Wednesday, August 21, 2019

AGAMA DAN SAINS: Dua Kerajaan, Dua Klaim, dan Satu Dunia yang Ribut

Sepanjang sejarah modern, hubungan antara agama dan sains selalu dipenuhi dengan ketegangan, kebingungan, dan tafsir yang saling bertentangan. Dari pengadilan Galileo di tahun 1633 hingga perdebatan kontemporer tentang teori evolusi, sel punca, dan awal mula alam semesta, pertanyaan yang berulang adalah ini: apakah agama dan sains adalah musuh, sekutu, atau dua kerajaan yang tak saling bersinggungan?Ada dua kutub ekstrem yang mendominasi diskursus ini. Di satu sisi, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa agama dan sains berada dalam perang abadi — pertarungan antara cahaya akal dan kegelapan takhayul. Ini adalah pandangan konfliktualis klasik, yang dipopulerkan oleh tokoh-tokoh seperti John William Draper dalam History of the Conflict Between Religion and Science (1874) dan Andrew Dickson White dalam A History of the Warfare of Science with Theology in Christendom (1896). Bagi mereka, sejarah modern adalah narasi kemenangan akal atas dogma, di mana sains perlahan-lahan menyingkirkan agama dari setiap ranah yang pernah dikuasainya: dari kosmologi, biologi, hingga psikologi.

Pandangan ini seakan mendapat konfirmasi dalam realitas empiris. Sebagai contoh, data Pew Research Center (2019) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan sains seseorang, semakin rendah kemungkinan mereka mempercayai klaim agama tradisional, seperti penciptaan dunia dalam 6 hari atau keberadaan surga dan neraka literal. Di banyak negara maju seperti Swedia, Belanda, Jepang, dan Korea Selatan, kemajuan saintifik justru berjalan bersamaan dengan menurunnya tingkat religiositas. Bagi kaum rasionalis, ini bukan kebetulan. Ini adalah korelasi yang mengindikasikan kausalitas: pengetahuan mematikan iman.

Dua Kerajaan yang Tak Pernah Bertemu?

Namun di sisi lain, ada kutub pandangan yang sangat berbeda, yang menolak narasi konflik. Tokoh seperti Stephen Jay Gould, ahli paleontologi Harvard, mengajukan ide Non-Overlapping Magisteria (NOMA) — bahwa sains dan agama adalah dua “magisterium” atau wilayah kewenangan yang sama sekali berbeda. Dalam pandangan ini, sains menjawab pertanyaan tentang “apa” dan “bagaimana” dunia bekerja, sementara agama menjawab “mengapa” kita hidup dan bagaimana seharusnya kita bersikap. Dengan kata lain, sains mengurusi fakta, dan agama mengurusi nilai. Karena domainnya berbeda, maka keduanya tidak bertentangan — karena mereka tidak berbicara tentang hal yang sama.

Sebagian besar pemuka agama modern dan ilmuwan populer menyukai pendekatan ini karena tampak harmonis dan kompromis. Kita bisa memiliki Big Bang sekaligus Genesis. Kita bisa percaya evolusi dan tetap berdoa. Kita bisa menjadi insinyur dan tetap percaya surga.

Namun, pendekatan ini menyembunyikan satu kenyataan mendasar: bahwa agama, hampir selalu, tidak terbatas pada pernyataan moral atau nilai-nilai. Ia juga membuat klaim faktual — dan justru di sinilah konflik potensial dengan sains tidak bisa dihindari.

Klaim Faktual Agama: Titik Gesek dengan Sains

Pernyataan seperti:

  • “Tuhan menciptakan alam semesta.”

  • “Yesus lahir dari perawan, mati disalib, dan bangkit pada hari ketiga.”

  • “Muhammad menerima wahyu langsung dari Tuhan.”

  • “Al-Qur’an adalah firman Tuhan yang sempurna, tidak berubah.”

  • “Ada kehidupan setelah mati dan jiwa akan dihukum atau diberi pahala.”

...semuanya adalah klaim tentang realitas objektif, bukan sekadar nilai-nilai atau panduan moral. Jika benar, klaim-klaim ini berlaku universal dan memiliki konsekuensi empiris. Jika salah, maka nilai-nilai yang bertumpu padanya kehilangan pijakan.

