Kita semua dilahirkan dengan sisi positif/cahaya/terang dan juga sisi gelap/bayangan. Persis sebagaimana tidak ada kanan tanpa kiri, tidak ada atas tanpa bawah, tidak ada timur tanpa barat, maka cahaya tanpa bayangan nyaris merupakan kontradiksi. Lihatlah permainan terang dan gelap di sekitar kita. Di langit sendiri ada bintang-bintang cemerlang, tetapi ada juga lubang-lubang hitam yang mustahil diteliti. Beberapa orang mengatakan hanya Tuhan yang hidup tanpa bayangan. Tetapi jika Tuhan adalah terang murni, maka beberapa orang mungkin mengatakan bahwa dunia itu sendiri mewakili sisi bayangan Tuhan.
Kehidupan spiritual sendiri sering didefinisikan sebagai pencarian terang dan pancaran. Tetapi jika itu masalahnya, apa yang kita lakukan dengan kegelapan yang kita semua ketahui ada? Apa yang kita lakukan dengan bayang-bayang personal kita sendiri? Bagaimana kita bisa memadukan sisi gelap dan terang dalam diri kita masing-masing?
Menurut Carl Jung, sosok-sosok bayangan ini bisa didefinisikan sebagai unsur-unsur kepribadian terwakili dimana kita memilih untuk tidak diidentifikasikan. Bayangan itu adalah sisi dalam dari topeng-topeng cemerlang yang kita tampilkan pada publik. Itu meliputi bagian-bagian diri kita sendiri yang kita jaga agar tetap tersembunyi, kadang-kadang bahkan dari kita sendiri. Dan siapa yang tidak mempunyai rahasia yang disimpan rapi di berbagai almari jiwa dan ingatan? Cobalah menarik kembali, menekan, dan mengingkari sisi gelap kepribadian kita sendiri, maka kita akan menghadapi risiko menarik unsur-unsur dalam diri kita sendiri dengan cara lain.
Jangan membuat kesalahan dengan percaya bahwa hal itu tidak mempunyai arti nyata dalam kehidupan kita sendiri. “Bayangan” itu bukan sekedar konsep kefilsafatan. Ketika kita menjalani hidup dari hari ke hari, berkali kali kita secara tidak sadar bertemu dengan bayang-bayang kita. Mereka menggoda kita, mereka mempermainkan kita. Mereka menakut-nakuti kita, dan membuat kita muak. Mereka datang dalam berbagai bentuk dan ukuran, dan mereka menampakkan diri dengan berbagai cara tergantung pada siapa kita ini dan bagaimana kehidupan kita. Seseorang misalnya , bertemu dengan bayangannya setiap kali ia marah besar pada istri atau anak-anaknya, sehingga ia tidak mampu mengendalikan diri. Atau orang lain tidak mampu mengendalikan dirinya ketika ia mabuk atau tidak mampu mengendalikan diri ketika berdebat/berkompromi dan sebagainya. Pendek kata, bayang-bayang kita membuat kita melakukan hal-hal dan mengatakan ini itu yang kita lebih suka tidak akui.
Kita melihat bayang-bayang beraksi di sekitar kita. Koran-koran, televisi, dipenuhi cerita tentang skandal dan kata-kata munafik tentang dan dari para pemimpin, baik agama, spiritual maupun politis, yang tidak mampu mewujudkan omongan mereka dalam tindakan nyata. Pemimpin-pemimpin ini mungkin terlindung rapat di balik tameng psikologis yang berkilau seperti baja tahan karat, namun ada bercak-bercak pada tameng itu; unsur-unsur bayangan selalu bocor keluar.
Saya tidak percaya bahwa kemunafikan yang kita saksikan di sekitar kita adalah disengaja. Kita melihatnya terjadi karena sering kali para pemimpin kita memang tidak mengenal diri mereka sendiri. Mereka begitu disibukkan dengan topeng-topeng dan imaji-imaji yang mereka hadapkan pada dunia sehingga mereka memilih untuk mengingkari dan menekan, bukannya mengkonfrontasi dan mengatasi, konflik-konflik bayangan mereka. Pengingkaran macam ini membuahkan suasana hati mirip neraka tersendiri. Mungkin mereka berusaha memproyeksikan kebaikan, tetapi kebaikan ini jadi dikaburkan.
