Monday, August 26, 2019

Drama Manusia di Panggung Dunia: Antara Liberalisme, Buddhisme, dan Penderitaan sebagai Realitas Terakhir

Dalam sejarah panjang pencarian makna, manusia senantiasa terlibat dalam drama besar yang menempatkan dirinya sebagai tokoh utama di panggung kosmos. Di masa lalu, mitologi dan agama-agama besar memberi kerangka naratif bagi kehidupan manusia—dari penciptaan hingga kiamat, dari surga hingga neraka. Namun, memasuki era modern, terutama setelah pencerahan dan revolusi ilmiah, fondasi-fondasi narasi kosmik mulai digugat. Salah satu doktrin yang lahir dari era ini adalah Liberalisme, yang dalam bentuk paling radikalnya, tidak hanya menolak narasi besar dari luar manusia (seperti kehendak Tuhan atau hukum alam yang final), tetapi juga memberikan wewenang mutlak kepada manusia untuk menciptakan sendiri makna hidupnya.

Bagi para pemikir liberal seperti John Stuart Mill, Thomas Jefferson, hingga tokoh kontemporer seperti Steven Pinker, manusia adalah makhluk rasional yang memiliki hak untuk menentukan nasib dan kebahagiaannya. Dunia, dalam pandangan ini, tidak memiliki alur atau tujuan yang sudah ditentukan—sebaliknya, manusialah yang diberi peran sebagai pengarang dari kisah hidupnya sendiri. Dalam masyarakat liberal, kebebasan individu menjadi nilai tertinggi: Anda bebas menciptakan narasi Anda sendiri, bahkan jika itu bertentangan dengan tradisi, agama, atau budaya. Dalam narasi ini, panggung dunia adalah tempat terbuka, dan manusia menjadi sutradara serta aktor sekaligus.

Namun, kontras yang mencolok muncul ketika kita membandingkan pandangan ini dengan tradisi Buddhisme kuno. Ajaran Siddhartha Gautama, Sang Buddha, bukan hanya menolak narasi kosmik, tetapi juga menolak validitas dari narasi batin dan identitas pribadi yang diciptakan oleh manusia sendiri. Dalam kerangka Buddhis, alam semesta tidak memiliki makna yang melekat, dan perasaan, pikiran, serta pengalaman manusia hanyalah fenomena yang muncul dan lenyap seperti gelembung udara di permukaan air. Mereka tidak memiliki esensi tetap, tidak dapat diandalkan, dan tidak membawa kepuasan yang sejati.

Tiga karakteristik utama dari eksistensi menurut Buddhisme—anicca (ketidakkekalan), anatta (ketiadaan diri), dan dukkha (penderitaan atau ketidakpuasan)—meruntuhkan ilusi bahwa ada sesuatu yang kekal dan bermakna dalam hidup ini. Ajaran ini menolak gagasan tentang Tuhan personal, jiwa abadi, atau tujuan kosmik. Sebaliknya, penderitaan dianggap sebagai akibat dari keterikatan terhadap gagasan-gagasan fiktif tentang diri dan dunia. Penelitian kontemporer dalam ilmu saraf dan psikologi mendukung sebagian dari pandangan ini: identitas personal ternyata merupakan konstruksi kompleks dari memori, narasi internal, dan umpan balik sosial—bukan entitas yang tetap atau konsisten sepanjang waktu.

Sang Buddha tidak menawarkan solusi berbasis pencarian makna, melainkan pembebasan dari penderitaan melalui pengamatan langsung terhadap realitas sebagaimana adanya. Jalan tengah yang diajarkannya (Majjhima Patipada) menuntun pada pelepasan dari keinginan dan ilusi, bukan pada penciptaan narasi baru. Saat seseorang bertanya, "Apa yang harus saya lakukan?", jawaban Buddha yang terkenal adalah: "Jangan lakukan apa-apa—sama sekali tidak ada." Ini bukan anjuran untuk apatis, tetapi undangan untuk diam dan mengamati batin tanpa intervensi ego atau cerita. Karena, bahkan ketika tubuh kita diam, pikiran kita tetap sibuk menciptakan drama—tentang siapa kita, apa yang harus kita capai, dan mengapa hidup ini penting.

