Bukan Free Will, Tapi Free Choise
Di bagian akhir tulisan saya tentang Takdir & Kehendak ini saya ingin menegaskan sekali lagi, perbandingan antara kehendak makhluk dengan kehendak Tuhan. Bahwa, kehendak makhluk itu berada di dalam kehendak Tuhan. Bagian yang tak terpisahkan, tetapi tidak sama. Ibarat setetes air di dalam samudera.
Apakah setetes air adalah bagian dari samudera? Tentu saja, jawabnya: ya. Apakah setetes air sama dengan samudera? Tentu saja, jawabnya: tidak. Air setetes dan dan air samudera adalah sama-sama air laut, tetapi banyak memiliki perbedaan. Mulai dari jumlahnya, kekayaan kandungannya, dinamikanya, power-nya, daya coverage-nya, informasi yang terkandung di dalamnya, dan seterusnya.
Meskipun, analogi ini tidak bisa sepenuhnya mewakili perbandingan antara makhluk dan Tuhan, tapi saya kira Anda bisa menangkap maksud saya. Bahwa, setetes air dan samudera adalah tidak sama, meskipun setetes air itu adalah bagian samudera yang sudah melebur di dalam samudera itu sendiri.
Karena itu, ketika kita berbicara soal kehendak makhluk di dalam Kehendak Allah, kita tidak boleh serta merta menyamakan antara keduanya. Seakan-akan kehendak kita SUDAH MEWAKILI kehendak Allah. Tentu terjadi distorsi pemahaman yang sangat jauh. Ibarat Anda mewakilkan kekuatan dan kekayaan samudera kepada setetes air laut. :(
Maka, perhatikanlah istilah yang layak digunakan untuk makhluk dan untuk Tuhan dalam hal ‘kehendak bebas’ ini. Untuk Tuhan lebih pantas kita gunakan FREE WILL – ‘kehendak bebas’. Sedangkan untuk manusia lebih pantas disebut free choice – ‘pilihan bebas’. Dari sini saja kita sudah paham seberapa bebas ‘pilihan’ yang dimiliki oleh manusia dibandingkan ‘KEHENDAK’ Tuhan.
Bahwa manusia tidak memiliki kemampuan berkehendak semau-maunya. Karena, ia sudah DIBATASI oleh desain penciptaannya. Badannya kecil, ototnya tidak seberapa, jangkauan pandangan dan pendengarannya terbatas, kekuatan organ tubuhnya juga ringkih, bahkan kemampuan otak yang dibangga-banggakan itu pun banyak mengalami distorsi. Jadi, mau berkehendak bebas macam apa sih manusia ini?!
Paling-paling, Anda hanya bisa memilih antara segelas coca-cola dan segelas air mineral. Atau, tambahkanlah sejauh perbendaharaan bahasa Anda tentang jenis makanan dan minuman, mulai dari dawet, bajigur, es teller, es cendol, teh panas, sampanye sampai vodka, dst. Semakin Anda berusaha menyebut daftar menu itu akan semakin tampak keterbatasan Anda. Hhehe.., ternyata hanya ‘segitu saja’ kehendaknya..!
Manusia TIDAK BISA berkehendak secara bebas. Yang bisa dia lakukan hanyalah MEMILIH dari apa yang sudah ada di sekitarnya. Bahkan, hanya dari yang dia KETAHUI saja. Tak lebih. Apa yang disebut ‘kebebasan’ itu ternyata secara natural sudah terbatasi dengan sendirinya oleh desain kemanusiaan kita. Saya suka dengan ungkapan ini: You can do every thing under My Rules..!
Maka, meskipun menurut saya tidak terlalu penting, jika hal ini mau diproyeksikan ke filosofi Newtonian, Einsteinian dan Holografik, kita bisa membedakan tingkat kebebasan makhluk terhadap Tuhan itu sedemikian rupa. Secara Newtonian, manusia memandang Tuhan sebagai SOSOK yang terpisah dari ruang dan waktu. Atau, malah ada yang memandangnya berada di dalam ruang & waktu. Misalnya ada yang mendefinisikan Tuhan berada di dalam surga. Atau, di langit. Atau di dalam hati. Atau, di alam akhirat. Sehingga menimbulkan komplikasi yang kontradiktif: Tuhan ada disana, dan tidak berada disini.. :(
Konsekuensi dari sudut pandang ini, makhluk menjadi ‘sosok berkehendak’ yang berada di luar Kehendak Tuhan. Sehingga muncullah istilah free-will bagi makhluk. Padahal, sebenarnya tidak ada free-will baginya. Yang ada ialah free-choice. Ketika pemahamannya sudah pada free-choice, sebenarnya kita sudah mulai melangkah ke filosofi Einsteinian yang memandang Tuhan meliputi makhluk-Nya. Bukan lagi sebagai sosok yang terpisah: Tuhan di surga, dan makhluk di Bumi.
