Wednesday, August 21, 2019

DARI INDIVIDU KE DIVIDUAL: Mitos Kesatuan Diri dalam Era Bio-Algoritma

Selama berabad-abad, fondasi dari sistem moral, politik, dan hukum di dunia modern — khususnya dalam tradisi liberalisme — adalah keyakinan bahwa manusia adalah makhluk individu yang utuh, unik, dan tak terbagi. Ide tentang individualitas ini mendasari pemikiran bahwa setiap orang memiliki suara batin yang autentik, semacam pusat kendali yang merupakan dirinya yang sejati. Dalam sistem liberal, suara itu — yang kita sebut “hati nurani” atau “diri autentik” — menjadi sumber dari nilai-nilai, makna hidup, dan hak-hak asasi. Siapa pun tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada individu, karena hanya individu itu sendiri yang tahu apa yang terbaik bagi dirinya.

Namun, seiring dengan kemajuan revolusioner dalam biologi evolusioner, ilmu saraf, dan psikologi kognitif, kita mulai menyadari bahwa narasi ini bukanlah cerminan realitas biologis, melainkan sebuah mitologi budaya. Sebuah cerita yang diciptakan agar manusia dapat membentuk masyarakat dan hukum, namun tidak bertumpu pada mekanisme kerja otak dan tubuh yang sebenarnya.

Tubuh dan Pikiran: Konglomerat Biologis yang Dinamis

Tubuh manusia terdiri dari sekitar 37 triliun sel, dan bahkan lebih banyak mikroorganisme (sekitar 39 triliun bakteri) yang hidup di dalam dan di atas tubuh kita — suatu ekosistem yang rumit, bukan unit tunggal. Pikiran kita pun tidak lebih sederhana. Otak manusia adalah jaringan kompleks yang tersusun atas sekitar 86 miliar neuron, yang membentuk sirkuit-sirkuit yang terus berubah karena pengalaman, lingkungan, dan bahkan mikrobioma usus. Diri kita adalah hasil interaksi kompleks antara berbagai subsistem saraf dan hormonal yang seringkali tidak sepakat satu sama lain.

Neurosains kini menunjukkan bahwa tidak ada satu pusat kendali tunggal dalam otak — tidak ada “kapten” yang duduk di ruang kendali dan membuat keputusan. Sebaliknya, keputusan kita muncul dari kompetisi internal antara berbagai modul kognitif yang bersaing, seperti sistem emosional, sistem rasional, sistem impulsif, dan memori jangka pendek. Hasil akhirnya adalah kompromi yang dinamis, bukan suara tunggal dari “diri sejati”.

Daniel Kahneman, peraih Nobel dalam ekonomi perilaku, menyebut ini sebagai konflik antara System 1 (insting cepat dan emosional) dan System 2 (analitik lambat dan rasional). Dalam banyak kasus, kita berpikir bahwa kita membuat keputusan secara sadar dan rasional — padahal banyak pilihan kita berasal dari proses bawah sadar yang sudah terjadi sebelum kita menyadarinya. Dalam eksperimen klasik yang dilakukan oleh Benjamin Libet pada 1980-an, terbukti bahwa aktivitas otak yang menunjukkan seseorang akan mengambil keputusan terjadi ratusan milidetik sebelum subjek merasa “sadar” telah memilih.

Diri yang Terpecah: Kita Bukan “Saya”, Tapi “Kami”

Maka, jika kita benar-benar “melihat ke dalam diri”, seperti nasihat kaum liberal, yang kita temukan bukanlah suara tunggal dan jernih dari “diri sejati”. Sebaliknya, kita mendapati hiruk-pikuk berbagai suara, dorongan yang saling bertentangan, dan hasrat yang berubah dari waktu ke waktu. Ada bagian dari kita yang ingin diet, tapi ada bagian lain yang ingin makan cokelat. Ada yang ingin tidur, tapi ada juga yang ingin menonton video sampai jam 3 pagi. Bahkan memori kita bukan catatan yang konsisten: studi Elizabeth Loftus dan psikolog lainnya menunjukkan bahwa memori sangat mudah dimanipulasi dan dibentuk ulang — termasuk oleh cerita-cerita yang kita ceritakan kepada diri kita sendiri.

Fakta ini membuat banyak ilmuwan dan filsuf kontemporer mulai berbicara bukan lagi tentang individu, tetapi tentang “dividual” — makhluk yang tidak utuh dan tunggal, melainkan terdiri dari potongan-potongan modul, kepribadian, dan keinginan yang saling bersaing dan berubah seiring waktu. Dalam bahasa sains kehidupan, manusia adalah algoritma biologis yang terdiri dari ribuan sub-algoritma yang masing-masing mengurusi aspek spesifik seperti rasa lapar, deteksi ancaman, orientasi seksual, identifikasi sosial, dan sebagainya.

Kita bukan satu “aku”, tetapi kumpulan banyak “aku kecil” yang kadang bersatu, kadang bertikai, dan sering berkonflik. Dalam praktik kejiwaan pun ini diakui: orang bisa memiliki kondisi seperti dissociative identity disorder (kepribadian ganda), tapi sejatinya kita semua memiliki beragam versi diri yang muncul bergantian tergantung konteks, lingkungan, dan kondisi fisiologis.

Implikasi Etika dan Politik

Pergeseran dari “individu” ke “dividual” bukan sekadar soal kosakata — ini punya konsekuensi luas bagi sistem politik, hukum, dan moral yang dibangun di atas kepercayaan pada kehendak bebas dan otoritas individu.

Jika saya bukan makhluk yang utuh dan rasional, maka bagaimana saya bisa benar-benar memilih secara bebas? Jika keputusan saya bisa dipengaruhi oleh fluktuasi kadar serotonin atau iklan mikro-target di media sosial, apakah saya masih memiliki kedaulatan diri? Inilah yang mengganggu fondasi dari demokrasi liberal, ekonomi konsumen, dan sistem hukum pidana.

Di sisi lain, jika perusahaan teknologi dan negara mulai mengenali manusia sebagai dividual yang dapat dimanipulasi melalui algoritma, maka kekuatan yang sebelumnya hanya dimiliki oleh filsuf atau imam, kini berpindah ke tangan engineer dan data scientist. Mereka tidak lagi perlu menghukum tubuh manusia, cukup memodifikasi arsitektur psikologisnya melalui antarmuka digital.

Selamat Datang di Era Manusia Terfragmentasi

Dunia lama mengenal manusia sebagai makhluk yang stabil, utuh, dan sadar — sebagai subjek hukum dan moral yang bertanggung jawab penuh atas dirinya. Namun sains kehidupan membuka babak baru: kita adalah sistem terbuka yang berubah terus-menerus, rapuh, dan penuh konflik internal.

Apa artinya menjadi manusia di era algoritma, ketika kita tidak lagi bisa mengatakan dengan pasti siapa sebenarnya “aku”? Mungkin jawabannya justru terletak pada pengakuan bahwa “aku” tidak pernah tunggal, dan bahwa memahami kompleksitas diri adalah langkah pertama menuju kehidupan yang lebih realistis, alih-alih idealistik.

Kita bukan individu yang otonom dan stabil — kita adalah dividual, makhluk kompleks yang dijalin oleh miliaran proses biologis dan sosial yang saling bersaing. Dan hanya dengan memahami kerapuhan ini, kita bisa mulai merancang sistem sosial, ekonomi, dan teknologi yang tidak membebani kita dengan mitos individualisme, tapi merespons kenyataan yang lebih dalam tentang siapa kita sebenarnya.

AOS

No comments:

Post a Comment