Diakui atau tidak, sains modern lahir dan
berkembang di dunia Barat. Meski tidak selamanya bahwa Barat adalah
Kristen, atau sebaliknya, Kristen adalah Barat, akan tetapi secara umum,
Barat modern mengidentifikasikan dirinya sebagai berakar pada tradisi
Yunani, Yahudi dan Kristen. Namun, dewasa ini sains modern dan
turunannya, teknologi, telah dieksplorasi oleh semua budaya masyarakat
di seluruh dunia. Sains modern mampu menggantikan semua cara lain dalam mengeksplorasi dan menggali potensi alam, setidak-tidaknya dalam
pengertian praktisnya.
Dampak dari perkembangan sains modern
sungguh menakjubkan. Sains modern telah mengubah cara manusia dalam
menjalani hidup, berkomunikasi, melahirkan anak, memproduksi bahan
makanan, pakaian, dan perumahan serta dalam menjalani berbagai kegiatan
rutin dalam kehidupannya sehari-hari. Ini tidak hanya mewarnai kehidupan
orang-orang Barat saja, namun keberadaan sains modern telah diakui
secara mendunia dan sains modern telah hidup dan menguasai semua lini
kehidupan dalam berbagai budaya, seperti budaya Hindu, Cina dan budaya
bangsa-bangsa di belahan dunia lainnya, termasuk di dalamnya budaya
Islam yang juga turut serta berpartisipasi dengan penuh gairah dalam
mengkonsumsi hasil perkembangan sains modern.
Dalam sejarah sains, semua capaian sains modern saat ini, berawal dari berbagai pertanyaan manusia tentang misteri alam semesta; kemegahan langit malam, terjadinya siang dan malam serta berbagai fenomena alam, telah memunculkan berbagai pertanyaan: mengapa ada alam semesta ini? Mengapa alam semesta seperti ini? Kapan ia berawal dan akankah berakhir? Berbagai instrumen telah dicoba guna mengetahui asal mula, keberadaan serta kemungkinan kehancuran alam semesta. Hal ini telah dilakukan oleh manusia sejak dahulu kala, yaitu dengan mengkaji gerakan-gerakan bintang di langit yang disebut dengan ilmu astronomi dan merumuskan berbagai teori tentang alam semesta yang kemudian dikenal dengan kosmologi, yang pada gilirannya nanti keduanya menjadi cabang dari sains modern yang khusus mengkaji tentang ilmu perbintangan dan asal asul alam semesta.
Dalam langkah majunya, kajian tentang
alam telah melalui dan mengalami banyak revolusi. Sebagai misal, dalam
rentang waktu satu abad, revolusi Copernicus tahun 1543 M yang
dikumandangkan oleh seorang astronom fisikawan Jerman Johannes Kepler
(1571-1630 M) dan seorang ilmuwan dan filosof Italia Gelilei Galileo
(1564-1642 M)―yang terjadi setelah kematian Copernicus―mampu meneguhkan
sistem heliosentris (matahari sebagai pusat benda-benda luar angkasa,
sedangkan bumi hanyalah salah satu planetnya). Penemuan ini cukup
mengguncangkan fondasi pandangan dunia geosentris, yaitu bumi sebagai
pusat alam semesta, yang sebelumnya telah berurat akar selama kurang
lebih 1300 tahun. Kepler dengan tiga hukumnya yang berhubungan dengan
orbit-orbit berbagai planet, dan Galileo dengan temuan mutakhirnya,
yaitu sebuah teleskop kecil sehingga dapat melihat gerakan-gerakan benda
langit yang belum pernah dilihat sebelumnya: satelit-satelit Yupiter,
dan mengetahui bahwa benda-benda langit tidaklah sempurna dan bahkan
serupa saja dengan bumi. Hal ini telah membawa perubahan dalam tata cara
mengkaji dan menjawab berbagai pertanyaan tentang fenomena alam. Sejak
saat itu, kajian tentang alam harus didasarkan pada eksperimen,
observasi, analisis kuantitatif dan pertimbangan kualitatif, penjelasan
kausal dan deskripsi fenomenologis.
Penemuan dan cara baru ini berbeda dengan
langkah-langkah para filsuf zamannya yang cenderung mencari jawaban
atas masalah-masalah fisika dengan merujuk ke teks masa lampau.