Dalam tataran Einsteinian, ruang dan waktu alam semesta berada di dalam Tuhan. Tuhan sudah meliputi kehendak manusia. Sehingga kehendak manusia merupakan ‘bagian’ dari kehendak Tuhan. Jangan lagi membayangkan Tuhan sebagai ‘Sesuatu yang terpisah’ dari makhluk-Nya. Sayangnya, teori ini tidak bisa menjelaskan bagaimana ‘posisi’ makhluk di dalam Tuhan itu sendiri, karena Einsteinian hanya mendefinisikan alam semesta sebagai ruang berdimensi tiga. Sehingga kata ‘meliputi’ menjadi tidak jelas maknanya. Lha wong tidak ada ruangan yang lebih besar dari universe yang telah didefinisikan sebagai 3 dimensi.
Dengan munculnya teori Holografik, saya lantas bisa menjelaskan dengan lebih gamblang tentang 'posisi makhluk di dalam Tuhan’ secara lebih teknis. Termasuk, kehendak manusia di dalam Kehendak-Nya. Bahwa, makhluk bukan lagi ‘bagian’ dari eksistensi Tuhan, melainkan cuma hasil proyeksi dari diri-Nya.
Karena sifatnya proyeksi, maka hasil proyeksinya pasti memiliki derajat lebih rendah. Pasti juga, dimensinya lebih rendah. Pasti juga kualitasnya lebih rendah. Bergantung ini hasil proyeksi berapa kali dari masternya. Jika sebuah benda berdimensi tiga diproyeksikan sekali, ia akan menjadi benda berdimensi dua. Dan jika diproyeksikan lagi, ia akan menjadi benda berdimensi satu. Dan jika diproyeksikan lagi, dia akan menjadi ‘titik’, yang secara filosofis bermakna ‘ketiadaan’. Alias ilusi belaka. Ada simbolnya, tapi tidak ada isinya.
Dan menariknya, setiap kali kita memperoyeksikan benda, hasilnya selalu kehilangan sejumlah informasi seiring dengan hilangnya salah satu dimensi. Kalau ada sebuah kotak berbentuk kubus Anda sorot dengan lampu proyektor ke dinding, Anda tidak akan bisa lagi melihat ‘ketebalan’ kubus itu. Karena bentuknya sekarang menjadi sebuah 'bayangan' kotak tanpa ketebalan. Yang ada cuma panjang dan lebarnya saja. Selanjutnya, ketika diproyeksikan lagi Anda akan kehilangan sekali lagi sisi panjangnya atau sisi lebarnya. Karena ia akan membentuk sepotong 'garis'. Dan akhirnya, ketika diproyeksikan lagi, Anda akan kehilangan semua informasinya.
Begitulah perbandingan antara Kehendak Allah’ dengan ‘kehendak makhluk-Nya’. Karena kehendak makhluk adalah proyeksi dari Kehendak-Nya, maka Anda sebenarnya sudah kehilangan informasi sangat banyak tentang kehendak Allah itu. Anda sama sekali tidak akan bisa membayangkan Kehendak Allah, hanya dengan memahami kehendak manusia. Jika dipaksakan, akan menjadi absurd..!
Jadi, kalau saya ditanya: ‘’Di manakah unsur ‘free-choice’ (atau ‘bebas’nya) ketika peristiwa yang terjadi /kehendak manusia itu merupakan hasil “proyeksi holografik dari sebuah realitas tunggal” dari-Nya?’’
Maka, jawabnya ada dua:
Yang pertama, terjadi kesalahan mendasar secara filosofis (entah disengaja atau tidak) dalam mentranslate free-choice dengan ‘kehendak bebas’. Menurut saya, mestinya diterjemahkan sebagai ‘pilihan bebas’. Disini saya melihat ada kerancuan, atau keambiguan, atau kegamangan.
