Sebaliknya, Eropa masih berada di pinggiran dunia yang lebih luas. Ia terdiri atas kerajaan-kerajaan kecil dan bersaing yang belum mampu bersatu atau melampaui kekuatan Asia dalam skala global. Wilayahnya sering dilanda konflik internal, peperangan agama, dan fragmentasi kekuasaan. Bahkan secara militer, armada laut Asia seperti Junk raksasa Tiongkok milik Laksamana Cheng Ho jauh lebih besar dan canggih daripada kapal-kapal Eropa pada waktu yang sama.
Namun, titik balik sejarah terjadi pada akhir abad ke-15. Didukung oleh kemajuan dalam teknologi navigasi, kartografi, dan inovasi maritim seperti kompas, astrolab, dan kapal karavel, Eropa mulai mengekspansi ke luar benua. Motif awalnya campuran: mencari jalur dagang baru ke Timur, menyebarkan agama Kristen, dan memperoleh emas serta rempah-rempah. Penaklukan Dunia Baru oleh Spanyol dan Portugis menjadi loncatan besar: hanya dalam beberapa dekade setelah pelayaran Kolumbus pada 1492, Kekaisaran Spanyol telah menguasai Amerika Tengah dan Selatan, sementara Portugis mendirikan pos perdagangan penting dari Afrika Barat hingga India dan Malaka.
Ketidakhadiran Asia: Kebetulan Sejarah atau Pilihan Politik?
Salah satu alasan Eropa berhasil mendominasi kawasan dunia baru seperti Amerika adalah karena kekuatan-kekuatan Asia saat itu tidak memiliki minat atau motif yang sama. Dinasti Ming, misalnya, setelah ekspedisi maritim megah Laksamana Zheng He (1405–1433), secara tiba-tiba menghentikan ekspansi laut dan berfokus pada stabilitas internal. Hal ini bukan karena keterbelakangan teknologi, melainkan karena keputusan politik konservatif yang dipengaruhi oleh kaum birokrat Konfusianis, yang memandang ekspansi luar negeri sebagai penghambur sumber daya.
Demikian pula, Kesultanan Utsmani (Osmani) di Timur Tengah dan Laut Tengah lebih fokus pada stabilitas regional dan konfrontasi dengan Eropa di Balkan dan Mediterania, daripada menjelajah Samudera Atlantik. Kesultanan Mughal di India menikmati kemakmuran luar biasa melalui pertanian dan perdagangan regional tanpa urgensi untuk ekspansi laut jarak jauh. Sementara itu, Dinasti Safawi di Persia terperangkap dalam konflik berkepanjangan dengan Utsmani dan tidak membangun kekuatan maritim signifikan.
Ketidakterlibatan Asia dalam eksplorasi laut dalam skala global ini membuka celah sejarah yang dimanfaatkan Eropa dengan agresif. Sebagaimana ditulis Kenneth Pomeranz dalam The Great Divergence (2000), keberhasilan Eropa bukan hanya karena "superioritas internal", tetapi karena akses eksklusif terhadap sumber daya global baru, seperti tambang perak Potosà di Bolivia dan kolonisasi Amerika.
Periode antara 1750 hingga 1850 menandai transformasi dramatis tatanan dunia. Dalam waktu kurang dari satu abad, negara-negara Eropa tidak hanya berhasil menjelajahi dan berdagang, tetapi juga menaklukkan secara militer dan mengendalikan sistem politik dan ekonomi global.
-
India ditaklukkan secara bertahap oleh British East India Company, dimulai dari Pertempuran Plassey (1757) hingga menjadi koloni penuh pada 1858.
-
Tiongkok dipaksa membuka pelabuhan dan pasar melalui serangkaian kekalahan dalam Perang Candu (1839–1842, 1856–1860), yang mempermalukan Dinasti Qing.
-
Asia Tenggara, dari Indonesia hingga Indochina, jatuh ke tangan kolonial Belanda, Prancis, dan Inggris.
-
Afrika, dalam waktu relatif singkat pada akhir abad ke-19 (dikenal sebagai “Scramble for Africa”), dibagi-bagi oleh kekuatan Eropa di bawah dalih misi peradaban dan eksploitasi ekonomi.
Pada tahun 1900, Eropa, meskipun hanya dihuni sekitar 25% populasi dunia, mengendalikan lebih dari 80% wilayah permukaan bumi secara langsung atau melalui pengaruh imperialis. Dominasi ini tidak hanya militer dan politik, tetapi juga ideologis dan budaya. Bahasa, sistem hukum, teknologi, sains, dan sistem pendidikan Eropa menyebar ke seluruh dunia, menciptakan apa yang disebut sebagai tatanan global modern.
Ekonomi dunia juga bertransformasi. Pada tahun 1820, menurut Maddison, Asia masih menyumbang sekitar 60% dari PDB global. Namun pada tahun 1950, porsi ini telah anjlok drastis. China hanya menyumbang sekitar 5%, sementara India sekitar 4%. Sebaliknya, Eropa Barat dan Amerika Utara bersama-sama menguasai lebih dari 60% dari total output ekonomi dunia.
Modernitas sebagai Proyek Eropa
Eropa tidak hanya menguasai wilayah dan kekayaan, tetapi juga mengendalikan narasi tentang modernitas itu sendiri. Konsep-konsep seperti negara-bangsa, hukum internasional, kapitalisme industri, sains empiris, dan pendidikan massal semuanya berasal dari proyek modernitas Eropa. Lembaga-lembaga global yang masih ada hingga kini—dari PBB, WTO, hingga IMF—mewarisi kerangka berpikir ini.
Namun dominasi Eropa bukanlah hasil dari keunggulan esensial budaya atau ras, sebagaimana dulu dipropagandakan kaum kolonialis, melainkan produk interaksi kompleks antara kesempatan sejarah, inovasi teknologi, dan eksploitasi sistemik. Imperialisme tidak sekadar ekspansi kekuasaan, tapi juga proses penciptaan ketimpangan global yang berlangsung hingga kini.
Kejatuhan dan Kembalinya Asia?
Setelah dua Perang Dunia, dominasi Eropa perlahan memudar, digantikan oleh hegemoni baru: Amerika Serikat. Namun kini, dalam abad ke-21, Asia perlahan kembali ke panggung utama sejarah dunia. Tiongkok, misalnya, telah melampaui AS dalam PDB riil paritas daya beli (PPP) menurut IMF (2023), dan memimpin dalam beberapa bidang teknologi serta perdagangan global.
Sejarah global bukanlah garis lurus menuju satu arah. Peradaban naik dan turun, bergeser dan bertransformasi. Dominasi Eropa dalam tiga abad terakhir bukanlah akhir cerita, melainkan satu bab dalam narasi panjang peradaban manusia.
AOS
No comments:
Post a Comment