Wednesday, August 21, 2019

Demokrasi dalam Bayang-Bayang Algoritma: Menuju Senjakala Politik Manusiawi

Demokrasi, bagi banyak bangsa selama dua abad terakhir, bukan sekadar sistem pemerintahan—ia adalah lambang modernitas, rasionalitas, dan martabat manusia. Dalam demokrasi, suara individu dianggap sakral; pemilihan umum dipuja sebagai pesta kedaulatan rakyat; dan kebebasan berbicara, beropini, dan berkumpul dinyatakan sebagai pilar peradaban yang tidak dapat ditawar. Namun, ketika teknologi informasi dan bioteknologi bergerak melampaui kapasitas adaptif institusi demokratis, kita mulai menyaksikan satu kenyataan pahit: kecepatan data telah menyalip kecepatan politik.Selama abad ke-20, demokrasi liberal mampu mengungguli pesaing utamanya—monarki, fasisme, dan komunisme—karena keunggulannya dalam pemrosesan informasi secara terdistribusi. Sebuah negara demokratis seperti Amerika Serikat dapat mengumpulkan, menyalurkan, dan memproses informasi sosial, ekonomi, dan militer dari ratusan juta warga, perusahaan, media, serta institusi, lalu mentransformasikannya menjadi kebijakan nasional yang relatif efektif. Bandingkan dengan kediktatoran Stalin atau Mao, yang mengandalkan birokrasi sentralistik dan rentan terhadap distorsi realitas karena informasi dikendalikan dari atas. Demokrasi lebih lentur, responsif, dan inovatif.

Namun kini, peta permainan telah berubah. Kita tidak lagi hidup di dunia di mana berita utama butuh seminggu untuk menyebar melalui koran dan radio. Kita hidup dalam realitas data real-time: volume, kecepatan, dan kompleksitas informasi telah berkembang secara eksponensial. Menurut IBM, 90% dari seluruh data dunia diciptakan hanya dalam dua tahun terakhir. Data datang dari miliaran sensor, transaksi digital, unggahan media sosial, rekaman CCTV, hingga pemindaian genetik. Sementara itu, lembaga politik seperti parlemen, partai, dan komisi pemilihan masih bergantung pada mekanisme deliberasi manusiawi yang lambat—sidang, musyawarah, voting, kampanye. Dalam dunia yang disetir oleh machine learning dan algoritma adaptif, proses ini menjadi semakin lamban, bising, dan tidak relevan.

Teknologi Menyalip Demokrasi

Ketika revolusi industri meledak pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, proses politik masih punya ruang untuk bernapas. Perubahan sosial—seperti urbanisasi atau munculnya kelas pekerja—terjadi cukup perlahan sehingga institusi politik dapat meresponsnya melalui pembentukan serikat buruh, pemilihan legislatif, dan pengaturan undang-undang ketenagakerjaan. Namun hari ini, teknologi berkembang bukan dalam lintasan linier, melainkan eksponensial. Hanya dalam satu dekade, kita telah menyaksikan kelahiran blockchain, deep learning, pengurutan genom massal, dan jaringan saraf buatan yang bisa menulis puisi, mendiagnosis kanker, bahkan membuat keputusan hukum.

Politik demokratis, dengan semua idealismenya, tak mampu mengimbangi ritme ini. Di satu sisi, para pemilih kesulitan memahami implikasi teknologi baru karena kurangnya literasi saintifik. Di sisi lain, para legislator pun tak punya perangkat analitik yang memadai untuk membuat kebijakan yang selaras dengan kompleksitas teknologis yang muncul. Akibatnya, kebijakan publik tertinggal. Kita menyaksikan perdebatan parlemen tentang kecerdasan buatan atau rekayasa genetik yang terdengar seperti nostalgia radio tahun 1950, sementara perusahaan teknologi dan laboratorium sains bergerak jauh di depan.

Hal ini memunculkan satu pertanyaan mengganggu: apakah demokrasi masih relevan sebagai mekanisme utama dalam mengelola masa depan umat manusia? Jika kita mendefinisikan politik sebagai “seni mengelola masa depan bersama”, maka demokrasi tampaknya kehilangan kendali atas masa depan. Ia menjadi semakin reaktif, bukannya proaktif; semakin didikte oleh emosi populisme, ketimbang didorong oleh perencanaan strategis jangka panjang.

