Thursday, August 22, 2019

UANG, NILAI, & KEPERCAYAAN

Kesejahteraan bisa berubah menjadi kekuasaan ketika seorang eksekutif perusahaan menggunakan penghasilannya untuk memengaruhi legislator — atau untuk mendanai kampanye politik demi mengatur ulang regulasi yang menguntungkan dirinya.

Bahkan keselamatan bisa dijual dalam bentuk citra suci, seperti yang terjadi di Eropa abad ke-16 ketika umat Katolik membeli indulgensi demi menebus dosa-dosa mereka, dan gereja memonetisasi ketakutan akan neraka sebagai sumber pemasukan institusional.

Uang bukan hanya alat tukar; ia adalah revolusi konseptual yang memungkinkan masyarakat membangun bentuk realitas simbolik yang hidup sepenuhnya dalam struktur sosial dan psikologis kita. Nilai uang tidak terletak pada materi fisiknya, melainkan pada konsensus kolektif bahwa benda itu bernilai.

Uang bisa didefinisikan sebagai sarana universal yang disepakati bersama untuk merepresentasikan nilai, guna memfasilitasi pertukaran barang dan jasa secara efisien. Ia mempercepat perbandingan, meringkas kekayaan, dan memungkinkan distribusi sumber daya lintas ruang dan waktu. Tanpa uang, ekonomi kompleks seperti sekarang tidak akan mungkin muncul.

Sebelum mata uang logam dikenal luas, masyarakat telah menggunakan berbagai bentuk proto-uang: dari obsidian dan gigi hewan di zaman batu, hingga tembakau di koloni Amerika, dan bahkan batu rai raksasa di Pulau Yap, Mikronesia. Nilai mereka berasal dari kelangkaan, kesulitan produksi, atau legitimasi sosial.

Baik koin emas maupun uang kertas tidak memiliki nilai intrinsik. Tidak ada yang secara alamiah ‘berharga’ dalam logam mulia atau lembaran serat kapas dan tinta. Yang menjadikannya berharga adalah kesepakatan sosial yang terus-menerus diperbarui — sebuah ilusi kolektif yang luar biasa tahan lama. Uang adalah pikiran yang dikristalkan dalam bentuk fisik, bukan benda itu sendiri.

Apa yang membuat uang dapat berfungsi? Kepercayaan. Dan bukan hanya kepercayaan pribadi, melainkan kepercayaan sistemik: kita yakin bahwa orang lain juga percaya. Itulah kekuatan kepercayaan reflektif — kita mempercayai bahwa orang lain mempercayai. Inilah fondasi psikologis dari seluruh sistem ekonomi global.

Uang adalah sistem kepercayaan paling luas dan tahan lama dalam sejarah manusia. Ia menyatukan manusia lintas budaya dan peradaban. Tapi kepercayaan ini tidak muncul begitu saja; ia dibangun melalui sejarah panjang perjanjian sosial, konsolidasi kekuasaan politik, dan stabilitas institusional.

Uang kertas Amerika Serikat, misalnya, hanya selembar kertas yang dicetak oleh Bureau of Engraving and Printing, namun bernilai karena didukung oleh kredibilitas ekonomi dan politik negara adidaya. Frasa “In God We Trust” adalah simbol bahwa kepercayaan religius dan kepercayaan moneter sering berjalan berdampingan — meski keduanya berdasar pada jenis iman yang berbeda.

Sejarah mencatat bahwa bentuk paling awal dari uang — sistem barley money — digunakan di Mesopotamia kuno sekitar 3000 SM. Nilai ditentukan berdasarkan volume jelai, yang berfungsi sebagai satuan standar dalam transaksi ekonomi dan sistem pajak negara-kota Sumeria. Pada saat yang sama, tulisan paku berkembang untuk mencatat utang, kontrak, dan transaksi.

Sekitar 640 SM, kerajaan Lidia di Asia Kecil menciptakan uang logam pertama dengan standar berat dan kadar logam mulia tertentu. Koin-koin itu membawa lambang kerajaan yang berfungsi sebagai jaminan. Sejak itu, uang bukan hanya alat tukar, tapi juga pernyataan kekuasaan dan identitas politik.

Pada zaman Kekaisaran Romawi, sistem moneter mencapai skala internasional. Denarius Romawi beredar dari Inggris hingga India. Ketika raja-raja lokal mencetak koin mereka sendiri, mereka sering meniru desain Romawi, menunjukkan sejauh mana kepercayaan terhadap sistem moneter bisa melampaui batas geopolitik. Dunia Muslim mengadaptasi sistem ini melalui dinar, dan banyak negara Islam kontemporer masih mempertahankan nama ini dalam mata uang mereka.

Melalui eksplorasi, kolonialisme, dan perdagangan global, sistem uang berbasis logam mulia menyebar ke seluruh dunia. Pada abad ke-19, Standar Emas diterapkan secara luas, menciptakan sistem moneter global yang relatif stabil hingga awal abad ke-20. Mata uang seperti Pound Sterling dan Dolar AS mengambil alih peran emas sebagai jangkar nilai, berkat kepercayaan yang ditopang kekuatan militer, ekonomi, dan diplomasi negara-negara tersebut.

Manusia bisa berbeda bahasa, budaya, kepercayaan, dan bahkan nilai moral — tetapi bisa sepakat tentang harga satu kilogram gandum atau sebatang emas. Dalam hal ini, uang adalah bahasa universal yang paling efisien. Perdagangan lintas benua, investasi lintas negara, dan bahkan filantropi global hanya mungkin terjadi karena adanya sistem kepercayaan ini.

Sementara agama mendesak manusia untuk mempercayai dogma tertentu, uang hanya membutuhkan satu jenis iman: keyakinan bahwa sistem tidak akan runtuh. Ia tidak peduli apakah kita Kristen, Muslim, Hindu, ateis, atau animis — selama kita percaya bahwa nilai nominal itu akan diterima orang lain esok hari.

Selama berabad-abad, para filsuf dan agamawan memperingatkan bahwa uang adalah akar segala kejahatan. Tapi ironi sejarah menunjukkan bahwa justru uanglah yang memungkinkan manusia bekerja sama secara damai dan produktif dalam skala besar, melintasi batas ideologis, etnis, dan religius. Ia adalah mediator yang netral namun ampuh dalam dunia yang penuh perbedaan.

Uang, dalam pengertian ini, adalah produk tertinggi dari kecerdasan sosial manusia. Ia adalah jembatan antara pikiran dan dunia nyata — dan tanpa jembatan ini, peradaban seperti yang kita kenal tidak akan pernah eksis.

#UangAdalahCeritaKita

AOS

No comments:

Post a Comment