Wednesday, April 25, 2012

Misteri Keberadaan

Dari Buku The Grand Design, Stephen Hawking dan Leonard Mlodinov

Masing-masing kita ada hanya sekejap saja, dan sepanjang keberadaan itu kita hanya menjelajahi sebagian mahakecil dari keseluruhan alam semesta. Namun manusia ialah species yang ingin tahu. Kita bertanya-tanya, kita mencari jawaban. Selagi hidup di dunia nan luas yang kadang asih kadang zalim, dan memandang angkasa raya di atas sana, manusia telah selalu melontar selaksa tanya: bagaimana kita bisa memahami dunia tempat kita mendapati diri kita ada? Bagaimana tingkah laku alam semesta? Apa hakikat realitas? Dari mana segala sesuatu berasal? Apakah alam semesta memerlukan pencipta? Kebanyakan kita tak menghabiskan sepanjang waktu merenungkan segala pertanyaan itu, namun nyaris semua di antara kita pernah merenungkan sekali-kali.

Secara tradisional, semua yang tadi adalah pertanyaan filosofi, tapi filosofi sudah mati. Filosofi sudah tidak mengimbangi kemajuan terkini dalam sains, terutama fisika. Para ilmuwan telah menjadi pemegang obor penemuan dalam perjalanan mencari pengetahuan untuk mendapatkan jawaban. Jawaban-jawaban itu mengarahkan kita kepada gambaran baru akan alam semesta dan tempat kita di dalamnya, yang amat beda dari gambaran lama, dan bahkan beda dari gambaran yang kita bisa lukiskan satu dua dasawarsa lalu. Namun sketsa perdana konsep baru ini bisa dijajaki keberadaannya sejak abad sebelumnya.

Menurut konsep tradisional alam semesta, benda bergerak sepanjang jalur yang tertera jelas dan punya sejarah yang pasti. Kita dapat  mencari posisi  tepat benda pada tiap saat sepanjang waktu. Walau penjelasan itu cukup ampuh untuk keperluan sehari-hari, pada 1920-an didapati bahwa gambaran ‘klasik’ tersebut tidak dapat menerangkan perilaku ajaib yang teramati pada skala keberadaan atom dan sub atom. Sebaliknya, diperlukan kerangka berbeda, bernama fisika kuantum. Teori-teori kuantum terbukti luar biasa akurat dalam memperkirakan jalannya peristiwa pada skala tersebut, sambil kembali menghasilkan perkiraan teori klasik terdahulu apabila diterapkan kepada dunia makrokospis kehidupan sehari-hari. Namun fisika kuantum dan klasik didasarkan kepada konsep kenyataan fisik yang amatlah beda.

Teori-teori kuantum bisa dirumuskan dalam berbagai cara, namun penjabaran yang paling intuitif diberikan oleh Richard Feynman, sosok kaya nuansa yang berkarya di California Institute of Technology. Menurut Feynman, suatu sistem bukan hanya punya satu sejarah, melainkan segala sejarah yang mungkin. Alam semesta tidak punya hanya satu sejarah, ataupun keberadaan yang berdiri sendiri. Kesannya itu gagasan yang radikal, bahkan bagi banyak ahli fisika. Memang, sebagaimana banyak pendapat dalam sains hari ini, tampaknya gagasan itu melanggar akal sehat. Namun akal sehat didasarkan pada pengalaman sehari-hari, bukan kepada alam semesta sebagaimana diungkap oleh kecanggihan teknologi yang memperkenankan kita menerawang jauh ke dalam atom atau ke awal alam semesta.

Hingga kebangkitan fisika modern, umumnya dipercaya bahwa segala pengetahuan di dunia dapat diperoleh melalui pengamatan langsung; bahwa segalanya adalah sebagaimana adanya, seperti diserap pancaindra kita.

Namun kesuksesan spektakuler fisika modern, yang didasarkan pada konsep-konsep seperti milik Feynman yang bertentangan dengan pengalaman sehari-hari, menunjukkan bahwa kenyataan tidaklah demikian.