Yang kedua, jangan membayangkan ‘kehendak’ sebagai sosok materi, yang ketika diproyeksikan akan membentuk sesosok ‘kehendak’ pula. Kehendak adalah ‘daya dorong’ untuk melakukan sesuatu. Bentuknya tentu saja abstrak. Tidak bisa disosokkan. Sama dengan ‘waktu’ yang juga hasil proyeksi dari diri-Nya. Anda tentu tidak bisa mensosokkan waktu, meskipun ia adalah proyeksi diri-Nya. Lha wong ditanya ‘waktu’ itu apa sih, sudah kebingungan. Apalgi memahami dan melihat Masternya ‘waktu’.
Maka, lewat proyeksi holografik itu, manusia menjadi memiliki ‘daya dorong’ untuk melakukan sesuatu pula sebagaimana Allah. Tetapi, dalam skala yang sangat terbatas. Sehingga kita lebih pantas menyebutnya sebagai ‘pilihan bebas’. Bukan kehendak bebas.
Pertanyaan kedua tentang konsep free-choice dalam model Newtonian, Einsteinian, dan holografik sudah saya jawab dalam uraian di atas. Sedangkan pertanyaan ketiga: apakah Allah TAHU bahwa orang yang sakit itu sembuh (‘melihat’ proyeksi holografik diriNya yang real-time itu)? Ataukah Allah ‘menunggu’ respon dari manusia sakit itu untuk ‘mengubah’ takdirnya? Ataukah Allah tidak memiliki foreknowledge sama sekali?
Menurut saya, pertanyaan ketiga ini muncul dikarenakan belum utuhnya pemahaman penanya terhadap konsep holografik. Bahwa di dalam teori holografik tidak ada istilah ‘forekowledge’ ataupun ‘menunggu’, seakan-akan Allah berada di dalam deret waktu. Atau katakanlah: meliputi waktu. Karena, intisari konsep holografik adalah kejadian SEKARANG. Tidak ada masa lalu dan akan datang.
Setiap peristiwa adalah REAL-TIME sekarang semua. Urutan kejadian yang dibayangkan manusia itu hanya akibat dari persepsi otaknya, yang mengurutkan kejadian ‘sekarang-1, sekarang-2, sekarang-3, sekarang-4, dst…’ Karena itu, pertanyaan apakah ‘Allah tahu’ bahwa orang yang sakit itu AKAN sembuh?, sebenarnya TIDAK BERMAKNA dalam sudut pandang holografik. Karena, waktu di dalam-Nya tidak bergerak.
Kesalah kaprahan ini terjadi, karena kita MENGIRA Tuhan memandang realitas dengan menggunakan sudut pandang manusia yang berada di dalam ruang-waktu. Menjadi konyol. Dan ini memang menjadi kelemahan dari filosofi Einsteinian, yang lantas ditutupi oleh teori holografik.
Dalam sudut pandang holografik, Tuhan tidak bisa DIPREDIKSI sama sekali. Karena, tidak ada waktu untuk memprediksinya, sebagai konsekuensi proses yang real-time. Juga, dikarenakan kita sebagai manusia hanyalah PROYEKSI yang sudah mengalami DEGRADASI dalam skala tak berhingga dari ‘Sesuatu’ yang kualitasnya tak berhingga dan tak bisa kita bayangkan. Lha wong menebak kehendak saya saja Anda tidak bisa, padahal kehendak saya kan hanya proyeksi dari Kehendak-Nya, kok mau menebak-nebak kehendak Tuhan.
Maka, betapa pas dan indahnya ketika Allah membuat perumpamaan hubungan antara makhluk dengan Allah itu ibarat pelita dan cahaya. Makhluk ini hanyalah pancaran cahaya dari sebuah PELITA. Dimana pelita itu tersembunyi di balik kaca, di dalam sebuah lubang gelap yang misterius. Yang karenanya, Anda tidak akan pernah bisa melihat PELITA, Sang Sumber cahaya. Apalagi, kalau sekedar MENEBAK-NEBAK dari kejauhan berdasar cahaya yang dipancarkan-Nya. Ooalah, manusia.. manusia… !
