Jangan Seperti Orang Buta 'Melihat' Gajah
Saya kira, Anda sudah familiar dengan anekdot ‘Tujuh Orang Buta yang Berusaha Memahami Gajah’. Sebuah anekdot yang menggambarkan tentang ‘lucunya’ atau mungkin ‘memprihatinkannya’ proses pemahaman tentang sesuatu yang ‘besar’ oleh kemampuan yang ‘sangat terbatas’. Menjadi lucu, atau sekaligus memprihatinkan, karena ketujuh orang buta itu membangun pemahamannya yang terbatas dengan penuh ‘kesombongan’, tanpa mau mendengarkan pendapat yang lebih holistik.
Si A mengatakan gajah itu makhluk yang mirip ular, karena dia hanya bisa meraba belalainya. Si B mengatakan gajah mirip cambuk, karena hanya bisa meraba ekornya. Si C berpendapat gajah itu mirip kipas, karena hanya bisa meraba telinganya. Si D mengatakan gajah mirip batang pohon, karena hanya bisa meraba kakinya. Si E bersikukuh dengan pendapatnya bahwa gajah itu mirip tembok, karena meraba bagian perutnya. Dan seterusnya, mereka bertengkar mempertahankan pendapat masing-masing dengan ‘sombong’, seakan-akan pendapatnya paling benar.
Padahal pemahaman mereka itu terbentuk oleh keterbatasan mereka dalam mempersepsi gajah. Bukankah lebih bijak, jika ketujuh orang buta itu ‘duduk bareng’ saling sharing pengalaman tanpa melakukan ‘penghakiman’ terhadap pendapat yang lain? Bahwa, gajah adalah makhluk yang memiliki bentuk: ada mirip ularnya, sekaligus ada mirip cambuknya, sekaligus ada mirip pohonnya, ada mirip kipasnya, dan seterusnya. Tentu, hasilnya akan lebih holistik jika semua informasi itu dipadukan secara simultan. Meskipun, tentu masih ada juga diantara orang buta itu yang kebingungan dalam menyimpulkannya.
Maka, kalau ada yang berbicara tentang Takdir, kata Rasulullah: ‘diamlah’. Bukan karena disuruh menelan mentah-mentah tanpa boleh membantah, melainkan cernalah dengan mendalam dan bijaksana, sehingga memperoleh kesimpulan yang lebih holistik. Karena, ‘takdir’ ini telah menjadi perennial issue alias 'misteri abadi' sejak zaman dulu.
Kalau penginnya hanya menggunakan ‘alat penglihatan’ model Newtonian yang paling sederhana, ya monggo-monggo saja. Yakni memandang segala peristiwa di alam semesta ini sebagai suatu ketetapan atau konstanta yang tidak berubah. Bahwa, ‘ruang’ alam semesta dipandang sebagai sesuatu yang konstan. Sedangkan ‘waktu’ dipandang sebagai variable. Kevariabelan 'waktu' dalam konteks ini hanya dikarenakan ia ‘bergerak’ dari T = nol sampai waktu tak berhingga. Bukan, karena waktu bisa 'mulur mungkret' secara relatif.
Sehingga, seluruh peristiwa Takdir yang terjadi di alam semesta ini dianggap sebagai ‘kejadian baru’ yang terpisah dan bahkan mandiri dari dimensi ruang & waktu. Yakni, ‘ruang’ dipandang Sebagai 'wadah steril' yang tak terlibat sedikit pun dengan kejadian. Entah ada kejadian ataupun tidak, ruang ya tetap ruang yang tak terpengaruh apa pun. Sedangkan ‘waktu’ hanya dipandang sebagai tolak ukur ‘urutan kejadian’. Yang juga ‘bersifat steril’ dari kejadian. Yakni, ada kejadian atau tidak ada kejadian, waktu tetap berjalan dengan mandiri. Jika sudut pandang kita seperti ini, maka kita adalah orang-orang yang penginnya membatasi diri dengan sudut pandang Newtonian. Apakah tidak boleh? Oh, ya boleh-boleh saja. Apakah salah? Oh, ya tidak semuanya salah. Ada benarnya, meskipun ada juga kadar kesalahannya.. ;)
Dalam contoh yang sederhana, ini sama dengan menjawab pertanyaan: air mendidih dalam suhu berapa derajat Celsius? Ada yang menjawab: pada suhu 100 derajat Celsius. Apakah salah? Ya bisa salah, bisa benar. Kalau Anda memasak air di tepi pantai, maka Anda akan mendapati air itu akan mendidih pada suhu 100 derajat Celsius.
