Oleh : William James (1901)
The Varieties of Religious Experience pertama kali diperkenalkan sebagai serangkaian ceramah di University of Edinburg pada tahun 1901. Untuk mempersiapkan ceramahnya, profesor Harvard, William James, banyak membaca karya klasik religius, termasuk riwayat hidup orang suci dan mistikus. Keputusan untuk melihat pengalaman spiritual dan sudut pandang psikologis adalah seseuatu yang sangat baru saat itu, bahkan dipandang sebagai penghujatan.
Banyak sekali buku yang mengemukakan poin-poin tentang dogma dan teologi, tetapi James lebih tertarik dengan pengalaman individual. Tujuannya menulis buku ini adalah untuk meyakinkan pembaca bahwa meski agama itu sendiri sering kali tampak absurd, impuls spiritual masih merupakan fungsi terpenting umat manusia. Impuls spiritual itulah yang membuat kita menjadi manusia.
James ingin tahu mengapa manusia adalah makhluk yang religius, dan kelebihan praktis apa yang diberikan spiritualitas kepada kita, dengan asumsi kita tidak akan terikat didalamnya jika hal itu tidak baik bagi kita.
Penekanannya pada individual, bukan pada intitusi, dalam hal-hal spiritual yang membuka jalan bagi semua aliran New Age dan etika pengembangan pribadi, di mana didalamnya diyakini bahwa kepercayaan kita didasari oleh pemaknaan dan kemampuan personal.
Ilmu Spirtualitas
James menulis buku ini di akhir abad perkembangan ilmu pengetahuan yang bereaksi menentang iman yang tak terpikirkan dari masa sebelumnya. Dalam lingkungan seperti ini, Kitab Suci hanya dianggap kumpulan cerita, dan dalam ilmu psikologi, pengalaman religius bisa dijelaskan sebagai kreasi pikiran.
Tetapi James tidak yakin dengan gagasan bahwa semua pengalaman religius bisa dengan mudah direduksi menjadi keadaan otak, suatu pandangan tentang spiritualitas yang ia sebut sebagai pandangan “hanyalah”.
Suatu keadaan fisik bisa mendukung terjadinya pengalaman mistis, tetapi tidak mengecilkan makna dari pengalaman itu sendiri. Selama berabad abad, biarawan dan biarawati secara sadar memanipulasi tubuh mereka (hidup tanpa makanan, dan tidur, bernapas dengan cara yang berbeda, dan sebagainya) karena keadaan fisiologis ini membantu mereka memasuki tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pengalaman religius bukan “dihasilkan” oleh manipulasi seperti itu, pengalaman itu selalu ada dan siap untuk dirasakan; hal ini tentang membuat diri kita menjadi lebih peka terhadap kemunculannya.
Walau demikian, akhirnya James merasa bahwa pertanyaan tentang apakah pengalaman ini “ada di dalam otak” atau merupakan persekutuan dengan Tuhan menjadi tidak relevan. Poin utamanya adalah, apakah pengalaman itu memberi dampak positif.
“Anda mengenal mereka dari buahnya, bukan akarnya”
Gagasan spritual sebaiknya dinilai berdasarkan tiga kriteria : Mencerahkan; secara filosofis bijaksana; dan membantu moral. Dalam bentuk yang sederhana, apakah mereka memberi pencerahan kepada kita, apakah mereka masuk akal, apakah mereka memberi panduan yang baik bagi hidup kita?
St. Teresa dari Avila telah membuat perbedaan antara realitas spiritual dan khayalan, ia menunjukkan bahwa imajinasi murni melemahkan pikiran dan jiwa, sementara “visiun surgawi” memberi gairah dan kekuatan kepada si subjek. Dalam kasus Teresa, ia merasa bahwa visiun itu menuntunnya pada reformasi Ordo Karmelit, tempat ia bergabung.
Inilah efek praktis dari pengalaman religius yang dikagumi James. “Visiun” ini mungkin datang daridalam pikrian orang itu sendiri, atau mungkin saja benar dari Tuhan. Tetapi dalam kasus yang diperlihatkan oleh St. Paulus, St.Agustinus, atau St. Teresa, ada satu hal yang pasti, yaitu bahwa visiun itu mampu mengubah kehidupan.
Motivasi pindah keyakinan
Baik psikologi dan agama, kata James, sependapat bahwa seseorang bisa diubah oleh kekuatanyang melampaui kesadaran normal mereka. Jika psikologi mendefinisikan kekuatan ini sebagai kekuatan “bawah sadar” , yaitu kekuatan yang memang ada dalam diri orang tersebut, dalam agama penyelamatan datang dari luar diri orang tersebut, sebuah rahmat dari Tuhan.