Perbedaan ini ternyata menuai konflik yang berkepanjangan antara sains
dan agama. Penemuan Galileo mengguncang otoritas ilmiah Aristoteles yang
mendukung astronomi Ptolemeus yang telah diterima secara luas di Eropa
sejak abad ke-12. Lebih-lebih otoritas kitab suci saat itu meyakini bumi
sebagai pusat alam semesta. Galileo dengan berpegang teguh pada hasil
penelitiannya secara terang-terangan menentang otoritas gereja, sehingga
pada tahun 1633 Galileo diadili oleh gereja, ia disumpah untuk
meninggalkan pendapat sesat, yang tak lain sistem heliosentris
Copernicus. Moment bersejarah ini diabadikan dalam sebuah lukisan
Galileo yang sedang berlutut di hadapan Inkuisitor Gereja Katolik,
berjubah terdakwa, satu tangan diletakkan di atas Injil.
Peristiwa Galileo tidak menjadikan para
penerusnya menjadi ciut, akan tetapi kajian tentang alam semesta terus
melangkah maju jauh meninggalkan para pendahulunya. Misalnya saja
setelah Galileo meninggal pada tahun 1642 M, Isaac Newton (642-1727 M)
berhasil membuat pandangan yang benar-benar baru tentang alam semesta,
penemuannya tentang adanya gaya gravitasi―yang nantinya menjadi salah
satu dari ladasan teori relativitas―yang konon terinspirasi dari sebuah
peristiwa jatuhnya Apel di atas kepala Newton saat ia sedang duduk di
bawah pohon Apel, telah membawa perubahan besar terhadap pandangan
manusia tentang materi. Ia mampu menjelaskan hukum-hukum fisika dengan
cara yang mudah dimengerti oleh manusia yang belum bisa dilakukan oleh
William Harvey (1578-1657 M) dan René Descartes (1596-1650 M) yang juga
telah mengadakan percobaan sebelumnya.
Tidak hanya itu, pada dua abad berikutnya
Sains modern berkembang begitu pesat. Ia menemukan jutaan fakta baru,
menyusun ribuan teori baru dan melayani manusia dengan cara yang belum
pernah dilakukan sebelumnya. Penemuan Albert Einstein (1879-1955 M)
misalnya, ia berhasil merumuskan teori relativitas, dan berdampak
penting pada pemahaman manusia atas ruang, waktu, energi dan materi,
serta menjadi cikal bakal lahirnya kosmologi modern, yang memunculkan
berbagai gagasan tentang model alam semesta. Bahkan sains modern mampu
merumuskan teologinya sendiri tentang alam, yaitu dengan memperlakukan
materi sebagai unit otonom, yang dengan cara tertentu eksis dan hidup
selamanya di alam semesta, serta menjalankan fungsinya tanpa membutuhkan
Tuhan. Ia juga merumuskan asumsi dasar bahwa kosmos hanyalah kumpulan
materi yang berjalan berdasarkan hukum tertentu yang bisa dipahami
melalui metode ilmiah. Begitu dipahami, hukum ini kemudian bisa
digunakan untuk menjelaskan segala sesuatu tanpa merujuk kepada apapun
selain kepada sains. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa
sains akan memunculkan berbagai gagasan, persepsi atau teori yang tidak
sesuai atau bahkan bertolak belakang dengan pandangan religius atau yang
memunculkan pertanyaan tentang kemahakuasaan dan kebebasan Tuhan,
sebab, sains tidak memiliki komitmen apapun terhadap agama manapun.
Meski demikian, segala penemuan sains
modern membutuhkan sebuah perenungan religius dalam konteks kehidupan
beragama. Karena bagaimanapun, meski penemuan sains modern bebas nilai
serta tidak terikat dengan agama manapun, akan tetapi ia tidak akan bisa
lari dan akan tetap bersinggungan dengan kehidupan keagamaan, paling
tidak dengan manusia yang beragama. Proses ini memang telah terjadi di
Barat yang banyak dilakukan oleh jajaran teolog dari semua madzhab―dalam
agama Kristen―dan para filosof serta saintis terkemuka guna merenungkan
implikasi penemuan ilmiah atas iman mereka.
Diantara semua agama di dunia, Kristenlah
yang harus berhadapan langsung dengan serangan saintisme, sebab di
dunia Kristen sains modern lahir dan berkembang, dan menurut paradigma
kehidupan dan pemikiran Kristen abad pertengahan, sains modern harus
ditolak dan dikeluarkan.