Tetapi, kalau Anda memasak air di puncak gunung, air Anda akan mendidih sebelum 100 derajat Celsius. Bisa pada 95, 90, atau bahkan 80 derajat Celsius. Kenapa? Ya, karena, titik didih itu 'bukan konstanta', yang dimana pun akan mendidih pada suhu 100. Titik didih itu variable terhadap tekanan udara. Semakin tinggi tekanannya semakin tinggi pula titik didihnya, sebaliknya semakin rendah tekanannya, semakin rendah pula titik didihnya. Jadi, kalau begitu, mana yang benar dong?! Hhehe.., jangan keukeuh pada keterbatasan Anda. Nanti, menjadi seperti orang buta melihat gajah..! :)
TAKDIR air mendidih pada 100 derajat Celsius itu bukan konstanta..! Takdir titik didih itu VARIABLE. Bakal terjadi seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Apakah, Allah sudah menakdirkan air mendidih pada suhu 100? Jawabnya: ya, sudah. Sejak dulu, bersamaan dengan penciptaan alam semesta. Tetapi, disertai dengan kondisi, yakni: KALAU air itu dimasak pada tekanan 1 atmosfer. Kalau tidak 1 atm, ya tidak mendidih di angka 100 itu. Bergantung pada USAHA Anda dalam memperlakukan air yang dimasak itu. Mau dimasak di gunung, atau dimasak di pantai. Atau, dalam press-cooker dengan tekanan tinggi, yang tulang sapi maupun duri bandeng bisa menjadi lunak, karena titik didih airnya meningkat tajam.
Contoh kecil ini bisa Anda kembangkan dalam kehidupan Anda sehari-hari. Ataupun, dalam pengamatan-pengamatan sains yang lebih rumit. Bahwa, segala kejadian atau peristiwa ternyata tidak bebas ruang-waktu. Setiap peristiwa selalu ditakdirkan BERSAMAAN dengan ruang-waktu dimana kejadian tersebut berlangsung. Ini menjadi argumentasi penjelas secara sederhana, tentang kelemahan pandangan klasik ala Newtonian bahwa ruang & waktu adalah konstanta.
Lantas, apakah Newtonian tidak bermanfaat? Oh, jangan berlebihan. Pendapat klasik ini sangat bermanfaat. Meskipun, tidak bisa menjelaskan semua fenomena. Terutama untuk menjelaskan fakta-fakta yang lebih rumit. Titik didih air yang 100 derajat itu adalah benar, hanya bagi orang-orang yang tidak pernah memasak di gunung. Alias, bagi orang-orang yang tahunya hanya memasak di pantai. Kalau pingin tahu tentang titik didih air yang 80 derajat Celsius, tanyakanlah kepada orang gunung.. ;)
Suatu ketika saya sedang mengikuti kuliah Fisika Inti yang diajarkan oleh dosen saya yang lulusan Rusia: Prof Sumihar Hutapea. Dia bercerita tentang perilaku aneh partikel-partikel sub atomik bermuatan positive yang ada di dalam inti atom. Menurut hukum Coulomb, jika partikel-partikel bermuatan sama berada berdekatan, maka akan terjadi gaya tolak-menolak yang semakin besar secara kuadrat, seiring dengan kedekatannya.
Jadi, kalau ada electron didekatkan dengan electron (sama-sama bermuatan negative), mereka akan menghasilkan gaya tolak yang berbanding lurus dengan kuadrat jarak. Demikian pula, antara proton dengan proton yang sama-sama bermuatan positive. Semakin dekat, akan semakin besar gaya tolaknya, sehingga dalam skala tertentu bisa menghasilkan ledakan yang sangat dahsyat.
