Wednesday, August 21, 2019

DOKTER, KOMISARIS, KOMPONIS, & ALGORITMA: Akhir Otoritas Kemanusiaan?

Dalam lanskap dunia yang kian didominasi oleh algoritma dan kecerdasan buatan, muncul satu pertanyaan besar yang mendesak untuk dijawab: apakah masih ada ruang bagi manusia di tengah gelombang otomasi dan digitalisasi total? Para apologi humanisme sering mengklaim bahwa tak peduli seberapa cerdas mesin menjadi, ia tidak akan pernah bisa menggantikan sentuhan emosional seorang dokter, intuisi bisnis seorang komisaris, atau kepekaan estetis seorang seniman. Namun, keyakinan ini tampaknya semakin kehilangan pijakan empiris.
Dokter & Diagnostik: Kecerdasan Emosional vs. Emosi Biometrik

Bayangkan Anda sedang duduk di ruang tunggu sebuah klinik onkologi. Hasil CT scan Anda menunjukkan adanya massa mencurigakan. Apakah Anda lebih ingin mendengarnya dari seorang dokter manusia, yang duduk bersandar dengan bahasa tubuh empatik dan suara lirih menenangkan? Ataukah Anda mau menerimanya dari sebuah mesin, yang menganalisis suasana hati Anda secara biometrik, mengenali pola denyut jantung dan aktivitas gelombang otak Anda, lalu menyampaikan kabar buruk itu dengan nada yang telah disesuaikan secara algoritmik untuk kepribadian dan kondisi emosional Anda?

Watson, algoritma kesehatan canggih buatan IBM, kini tidak hanya mampu mendiagnosis penyakit dengan ketepatan yang melebihi rata-rata dokter umum, tetapi juga membaca ekspresi wajah, intonasi suara, tekanan darah, suhu kulit, hingga pola aktivitas otak pasien secara real-time. Mesin ini tidak sekadar mengenali gejala; ia memahami rasa takut, cemas, bahkan kelegaan pasien — bukan secara intuitif seperti manusia, tetapi secara statistik dengan akurasi presisi tinggi.

Yang ironis, manusia bangga pada kecerdasan emosionalnya, namun emosi juga kerap membuat keputusan klinis mereka bias atau bahkan salah. Seorang dokter bisa merasa kasihan dan memberikan penanganan berlebihan, atau justru terlalu cuek terhadap penderitaan pasien. Watson, di sisi lain, tidak punya rasa iba — namun justru karena itu, ia tidak membuat keputusan berdasarkan rasa takut atau rasa bersalah. Ia hanya memproses data dan bertindak sesuai algoritma yang dioptimalkan untuk hasil terbaik.

Lebih dari itu, perubahan besar sedang melanda filosofi kedokteran sendiri. Di abad ke-20, tujuan utama kedokteran adalah menyembuhkan penyakit dan mengembalikan pasien pada kondisi ‘normal’. Model ini egaliter: semua orang, terlepas dari status sosial, berhak atas standar kesehatan fisik dan mental yang sama. Namun, kedokteran abad ke-21 bergerak ke arah yang lebih elitis dan transhumanistik: bukan lagi menyembuhkan, melainkan meningkatkan manusia sehat menjadi manusia superior — memperpanjang usia, memperbaiki kognisi, memperkuat kekebalan, hingga memperindah tubuh. Ini adalah domain baru kedokteran: biomedis untuk peningkatan, bukan pemulihan.

Komisaris Korporasi: Kapitalisme Algoritmik & Pengambilan Keputusan Otomatis

Jika profesi dokter mulai digantikan oleh perangkat medis berbasis kecerdasan buatan, hal yang sama kini mengintai para eksekutif perusahaan. Pada Mei 2014, sebuah firma modal ventura bernama Deep Knowledge Ventures yang berbasis di Hong Kong mengejutkan dunia bisnis dengan menunjuk sebuah algoritma bernama VITAL (Validating Investment Tool for Advancing Life Sciences) sebagai anggota dewan komisaris perusahaan.

VITAL bukanlah penasihat pasif. Ia diberi hak suara penuh untuk menilai proposal investasi, berdasarkan evaluasi data biologis, tren pasar, dan performa historis perusahaan. Hasilnya? VITAL terbukti membuat keputusan yang lebih menguntungkan dibandingkan beberapa mitra manusianya. Ia tidak terpengaruh oleh tekanan psikologis, jaringan sosial, atau ambisi pribadi. VITAL hanya tertarik pada satu hal: data dan efisiensi.