QS. An Nuur (24): 35
Allah mencahayai langit dan bumi. Perumpamaan CAHAYA Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada PELITA besar. Pelita itu di dalam kaca. Kaca itu seakan-akan bintang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (Yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat. Yang minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan ini bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Wallahu ‘alam bishshawab
~ Salam ‘Menjadi Cahaya-Nya’ ~
Di bagian akhir tulisan saya tentang Takdir & Kehendak ini saya ingin menegaskan sekali lagi, perbandingan antara kehendak makhluk dengan kehendak Tuhan. Bahwa, kehendak makhluk itu berada di dalam kehendak Tuhan. Bagian yang tak terpisahkan, tetapi tidak sama. Ibarat setetes air di dalam samudera.
Apakah setetes air adalah bagian dari samudera? Tentu saja, jawabnya: ya. Apakah setetes air sama dengan samudera? Tentu saja, jawabnya: tidak. Air setetes dan dan air samudera adalah sama-sama air laut, tetapi banyak memiliki perbedaan. Mulai dari jumlahnya, kekayaan kandungannya, dinamikanya, power-nya, daya coverage-nya, informasi yang terkandung di dalamnya, dan seterusnya.
Meskipun, analogi ini tidak bisa sepenuhnya mewakili perbandingan antara makhluk dan Tuhan, tapi saya kira Anda bisa menangkap maksud saya. Bahwa, setetes air dan samudera adalah tidak sama, meskipun setetes air itu adalah bagian samudera yang sudah melebur di dalam samudera itu sendiri.
Karena itu, ketika kita berbicara soal kehendak makhluk di dalam Kehendak Allah, kita tidak boleh serta merta menyamakan antara keduanya. Seakan-akan kehendak kita SUDAH MEWAKILI kehendak Allah. Tentu terjadi distorsi pemahaman yang sangat jauh. Ibarat Anda mewakilkan kekuatan dan kekayaan samudera kepada setetes air laut. :(
Maka, perhatikanlah istilah yang layak digunakan untuk makhluk dan untuk Tuhan dalam hal ‘kehendak bebas’ ini. Untuk Tuhan lebih pantas kita gunakan FREE WILL – ‘kehendak bebas’. Sedangkan untuk manusia lebih pantas disebut free choice – ‘pilihan bebas’. Dari sini saja kita sudah paham seberapa bebas ‘pilihan’ yang dimiliki oleh manusia dibandingkan ‘KEHENDAK’ Tuhan.
Bahwa manusia tidak memiliki kemampuan berkehendak semau-maunya. Karena, ia sudah DIBATASI oleh desain penciptaannya. Badannya kecil, ototnya tidak seberapa, jangkauan pandangan dan pendengarannya terbatas, kekuatan organ tubuhnya juga ringkih, bahkan kemampuan otak yang dibangga-banggakan itu pun banyak mengalami distorsi. Jadi, mau berkehendak bebas macam apa sih manusia ini?!
Paling-paling, Anda hanya bisa memilih antara segelas coca-cola dan segelas air mineral. Atau, tambahkanlah sejauh perbendaharaan bahasa Anda tentang jenis makanan dan minuman, mulai dari dawet, bajigur, es teller, es cendol, teh panas, sampanye sampai vodka, dst. Semakin Anda berusaha menyebut daftar menu itu akan semakin tampak keterbatasan Anda. Hhehe.., ternyata hanya ‘segitu saja’ kehendaknya..!
Manusia TIDAK BISA berkehendak secara bebas. Yang bisa dia lakukan hanyalah MEMILIH dari apa yang sudah ada di sekitarnya. Bahkan, hanya dari yang dia KETAHUI saja. Tak lebih. Apa yang disebut ‘kebebasan’ itu ternyata secara natural sudah terbatasi dengan sendirinya oleh desain kemanusiaan kita. Saya suka dengan ungkapan ini: You can do every thing under My Rules..!
Maka, meskipun menurut saya tidak terlalu penting, jika hal ini mau diproyeksikan ke filosofi Newtonian, Einsteinian dan Holografik, kita bisa membedakan tingkat kebebasan makhluk terhadap Tuhan itu sedemikian rupa. Secara Newtonian, manusia memandang Tuhan sebagai SOSOK yang terpisah dari ruang dan waktu. Atau, malah ada yang memandangnya berada di dalam ruang & waktu. Misalnya ada yang mendefinisikan Tuhan berada di dalam surga. Atau, di langit. Atau di dalam hati. Atau, di alam akhirat. Sehingga menimbulkan komplikasi yang kontradiktif: Tuhan ada disana, dan tidak berada disini.. :(
Konsekuensi dari sudut pandang ini, makhluk menjadi ‘sosok berkehendak’ yang berada di luar Kehendak Tuhan. Sehingga muncullah istilah free-will bagi makhluk. Padahal, sebenarnya tidak ada free-will baginya. Yang ada ialah free-choice. Ketika pemahamannya sudah pada free-choice, sebenarnya kita sudah mulai melangkah ke filosofi Einsteinian yang memandang Tuhan meliputi makhluk-Nya. Bukan lagi sebagai sosok yang terpisah: Tuhan di surga, dan makhluk di Bumi.