Mungkin bukan suatu yang mengherankan
ketika konflik antara sains dan agama di dunia Kristen dan Barat ini
terjadi. Jika kita melihat sejarah lahirnya agama Kristen di Barat, hal
itu telah menjadi cikal bakal adanya dikotomisasi antara kebenaran akal
dan kebenaran wahyu. Selain itu juga tindakan gereja yang begitu keras
memberangus dan memasung pemikiran-pemikiran dan teori-teori ilmiah,
serta menjatuhkan hukuman terhadap si empunya―apabila berseberangan
dengan pendapat resmi gereja―hal ini menimbulkan keinginan untuk
melakukan kudeta terhadap gereja dengan menjadikan temuan ilmiahnya
sebagai senjata paling ampuh untuk menyerang otoritas gereja dan menolak
keberadaan dan campur tangan Tuhan dalam kehidupan manusia.
Pada abad ke-20 konflik hubungan sains
dan agama menjadi sebuah kajian yang tak pernah tuntas dibahas. Selama
40 tahun terakhir, minat kuat dalam hubungan sains dan agama telah
menghasilkan banyak tanggapan dan interaksi kesarjanaan yang berusaha
menjembatani sains dan teologi Kristen. Salah satu inti permasalahan
yang kemudian membawa pada konflik yang berkepanjangan adalah masalah
penciptaan dan model alam semesta yang diajukan oleh kosmologi modern.
Sekarang, kosmologi bukan lagi sekadar
teori teori spekulatif tentang asal usul, evolusi, komposisi, dan
struktur alam semesta ini. Ia sudah merupakan ilmu pengetahuan yang
didukung beragam hasil observasi astronomis, juga hasil-hasil eksperimen
fisika yang berkaitan. Bahkan, sebagian kalangan ahli kosmologi
mengatakan, saat ini adalah eranya kosmologi presisi (ketepatan), yaitu
era ketika data-data astronomis melimpah dengan tingkat kepresisian yang
semakin tinggi.
Banyak hasil observasi yang mendukung
teori-teori yang diajukan. Ada juga yang masih menjadi rahasia tak
terungkap sehingga alam semesta ini belum sepenuhnya terpahami, dan
mendorong para ilmuwan untuk terus memformulasikan aturan atau
teori-teori yang memerikan alam semesta ini.
Kosmologi modern pada abad ke-19 hingga
abad ke-20 telah mengajukan berbagai gagasan mengenai model alam
semesta. namun tinjauan terhadap semua teori ini mengungkapkan bahwa
pada intinya hanya terbagi dua, yaitu:
1. Gagasan yang umum di abad ke-19 adalah
gagasan yang diusung oleh kaum Materialisme seperti Karl Marx dan
Friedrich, yang mengatakan bahwa alam semesta merupakan kumpulan materi
berukuran tak hingga yang telah ada sejak dulu kala, tidak berawal dan
akan terus ada selamanya. Selain meletakkan dasar berpijak bagi paham
materialis, pandangan ini menolak keberadaan sang Pencipta dan
menyatakan bahwa alam semesta tidak berawal dan tidak berkhir. Jelas
telihat bahwa paham ini berakar dari kebudayaan Yunani kuno. Pada abad
ke-20, konsep ini kemudian dilanjutkan oleh seorang ahli astronomi
Inggris ternama, Sir Fred Hoyle dengan teori “Steady-state”nya.
2. Gagasan yang mengatakan bahwa alam
semesta diciptakan dan memiliki awal, yang dikenal dengan model Big
Bang. Model kosmologi ini pertama kali diajukan seorang ilmuwan Rusia,
A. A. Friedmann (1922 M), dan secara terpisah oleh seorang
pendeta ilmuwan Belgia, G. Lemaitre. Model kosmologi yang mereka ajukan
merupakan salah satu solusi teori relativitas umum Einstein. Dalam
teorinya ini, Einstein menyatakan hubungan kelengkungan ruangwaktu
dengan sumber medan yang mengisi ruang-waktu tersebut. Model ini
kemudian dikuatkan oleh hasil observasi Edwin Hubble (1929 M) di
observatorium Mount Wilson Caliofornia. Ketika mengamati bintang-bintang
dengan teleskop raksasa, ia menemukan bahwa mereka memancarkan cahaya
merah sesuai dengan jaraknya. Hal ini berarti bahwa bintang-bintang ini
bergerak menjauhi kita. Sebab, menurut hukum fisika yang diketahui,
spektrum dari sumber cahaya yang sedang bergerak mendekati pengamat
cenderung ke warna ungu, sedangkan yang menjauhi pengamat cenderung ke
warna merah
.