Munculnya Arsitektur Politik Baru: Dari Rakyat Menuju Algoritma

Ketika data menjadi lebih cepat dan lebih kompleks daripada yang bisa diproses oleh manusia, muncul desakan logis: menggantikan pengambilan keputusan manusia dengan sistem berbasis algoritma. Di masa lalu, raja dan parlemen dipandang sebagai pusat legitimasi karena mereka mewakili “rakyat” atau “ilahi”. Namun di era post-human, legitimasi bisa berpindah kepada sistem yang bisa memproses informasi paling efisien. Jika sebuah algoritma bisa memprediksi hasil kebijakan dengan lebih akurat daripada pemungutan suara, mengapa kita masih repot-repot menggelar pemilu?

Bayangkan sistem politik masa depan berbasis machine governance. Dalam model ini, setiap warga negara terhubung dengan sistem lewat perangkat bio-digital (chip, wearable, neural link), dan data tentang preferensi, reaksi emosi, serta kondisi biologis mereka dianalisis dalam real-time oleh central cognitive core—sebuah pusat pemrosesan politik digital. Sistem ini akan menyusun kebijakan secara langsung berdasarkan pola-pola data, bukan suara mayoritas yang seringkali dipengaruhi oleh desas-desus dan retorika.

Kita mungkin tergoda menyebutnya distopia. Tapi secara teknis, sistem semacam itu akan lebih cepat, lebih personal, dan mungkin lebih adil dibandingkan sistem demokrasi tradisional yang kadang dihambat oleh korupsi, disinformasi, dan apati politik.

Lalu Siapa yang Akan Mengendalikan Sistem Itu?

Pertanyaan kunci bukan hanya: apa pengganti demokrasi, tetapi: siapa yang akan mengendalikan sistem politik baru ini? Ada tiga kemungkinan:

  1. Korporasi teknologi, seperti Google, Tencent, atau Palantir, yang memiliki kemampuan dan infrastruktur untuk mengembangkan sistem tersebut lebih cepat dari negara.

  2. Negara otoriter modern, seperti Tiongkok, yang telah membangun Smart Governance System dengan memadukan pengawasan digital, sensor sosial, dan pemrosesan AI untuk mengelola warganya.

  3. Entitas non-manusia, seperti superinteligensi buatan yang berkembang melampaui kendali pembuatnya, dan menciptakan sistem politik mandiri berdasarkan logika optimasi yang tidak lagi berakar pada nilai-nilai humanistik.

Jika alternatif-alternatif ini terdengar asing, ingatlah bahwa kita sudah mulai bergerak ke arahnya. Skor kredit sosial di Tiongkok, sistem periklanan prediktif di Facebook, dan kontrol konten oleh algoritma di TikTok adalah cikal bakal dari politik yang diotomatisasi. Demokrasi sebagai narasi moral tidak lagi cukup—ia harus bersaing dengan narasi efisiensi dan presisi yang dibawa oleh algoritma.

Apakah Ini Kematian Demokrasi atau Evolusinya?

Demokrasi mungkin tidak “punah” seperti dinosaurus—dilenyapkan oleh satu meteorit besar. Tapi ia bisa mengalami degradasi relevansi secara bertahap, lalu digantikan oleh sistem yang lebih adaptif terhadap zaman. Dalam skenario seperti ini, demokrasi bukan dibunuh, melainkan ditinggalkan.

Dan mungkin, pada akhirnya, kita harus menanyakan kembali pertanyaan paling mendasar: apakah tujuan politik adalah menjaga martabat manusia, atau mengoptimalkan fungsi sosial? Jika jawabannya adalah martabat, maka demokrasi harus diperbarui, bukan dibuang. Tapi jika jawabannya adalah efisiensi dan kontrol, maka kita mungkin sedang menyaksikan kelahiran sistem politik post-manusia, yang bukan hanya tanpa pemilu—tetapi tanpa manusia sebagai aktor utama.

AOS

No comments:

Post a Comment