Dalam tataran Einsteinian, ruang dan waktu alam semesta berada di dalam Tuhan. Tuhan sudah meliputi kehendak manusia. Sehingga kehendak manusia merupakan ‘bagian’ dari kehendak Tuhan. Jangan lagi membayangkan Tuhan sebagai ‘Sesuatu yang terpisah’ dari makhluk-Nya. Sayangnya, teori ini tidak bisa menjelaskan bagaimana ‘posisi’ makhluk di dalam Tuhan itu sendiri, karena Einsteinian hanya mendefinisikan alam semesta sebagai ruang berdimensi tiga. Sehingga kata ‘meliputi’ menjadi tidak jelas maknanya. Lha wong tidak ada ruangan yang lebih besar dari universe yang telah didefinisikan sebagai 3 dimensi.
Dengan munculnya teori Holografik, saya lantas bisa menjelaskan dengan lebih gamblang tentang 'posisi makhluk di dalam Tuhan’ secara lebih teknis. Termasuk, kehendak manusia di dalam Kehendak-Nya. Bahwa, makhluk bukan lagi ‘bagian’ dari eksistensi Tuhan, melainkan cuma hasil proyeksi dari diri-Nya.
Karena sifatnya proyeksi, maka hasil proyeksinya pasti memiliki derajat lebih rendah. Pasti juga, dimensinya lebih rendah. Pasti juga kualitasnya lebih rendah. Bergantung ini hasil proyeksi berapa kali dari masternya. Jika sebuah benda berdimensi tiga diproyeksikan sekali, ia akan menjadi benda berdimensi dua. Dan jika diproyeksikan lagi, ia akan menjadi benda berdimensi satu. Dan jika diproyeksikan lagi, dia akan menjadi ‘titik’, yang secara filosofis bermakna ‘ketiadaan’. Alias ilusi belaka. Ada simbolnya, tapi tidak ada isinya.
Dan menariknya, setiap kali kita memperoyeksikan benda, hasilnya selalu kehilangan sejumlah informasi seiring dengan hilangnya salah satu dimensi. Kalau ada sebuah kotak berbentuk kubus Anda sorot dengan lampu proyektor ke dinding, Anda tidak akan bisa lagi melihat ‘ketebalan’ kubus itu. Karena bentuknya sekarang menjadi sebuah 'bayangan' kotak tanpa ketebalan. Yang ada cuma panjang dan lebarnya saja. Selanjutnya, ketika diproyeksikan lagi Anda akan kehilangan sekali lagi sisi panjangnya atau sisi lebarnya. Karena ia akan membentuk sepotong 'garis'. Dan akhirnya, ketika diproyeksikan lagi, Anda akan kehilangan semua informasinya.
Begitulah perbandingan antara Kehendak Allah’ dengan ‘kehendak makhluk-Nya’. Karena kehendak makhluk adalah proyeksi dari Kehendak-Nya, maka Anda sebenarnya sudah kehilangan informasi sangat banyak tentang kehendak Allah itu. Anda sama sekali tidak akan bisa membayangkan Kehendak Allah, hanya dengan memahami kehendak manusia. Jika dipaksakan, akan menjadi absurd..!
Jadi, kalau saya ditanya: ‘’Di manakah unsur ‘free-choice’ (atau ‘bebas’nya) ketika peristiwa yang terjadi /kehendak manusia itu merupakan hasil “proyeksi holografik dari sebuah realitas tunggal” dari-Nya?’’
Maka, jawabnya ada dua:
Yang pertama, terjadi kesalahan mendasar secara filosofis (entah disengaja atau tidak) dalam mentranslate free-choice dengan ‘kehendak bebas’. Menurut saya, mestinya diterjemahkan sebagai ‘pilihan bebas’. Disini saya melihat ada kerancuan, atau keambiguan, atau kegamangan.