Skenario ini membuka kemungkinan radikal: bahwa dalam waktu tidak lama, algoritma tidak hanya menjadi penasihat — melainkan pemilik sah perusahaan. Dalam dunia di mana hukum perusahaan mengakui entitas non-manusia (seperti korporasi) sebagai subjek hukum, tidak mustahil suatu hari algoritma menjadi pemilik saham mayoritas, memiliki properti, berinvestasi di sektor energi terbarukan, dan bahkan menyewa tenaga kerja manusia melalui sub-algoritma manajerial.

Maka kapitalisme yang dulunya digerakkan oleh naluri, intuisi pasar, dan kreativitas spekulatif manusia, mulai digantikan oleh kapitalisme algoritmik — sebuah sistem di mana nilai diproduksi, dikelola, dan didistribusikan oleh entitas non-manusia yang memproses triliunan bit data per detik.

Komponis & Seni: Musik, Pola, dan Ilusi Autentisitas

Sebagian orang mungkin masih bertahan pada keyakinan bahwa seni adalah “benteng terakhir kemanusiaan.” Seni, kata mereka, adalah ekspresi jiwa, yang tak dapat direduksi menjadi logika formal atau perhitungan statistik. Namun sains evolusioner dan neuroestetika membongkar mitos ini. Dari perspektif biologi, seni adalah mekanisme kognitif untuk pengenalan pola dan respons emosional adaptif terhadap simetri, ritme, atau disonansi. Tak lebih dari hasil kerja algoritma organik dalam otak manusia.

David Cope, profesor musikologi dari University of California, Santa Cruz, membuktikan ini melalui proyeknya EMI (Experiments in Musical Intelligence). EMI adalah program komputer yang diprogram untuk menciptakan komposisi musik baru dalam gaya para komponis klasik. Ia memproses ribuan partitur Bach, lalu mengembangkan kemampuan untuk membuat karya-karya baru yang terdengar seperti hasil pena sang maestro.

Dalam satu eksperimen, Cope memperdengarkan komposisi EMI di hadapan audiens yang tidak tahu siapa penciptanya. Mereka menyebutnya “menyentuh”, “otentik”, bahkan “transenden”. Ketika diungkap bahwa musik itu disusun oleh algoritma, sebagian terkejut, bahkan marah. Rasa ‘tertipu’ muncul karena mereka telah menghubungkan emosi mendalam mereka dengan entitas yang tak punya kesadaran atau niat artistik.

Namun justru di situlah pelajaran pentingnya: jika algoritma bisa meniru ekspresi emosi manusia dengan sangat meyakinkan, apakah penting siapa penciptanya? Apakah seni adalah soal siapa yang menciptakan, atau apa yang dirasakan oleh pendengar?

EPILOG: MANUSIA DAN LEGASI OTORITAS YANG RETAK

Dalam dunia yang disusun oleh algoritma, manusia kehilangan monopoli atas otoritas profesional, estetis, bahkan moral. Keputusan klinis, kebijakan korporasi, dan komposisi seni — semuanya bisa dipelajari dan dikuasai oleh entitas yang tidak bernyawa, tidak berjiwa, namun sangat cerdas dan sangat efisien.

Organisme, kata Harari, adalah algoritma. Dan jika itu benar, maka tidak ada alasan teoretis mengapa algoritma non-organik tidak bisa melakukan hal-hal yang sama — atau lebih baik. Maka, profesi-profesi yang dulu diasosiasikan dengan keunikan manusia, dari dokter hingga komponis, sedang menghadapi ujian eksistensial.

Sejarah manusia, yang selama ribuan tahun didominasi oleh homo sapiens sebagai puncak kecerdasan dan otoritas, kini mulai retak. Dari ruang praktik kedokteran, ruang rapat korporasi, hingga panggung konser simfoni, algoritma mulai mengambil alih — tidak dengan paksa, tetapi dengan logika yang dingin namun memikat: efisiensi, akurasi, dan skalabilitas.

Dan dalam dunia yang makin diatur oleh efisiensi, mungkin yang paling harus kita pertanyakan bukan “apa yang bisa dilakukan algoritma?”, melainkan “apa yang masih layak dilakukan oleh manusia?”

AOS

No comments:

Post a Comment