Wednesday, August 21, 2019

DEMOCRASI TANPA SUARA: KETIKA ALGORITMA MEMILIH UNTUK KITA

Di jantung gagasan demokrasi liberal terletak satu asumsi mendalam: bahwa manusia adalah makhluk sadar diri, yang tahu apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rasakan, dan karena itu, tahu apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Ketika seseorang memasuki bilik suara pada hari pemilihan umum, sistem demokrasi meyakini bahwa tindakan memilih adalah ekspresi paling otentik dari kehendak individu — penyaluran suara yang mencerminkan kebutuhan, preferensi, dan keyakinan terdalam seseorang. Namun, di era algoritma dan bioteknologi, postulat ini semakin dipertanyakan secara mendasar.

Ilusi Otonomi dalam Kotak Suara

Mari kita mulai dari tempat yang paling sakral dalam sistem demokrasi: bilik suara. Ketika Anda berdiri di sana, di balik tirai privat, hendak mencontreng nama calon legislatif atau presiden, Anda diyakinkan bahwa suara itu adalah hasil dari perenungan mendalam — produk dari refleksi pribadi selama bertahun-tahun, dari pengalaman hidup, prinsip moral, hingga harapan masa depan. Tetapi sains kognitif dan psikologi evolusioner memberikan gambaran yang jauh lebih kompleks dan suram.

Penelitian menunjukkan bahwa keputusan pemilu seringkali didorong oleh impuls sesaat, bias memori, dan pengaruh emosional yang bersifat temporer. Dalam praktiknya, banyak orang tidak benar-benar mengingat atau mengevaluasi seluruh kebijakan atau tindakan partai yang mereka pilih selama lima tahun terakhir. Yang lebih berpengaruh justru adalah kejadian-kejadian dalam minggu-minggu terakhir menjelang pemilu: iklan politik, pemberitaan media, slogan populis, dan pencitraan kandidat.

Lebih dari itu, partai politik dan kandidat petahana sudah sangat mahir dalam memanfaatkan psikologi pemilih. Mereka melancarkan kampanye yang terukur secara algoritmik — menciptakan kombinasi sempurna antara janji manis, narasi ketakutan, serta potongan-potongan kebijakan populer yang ditujukan untuk merangsang pusat reward system dalam otak kita. Misalnya, pemangkasan pajak menjelang pemilu mungkin cukup untuk membuat pemilih mengabaikan empat tahun ketidakadilan sosial atau krisis ekologi yang diabaikan.

Dari Kotak Suara ke Kotak Data

Dalam kondisi seperti ini, muncul pertanyaan provokatif: apakah kita benar-benar tahu apa yang terbaik untuk diri kita sendiri? Atau akankah kita suatu hari menyerahkan hak suara itu kepada entitas yang lebih tahu — bukan karena mereka lebih bermoral, tetapi karena mereka lebih mengenal kita daripada kita mengenal diri sendiri?

Masukkan Geogle, sebutan metaforis yang menggabungkan algoritma dari Google, Facebook, dan entitas teknologi sejenis. Geogle tidak hanya tahu daftar kontak Anda, lokasi yang Anda kunjungi, dan video apa yang Anda tonton di malam hari. Ia juga tahu bagaimana tubuh Anda bereaksi terhadap berita politik tertentu, bagaimana tekanan darah Anda naik ketika membaca opini editorial, bagaimana level dopamin Anda melonjak saat menonton pidato kampanye tertentu.

Berbekal miliaran data biometrik, perilaku digital, serta pemetaan preferensi psikologis, Geogle memiliki kemampuan untuk tidak hanya menebak siapa yang akan Anda pilih, tetapi juga memutuskan siapa seharusnya Anda pilih — berdasarkan kepentingan jangka panjang Anda, kestabilan emosi Anda, dan rekam jejak moral serta kebijakan para kandidat.

Geogle tidak tertipu oleh retorika kampanye. Ia tidak tergoda oleh sentimen patriotik sesaat atau narasi nostalgia masa lalu. Ia menganalisis, menyaring, dan menghitung probabilitas terbaik dari jutaan skenario dan kemungkinan dampaknya terhadap kesejahteraan personal Anda. Dalam arti tertentu, Geogle adalah pemilih rasional absolut — dan Anda hanyalah titik data.

