Thursday, April 26, 2012

The Way of the Sufi


Apa kesamaan antara William Shakespeare, Roger Bacon, Geoffrey Chauncer, dan Dante Alighieri? Apakah ada benang merah antara filosofi Hindu, kebijaksanaan Kabbalah, ajaran Rosicrucianisme, dan Freemansory, serta kisah kisah Zen Jepang?

Dalam In the Way of Sufi, Idries Shah berpendapat bahwa mereka semua dipengaruhi oleh ajaran yang sekarang diberi nama sufisme. Bisa dipahami sebagai dimensi Islam yang lebih mistis dan personal, Shah menunjukkan bahwa kebijaksanaan sufi yang sudah ada sebelum era Muhammad, mungkin sejak jaman Hermes di Mesir Kuno.

Buku buku Shah menumbuhkan perhatian dunia barat terhadp filosofi dan tulisan sufi, dan The Way of Sufi mungkin adalah karyanya yang paling terkenal. Sebagai pengantar yang menyenangkan, buku ini memuat gambaran singkat tentang tokoh Islam terkemuka yang ia yakini sebagai guru-guru sufi, termasuk Ghazzali dari Persia, Omar Khayyam-Rugaiyat, Attar dari Nishapur (penulis Conference of the Birds), Ibn el Arabi dari Spanyol, Saadi dari Shiraz (penulis The Rose Garden), Hakim Sanai, dan Jalaludin Rumi (penulis “Masnawi” atau “Couple of Inner Meaning” yang terkenal itu). Empat kelompok utama sufi, Chishti, Qadiri, Suhrawadi, dan Naqshsabandi, juga dideskripsikan.

Kekuatan sesungguhnya buku ini, bagaimanapun juga, adalah sebagai antologi ratusan kisah tentang sufi atau petapa, teka teki, dan pepatah yang mungkin membutuhkan waktu seumur hidup untuk bisa menghargai dan memahaminya. Karena semua itu tidak mungkin dibahas dalam ulasan ini, kita akan melihat etika sufi tentang mental dan kebebasan spritual.

Pikiran yang terbebas dari pengondisian

Etimologi Sufi tidak terikat dari bahasa tertentu melainkan diciptakan semata mata berdasarkan bunyi huruf  S U F serta efeknya terhadap otak. Ini memberikan gambaran tentang dalamnya pengetahuan para guru sufi tentang cara kerja otak bekerja, dan sesungguhnya yang sekarang ini kita anggap paling berharga adalah wawasan mereka tentang psikologi dan kondisi manusia. Tulisan sufi yang berasal dari abad ke-12 dan ke-13 berbicara tentang keadaan dan prosedur psikolgis yang baru “ditemukan” di abad ke-20 oleh orang seperti Freud dan Jung.

idries_shah_pictShah menulis bahwa delapan abad sebelum Pavlov, Ghazzali telah menyoroti  pertanyaan tentang pengkondisian atau indoktrinasi-musuh spiritualitas. Sebagian besar orang tidak mandiri karena mereka menerima keyakinan yang diberikan mereka tanpa banyak tanya; dalam agama, mereka tidak mencari pencerahan yang sesungguhnya, melainkan hanya ketentraman. Pikiran kita selalu lebih menyukai  pengetahuan yang sudah ada, tidak pernah mengetahui keberadaan pengetahuan besar lainnya.

Jalan Sufi tidak mengajari kita untuk berhenti dalam keyakinan bahwa satu agama atau filosofi tertentu adalah kebenaran, melainkan untuk menumbuhkan keterbukaan yang  membuat kita bisa berdamai dengan pihak pihak atau gagasan yang bertentangan. Bagaimanapun juga sebagian besar orang merasa tenteram dengan agama karena agama mengurung mereka dalam tembok pemikiran dan kebiasaan mereka sendiri, tidak pernah merasakan kebebasan yang ada diluar tembok tersebut.

Tingkat pemahaman

Shah menulis bahwa sufisme memang bisa dipelajari sebagai gerakan budaya atau religius, tetapi akibatnya kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang berarti. Ia mengutip perkataan guru sufi, Saadi dari Shiraz:

“Orang terpelajar yang hanya bicara tidak akan pernah bisa menyentuh hati manusia.“

Kebijaksanaan sufi tidak bisa didapat hanya dengan mempelajarinya, dan itulah mengapa bentuk ajarannya selalu menggunakan cerit, legenda, teka teki, dan lelucon. Seperti halnya koan Jepang, sufi bertujuan mengguncangkan atau mengejutkan pikiran agar tiba tiba memiliki kesadaran tentang kebijaksanaan.

