Thursday, April 26, 2012

The God Delusion ?

Oleh: Deepak Chopra

Baru-baru ini telah ada serentetan buku tentang Tuhan dari para ilmuwan untuk menanggapi perdebatan tentang intelejen desain. Buku-buku ini telah meningkatkan skeptisme banyak orang bahwa Tuhan itu ada, kebanyakan orang menganggapnya belum jelas. Ilmu pengetahuan selama ini dianggap sebagai pihak yang rasional, sedangkan Agama-agama dianggap berpikir takhayul dan tidak beralasan. Buku terlaris terbaru dalam tema ini adalah “The God Delusion” oleh Richard Dawkins. Saya ingin mengambil subjek tersebut di sini.

Dawkins telah banyak menulis tentang evolusi, ia adalah profesor di Oxford University, dan kerap berbicara lantang keluar menentang kemungkinan bahwa Tuhan itu nyata. Dia membuat banyak poin untuk mendukung klaimnya bahwa agama adalah omong kosong dan bahwa tidak ada sedikit pun bukti rasional terhadap Tuhan, mujizat, jiwa, dll. Karena ini adalah masalah penting, saya ingin berdebat melawan poin dia titik demi titik dalam beberapa detail.

1. Sains adalah satu-satunya cara yang valid untuk memperoleh pengetahuan. Tuhan tidak diperlukan untuk menjelaskan dunia. Ilmu pengetahuan pada akhirnya akan mengungkap semua misteri. Sesuatu yang tidak dapat dijelaskan adalah tidak ada.

Ini adalah landasan dari argumen Dawkins, karena ini adalah landasan yang paling banyak dianut oleh para skeptis dan ateis ilmiah. Dalam buku barunya Dawkins menyatakan posisinya dengan penghinaan yang mendalam bagi mereka yang tidak setuju, dan yang melemahkan argumennya. Namun tidak ada keraguan bahwa dengan kemajuan saat ini dalam genetika dan penelitian otak, para ilmuwan telah memiliki kepercayaan diri lebih dari sebelumnya bahwa misteri ini sedang terurai dari yang belum pernah dipikirkan sebelumnya. Hal yang sama, keimanan pada Tuhan yang tradisional terlihat lebih tidak tepat sasaran dan menyesatkan. Yang terbaik adalah menempatkan masalah Tuhan sebagai keyakinan pribadi, yang paling buruk adalah menggunakan takhayul untuk menahan kemajuan.

Ketidakadilan dari argumen ini adalah bahwa ia mengecilkan Tuhan ke sudut. Dawkins membuat masalah kita - lawan-mereka. Apakah Anda berpihak pada ilmu pengetahuan (yaitu, memiliki alasan, kemajuan, modernisme, optimisme tentang masa depan) atau Anda adalah berpihak pada agama (yaitu, tidak beralasan, reaksioner, resistensi terhadap kemajuan, berpegangan pada misteri yang hanya Tuhan dapat memecahkan). Dia menganggap semua yang percaya pada Tuhan berpikir sama seperti para ekstrem fanatik keagamaan. Sayangnya, media seringkali mengikuti jalan pikirannya, menghapus kebenaran, yaitu bahwa banyak ilmuwan yang religius dan banyak ilmuwan terbesar (termasuk Newton dan Einstein) pernah menyelidiki jauh ke dalam keberadaan Tuhan. Belum lagi fakta yang nyata bahwa Anda tidak harus pergi ke gereja, atau bahkan menganut agama, untuk menemukan Tuhan yang masuk akal.

Tapi mari kita tinggalkan retorika panas dan tidak adil dari Dawkins. Apakah sains satu-satunya rute ke pengetahuan? Jelas tidak. Saya mengetahui bahwa ibu saya mengasihi saya sepanjang hidupnya, seperti saya mencintai anak-anak saya sendiri. Saya merasa jenius dalam karya seni. Tak satu pun dari pengetahuan ini divalidasi oleh ilmu pengetahuan. Saya telah melihat pengobatan nonmedis yang ilmu pengetahuan tidak bisa menjelaskan, yang beberapa tampaknya dipicu oleh keyakinan. Hal yang sama juga terjadi pada jutaan orang lainnya. Saya tahu bahwa saya sadar dan punya Self, meskipun Dawkins – bersama dengan banyak materialis lainnya – tidak percaya bahwa kesadaran adalah nyata atau bahwa self adalah sekedar ilusi kimia yang dibuat dalam otak. Dawkins beralasan bahwa kasih ibu tidak lebih nyata dari Tuhan karena tidak dapat diukur secara empiris.