Tetapi anehnya, kata pak Hutapea, proton-proton yang berada di dalam inti atom itu tidak menghasilkan gaya tolak-menolak. Malah menghasilkan gaya tarik menarik. Saya spontan bertanya kepada beliau: 'kenapa bisa demikian? Bukankah itu ‘menyalahi’ hukum Coulomb?' Dia tertawa lepas, dan menjawab: Entah kenapa, ketika partikel-partikel sub atomic itu berada pada jarak lebih dekat dari 10^(-13), gaya tolaknya berubah menjadi gaya tarik..! :(
Saya langsung tercenung oleh dahsyatnya desain yang diciptakan oleh Sang Maha Berilmu dan Maha Bijaksana. Hheheh.., Betapa runyamnya, kalau sampai gaya Coulomb itu bekerja di inti atom. Antara proton dengan proton akan terjadi gaya tolak menolak yang sedemikian dahsyatnya yang menghancurkan inti atom itu sendiri. Dan dengan sendirinya pula, alam semesta ini tidak akan pernah terbentuk seperti yang kita lihat sekarang. Tidak ada atom-atom yang memiliki jumlah proton lebih dari satu seperti He, Li, Be, dan ratusan unsur lainnya di alam, yang membentuk benda-benda. Yang ada hanyalah atom Hidrogen yang inti atomnya hanya memuat 1 proton. Tubuh Anda pun tidak akan pernah bisa terbentuk karenanya.
Lantas, kalau begitu yang benar yang mana? Apakah muatan sejenis akan menghasilkan tolak menolak ataukah tarik menarik. Hhehe.., jangan ngeyel ta, nanti kayak orang buta yang tidak bisa memahami bentuk gajah itu lho. Hukum Coulomb itu tetap benar dan berlaku kok. Tetapi, ya itu, hanya terbatas di kulit atom. Bukan di inti atom. Kalau ada yang tetap ngeyel, ya biarkan saja, karena pengetahuannya yang memang baru segitu.
Maka, yang benar itu 'takdir tolak-menolak' ataukah 'takdir tarik-menarik'? Ya, tentu benar kedua-duanya, sesuai kondisi yang menyertainya. Karena ternyata takdir itu berjalan seiring dengan terpenuhinya kondisi yang dipersyaratkan. Dan 'perbedaan kondisi' itu terjadi karena 'ruang' dan 'waktu' bukan konstanta, melainkan variable. Apakah, ketentuan alias takdir bahwa air mendidih itu bisa beragam: 80, 90, 100 derajat itu sudah ada sejak dulu? Jawabnya: tentu saja. Tetapi, untuk bisa terjadi, ya harus berada di dalam kondisi yang melingkupinya. Begitulah Takdir Anda terjadi.
Nah, kembali pembahasan awal. Hukum-hukum Newtonian yang sederhana dalam memandang realitas alam semesta ini juga tidak salah kok. Cuma, tidak bisa digunakan untuk menjelaskan kompleksitas realitas alam semesta secara lebih menyeluruh. Jika ingin lebih canggih, gunakan teori-teori Einstein yang sudah memandang dimensi ruang dan waktu sebagai variable yang mempengaruhi sudut pandang kita dalam memahami realitas.
Dan lebih jauh, teori-teori Einstein juga tidak bisa menjelaskan realitas yang lebih kompleks terkait dengan adanya interaksi real-time antar benda-benda yang berjarak jauh. Karena, hasil prediksi Einstein akan menghasilkan kontradiksi bagi teorinya sendiri, yakni memunculkan kecepatan lebih tinggi dari cahaya. Teori yang lebih canggih dalam memahami kompleksitas alam semesta ini adalah teori Holografik yang sudah saya jelaskan dalam notes terdahulu. Karena itu, kalau ada yang mengatakan bahwa teori Einstein dan teori Holografik tidak bisa digunakan untuk memahami realitas, kayaknya dia terlalu memaksakan kehendaknya. Mirip dengan anekdot orang buta yang memahami gajah...! ;)
Allah menggambarkan orang-orang yang ilmunya 'belum sampai' tentang suatu hal, sebagai orang yang buta. Yang ragu-ragu tentang apa yang disampaikannya. Dan hanya bersumber pada 'dugaan-dugaan parsial' belaka. Ayat-ayat qauliyah di dalam Al Qur'an akan menjadi rujukan yang holistik ketika dipadukan dengan ayat-ayat kauniyah di alam semesta. Petunjuk yang dipadukan dengan evidence..
QS. An Naml (27): 66
Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat (hal-hal yang dianggap gaib) tidak sampai. Bahkan, mereka ragu-ragu tentangnya, dan mereka pun buta daripadanya.