Mistikus dan penyair besar Rumi berkata, bahwa puisi puisinya sangat kecil artinya jika dibandingkan dengan perkembangan diri individual yang aktual. Pengetahuan akademis hanya merupakan alat bantu untuk mengerjakan tugas yang lebih besar yaitu memiliki kebijaksanaan sufi.

Ibn el Arabi memberitahu para pengikutnya bahwa ada tiga bentuk pengetahuan: pengetahuan intelektual, atau kumpulan fakta; pengetahuan tentang keadaan, atau memiliki “perasaan spritual”; dan pengetahuan tentang realitas sejati yang mendasari segala sesuatu. Tentang bentuk pengetahuan yang ketiga ia menulis :

“Untuk pengetahuan jenis ini  tidak ada bukti akademisnya di dunia ini; karena pengetahuan ini tersembunyi, tersembunyi dan tersembuny.i”

Gagasan yang terdapat dalam The Way of Sufi adalah bahwa orang orang hanya berpura pura mencari Allah, padahal sebenarnya mereka hanya ingin kekecewaan dan masalah mereka bisa terselesaikan. Saadi dari Shiraz adalah orang yang sangat genius, tulis Shah, dan karena ia genius, maka orang ingin mengangkat dirinya sebagai pahlawan. Tetapi Saadi lebih suka orang tersebut mengurus diri mereka sendiri :

“Ada banyak pencari, tetapi hampir semuanya pencari keuntungan pribadi. Aku hanya bisa menemukan sedikit sekali pencari kebenaran.”

Jalan Sufisme

Sekarang ini ada banyak organisasi sufi yang berada dibawah naungan islam, tetapi ajaran sufi selalu tidak menitikberatkan pentingnya struktur formal, termasuk agama yang terorganisasi, mereka justru menempatkan perkembangan individual di atas segalanya. Penekanan inilah-kebenaran diatas bentuk, personal diatas institusional-yang memungkinkan pemikiran sufi muncul berulang-ulang sepanjang sejarah.

Sufisme tahu bahwa setiap orang memiliki kapasitas yang berbeda untuk memahami ajaran esoteris dan mistis, dan tulisan sufisme biasanya terdiri atas beberapa lapisan sehingga para pembaca bisa mempelajarinya di level yang sesuai dengan kapasitas mereka. Jalaludin Rumi tahu bahwa manusia mencintai puisi, maka puisi indahnya pun ibarat madu yang memikat lebah, tetapi ia menyisipi puisinya dengan gagasan yang lebih dalam. Ia berkata, “Kamu akan mendapatkan apa yang tersedia di dalamnya untuk mu.”

Para sufi sejati tidak berkeinginan mengesampingkan  budaya daerah dimana mereka hidup, melainkan justru memanfaatkan bahasa, kebiasaan, prasangka, bahkan agama suatu daerah untuk memperoleh efek yang maksimal. Metode intruksi yang dikamuflase ini membuat Sufi terus menggugah.

Kata penutup

Kisah kisah sufi banyak yang berusaha menunjukkan bahwa yang benar benar bisa dimilik oleh orang yang sejahtera adalah pengetahuan dan kebijaksanaan mereka; sedang semua yang lainnya bersifat fana. Murid sufi belajar bukan untuk terikat dengan dogma, melainkan agar mata mereka terbuka terhadap kebenaran dalam bentuk apapun. Hal yang ironis dari sufisme adalah bahwa meskipun biasanya digolongkan sebagai aliran mistis, tujuan Sufisme adalah meningkatkan jumlah kebenaran rasional di dunia ini.

Sufisme berusaha menunjukkan kepada kita bahwa apa yang kita anggap penting mungkin sebenarnya hanya sekedar hiasan, bahwa jika dilihat dari level pemikiran yang berbeda maka hal hal fundamental dalam kehidupan kita bisa dengan mudah tersapu bersih. Bagi sebagian orang hal ini membuat gagasan sufi dianggap berbahaya dan menyimpang. Walau demikian tujuan sufi adalah manusia yang “lengkap” yang mengetahui inti kebenaran, dan dari sini ia bisa melihat pandangan tak berguna dan sempit sebagian besar orang. Bahkan seseorang yang hanya membaca tulisan sufi sambil lalu, meski mereka tampak sulit dimengerti dan sukar untuk dipegang, akan menemukan perbendaharaan kebijaksanaan manusia dari berabad-abad yang lalu. Mereka membuka bentuk kesadaranya lebih tinggi yang akan memperkecil kemungkinan kita menjalani hidup tanpa kesadaran.

No comments:

Post a Comment