Di tengah arus zaman yang serba cepat dan gaduh, keheningan bukanlah pelarian, tetapi ruang pemulihan. Ia memberi kita jarak untuk menatap dunia dari luar kebisingan yang membutakan. Keheningan dan kesendirian menjadi pelindung terakhir agar kita tidak sepenuhnya terbenam dalam tekanan global: krisis kemanusiaan, konflik antargolongan, penderitaan ekonomi, dan kemarahan yang meletup-letup di ruang digital. Dalam hening, kita mulai menyadari betapa mudahnya manusia terjebak dalam siklus kebencian dan betapa sulitnya mendengarkan dengan hati yang terbuka.
Di ruang maya, kita menyaksikan pertarungan wacana yang semakin membelah: antara "kami" dan "mereka", antara "yang benar" dan "yang sesat", antara "kelompokku" dan "kelompokmu". Tak ada ruang untuk akomodasi, apalagi empati. Yang tersisa hanyalah perlombaan untuk menang, bukan memahami. Di tengah polarisasi semacam itu, di mana suara yang paling nyaring dianggap sebagai kebenaran, kita kehilangan kemampuan untuk mendengar yang sunyi—suara dari mereka yang berbeda pandangan, dari mereka yang mungkin tak sepenuhnya setuju, namun punya maksud baik.
Dunia ini terlalu kompleks untuk ditangani dengan kepongahan. Kita tidak mungkin menemukan solusi untuk persoalan-persoalan besar bangsa jika kita tidak bersedia menanggalkan ego kita, meski hanya sesaat. Prinsip atau pendapat, sebaik apa pun, tidak berarti jika membuat kita menjadi pribadi yang tidak baik—yang tidak toleran, tidak terbuka, dan tidak berbelas kasih. Sesungguhnya, bukan perbedaan yang melukai, melainkan ego yang menolak untuk memahami.
Ego, seperti telah sering dikatakan oleh para pemikir besar, adalah akar dari penderitaan manusia. Ia menjadikan kita tawanan dari hasrat untuk diakui, untuk selalu benar, dan untuk menang atas yang lain. Selama kita tidak mampu melampaui ego, selama kita terikat pada identitas kelompok yang sempit, maka kita akan terus menjadi bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi.
Maka, barangkali yang kita butuhkan bukan lagi lebih banyak suara, tetapi lebih banyak keheningan. Bukan lebih banyak opini, tetapi lebih banyak jeda untuk merenung. Dari keheningan itu, kita bisa belajar kembali menjadi manusia yang utuh: yang mampu mendengarkan tanpa menghakimi, yang mampu menyikapi perbedaan dengan empati, dan yang mampu berdiri di atas prinsip tanpa harus menginjak martabat orang lain.
Dalam dunia yang semakin bising dan terpolarisasi, hening bukanlah kelemahan. Ia adalah keberanian untuk tidak larut, dan kearifan untuk tetap waras di tengah kegilaan.
AOS
No comments:
Post a Comment