Bagi kerangka pikir rasional atau ilmiah, orang yang “dilahirkan kembali” atau mengalami perubahan keyakinan mungkin tampak tidak stabil, bahkan gila. Perubahan ini mungkin saja terjadi tiba tiba, James menjelaskan, tetapi tidak lantas bersifat patologis. Bagi mereka yang ,ini mungkin tampak seperti menambahkan pandangan suci pada kehidupan seseorang. Tetapi bagi orang yang mengalaminya, ini merupakan transformasi total. Tiba tiba saja, orang lain itulah yang berada dalam kegelapan.
Literatur religius penuh dengan kisah seperti ini, dimana keadaanyang menyesakkan dan aspek ego yang negatif akhirnya lenyap; kita mulai hidup hanya untuk sesama atau untuk tujuan yang lebih mulia. Kompensasi dari sikap bergantung pada Tuhan adalah hilangnya rasa takut, dan inilah yang membuat perubahan keyakinan menjadi suatu pengalaman yang membebaskan. Tiadanya rasa takut dan adanya rasa aman yang absolut dalam Tuhan inilah yang memotivasi mereka. Seseorang yang tampaknya sangat normal akan meninggalkan segala sesuatu dan menjadi seorang misionaris di hutan rimba, atau mendirikan biara di padang gurun, karena suatu keyakinan. Tetapi hal yang tidak kasatmata ini akan merubah lingkungan sekitar mereka secara drastis, yang membuat James akhirnya harus berkesimpulan bahwa bagi orang semacam ini, perubahan keyakinan atau pengalaman spiritual adalah fakta, bahkan lebih nyata dibandingkan segala sesuatu yan sejauh ini pernah terjadi dalam kehidupan mereka.
Mengapa agama memiliki kekuatan mengubah
James menawarkan gagasan bahwa agama tidak harus berupa pemujaan kepada Tuhan. Agama bisa saja hanya berupa keyakinan tentang adanya kuasa yang tak terlihat, dan tugas kita adalah menyesuaikan diri agar kita selaras dengannya. Agama apapun adalah reaksi total manusia atas kehidupan. Jadi mengapa tidak mengatakan bahwa segala reaksi total atas kehidupan adalah agama? Jika merujuk pada pendapat ini, ateisme bisa juga disebut agama. Semangat yang digunakan oleh para penganut paham ateisme utnuk menyerang agama lain pada dasarnya bersifat religius.
Demikian juga pandangan hidup yang dirangkum dalam frasa “siapa perduli?” bagi sebagian orang adalah agama. Pertimbangkan juga filosofi spiritual kaum transendentalis, meyakini sebuah hukum yang tak terlihat dan tak pernah salah yang mengatur dunia. Orang menganut suatu agama karena alasan yang sifatnya pribadi, tegasnya, oleh karena itu agam harus memenuhi kebutuhan mereka dalam sejumlah cara. Ia mengutip kata kata J.H. Leuba, seorang psikolog agama : “Tuhan itu tidak dikenal, ia tidak dipahami; Ia dimanfaatkan.”
Meskipun demikian, sikap seseorang yang religius biasanya diasosiasikan dengan kesediaan utnuk meninggalkan kepentingan diri mereka sendiri demi sesuatu yang lebih besar, misalnya Tuhan atau negara.
Pengingkaran diri inilah yang membuat impuls religius berbeda dengan semua jenis kebahagiaan lainnya, dan sangat memuaskan. Suatu perasaan religius bisa dibedakan dari perasaan lainnya karena perasaan religius melambungkan diri orang yang merasakannya, memberi mereka perasaan bahwa mereka hidup sesuai dengan kekuatan, hukum, atau rancangan yang lebih besar. Agama eksis untuk memberikan solusi atas kecemasan abadi manusia, atau atas perasaan kita bahwa ada sesuatu yang salah. Agama membuat orang bisa melihat bagian diri mereka yang sesungguhnya, dan juga meninggalkan diri mereka yang lebih rendah.
Kata penutup
James berkesimpulan, bahwa suatu tingkatan iman bisa mengubah kehidupan secara total, meski yang diimaninya itu tidak bisa dilihat dengan mata atau mungkin tidak eksis. Agama bisa benar benar menyembuhkan seseorang, menyatukan apa yang tadinya tercerai berai. Ilmu pengetahuan akan selamanya berusaha menyingkirkan kabut yang tidak jelas dari agama, tetapi melakukan hal itu justru membuat ilmu pengetahuan tidak bisa mencapai maksudnya. Ilmu pengetahuan hanya bisa berbicara secara teoritis, tetapi pengalaman spiritual personal menjadi lebih kuat justru karena sifatnya yang subjektif. Spiritualitas adalah tentang emosi dan imajinasi serta jiwa, dan bagi manusia, semua itu adalah segalanya.