QS. Yunus (10): 36
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Wallahu a’lam bishshawab
~ Salam ‘Memahami Gajah’ ~
Saya kira, Anda sudah familiar dengan anekdot ‘Tujuh Orang Buta yang Berusaha Memahami Gajah’. Sebuah anekdot yang menggambarkan tentang ‘lucunya’ atau mungkin ‘memprihatinkannya’ proses pemahaman tentang sesuatu yang ‘besar’ oleh kemampuan yang ‘sangat terbatas’. Menjadi lucu, atau sekaligus memprihatinkan, karena ketujuh orang buta itu membangun pemahamannya yang terbatas dengan penuh ‘kesombongan’, tanpa mau mendengarkan pendapat yang lebih holistik.
Si A mengatakan gajah itu makhluk yang mirip ular, karena dia hanya bisa meraba belalainya. Si B mengatakan gajah mirip cambuk, karena hanya bisa meraba ekornya. Si C berpendapat gajah itu mirip kipas, karena hanya bisa meraba telinganya. Si D mengatakan gajah mirip batang pohon, karena hanya bisa meraba kakinya. Si E bersikukuh dengan pendapatnya bahwa gajah itu mirip tembok, karena meraba bagian perutnya. Dan seterusnya, mereka bertengkar mempertahankan pendapat masing-masing dengan ‘sombong’, seakan-akan pendapatnya paling benar.
Padahal pemahaman mereka itu terbentuk oleh keterbatasan mereka dalam mempersepsi gajah. Bukankah lebih bijak, jika ketujuh orang buta itu ‘duduk bareng’ saling sharing pengalaman tanpa melakukan ‘penghakiman’ terhadap pendapat yang lain? Bahwa, gajah adalah makhluk yang memiliki bentuk: ada mirip ularnya, sekaligus ada mirip cambuknya, sekaligus ada mirip pohonnya, ada mirip kipasnya, dan seterusnya. Tentu, hasilnya akan lebih holistik jika semua informasi itu dipadukan secara simultan. Meskipun, tentu masih ada juga diantara orang buta itu yang kebingungan dalam menyimpulkannya.
Maka, kalau ada yang berbicara tentang Takdir, kata Rasulullah: ‘diamlah’. Bukan karena disuruh menelan mentah-mentah tanpa boleh membantah, melainkan cernalah dengan mendalam dan bijaksana, sehingga memperoleh kesimpulan yang lebih holistik. Karena, ‘takdir’ ini telah menjadi perennial issue alias 'misteri abadi' sejak zaman dulu.
Kalau penginnya hanya menggunakan ‘alat penglihatan’ model Newtonian yang paling sederhana, ya monggo-monggo saja. Yakni memandang segala peristiwa di alam semesta ini sebagai suatu ketetapan atau konstanta yang tidak berubah. Bahwa, ‘ruang’ alam semesta dipandang sebagai sesuatu yang konstan. Sedangkan ‘waktu’ dipandang sebagai variable. Kevariabelan 'waktu' dalam konteks ini hanya dikarenakan ia ‘bergerak’ dari T = nol sampai waktu tak berhingga. Bukan, karena waktu bisa 'mulur mungkret' secara relatif.
Sehingga, seluruh peristiwa Takdir yang terjadi di alam semesta ini dianggap sebagai ‘kejadian baru’ yang terpisah dan bahkan mandiri dari dimensi ruang & waktu. Yakni, ‘ruang’ dipandang Sebagai 'wadah steril' yang tak terlibat sedikit pun dengan kejadian. Entah ada kejadian ataupun tidak, ruang ya tetap ruang yang tak terpengaruh apa pun. Sedangkan ‘waktu’ hanya dipandang sebagai tolak ukur ‘urutan kejadian’. Yang juga ‘bersifat steril’ dari kejadian. Yakni, ada kejadian atau tidak ada kejadian, waktu tetap berjalan dengan mandiri. Jika sudut pandang kita seperti ini, maka kita adalah orang-orang yang penginnya membatasi diri dengan sudut pandang Newtonian. Apakah tidak boleh? Oh, ya boleh-boleh saja. Apakah salah? Oh, ya tidak semuanya salah. Ada benarnya, meskipun ada juga kadar kesalahannya.. ;)
Dalam contoh yang sederhana, ini sama dengan menjawab pertanyaan: air mendidih dalam suhu berapa derajat Celsius? Ada yang menjawab: pada suhu 100 derajat Celsius. Apakah salah? Ya bisa salah, bisa benar. Kalau Anda memasak air di tepi pantai, maka Anda akan mendapati air itu akan mendidih pada suhu 100 derajat Celsius.