Selama pengamatan oleh Hubble, cahaya
dari bintang-bintang cenderung ke warna merah. Ini berarti bahwa
bintang-bintang ini terusmenerus bergerak menjauhi kita. Jauh
sebelumnya, Hubble telah membuat penemuan penting lain. Bintang dan
galaksi bergerak tak hanya menjauhi kita, tapi juga menjauhi satu sama
lain. Satu-satunya yang dapat disimpulkan dari suatu alam semesta di
mana segala sesuatunya bergerak menjauhi satu sama lain adalah bahwa ia
terus menerus mengembang. Mengembangnya alam semesta berarti bahwa jika
alam semesta dapat bergerak mundur ke masa lampau, maka ia akan terbukti
berasal dari satu titik tunggal. Perhitungan menunjukkan bahwa titik
tunggal ini yang berisi semua materi alam semesta haruslah memiliki
volume nol, dan kepadatan tak hingga. Alam semesta telah terbentuk
melalui ledakan titik tunggal bervolume nol ini. Ledakan raksasa yang
menandai permulaan alam semesta ini yang kemudian dikenal sebagai model
Big Bang.
Kalau dicermati dari awal lahirnya
kosmologi hingga pada kosmologi modern, kita akan melihat bahwa
keberadaan Tuhan benar-benar menjadi sebuah permainan, yang akan dihapus
ketika tidak dibutuhkan dan demikian pula akan dipanggil kembali ketika
observasi mengatakan bahwa Tuhan itu ada; abad ke-2 masehi hingga abad
ke-15 masehi sistem Ptolemaik bercokol dan langit menjadi objek
pemujaan. Abad ke-17 lahirlah empat raksasa peruntuh langit spiritual,
yaitu Copernicus, Kepler, Galileo dan Newton. Kosmologi tak lagi ada,
yang ada hanyalah ilmu Astronomi. Hal ini kemudian yang menjadi landasan
pemahaman tentang model alam semesta kekal pada abad ke-19 masehi, yang
diajukan oleh paham materialisme yang diusung oleh Karl Marx. Paham ini
mendapat penerimaan yang meluas bahkan sampai abad ke-20. Kemudian pada
tahun 1929 M observasi Hubble yang mengatakan bahwa alam semesta
mengembang dan menguatkan teori Big Bang. Ini adalah penemuan penting
dalam astronomi, karena memungkinkan kembalinya kosmologi sebagai sains
dan kembali bisa memberi ruang pada keberadaan Tuhan. Namun lagi-lagi
Tuhan digusur pada tahun 1981 M oleh Stephen Hawking dalam konferensi
Vatikan tentang kosmologi. Ia menyampaikan sebuah teori yang tidak beda
jauh dengan gagasan Guth tentang teori Inflasi untuk menjelaskan
mengembangnya alam semesta.
Hal inilah yang kemudian selalu menjadi
kajian yang tak pernah tuntas dibahas, dan menjadi konflik
berkepanjangan antara kaum materialisme yang tetap bersikukuh bahwa
tidak ada campur tangan Tuhan di alam semesta dengan kaum teistik yang
meyakini bahwa Tuhan adalah kausal final dari alam semesta.
Lalu bagaimana hubungan sains modern
dengan agama Islam? Bagaimana Islam akan menjawab berbagai persoalan
yang menjadi penyebab konflik antara sains dan agama jika kemudian
persoalan itu juga menantang dunia Muslim? Kalaupun sains lahir dan
berkembang di Barat, akan tetapi dunia Muslim tidak bisa melepaskan diri
dari bersinggungan, berinteraksi bahkan berbaur dengan segala hasil
penemuan sains modern. Hal ini tentu akan membawa dampak terhadap dunia
Muslim, baik dalam kehidupan sosial maupun bagi pemikiran-pemikiran
Muslim modern. Mungkin benar bahwa konflik historis agama dan sains
adalah antara agama tertentu, yaitu Kristen, karena pada kenyataannya,
pertemuan dengan intensitas yang tinggi antara Islam dan sains modern
belum terjadi, sehingga banyak Muslim berkesimpulan, Islam tidak perlu
memiliki kekhawatiran terhadap perbenturan semacam itu. Akan tetapi,
kalau kita melihat pandangan ilmiah modern, yang lahir dari pandangan
dunia sekuler dan materialistik dan pada gilirannya memperkuat pandangan
dunia tersebut, itu akan menjadi tantangan bagi kehidupan teistik yang
meyakini bahwa Tuhan merupakan realitas tertinggi yang menciptakan alam
semesta ini.