Seorang materialis membayangkan bisa menganalisis fungsi otak dari Mozart atau Beethoven sebagai sinapsis otak, tapi itu tidak akan menjelaskan kepada kita tentang mengapa musik ada, mengapa itu indah, dari mana simfoni besar datang, mengapa inspirasi tersebut mempengaruhi pendengar, atau bahkan setiap hal yang relevan tentang makna musik. Dunia secara umum memiliki arti, makna yang mendalam berkali-kali. Hal ini tidak dapat dianggap sebagai khayalan, sekedar artefak kimia. Kecantikan dan makna dapat diketahui independen dari analisis biokimia.

Analogi yang sama datang ke pikiran setiap kali seseorang mendengar bahwa penelitian otak akhirnya akan menjelaskan semua pemikiran dan perilaku manusia. Jika seorang ilmuwan bisa memetakan setiap molekul di radio ketika memainkan simphoni Kelima Beethoven, akan ada diagram lengkap dari simfoni ini di tingkat materi. Tapi radio bukanlah Beethoven. Ini bukan pikiran, dan diagram otak Beethoven, yang juga berada di tingkat materi.

Selama ribuan tahun manusia telah terobsesi oleh keindahan, kebenaran, mencintai, menghormati, altruisme, keberanian, hubungan sosial, seni, dan Tuhan. Mereka semua berjalan bersama-sama sebagai pengalaman subjektif, dan ini adalah alasan mereka untuk meletakan Tuhan sebagai sosok khayalan. Jika ia, maka Ia adalah kebenaran itu sendiri atau kecantikan itu sendiri. Tuhan melambangkan kesempurnaan keduanya, dan bahkan jika Anda berpikir kebenaran dan keindahan (bersama dengan cinta, keadilan, pengampunan, belas kasih, dan kualitas ilahi lainnya) tidak pernah bisa sempurna, untuk mengatakan bahwa fantasi mereka adalah tidak masuk akal.

Sains mengetahui tentang realitas obyektif, selubung materi yang lima indra kita mampu mendeteksi. Tapi pikiran melampaui panca indera, dan pendapat Dawkins tidak tepat menyatukan dua dunia dalam dan luar secara bersama-sama. Bahkan, sejauh ini penelitian otak telah dapat menemukan pusat-pusat kegiatan yang menyala setiap kali seseorang merasa cinta atau kesenangan atau gairah seksual, kondisi-kondisi subjektif objektif  ini meninggalkan jejak di belakang. Ini yang membuat mereka lebih nyata, tidak kurang. Dengan cara yang sama, bagian otak ketika seseorang merasa terinspirasi atau dekat dengan Tuhan, karena itu, kita mungkin semakin dekat kepada hubungan antara kondisi bagian dalam dan luar, tidak lama lagi.

Ini hanya garis besar argumen terhadap sains hanya sebagai satu-satunya rute untuk pengetahuan. Sebelum pergi ke poin lain dari Dawkins

Richard Dawkins membuat pernyataan lain.

2. Tuhan tidak diperlukan. Ilmu pengetahuan dapat menjelaskan Alam tanpa bantuan dari penyebab supranatural seperti Tuhan. Tidak perlu Sang Pencipta.

Bagi banyak orang argumen ini terdengar meyakinkan karena mereka percaya pada ilmu pengetahuan dan sulit untuk percaya adanya Tuhan. Tapi Dawkins telah menggunakan trik yang sama yang dia tegaskan berulang. Ini adalah trik kita-lawan-mereka. Apakah Anda berpikir ada Tuhan pribadi, Pencipta manusia super yang membuat dunia menurut Kitab Kejadian, atau Anda percaya pada rasionalitas melalui metode ilmiah.