Sumber: Henkykuntarto’s Blog -Wellcome to my spiritual blog
The Varieties of Religious Experience pertama kali diperkenalkan sebagai serangkaian ceramah di University of Edinburg pada tahun 1901. Untuk mempersiapkan ceramahnya, profesor Harvard, William James, banyak membaca karya klasik religius, termasuk riwayat hidup orang suci dan mistikus. Keputusan untuk melihat pengalaman spiritual dan sudut pandang psikologis adalah seseuatu yang sangat baru saat itu, bahkan dipandang sebagai penghujatan.
Banyak sekali buku yang mengemukakan poin-poin tentang dogma dan teologi, tetapi James lebih tertarik dengan pengalaman individual. Tujuannya menulis buku ini adalah untuk meyakinkan pembaca bahwa meski agama itu sendiri sering kali tampak absurd, impuls spiritual masih merupakan fungsi terpenting umat manusia. Impuls spiritual itulah yang membuat kita menjadi manusia.
James ingin tahu mengapa manusia adalah makhluk yang religius, dan kelebihan praktis apa yang diberikan spiritualitas kepada kita, dengan asumsi kita tidak akan terikat didalamnya jika hal itu tidak baik bagi kita.
Penekanannya pada individual, bukan pada intitusi, dalam hal-hal spiritual yang membuka jalan bagi semua aliran New Age dan etika pengembangan pribadi, di mana didalamnya diyakini bahwa kepercayaan kita didasari oleh pemaknaan dan kemampuan personal.
Ilmu Spirtualitas
James menulis buku ini di akhir abad perkembangan ilmu pengetahuan yang bereaksi menentang iman yang tak terpikirkan dari masa sebelumnya. Dalam lingkungan seperti ini, Kitab Suci hanya dianggap kumpulan cerita, dan dalam ilmu psikologi, pengalaman religius bisa dijelaskan sebagai kreasi pikiran.
Tetapi James tidak yakin dengan gagasan bahwa semua pengalaman religius bisa dengan mudah direduksi menjadi keadaan otak, suatu pandangan tentang spiritualitas yang ia sebut sebagai pandangan “hanyalah”.
Suatu keadaan fisik bisa mendukung terjadinya pengalaman mistis, tetapi tidak mengecilkan makna dari pengalaman itu sendiri. Selama berabad abad, biarawan dan biarawati secara sadar memanipulasi tubuh mereka (hidup tanpa makanan, dan tidur, bernapas dengan cara yang berbeda, dan sebagainya) karena keadaan fisiologis ini membantu mereka memasuki tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pengalaman religius bukan “dihasilkan” oleh manipulasi seperti itu, pengalaman itu selalu ada dan siap untuk dirasakan; hal ini tentang membuat diri kita menjadi lebih peka terhadap kemunculannya.
Walau demikian, akhirnya James merasa bahwa pertanyaan tentang apakah pengalaman ini “ada di dalam otak” atau merupakan persekutuan dengan Tuhan menjadi tidak relevan. Poin utamanya adalah, apakah pengalaman itu memberi dampak positif.
“Anda mengenal mereka dari buahnya, bukan akarnya”
Gagasan spritual sebaiknya dinilai berdasarkan tiga kriteria : Mencerahkan; secara filosofis bijaksana; dan membantu moral. Dalam bentuk yang sederhana, apakah mereka memberi pencerahan kepada kita, apakah mereka masuk akal, apakah mereka memberi panduan yang baik bagi hidup kita?
St. Teresa dari Avila telah membuat perbedaan antara realitas spiritual dan khayalan, ia menunjukkan bahwa imajinasi murni melemahkan pikiran dan jiwa, sementara “visiun surgawi” memberi gairah dan kekuatan kepada si subjek. Dalam kasus Teresa, ia merasa bahwa visiun itu menuntunnya pada reformasi Ordo Karmelit, tempat ia bergabung.
Inilah efek praktis dari pengalaman religius yang dikagumi James. “Visiun” ini mungkin datang daridalam pikrian orang itu sendiri, atau mungkin saja benar dari Tuhan. Tetapi dalam kasus yang diperlihatkan oleh St. Paulus, St.Agustinus, atau St. Teresa, ada satu hal yang pasti, yaitu bahwa visiun itu mampu mengubah kehidupan.
Motivasi pindah keyakinan
Baik psikologi dan agama, kata James, sependapat bahwa seseorang bisa diubah oleh kekuatanyang melampaui kesadaran normal mereka. Jika psikologi mendefinisikan kekuatan ini sebagai kekuatan “bawah sadar” , yaitu kekuatan yang memang ada dalam diri orang tersebut, dalam agama penyelamatan datang dari luar diri orang tersebut, sebuah rahmat dari Tuhan.
