Sejarah moralitas, jika dibaca secara sosiologis, bisa tampak sebagai rangkaian upaya mulia yang gagal dijalani secara universal. Bahkan dalam masyarakat religius, pelanggaran terhadap etika ilahiah sering kali menjadi norma terselubung, dengan praktik-praktik seperti korupsi, kekerasan, atau ketidakadilan tetap berlangsung meskipun doktrin moral didewakan.
Namun, sejak kemunculan kapitalisme modern dan sistem ekonomi konsumeris pada abad ke-19 dan ke-20, telah muncul paradigma etika baru yang lebih sinkron dengan dorongan psikologis manusia. Sistem ini tidak meminta kita mengekang nafsu, tetapi justru mendorong pemenuhannya—melalui konsumsi. Dalam logika kapitalisme, keserakahan bukanlah dosa, melainkan mesin pertumbuhan. Konsumerisme menjanjikan kebahagiaan duniawi bukan melalui penyangkalan diri, melainkan melalui pemuasan keinginan: belanja, bepergian, mempercantik diri, dan mengejar gaya hidup yang dipopulerkan media.
Inilah bentuk "etika" modern yang secara paradoks lebih efektif ditaati oleh umat manusia dibandingkan ajaran moral konvensional. Data dari berbagai survei global menunjukkan bahwa gaya hidup konsumeris kini menjadi nilai dominan, bahkan di negara-negara yang secara nominal religius. Menurut World Values Survey (2022), lebih dari 70% responden di negara-negara maju menilai pencapaian materi dan kepuasan pribadi sebagai indikator utama kehidupan yang baik. Sementara itu, riset Pew Research Center (2019) menunjukkan bahwa nilai-nilai seperti “kesederhanaan” dan “pengendalian diri” semakin merosot dalam persepsi pentingnya bagi generasi muda.
Kapitalisme-konsumerisme, dalam banyak hal, dapat dilihat sebagai "agama" pertama dalam sejarah yang benar-benar berhasil membuat pengikutnya menjalankan perintah-perintah dasarnya: bekerja, menghasilkan, dan mengonsumsi. Alih-alih menjanjikan surga spiritual, sistem ini menjanjikan surga duniawi—sebuah dunia yang dipenuhi kenyamanan, kebebasan memilih, dan kesenangan instan. Visualisasi surga ini terus direproduksi dalam bentuk iklan, film, media sosial, dan realitas virtual. Dalam kata lain: kita "melihatnya di televisi".
Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: benarkah surga ini nyata, atau hanya ilusi yang dirancang untuk mempertahankan mesin produksi dan konsumsi global? Banyak kritik, dari Karl Marx hingga para pemikir kontemporer seperti Zygmunt Bauman dan Naomi Klein, menunjukkan bahwa etika konsumeris pada akhirnya melestarikan ketimpangan, menghancurkan ekologi planet, dan menciptakan kebahagiaan yang rapuh dan jangka pendek.
Surga yang dijanjikan mungkin ada, tetapi dibayar mahal—dengan krisis lingkungan, kesenjangan sosial, dan alienasi eksistensial.
AOS
No comments:
Post a Comment