Inilah alasan mengapa konflik antara sains dan agama sering kali tidak bisa diredam hanya dengan kompromi moral. Sebagian besar perdebatan tidak terjadi pada level “haruskah kita bersikap baik?”, melainkan pada level “apakah peristiwa X benar-benar terjadi?”

Sebagai contoh, teori evolusi Darwin, yang didukung oleh data genetika, paleontologi, dan biogeografi, bertentangan langsung dengan klaim banyak agama tentang penciptaan manusia. Menurut survei Gallup (2022), 40% warga AS masih percaya bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk seperti sekarang dalam 10.000 tahun terakhir — sebuah posisi yang jelas bertentangan dengan konsensus ilmiah. Konflik ini bukan karena orang Amerika tidak paham biologi, tetapi karena mereka tidak siap meninggalkan interpretasi literal terhadap teks agama mereka.

Begitu pula dengan kosmologi modern. Model Big Bang dan perluasan alam semesta menunjukkan bahwa waktu dan ruang memiliki permulaan yang tidak stabil dan bisa dijelaskan secara fisik. Ini bertabrakan dengan pandangan kosmologis religius yang menggambarkan penciptaan sebagai tindakan sadar dari entitas adikodrati.

Agama, Etika, dan Ilusi Netralitas

Beberapa orang berpendapat bahwa agama hanya perlu berbicara dalam ranah etika, dan membiarkan sains mengurusi realitas. Namun ini mengabaikan fakta bahwa bahkan panduan etika memerlukan landasan faktual. Misalnya:

  • Jika saya percaya bahwa setelah mati saya akan masuk surga atau neraka, itu akan mengubah total keputusan moral saya.

  • Jika saya yakin bahwa jiwa bisa berpindah dari satu tubuh ke tubuh lain, maka saya bisa membenarkan kasta, karma, atau penderitaan sebagai akibat dari kehidupan sebelumnya.

Maka dari itu, agama tidak bisa memberikan etika praktis tanpa terlebih dahulu membuat asumsi faktual. Dan ketika asumsi ini diuji dengan sains, sering kali benturan terjadi.

Antara Iman dan Verifikasi

Ini membawa kita pada dilema mendalam: jika agama ingin tetap relevan dalam dunia modern, ia harus memilih — antara iman yang berdiri di luar sains, atau iman yang terus-menerus menyesuaikan diri dengan temuan sains.

Pilihan pertama menempatkan agama sebagai sistem kepercayaan privat yang tidak bisa diuji atau diperdebatkan. Pilihan kedua menjadikan agama seperti rumah tua yang direnovasi terus-menerus, mengorbankan teks literal dan tradisi demi sinkronisasi dengan data empiris. Keduanya memiliki konsekuensi teologis, epistemologis, dan sosiologis.

Kesimpulan: Komplikasi Tak Terhindarkan

Maka, hubungan antara agama dan sains tidak bisa diringkas dalam dikotomi “musuh” atau “sekutu”. Ia adalah hubungan yang kompleks, penuh gesekan dan kompromi. Sains mengajarkan keraguan, revisi, dan falsifikasi. Agama menawarkan kepastian, otoritas, dan iman. Ketika agama hanya berbicara soal nilai, ia tampak tidak relevan. Ketika ia berbicara tentang fakta, ia berisiko terbantahkan.

Di masa depan, pertanyaan besar bukanlah apakah agama dan sains bisa berdamai, tetapi apakah manusia modern mampu hidup dengan dua epistemologi yang saling bertentangan dalam kepalanya — satu yang bertumpu pada bukti, dan satu yang bertumpu pada iman — tanpa mengalami disonansi kognitif yang merusak rasionalitas kolektif.

Seperti yang dikatakan Carl Sagan: "Science is more than a body of knowledge; it's a way of thinking." Dan semakin banyak manusia berpikir dengan cara ilmiah, semakin mereka akan menuntut bahwa semua klaim — bahkan yang suci — mesti diuji, bukan hanya diyakini.

AOS

No comments:

Post a Comment