Bagi kerangka pikir rasional atau ilmiah, orang yang “dilahirkan kembali” atau mengalami perubahan keyakinan mungkin tampak tidak stabil, bahkan gila. Perubahan ini mungkin saja terjadi tiba tiba, James menjelaskan, tetapi tidak lantas bersifat patologis. Bagi mereka yang ,ini mungkin tampak seperti menambahkan pandangan suci pada kehidupan seseorang. Tetapi bagi orang yang mengalaminya, ini merupakan transformasi total. Tiba tiba saja, orang lain itulah yang berada dalam kegelapan.
Literatur religius penuh dengan kisah seperti ini, dimana keadaanyang menyesakkan dan aspek ego yang negatif akhirnya lenyap; kita mulai hidup hanya untuk sesama atau untuk tujuan yang lebih mulia. Kompensasi dari sikap bergantung pada Tuhan adalah hilangnya rasa takut, dan inilah yang membuat perubahan keyakinan menjadi suatu pengalaman yang membebaskan. Tiadanya rasa takut dan adanya rasa aman yang absolut dalam Tuhan inilah yang memotivasi mereka. Seseorang yang tampaknya sangat normal akan meninggalkan segala sesuatu dan menjadi seorang misionaris di hutan rimba, atau mendirikan biara di padang gurun, karena suatu keyakinan. Tetapi hal yang tidak kasatmata ini akan merubah lingkungan sekitar mereka secara drastis, yang membuat James akhirnya harus berkesimpulan bahwa bagi orang semacam ini, perubahan keyakinan atau pengalaman spiritual adalah fakta, bahkan lebih nyata dibandingkan segala sesuatu yan sejauh ini pernah terjadi dalam kehidupan mereka.
Mengapa agama memiliki kekuatan mengubah
James menawarkan gagasan bahwa agama tidak harus berupa pemujaan kepada Tuhan. Agama bisa saja hanya berupa keyakinan tentang adanya kuasa yang tak terlihat, dan tugas kita adalah menyesuaikan diri agar kita selaras dengannya. Agama apapun adalah reaksi total manusia atas kehidupan. Jadi mengapa tidak mengatakan bahwa segala reaksi total atas kehidupan adalah agama? Jika merujuk pada pendapat ini, ateisme bisa juga disebut agama. Semangat yang digunakan oleh para penganut paham ateisme utnuk menyerang agama lain pada dasarnya bersifat religius.
Demikian juga pandangan hidup yang dirangkum dalam frasa “siapa perduli?” bagi sebagian orang adalah agama. Pertimbangkan juga filosofi spiritual kaum transendentalis, meyakini sebuah hukum yang tak terlihat dan tak pernah salah yang mengatur dunia. Orang menganut suatu agama karena alasan yang sifatnya pribadi, tegasnya, oleh karena itu agam harus memenuhi kebutuhan mereka dalam sejumlah cara. Ia mengutip kata kata J.H. Leuba, seorang psikolog agama : “Tuhan itu tidak dikenal, ia tidak dipahami; Ia dimanfaatkan.”
Meskipun demikian, sikap seseorang yang religius biasanya diasosiasikan dengan kesediaan utnuk meninggalkan kepentingan diri mereka sendiri demi sesuatu yang lebih besar, misalnya Tuhan atau negara.
Pengingkaran diri inilah yang membuat impuls religius berbeda dengan semua jenis kebahagiaan lainnya, dan sangat memuaskan. Suatu perasaan religius bisa dibedakan dari perasaan lainnya karena perasaan religius melambungkan diri orang yang merasakannya, memberi mereka perasaan bahwa mereka hidup sesuai dengan kekuatan, hukum, atau rancangan yang lebih besar. Agama eksis untuk memberikan solusi atas kecemasan abadi manusia, atau atas perasaan kita bahwa ada sesuatu yang salah. Agama membuat orang bisa melihat bagian diri mereka yang sesungguhnya, dan juga meninggalkan diri mereka yang lebih rendah.
Kata penutup
James berkesimpulan, bahwa suatu tingkatan iman bisa mengubah kehidupan secara total, meski yang diimaninya itu tidak bisa dilihat dengan mata atau mungkin tidak eksis. Agama bisa benar benar menyembuhkan seseorang, menyatukan apa yang tadinya tercerai berai. Ilmu pengetahuan akan selamanya berusaha menyingkirkan kabut yang tidak jelas dari agama, tetapi melakukan hal itu justru membuat ilmu pengetahuan tidak bisa mencapai maksudnya. Ilmu pengetahuan hanya bisa berbicara secara teoritis, tetapi pengalaman spiritual personal menjadi lebih kuat justru karena sifatnya yang subjektif. Spiritualitas adalah tentang emosi dan imajinasi serta jiwa, dan bagi manusia, semua itu adalah segalanya.
Sumber: Henkykuntarto’s Blog -Wellcome to my spiritual blog
No comments:
Post a Comment