Bayang-bayang juga muncul dalam hidup kita sebagai proyeksi. Kita melihat orang-orang lain, dan kualitas-kualitas yang menonjol adalah kualitas-kualitas yang kita tidak sukai atau yang kita tekan atau tidak kita akui dalam diri kita sendiri. Sungguh, sering kali kita mengitari diri sendiri dengan orang-orang yang mempunyai kualitas yang di mata kita kurang memuaskan. Banyak orang misalnya mempunyai banyak teman yang perilakunya mungkin dipandang kurang ideal dibanding dengan dirinya. Dianggap lebih tidak bermoral dibanding dirinya sendiri. Ia kemudian dengan keras menghakimi orang-orang yang ia pilih untuk diajak bergaul. Tetapi mengapa ia meluangkan waktu begitu banyak dalam lingkungan itu?
Kita semua pernah berlaku seperti itu, dan bayangan itu menjelaskan sebabnya. Bayang-bayang yang terpendam mendorong kita ke tempat-tempat yang mungkin kita tidak inginkan. Semakin kurang kemampuan kita untuk menghadapi kegelapan personal kita sendiri, siluman-siluman kita sendiri, maka semakin besar dorongan kita untuk menghadapi dan menghayati mereka dengan cara-cara lain yang kurang sadar. Kita mencari bayang-bayang kita dalam wajah orang-orang lain; kita mendekatkan mereka pada kita.
Bayang-bayang kita bisa menjadi sekutu dan guru kita atau lawan dan penyerang kita. Semakin sadar kita pada apa yang ada dalam diri kita, positif atau negatif, terang maupun gelap, semakin besar kemampuan kita untuk menangani hidup dengan cara seimbang, waras dan spiritual.
William James mengatakan, “Kesadaran biasa kita hanyalah salah satu bentuk kesadaran. Di sekitar kita ada dunia-dunia yang tidak terbatas, yang dipisahkan hanya oleh cadar-cadar tipis.”
Kedalaman dari dunia-dunia kegelapan yang tidak terlihat, tidak mewujud, dan mustahil dilihat serta yang kita takuti ini hanyalah ekspresi dari suatu realita batin, pikiran yang belum diselami dan yang bekerja secara bawah sadar dan membisu. Kita menemukan apa yang ada di sana hanya lewat menyelami diri sendiri, dengan menggapai dan menghadapkan apa yang kita takuti pada terang, persis sebagaimana lautan hanya membuka rahasia-rahasianya ketika kita bisa menyelami kedalalamannya, jauh dibawah permukaannya yang berkilauan diterpa sinar mentari.
Sisi gelap kita maupun faset-faset yang lebih terang juga ada di sana untuk memperkaya dan menghidupi kita. Mereka ada di sana agar kita bisa belajar dan berkembang. Pesannya sudah sangat jelas: "Selamilah dirimu sendiri dan ubahlah dirimu sendiri. Persis sebagaimana Buddha bertemu dengan Mara sebelum pencerahannya, sering kali kita berhadapan dengan bayang-bayang tergelap kita sebelum subuh merebak. Bulan purnama di langit gelap adalah simbol pencerahan, tetapi bulan sampai pada keadaan itu sesudah melengkapi suatu siklus yang dimulai dengan secercah sinar yang muncul dari kegelapan".
Yang selalu harus kita camkan adalah bahwa tidak satu hal pun sepenuhnya negatif atau tanpa harapan, atau akhirnya harus ditangisi. Kita semua tahu pepatah lama ini : “Setiap awan mempunyai pinggiran keperakan.” Berbagai hal bisa dibalik. Kita bisa melihat terang. Dalam keyakinan inilah hidup kita berkembang.
Ketika kita sampai pada wawasan yang lebih spiritual dan lengkap mengenai realita dan totalitas, kita melihat bahwa bayang-bayang itu tak lain adalah juga terang. Sebenarnya yang disebut kegelapan itu, atau kedinginan, tidak ada. Kedua hal ini hanya didefinisikan oleh kita dalam hubungan dengan besarnya terang, energi, dan kehangatan yang ada atau tidak ada di dalamnya. Hal ini mencerminkan prinsip spiritual yang mengajari kita bahwa yang ada hanyalah terang dan atau bahwa segala sesuatu adalah energi murni, arus Tao, sifat alami.
terimakasih aos.
ReplyDeletesangat spiritual.
salam sehat selalu,
ruanguji
blognya bagus, bermanfaat!
ReplyDelete