Thursday, August 22, 2019

Sains dan Agama: Dari Konflik Kosmologis Menuju Dialog Kritis

Sekitar empat abad yang lalu, hubungan antara sains dan agama memasuki fase ketegangan yang mendalam. Konflik ini sebagian besar dipicu oleh perubahan paradigma kosmologis yang menggeser posisi manusia dari pusat alam semesta. Penemuan astronomis Nicolaus Copernicus pada abad ke-16, yang menempatkan Matahari sebagai pusat tata surya dalam model heliosentris, secara simbolik mengguncang fondasi teologis geosentrisme yang selama berabad-abad menduduki posisi doktrinal utama dalam Kekristenan.

Perubahan ini tidak berhenti pada tataran astronomi. Pada abad ke-19, Charles Darwin melalui On the Origin of Species (1859) memperkenalkan teori evolusi melalui seleksi alam, yang menghapus kebutuhan akan penciptaan langsung manusia oleh Tuhan sebagai mahkota ciptaan. Pandangan ini menggeser posisi manusia dari ciptaan yang bersifat unik dan transenden menjadi bagian dari proses biologis yang tidak memiliki arah atau tujuan yang ditentukan secara ilahi. Historikus sains seperti John William Draper dan Andrew Dickson White bahkan menyatakan bahwa sejarah hubungan sains dan agama ditandai oleh konflik yang tak terhindarkan antara otoritas teologis dan penalaran ilmiah — sebuah tesis yang kemudian dikenal sebagai "teori konflik".

Dampak revolusi ini menciptakan krisis makna bagi sebagian besar masyarakat religius: alam semesta tidak lagi terlihat sebagai tatanan yang dirancang secara teleologis dengan manusia sebagai pusatnya, melainkan sebagai sistem fisik yang berjalan berdasarkan hukum-hukum impersonal. Filosof seperti Albert Camus dan Jean-Paul Sartre menyebut kondisi ini sebagai absurditas eksistensial — kenyataan bahwa hidup tidak memiliki makna objektif kecuali yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Etos ini, yang bersumber dari pemahaman ilmiah dan filsafat eksistensialis, telah menjadi semacam leitmotif dalam pandangan modern tentang kosmos dan tempat manusia di dalamnya.

Kondisi ini memicu munculnya ketegangan yang lebih luas dalam budaya populer: sains mulai dipandang sebagai kekuatan yang “mendepersonalisasi” manusia, mengasingkan mereka dari alam semesta yang dahulu dianggap sebagai rumah rohani yang hangat. Sebuah survei oleh Pew Research Center (2015) menunjukkan bahwa 59% masyarakat Amerika Serikat menganggap bahwa sains dan agama seringkali berkonflik, meskipun banyak ilmuwan sendiri melihat keduanya dapat koeksis.

Namun demikian, dalam beberapa dekade terakhir, muncul berbagai upaya untuk menyeimbangkan narasi ini. Konsep akomodasiisme, sebagaimana dikemukakan oleh Stephen Jay Gould melalui gagasan “Non-Overlapping Magisteria” (NOMA), menyatakan bahwa sains dan agama memiliki wilayah otoritas yang berbeda — sains dalam ranah fakta empiris, dan agama dalam ranah nilai dan makna. Meskipun pendekatan ini menuai kritik dari kedua belah pihak, ia mencerminkan usaha untuk menciptakan dialog yang lebih produktif daripada sekadar pertentangan.

Dengan demikian, narasi yang menyatakan bahwa sains semata-mata “mengecilkan” atau “menyepelekan” manusia tidak sepenuhnya tepat. Justru, melalui pemahaman kosmologis dan biologis yang lebih luas, manusia diberi kesempatan untuk merefleksikan kembali makna eksistensinya secara lebih mendalam — bukan sebagai pusat semesta secara fisik, tetapi sebagai entitas yang mampu memahami hukum-hukum yang mengatur alam raya itu sendiri. Seperti dikatakan Carl Sagan, “Kita adalah cara bagi alam semesta untuk mengenal dirinya sendiri.”

AOS

No comments:

Post a Comment