada fluktuasi skala besar medan magnet. Sisa-sisa fluktuasi ini mungkin terlihat di medan magnet galaksi dan antargalaksi.
Jadi, kapan waktu berawal? Sains belum memiliki jawaban meyakinkan, tapi setidaknya dua teori yang berpotensi teruji berpendapat masuk akal bahwa alam semesta—dan karenanya waktu—eksis sebelum big bang. Jika salah satu skenario tersebut benar, kosmos itu senantiasa eksis dan, sekalipun suatu hari ia kolaps kembali, takkan pernah berakhir.
Penulis
Gabriel Veneziano, fisikawan teoritis di CERN, merupakan bapak teori string di akhir 1960-an—sebuah pencapaian yang membuatnya dianugerahi Heineman Prize tahun 2004 dari American Physical Society dan American Institute of Physics. Pada waktu itu, teori ini dianggap sebagai kegagalan; ia tidak mencapai sasarannya yakni menjelaskan nukleus atom, dan Veneziano segera mengalihkan perhatiannya kepada kromodinamika quantum, di mana dia memberi kontribusi utama. Setelah teori string muncul kembali sebagai teori gravitasi pada 1980-an, Veneziano menjadi salah satu fisikawan yang menerapkannya pada black hole dan kosmologi.
Untuk Digali Lebih Jauh
- The Elegant Universe. Brian Greene. W. W. Norton, 1999.
- Superstring Cosmology. James E. Lidsey, David Wands, dan Edmund J. Copeland dalam Physics Reports, Vol. 337, No. 4–5, hal. 343–492; Oktober 2000. www.arxiv.org/abs/hep-th/9909061.
- From Big Crunch to Big Bang. Justin Khoury, Burt A. Ovrut, Nathan Seiberg, Paul J. Steinhardt dan Neil Turok dalam Physical Review D, Vol. 65, No. 8, Paper No. 086007; 15 April 2002. www.arxiv/abs/hep-th/0108187.
- A Cyclic Model of the Universe. Paul J. Steinhardt dan Neil Turok dalam Science, Vol. 296, No. 5572, hal. 1436–1439; 24 Mei 2002. www.arxiv/abs/hep-th/0111030.
- The Pre–Big Bang Scenario in String Cosmology. Maurizio Gasperini dan Gabriele Veneziano dalam Physics Reports, Vol. 373, No. 1–2, hal. 1–212; Januari 2003. www.arxiv/abs/hep-th/0207130.
No comments:
Post a Comment