Tetapi, kalau Anda memasak air di puncak gunung, air Anda akan mendidih sebelum 100 derajat Celsius. Bisa pada 95, 90, atau bahkan 80 derajat Celsius. Kenapa? Ya, karena, titik didih itu 'bukan konstanta', yang dimana pun akan mendidih pada suhu 100. Titik didih itu variable terhadap tekanan udara. Semakin tinggi tekanannya semakin tinggi pula titik didihnya, sebaliknya semakin rendah tekanannya, semakin rendah pula titik didihnya. Jadi, kalau begitu, mana yang benar dong?! Hhehe.., jangan keukeuh pada keterbatasan Anda. Nanti, menjadi seperti orang buta melihat gajah..! :)
TAKDIR air mendidih pada 100 derajat Celsius itu bukan konstanta..! Takdir titik didih itu VARIABLE. Bakal terjadi seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Apakah, Allah sudah menakdirkan air mendidih pada suhu 100? Jawabnya: ya, sudah. Sejak dulu, bersamaan dengan penciptaan alam semesta. Tetapi, disertai dengan kondisi, yakni: KALAU air itu dimasak pada tekanan 1 atmosfer. Kalau tidak 1 atm, ya tidak mendidih di angka 100 itu. Bergantung pada USAHA Anda dalam memperlakukan air yang dimasak itu. Mau dimasak di gunung, atau dimasak di pantai. Atau, dalam press-cooker dengan tekanan tinggi, yang tulang sapi maupun duri bandeng bisa menjadi lunak, karena titik didih airnya meningkat tajam.
Contoh kecil ini bisa Anda kembangkan dalam kehidupan Anda sehari-hari. Ataupun, dalam pengamatan-pengamatan sains yang lebih rumit. Bahwa, segala kejadian atau peristiwa ternyata tidak bebas ruang-waktu. Setiap peristiwa selalu ditakdirkan BERSAMAAN dengan ruang-waktu dimana kejadian tersebut berlangsung. Ini menjadi argumentasi penjelas secara sederhana, tentang kelemahan pandangan klasik ala Newtonian bahwa ruang & waktu adalah konstanta.
Lantas, apakah Newtonian tidak bermanfaat? Oh, jangan berlebihan. Pendapat klasik ini sangat bermanfaat. Meskipun, tidak bisa menjelaskan semua fenomena. Terutama untuk menjelaskan fakta-fakta yang lebih rumit. Titik didih air yang 100 derajat itu adalah benar, hanya bagi orang-orang yang tidak pernah memasak di gunung. Alias, bagi orang-orang yang tahunya hanya memasak di pantai. Kalau pingin tahu tentang titik didih air yang 80 derajat Celsius, tanyakanlah kepada orang gunung.. ;)
Suatu ketika saya sedang mengikuti kuliah Fisika Inti yang diajarkan oleh dosen saya yang lulusan Rusia: Prof Sumihar Hutapea. Dia bercerita tentang perilaku aneh partikel-partikel sub atomik bermuatan positive yang ada di dalam inti atom. Menurut hukum Coulomb, jika partikel-partikel bermuatan sama berada berdekatan, maka akan terjadi gaya tolak-menolak yang semakin besar secara kuadrat, seiring dengan kedekatannya.
Jadi, kalau ada electron didekatkan dengan electron (sama-sama bermuatan negative), mereka akan menghasilkan gaya tolak yang berbanding lurus dengan kuadrat jarak. Demikian pula, antara proton dengan proton yang sama-sama bermuatan positive. Semakin dekat, akan semakin besar gaya tolaknya, sehingga dalam skala tertentu bisa menghasilkan ledakan yang sangat dahsyat.