Yang kedua, jangan membayangkan ‘kehendak’ sebagai sosok materi, yang ketika diproyeksikan akan membentuk sesosok ‘kehendak’ pula. Kehendak adalah ‘daya dorong’ untuk melakukan sesuatu. Bentuknya tentu saja abstrak. Tidak bisa disosokkan. Sama dengan ‘waktu’ yang juga hasil proyeksi dari diri-Nya. Anda tentu tidak bisa mensosokkan waktu, meskipun ia adalah proyeksi diri-Nya. Lha wong ditanya ‘waktu’ itu apa sih, sudah kebingungan. Apalgi memahami dan melihat Masternya ‘waktu’.
Maka, lewat proyeksi holografik itu, manusia menjadi memiliki ‘daya dorong’ untuk melakukan sesuatu pula sebagaimana Allah. Tetapi, dalam skala yang sangat terbatas. Sehingga kita lebih pantas menyebutnya sebagai ‘pilihan bebas’. Bukan kehendak bebas.
Pertanyaan kedua tentang konsep free-choice dalam model Newtonian, Einsteinian, dan holografik sudah saya jawab dalam uraian di atas. Sedangkan pertanyaan ketiga: apakah Allah TAHU bahwa orang yang sakit itu sembuh (‘melihat’ proyeksi holografik diriNya yang real-time itu)? Ataukah Allah ‘menunggu’ respon dari manusia sakit itu untuk ‘mengubah’ takdirnya? Ataukah Allah tidak memiliki foreknowledge sama sekali?
Menurut saya, pertanyaan ketiga ini muncul dikarenakan belum utuhnya pemahaman penanya terhadap konsep holografik. Bahwa di dalam teori holografik tidak ada istilah ‘forekowledge’ ataupun ‘menunggu’, seakan-akan Allah berada di dalam deret waktu. Atau katakanlah: meliputi waktu. Karena, intisari konsep holografik adalah kejadian SEKARANG. Tidak ada masa lalu dan akan datang.
Setiap peristiwa adalah REAL-TIME sekarang semua. Urutan kejadian yang dibayangkan manusia itu hanya akibat dari persepsi otaknya, yang mengurutkan kejadian ‘sekarang-1, sekarang-2, sekarang-3, sekarang-4, dst…’ Karena itu, pertanyaan apakah ‘Allah tahu’ bahwa orang yang sakit itu AKAN sembuh?, sebenarnya TIDAK BERMAKNA dalam sudut pandang holografik. Karena, waktu di dalam-Nya tidak bergerak.
Kesalah kaprahan ini terjadi, karena kita MENGIRA Tuhan memandang realitas dengan menggunakan sudut pandang manusia yang berada di dalam ruang-waktu. Menjadi konyol. Dan ini memang menjadi kelemahan dari filosofi Einsteinian, yang lantas ditutupi oleh teori holografik.
Dalam sudut pandang holografik, Tuhan tidak bisa DIPREDIKSI sama sekali. Karena, tidak ada waktu untuk memprediksinya, sebagai konsekuensi proses yang real-time. Juga, dikarenakan kita sebagai manusia hanyalah PROYEKSI yang sudah mengalami DEGRADASI dalam skala tak berhingga dari ‘Sesuatu’ yang kualitasnya tak berhingga dan tak bisa kita bayangkan. Lha wong menebak kehendak saya saja Anda tidak bisa, padahal kehendak saya kan hanya proyeksi dari Kehendak-Nya, kok mau menebak-nebak kehendak Tuhan.
Maka, betapa pas dan indahnya ketika Allah membuat perumpamaan hubungan antara makhluk dengan Allah itu ibarat pelita dan cahaya. Makhluk ini hanyalah pancaran cahaya dari sebuah PELITA. Dimana pelita itu tersembunyi di balik kaca, di dalam sebuah lubang gelap yang misterius. Yang karenanya, Anda tidak akan pernah bisa melihat PELITA, Sang Sumber cahaya. Apalagi, kalau sekedar MENEBAK-NEBAK dari kejauhan berdasar cahaya yang dipancarkan-Nya. Ooalah, manusia.. manusia… !
QS. An Nuur (24): 35
Allah mencahayai langit dan bumi. Perumpamaan CAHAYA Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada PELITA besar. Pelita itu di dalam kaca. Kaca itu seakan-akan bintang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (Yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat. Yang minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan ini bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Wallahu ‘alam bishshawab
~ Salam ‘Menjadi Cahaya-Nya’ ~
No comments:
Post a Comment