Islam adalah salah satu agama semacam
itu, dan bukan tidak mungkin Islam juga menjadi target dari apa yang
disebut kritik saintifik atau malah kritik saintistik yang memiliki
asumsi dasar, bahwa alam fisik, menjalankan semua aktifitasnya tanpa
membutuhkan Tuhan yang bisa diketahui dengan penyelidikan yang dilakukan
oleh manusia. Oleh karena itu, penelitian sains dalam perspektif Islam
menjadi penting untuk dilakukan, guna mengantisipasi kemungkinan ancaman
yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, dan kita bisa mengambil
sejumlah pelajaran penting dari pertemuan Kristen dan sains modern.
Oleh karena itu, hal ini menjadi menarik
untuk dikaji, namun ketika kita akan mempertemukan sains modern―dalam
hal ini adalah kosmologi modern―dengan Islam, kita akan dipertemukan
dengan berbagai persoalan. Sebagaimana telah kita ketahui dari paparan
singkat di atas, begitu tampak jelas bahwa sains modern lahir dan
berkembang di Barat dengan para pelaku utama yang diperankan oleh
orang-orang non Muslim, sedangkan dari dunia Muslim tidak melahirkan
seorangpun saintis yang mumpuni, yang bisa disejajarkan dengan
saintis-saintis dari Barat, kalaupun ada, saintis Muslim merupakan
produk lembaga sekuler gaya Barat; mereka tidak menerima pendidikan
formal dalam pemikiran Islam.
Perlu juga kita ketahui bahwa dalam
wacana sains dan agama di dunia, teologi Kristenlah yang telah
dikemukakan sebagai imbangan bagi sains dalam wacana sains dan agama.
Sedangkan dalam tradisi Islam, sebagaimana kita ketahui bahwa titik
fokus utama teologi Islam berkisar pada perenungan tentang sifat-sifat
Tuhan, hingga perenungan tentang surga dan neraka serta hakikat pahala
dan siksa. Karena itu, teologi Islam merupakan imbangan yang tidak
sepadan bagi sains dalam wacana tentang Islam dan sains. Maka dari itu
kita perlu memandangnya dari perspektif konsep Islam tentang alam yang
secara keseluruhan berakar secara autentik dan didefinisikan oleh nas
wahyu, yaitu Alquran.
Membawa nas wahyu ke dalam wacana
kontemporer adalah hal yang mungkin menimbulkan suatu sikap
kontradiktif, apalagi dalam hal ini Alquran kemudian diasosiasikan
dengan teori ilmiah yang sifatnya tidak konstan dan spekulatif dengan
menggunakan metode-metodenya. Sedangkan Alquran adalah wahyu Allah yang
memiliki otoritas kebenaran final yang tidak bisa diganggu gugat. Proses
turunnya telah selesai 14 abad silam setelah wafatnya Nabi Muhammad
saw yang menjadi penutup para nabi.
Memang, pada dasarnya Alquran adalah
sebuah kitab suci yang berisikan tuntunan-tuntunan dan pedoman-pedoman
bagi manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan
di dunia dan akhirat, lahir dan batin. Namun selain itu, Alquran juga
menyebutkan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Alquran
tidak hanya menyebut dasar-dasar peraturan hidup, baik dalam hubungannya
dengan Tuhan, maupun dalam interaksinya dengan sesama manusia, tetapi
ia juga menghimpun bermacam-macam persoalan, termasuk di dalamnya
tentang tumbuh-tumbuhan (QS. al-An’am (6):95; an-Nur (24):45; Fathir
(35):27), reproduksi manusia (QS. al-Hajj (22):5; al-Mukminun (23):12.),
ilmu falak, (QS. al-Ghasiyyat (88):18-20; al-Baqarah (2):189), binatang
(QS. an-Nahl (16):8 dan 66; al-Mulk (67):19), dan lainnya yang
disebutkan secara global.
Demikian juga di dalam Alquran terdapat
beberapa ayat yang menerangkan tentang alam semesta. Alquran
menyebutkan, bahwa Allah menciptakan alam semesta dalam enam periode (fi sittati ayyam). Informasi ini tercantum di dalam beberapa surat surat Alquran, diantaranya: al-A’raf (7): 54:
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah
yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia
bersemayam di atas ‘Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan
bintang-bintang (masing masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan
semesta alam.