Tetapi anehnya, kata pak Hutapea, proton-proton yang berada di dalam inti atom itu tidak menghasilkan gaya tolak-menolak. Malah menghasilkan gaya tarik menarik. Saya spontan bertanya kepada beliau: 'kenapa bisa demikian? Bukankah itu ‘menyalahi’ hukum Coulomb?' Dia tertawa lepas, dan menjawab: Entah kenapa, ketika partikel-partikel sub atomic itu berada pada jarak lebih dekat dari 10^(-13), gaya tolaknya berubah menjadi gaya tarik..! :(
Saya langsung tercenung oleh dahsyatnya desain yang diciptakan oleh Sang Maha Berilmu dan Maha Bijaksana. Hheheh.., Betapa runyamnya, kalau sampai gaya Coulomb itu bekerja di inti atom. Antara proton dengan proton akan terjadi gaya tolak menolak yang sedemikian dahsyatnya yang menghancurkan inti atom itu sendiri. Dan dengan sendirinya pula, alam semesta ini tidak akan pernah terbentuk seperti yang kita lihat sekarang. Tidak ada atom-atom yang memiliki jumlah proton lebih dari satu seperti He, Li, Be, dan ratusan unsur lainnya di alam, yang membentuk benda-benda. Yang ada hanyalah atom Hidrogen yang inti atomnya hanya memuat 1 proton. Tubuh Anda pun tidak akan pernah bisa terbentuk karenanya.
Lantas, kalau begitu yang benar yang mana? Apakah muatan sejenis akan menghasilkan tolak menolak ataukah tarik menarik. Hhehe.., jangan ngeyel ta, nanti kayak orang buta yang tidak bisa memahami bentuk gajah itu lho. Hukum Coulomb itu tetap benar dan berlaku kok. Tetapi, ya itu, hanya terbatas di kulit atom. Bukan di inti atom. Kalau ada yang tetap ngeyel, ya biarkan saja, karena pengetahuannya yang memang baru segitu.
Maka, yang benar itu 'takdir tolak-menolak' ataukah 'takdir tarik-menarik'? Ya, tentu benar kedua-duanya, sesuai kondisi yang menyertainya. Karena ternyata takdir itu berjalan seiring dengan terpenuhinya kondisi yang dipersyaratkan. Dan 'perbedaan kondisi' itu terjadi karena 'ruang' dan 'waktu' bukan konstanta, melainkan variable. Apakah, ketentuan alias takdir bahwa air mendidih itu bisa beragam: 80, 90, 100 derajat itu sudah ada sejak dulu? Jawabnya: tentu saja. Tetapi, untuk bisa terjadi, ya harus berada di dalam kondisi yang melingkupinya. Begitulah Takdir Anda terjadi.
Nah, kembali pembahasan awal. Hukum-hukum Newtonian yang sederhana dalam memandang realitas alam semesta ini juga tidak salah kok. Cuma, tidak bisa digunakan untuk menjelaskan kompleksitas realitas alam semesta secara lebih menyeluruh. Jika ingin lebih canggih, gunakan teori-teori Einstein yang sudah memandang dimensi ruang dan waktu sebagai variable yang mempengaruhi sudut pandang kita dalam memahami realitas.
Dan lebih jauh, teori-teori Einstein juga tidak bisa menjelaskan realitas yang lebih kompleks terkait dengan adanya interaksi real-time antar benda-benda yang berjarak jauh. Karena, hasil prediksi Einstein akan menghasilkan kontradiksi bagi teorinya sendiri, yakni memunculkan kecepatan lebih tinggi dari cahaya. Teori yang lebih canggih dalam memahami kompleksitas alam semesta ini adalah teori Holografik yang sudah saya jelaskan dalam notes terdahulu. Karena itu, kalau ada yang mengatakan bahwa teori Einstein dan teori Holografik tidak bisa digunakan untuk memahami realitas, kayaknya dia terlalu memaksakan kehendaknya. Mirip dengan anekdot orang buta yang memahami gajah...! ;)
Allah menggambarkan orang-orang yang ilmunya 'belum sampai' tentang suatu hal, sebagai orang yang buta. Yang ragu-ragu tentang apa yang disampaikannya. Dan hanya bersumber pada 'dugaan-dugaan parsial' belaka. Ayat-ayat qauliyah di dalam Al Qur'an akan menjadi rujukan yang holistik ketika dipadukan dengan ayat-ayat kauniyah di alam semesta. Petunjuk yang dipadukan dengan evidence..
QS. An Naml (27): 66
Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat (hal-hal yang dianggap gaib) tidak sampai. Bahkan, mereka ragu-ragu tentangnya, dan mereka pun buta daripadanya.
QS. Yunus (10): 36
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Wallahu a’lam bishshawab
~ Salam ‘Memahami Gajah’ ~
Cukup menarik untuk memahami takdir secara holistik.
ReplyDeleteSalam,
Dimas Riski Putranto