Asumsi ini adalah salah pada beberapa alasan. Yang paling dasar adalah bahwa Tuhan bukan manusia. Dalam strain tertentu dari kekristenan fundamentalis Tuhan terlihat dan bertindak seperti manusia, dan menciptakan dunia dalam enam hari yang secara harfiah diterima (Dawkins mengejek kepercayaan ini seperti ‘badut’). Namun Tuhan bukanlah person dalam semua strain Islam, Budha, Yudaisme, Konfusianisme, cabang agama Hindu yang dikenal sebagai Vedanta, dan banyak denominasi agama Kristen – dia bukanlah person dalam Injil Yohanes di kitab Perjanjian Baru.

Oleh karena itu, mereduksi Tuhan seperti gambaran di sekolah Minggu dan mengklaim bahwa Kitab Kejadian – atau kreasionisme pada umumnya – bersaing dengan ilmu pengetahuan adalah tidak akurat. Fundamentalisme tidak memainkan peran dalam perdebatan ilmiah di generasi2 terakhir. Einstein menunjukkan bahwa ia tidak percaya pada Tuhan personal, tetapi terpesona dengan bagaimana alam semesta ini begitu teratur dan hukum fisika yang mendasarinya.

Juga adalah tidak adil untuk menggambarkan Tuhan sebagai Pencipta yang berdiri di suatu tempat di luar alam semesta. Dawkins menertawakan gagasan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan seperti tidak perlu untuk menciptakan alam semesta melalui Big Bang dan miliaran tahun evolusi. Dia dapat menciptakan dari awal secara langsung utuh dan sempurna. Jadi jika kita mengamati evolusi maka Tuhan tidak relevan dan tidak perlu.

Ini seperti mencoba untuk menebak-nebak Tuhan seperti seseorang yang berpikir seperti manusia dan akan melaksanakan penciptaan dengan cara ilmuwan yang cerdas – seperti Richard Dawkins, misalnya. Tuhan, jika Dia eksis, adalah bersifat universal, ada pada segala zaman dan tempat, ada dalam semua penciptaan baik di dalam ruang-waktu dan di luar. Untuk menggunakan kata orang ketiga “Dia” adalah tidak memiliki validitas, pada kenyataannya, kita kerapkali dipaksa dengan bagaimana bahasa bekerja. Kata yang lebih baik adalah ‘Keseluruhan,” yang dalam bahasa Sansekerta adalah Brahman dan Allah dalam Islam. Tidak setiap bahasa terjebak dengan kata Dia.

Jadi pada dasarnya, pertanyaan sesungguhnya adalah: Apakah kita memerlukan kecerdasan yang meliputi segala untuk menjelaskan alam semesta? Lupakan gambar Tuhan yang duduk di atas singgasana, lupakan kitab Kejadian, lupakan imajinasi dari Pencipta yang tidak sepandai manusia cerdas. Perdebatan yang sebenarnya adalah antara dua pandangan dunia:

1. Alam semesta adalah acak. Beroperasi sepenuhnya melalui hukum-hukum fisika. Tidak ada bukti kecerdasan bawaan.

2. Alam semesta berisi desain. Hukum fisika menghasilkan bentuk-bentuk baru yang menampilkan intensi. Intelijen meliputi segalanya.

Cara pandang kedua dapat disebut religius, tetapi itu adalah jebakan untuk mengatakan bahwa hanya Tuhan Kristen yang menjelaskan kecerdasan di alam semesta. Ada ruang untuk sebuah paradigma baru yang melindungi semua pencapaian ilmu pengetahuan – seperti dikuatkan oleh pandangan dunia yang pertama – saat memberikan arti dan makna dari semesta. Dawkins tidak menunjukkan minat dalam menyatukan kedua perspektif ini (dia meremehkan gagasan seluruh ilmuwan agama), tapi banyak dari rekannya melakukan itu.

Sumber: Henkykuntarto’s Blog -Wellcome to my spiritual blog

No comments:

Post a Comment