Q.S. Yunus (10): 3:
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah
Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arasy (berkuasa) untuk mengatur segala urusan. Tiada
seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya.
(Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka
apakah kamu tidak mengambil pelajaran?
Q.S. Hud (11): 7:
Dan Dia-lah yang mencitakan langit
dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arasy-Nya (singgasana-Nya) di atas
air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.
Dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): “Sesungguhnya kamu akan
dibangkitkan sesudah mati”, niscaya orang orang yang kafir itu akan
bertanya: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”.
Hal ini menunjukkan bahwa Alquran adalah
sebuah kitab suci yang komprehensif yang mengandung berbagai ragam
masalah, yang tentunya diturunkan ke dunia bukan hanya untuk sekedar
dibaca demi memperoleh pahala, akan tetapi sudah menjadi tugas dan
kewajiban umat muslim untuk mengkaji dan menimba ilmu darinya tanpa
sedikitpun mengurangi keagungan Alquran.
Apalagi dalam membicarakan suatu masalah,
Alquran tidak menyebutkan secara sistematis seperti yang dikenal dalam
buku-buku ilmiah, akan tetapi tersebar dalam berbagai surat. Metode
pengungkapannyapun bersifat universal, bahkan tak jarang ia menampilkan
suatu masalah dalam prinsip-prinsip pokoknya saja. Mungkin inilah
kemudian yang membedakan Alquran dengan buku-buku ilmu pengetahuan
lainnya, dan menjadikan Alquran sebagai objek kajian yang tak pernah
kering dan selalu menghasilkan pengetahuan baru yang mengajak umat Islam
untuk kreatif menghimpun ayat-ayat yang berserakan dan menyusunnya
dalam sebuah kerangka yang sistematis dalam kajian-kajian keislaman.
Sumber tulisan:
- Bagir, Zainal Abidin, et.al. ed, Ilmu, Etika dan Agama: Menyingkap Tabir Alamdan Manusia, Yogyakarta: Program Studi dan Lintas Budaya (CRCS), 2006.
- Cayne, Berdnard S., ed. et.al, Ilmu Pengetahuan Populer, USA: Grolier International, Inc., Jakarta: PT. Widyadara, 2005
- Barbour, Ian G., When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or Partners?, an Francisco: Publishers, Inc., 2000. Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhammad, Bandung: Mizan, 2002.
- Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Cet. II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
- Peters, Ted, et.al. ed, God, Life, and the Cosmos: Christian and Islamic Perspectives, Inggris: Ashgate Publishing Ltd, 2002. Tuhan, Alam, Manusia Perspektif Sains dan Agama, terj. Ahsin Muhammad, et.al., Bandung: Mizan, 2006.
- Thoha, Anis Malik, “Problem Agama dan Sains di Dunia Kristen dan Barat”, Islamia, Vol. II No. 5, April-Juni, 2005.
- Yahya, Harun, The Miracle in the Atom, Lodon: Ta-Ha Publishers Ltd., 1999. Kesempurnaan Penciptaan Atom, terj. Ary Nilandry, Bandung: Dzikra, 2004.
- Guiderdoni, Bruno, Membaca Alam Membaca Ayat, terj. Anton Kurnia dan Andar Nubowo, Bandung: Mizan, 2004.
- Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata’amalu Ma’a Al Qurani Al Azhim, Kairo: Daarusy- Syuruq, 1999. Berinteraksi dengan Alquran, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
- Zar, Sirajuddin, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan Alquran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
- Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992.
Sumber: Dunia Kita
Menciptakan sesuatu, katakan menciptakan benda-benda yang akrab dengan kita seperti komputer, HP, televisi, mobil dan lain-lain, bukan dengan ayat-ayat suci yang tercantum baik di Alkitab maupun Alquran, tetapi dengan sains yang direkayasa dan dirangkai dalam teknologi, menjadi benda-benda yang bermaafaat bagi kehidupan manusia. Keyakinan agama, bermanfaat agar moral manusia dapat disempunakan untuk melakukan hal-hal yang lebih baik untuk sesamanya, namun pada kenyataan digunakan secara praktis untuk kepentingan para elitnya agar mencapai kekuatan dan kekuasaan meraih ambisinya.
ReplyDelete