Studi Facebook dan Bangkrutnya Privasi

Sudah ada bukti-bukti empiris yang mendekatkan kita pada skenario ini. Sebuah studi besar yang dilakukan oleh para peneliti di Universitas Cambridge dan Stanford yang bekerja sama dengan Facebook (Kosinski et al., 2015), menunjukkan bahwa algoritma bisa menilai kepribadian seseorang hanya berdasarkan data like Facebook — lebih akurat dibandingkan teman sekamar, rekan kerja, hingga pasangan hidup.

Dengan hanya 10 likes, algoritma mengenal Anda lebih baik daripada rekan kerja biasa. Dengan 70 likes, ia bisa mengungguli teman Anda. Dengan 150 likes, ia melebihi akurasi saudara kandung. Dan dengan 300 likes, algoritma tahu lebih banyak tentang kepribadian Anda dibanding pasangan Anda sendiri.

Jika algoritma sudah bisa menilai kepribadian kita dengan tingkat akurasi tersebut, maka bukanlah langkah besar jika ia juga mampu memetakan pandangan politik, nilai-nilai moral, dan respons kita terhadap isu publik. Bahkan lebih jauh lagi, Facebook diketahui telah mampu mengidentifikasi kelompok pemilih mengambang (swing voters) di negara bagian tertentu di AS — misalnya di Oklahoma — dan mempersonalisasi pesan politik yang ditargetkan secara spesifik, berdasarkan preferensi individu yang terdeteksi dari aktivitas online mereka. Mereka bisa memberi tahu kandidat apa yang harus dikatakan, dengan nada dan emosi tertentu, untuk mempengaruhi sekelompok pemilih agar berpindah pilihan.

Yang paling mencengangkan: kita semua memberikan data ini secara cuma-cuma. Kita membiarkan algoritma itu mengakses preferensi politik terdalam kita hanya dengan imbalan akses ke surel gratis, video pendek, dan layanan pencarian.

Era Baru: Dari Demokrasi Representatif ke Data-Krasi Algoritmik

Jika data adalah kekayaan paling berharga di abad ke-21, maka demokrasi mungkin akan menjadi bentuk pemerintahan yang sudah terlalu lambat, terlalu emosional, dan terlalu mudah dimanipulasi. Alih-alih pemilihan lima tahun sekali yang dipenuhi oleh promosi, kebohongan, dan drama televisi, mungkin kita akan memasuki era "data-krasi", di mana keputusan politik besar — dari pajak, pendidikan, sampai perang — diputuskan berdasarkan model prediktif dan analisis algoritmik terhadap data populasi.

Ini bukan dunia distopia fiksi ilmiah. Ini adalah arah nyata yang mulai terlihat dalam praktik politik, ekonomi, dan teknologi global saat ini. Dan dalam dunia itu, mungkin kita tidak perlu memilih lagi. Karena pilihan terbaik bagi kita — dari pasangan hidup, karir, hingga partai politik — sudah dipetakan dan dioptimalisasi oleh sistem yang lebih tahu tentang diri kita daripada kita sendiri.

Epilog: Siapa Yang Mengotorisasi Algoritma?

Pertanyaan terakhir yang paling penting bukanlah apakah algoritma bisa memilih untuk kita. Jawabannya sudah jelas: bisa, dan mungkin lebih baik. Pertanyaan sejatinya adalah: siapa yang mengotori kode algoritma itu? Siapa yang menentukan tujuannya, nilai moralnya, dan batas etisnya?

Karena jika algoritma mengetahui segalanya tentang kita — tetapi dikendalikan oleh segelintir korporasi atau rezim politik — maka sistem ini tidak akan membebaskan manusia, melainkan membelenggunya dalam labirin prediksi dan kontrol. Demokrasi bisa lenyap bukan karena diktator militer, tetapi karena prediksi yang terlalu akurat, dan pilihan yang terlalu otomatis.

Di masa depan, mungkin kita akan mengenang pemilu sebagai upacara usang — bukan karena tidak penting, tetapi karena tidak relevan lagi.

AOS

No comments:

Post a Comment