Sejarawan dan pemikir kontemporer Yuval Noah Harari, dalam karyanya Sapiens dan Homo Deus, menggemakan kritik Buddha dalam bentuk sekuler. Ia menulis bahwa manusia adalah makhluk pencipta narasi, dan itulah kekuatannya. Kemampuan manusia menciptakan dan mempercayai fiksi—dari agama hingga negara, dari sistem keuangan hingga ideologi—telah memungkinkan kerjasama dalam skala besar. Namun, Harari juga memperingatkan: karena begitu bergantung pada fiksi, manusia menjadi buruk dalam membedakan antara cerita dan kenyataan. Hal ini berbahaya, karena keterikatan pada fiksi yang kita anggap "suci" sering kali menjadi sumber konflik, ilusi, dan penderitaan kolektif.

Baginya, pertanyaan besar yang seharusnya kita ajukan bukanlah “Apa makna hidup?”, melainkan, “Bagaimana kita bisa keluar dari penderitaan?” Di sinilah Harari sejalan dengan Buddha: jika kita mampu melihat kenyataan tanpa diselimuti fiksi, jika kita mampu menatap langsung sifat dasar dari pengalaman manusia—ketidakkekalan, ketiadaan esensi, dan ketidakpuasan—maka kita bisa menemukan pembebasan. Namun, seperti yang ia akui sendiri, ini jauh lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

Dari sudut pandang ilmiah, penelitian terbaru dalam neurosains afektif (affective neuroscience) dan psikologi eksistensial mendukung gagasan bahwa penderitaan sering kali berasal bukan dari kejadian itu sendiri, tetapi dari narasi yang kita ciptakan tentang kejadian tersebut. Sebagai contoh, dalam terapi kognitif, individu diajarkan untuk mengamati pikirannya sendiri tanpa langsung mempercayai atau melekat padanya. Prinsip ini sangat dekat dengan praktik mindfulness dalam Buddhisme, yang kini terbukti secara empiris membantu mengurangi stres, depresi, dan kecemasan.

Meski begitu, kebutuhan manusia akan makna belum menghilang. Dalam masyarakat modern yang semakin terfragmentasi, banyak orang justru mengalami krisis makna, yang disebut Viktor Frankl sebagai "kehampaan eksistensial". Ini menunjukkan bahwa bagi sebagian besar manusia, melepaskan narasi hidup sama menyakitkannya dengan kehilangan nyawa itu sendiri. Oleh karena itu, ada ketegangan abadi antara dua jalan: menciptakan makna sebagai bentuk perlawanan terhadap absurditas, atau melepaskan segala bentuk makna demi kebebasan batin.

Akhirnya, apakah kita memilih menjadi dramawan yang terus menulis kisah hidup, atau menjadi pengamat sunyi yang membiarkan kisah itu lenyap seperti bayangan di air, keduanya adalah pilihan eksistensial. Namun, sebagaimana ditegaskan Harari dalam sebuah wawancara, “Jika Anda sungguh ingin tahu mana yang nyata dan mana yang fiksi, mulailah dari penderitaan. Karena tidak peduli apa agama atau ideologi Anda, satu hal yang paling nyata di dunia ini adalah penderitaan.”

Dengan kesadaran itu, mungkin drama terbesar manusia bukanlah tentang menaklukkan dunia atau mengukir makna, tetapi bagaimana mengakhiri penderitaan yang kita ciptakan sendiri—melalui keterikatan pada narasi, identitas, dan ilusi yang tak pernah selesai kita perankan di panggung dunia.

AOS

No comments:

Post a Comment