Tuesday, October 23, 2012

Agama dan Sains, Satu Koin 2 Rupa

Evolusi spiritual menjadi sains merupakan suatu proses pembelajaran bagaimana manusia berubah ketika memandang realitas dari keadaan yang terintegrasi menjadi terurai dan kemudian diintegrasikan kembali di wilayah sains sebagai teori kosmologis yaitu unifikasi teori kuantum dan teori gravitasi kuantum.

Dasar-dasar teori tentang segala sesuatu sebenarnya ada di depan mata kita sebagai suatu teori metafisika yang berhubungan dengan kemampuan manusia melihat, merasakan, merumuskan dan mengaktualisaikan kembali realitas dalam berbagai tingkat pemahamannya masing-masing. Agama dan Sains memang semestinya berhubungan.

Agama dalam terjemahan harfiahnya adalah suatu sarana untuk menyatakan suatu keteraturan dari kekacauan. Asal katanya berasal dari bahasa sansekerta dimana “a” menyatakan “tidak” dan Gama menyatakan “kacau”.

Agama memang bukan sains dalam arti harfiah. Ia adalah suatu produk konsensus untuk meyakini sesuatu Yang Maha Tinggi.

Untuk membuktikan keyakinan itu, maka suatu Agama harus dinyatakan sebagai sikap dan adab dimana sikap dan adab itu menyatakan ketundukkan makhluk di hadapan Realitas Maha Tinggi yang tidak mampu lagi dijangkau pemikiran manusia.

Setiap puncak pemikiran manusia sejatinya tidak menunjukkan puncak yang sebenarnya. Namun justru menunjukkan ketidakmampuan manusia dengan pengetahuannya secara utuh tentang Kehidupan itu sendiri.

Khususnya ketika manusia berhadapan dengan kenyataan sehari-hari yang dilihatnya dan kelak akan dihadapinya yaitu Kematian. Ada apa setelah kematian?

Tidak ada satu sistem filsafat pun bahkan agama yang benar-benar bisa memastikan apa yang terjadi dengan kematian. Sehingga ketika kesadaran-kesadaran kudus seorang manusia mencapai titik puncaknya ia justru akan menyadari kelemahan dirinya, baik lahir maupun batin bahwa Sesuatu Yang Maha Tinggi itu benar-benar tak bisa dijangkau dengan metodologi ilmu pengetahuan lahir maupun batin.

Maka dalam kepasrahan itu kesadaran kudusnya mengada menjadi keyakinan dan keimanan dimana kondisi-kondisi kehidupannya merasakan sendiri bagaimana ketidakberdayaannya di hadapan Yang maha Tinggi justru akhirnya membuka hijab nafsunya.

Dan ketika itulah Tuhan menyapanya, seolah-olah rekaman ulang yang sejatinya dirasakan oleh semua jiwa manusia jika Yang Maha Tinggi itu tidaklah dapat dijangkau dengan ukuran jauh dan dekat, tinggi dan bawah.

Aslimlah ia dengan kesadaran Islam, yang kelak di nyatakan sebagai keyakinan dan keimanan dengan aturan yang mengikat untuk menunjukkan ketidaksanggupannya sendiri ketika menangung beban dari pengetahuannya yang sebenarnya hanya sarana-sarana semata yang kelak bisa musnah.

Sains berasal dari bahasa Yunani, ia tidak lain adalah turunan pertama agama meskipun ia sebenarnya dihadirkan pertama kali dari kenyataan-kenyataan dan pengalaman-pengalaman hidup. Karena itu, sains dengan akal dinyatakan kemudian dari wilayah agama sebagai diciptakan pertama kali tetapi kemudian dimundurkan. Yang dimajukan adalah Hati sebagai wadah simbolik yang melahirkan pemahaman tentang Agama yang menjadi sistem keyakinan dan keimanan.

Sains hanya membatasi diri dalam lingkupan yang terukur dan terjamah oleh pikiran manusia. Apakah digunakan model matematika yang rumit maupun sekedar citarasa dan emosi intuitif yang kemudian lahir menjadi Seni, sains sebagai ilmu pengetahuan manusia hanya berkepentingan dengan urusan manusia di tempat hidupnya yang fana dan mampu rusak.

Karena itu, sains kemudian dimundurkan dan sejatinya di down-grade dari puncak perjalanan manusia setelah mencapai kesadaran tentang keterbatasan kehendak bebasnya.

Dalam konteks demikian, maka ilmu agama sebenarnya boleh saja disebut sains agama tetapi tidak menunjukkan esensi agama itu sendiri yang merupakan saran untuk mengenal dan sampai kepada Allah dalam arti yang luas maupun membumi.

Sains agama hanya sekedar sarana untuk meningkatkan pemahaman tentang agama itu sendiri dan jika dimungkinkan meningkatkan keimanan maupun keyakinan sampai akhirnya ditetapkan menjadi ketaqwaan dengan ihsan.

Karena itu, keberhasilan manusia beragama sebenarnya tidak berhubungan dengan banyak sedikitnya pengetahuan agama, menghapal al-Qur’an, menghapal do’a, maupun sarana-sarana artifisal lainnya yang basisnya geometri, bilangan dan huruf. Sains agama keberhasilannya tergantung kepada seberapa jauh manusia menyatakan tindakannya , akhlak perilakunya, sesuai dengan tuntunan agama. Jika terdapat pertentangan antara tuntunan dan tindakan maka hal itu adalah kegagalan manusia itu sendiri yang gagal menafsirkan maupun menyatakan nilai-nilai etis dan moral agamanya.

Demikian juga, tingkat rasa seseorang tidak menunjukkan keberhasilannya dalam mencapai hakikat dari Yang Maha Tinggi karena hanya sekedar sarana-saraan pengungkapan jiwanya yang gelisah yang menunjukkan ketidaksanggupannya melihat Kemahatinggian yang tak terpikirkan dan tak terbayangkan nyata dihadapannya.

Ungkapan dengan nama-nama dan sifat-sifat yang merujuk kepada segala kemampuan dari Yang maha Tinggi sejatinya adalah wewangian yang ditebarkan supaya keterikatan manusia dengan keyakinan dan keimanannya semakin mantap. Namun, itupun belum cukup karena pada akhirnya keberhasilan seseorang beragama hanya mungkin dibuktikan dengan amaliah dan perbuatan yang kemudian disebut akhlak manusia yang mulia yang merefleksikan kemuliaan Penciptanya.

Jadi jelas sekali kalau agama akhirnya harus diterapkan seperti halnya sains kepada semua makhluk sehingga tercipta manfaat yang nyata bagi semua makhluk dalam keseimbangan ideal yang harmonis dan tanpa cacat, yang selaras dengan Kehendak Kekuasan Maha Tinggi tersebut.

@tmonadi

No comments:

Post a Comment