Pandangan naif atas realitas pun jadi tak cocok dengan fisika modern. Untuk menghadapi paradoks seperti itu kita gunakan pendekatan yang kita namakan realisme bergantung model(model dependent realism). Dasarnya adalah gagasan bahwa otak kita menafsirkan masukan dari organ indra dengan membuat model dunia. Ketika model itu berhasil menjelaskan peristiwa, maka kita cenderung menganggap model tersebut, juga unsur dan konsep yang menyusunnya, sebagai kenyataan atau kebenaran mutlak. Tapi boleh jadi ada macam-macam cara kita bisa membuat model situasi fisik yang sama, masing-masing menggunakan unsur dasar dan konsep yang berbeda-beda. Jika dua teori atau model fisika sama-sama bisa memprediksi peristiwa yang sama dengan akurat, maka salah satunya tak bisa dikatakan lebih nyata daripada yang lain; justru kita bebas menggunakan model mana saja yang paling praktis.

Dalam sejarah sains kita telah menemukan serangkaian teori atau model yang kian lama kian baik, dari Plato ke teori klasik Newton sampai teori kuantum modern. Sah-sah saja bertanya: Akankah urut-urutan ini kelak mencapai ujung akhir, teori pamungkas alam semesta, yang akan mencakup segala gaya dan memprediksi tiap pengamatan yang bisa dilakukan, ataukah kita akan terus menemukan teori-teori yang lebih baik, tapi tak pernah menemukan yang tak bisa lebih baik lagi? Sekarang kita belum punya jawaban pasti untuk pertanyaan tersebut, tapi kita juga sudah punya satu calon teori segalanya (Theory of Everything), jika benar teori itu ada, yakni M-Theory. M-Theory adalah satu-satunya model yang punya semua bagian  yang kita anggap harus dimiliki teori pamungkas.

M-Theory bukan teori dalam pengertian biasa. M-Theory  adalah kumpulan aneka teori, yang masing-masing merupakan penjabaran pengamatan yang baik dalam kisaran situasi fisik tertentu saja. Agak mirip dengan peta. Sebagaimana dimafhumi, keseluruhan permukaan bumi mustahil ditunjukkan dengan satu peta saja.

Untuk memetakan dengan tepat keseluruhan bumi , harus digunakan sekumpulan peta, masing-masing menggambarkan daerah tertentu yang terbatas. Peta-peta itu saling tumpang tindih, dan menunjukkan bentang alam yang sama di tempat-tempat mereka tumpang tindih. Beraneka teoi dalam kumpulan M-Theory boleh jadi tampak sangat beda, tapi semuanya adalah versi-versi teori dasar yang hanya berlaku dalam kisaran terbatas. Seperti peta-peta proyeksi Mercator yang saling tumpang tindih, teori-teori itu meprediksi fenomena yang sama. Tapi sebagaimana tiada peta datar yang bisa menggambarkan dengan baik seluruh permukaan bumi, tiada satu teori yang mewakili dengan baik pengamatan pada seluruh situasi.

Menurut M-Theory alam semesta kita bukan satu-satunya  alam semesta. M-Theory justru memprediksi bahwa ada banyak sekali alam semesta tercipta dari ketiadaan. Penciptaan alam-alam semesta itu tidak memerlukan sosok adi alami atau tuhan. Sebaliknya, banyak alam semesta muncul secara alami akibat hukum-hukum fisika. Kemunculan alam semesta adalah prediksi sains. Tiap alam semesta memiliki banyak kemungkinan sejarah dan banyak kemungkinan keadaan pada masa selanjutnya, yaitu pada masa seperti sekarang, lama sesudah tercipta. Sebagian besar keadaan tersebut akan tak mirip dengan alam semesta yang kita amati dan tak cocok dengan keberadaan bentuk kehidupan apapun. Hanya sedikit sekali yang bakal memperkenankan keberadaan makhluk seperti kita. Jadi keberadaan kita memilih segelintir alam semesta  yang cocok dengan kita dari begitu banyak alam semesta yang ada.Walau kita kecil sekali, dan remeh pada skala jagat raya, bisa dikatakan kitalah yang menjadi penguasa ciptaan.

Untuk memahami alam semesta hingga ke tingkat terdalam, kita bukan hanya perlu tahu bagaimana tingkah laku alam semesta, melainkan juga mengapa
Mengapa ada sesuatu, bukan ketiadaan?
Mengapa kita ada?
Mengapa ada kumpulan hukum alam tertentu, bukan yang lain?
Itulah Ultimate Question of life, the Universe, and Everything. Pertanyaan pamungkas perihal hidup, alam semesta, dan segalanya.

1 comment: