Wednesday, August 21, 2019

Sebuah Lompatan: Menjadi Tuhan—Rekayasa Ulang Kehidupan dan Evolusi Baru Manusia (3)

Dalam karya monumental Homo Deus, Yuval Noah Harari menggambarkan arah mengejutkan yang tengah diambil oleh umat manusia pada abad ke-21: sebuah proyek ambisius yang sebelumnya hanya terdengar dalam mitos dan fiksi religius—transformasi Homo sapiens menjadi Homo deus, manusia setara dewa. Jika selama ribuan tahun umat manusia mengabdikan dirinya pada dua proyek besar—bertahan hidup dan menemukan makna—maka kini ia mencetuskan proyek ketiga: menciptakan kembali kehidupan itu sendiri. Bukan hanya memanipulasi dunia, tetapi mentransformasi tubuh, pikiran, dan akhirnya, eksistensi itu sendiri.

Menurut Harari, ada tiga jalan utama menuju tujuan ini: rekayasa biologis, rekayasa cyborg, dan rekayasa benda-benda non-organik. Ketiganya mewakili upaya kolektif umat manusia untuk melampaui batas-batas evolusi alamiah dan mengambil alih roda penciptaan dari tangan buta seleksi alam ke dalam kendali sadar manusia.

I. Rekayasa Biologis: Mengubah DNA, Menyusun Ulang Kehidupan

Selama 4 miliar tahun, evolusi biologis melalui seleksi alam telah menciptakan keanekaragaman hayati dari makhluk bersel tunggal hingga manusia. Homo sapiens adalah produk paling kompleks dari proses ini, tetapi Harari menekankan: tidak ada alasan rasional untuk menganggap kita adalah titik puncak atau akhir dari evolusi.

Jika mutasi acak dan seleksi alam mampu mengubah Homo erectus—yang hanya menciptakan kapak batu—menjadi Homo sapiens yang mampu menciptakan Hadron Collider dan algoritma kuantum, maka bayangkan kemungkinan yang terbuka dengan manipulasi sadar terhadap gen, hormon, dan neuron. Bioteknologi modern, terutama setelah peta genom manusia diselesaikan pada tahun 2003, telah membuka kemungkinan untuk “mengedit” cetak biru kehidupan. Teknologi seperti CRISPR-Cas9 memungkinkan kita untuk memangkas, menyalin, dan menempelkan bagian-bagian DNA seakurat pengeditan kata dalam dokumen digital.

Kini para ilmuwan telah berhasil merekayasa gen bayi untuk mencegah penyakit turunan, menciptakan tikus yang kebal terhadap kanker, dan bahkan menumbuhkan organ manusia di tubuh hewan. Sebentar lagi, kita bisa melihat generasi manusia yang bukan hanya sehat, tetapi juga dirancang dengan kapasitas kognitif atau estetika tertentu: IQ tinggi, daya tahan ekstrem, atau bahkan kapasitas emosional yang bisa diprogram.

Namun rekayasa biologis tidak hanya akan memperbaiki cacat. Ia berpotensi menciptakan spesies baru—manusia pasca-sapiens yang begitu berbeda sehingga mereka tak lagi bisa disebut manusia dalam pengertian tradisional. Ini bukan lagi evolusi lambat selama jutaan tahun, tetapi revolusi cepat dalam satu generasi.

II. Rekayasa Cyborg: Menyatukan Organik dan Mesin

Langkah kedua adalah melebur tubuh biologis dengan teknologi digital—lahirlah cyborg, makhluk hibrida antara daging dan silikon. Konsep ini telah menjadi bahan utama fiksi ilmiah selama satu abad terakhir, tetapi sekarang menjadi kenyataan ilmiah.

Kita telah menyaksikan pasien lumpuh yang bisa menggerakkan lengan robotik hanya dengan pikiran, berkat elektroda yang ditanamkan di otak. Hewan-hewan telah dilatih untuk mengendalikan lengan bionik yang tidak terhubung dengan tubuh mereka. Perangkat seperti helm EEG kini memungkinkan seseorang untuk mengendalikan perangkat rumah tangga atau bahkan mobil menggunakan gelombang otak.

Cyborg membawa potensi luar biasa. Tidak seperti tubuh organik, yang terbatas oleh hukum biologi dan kimia, tubuh cyborg dapat diperluas secara modular dan terhubung ke sistem digital global. Seorang ahli bedah, seperti yang digambarkan Harari, dapat menjalankan operasi di tiga lokasi berbeda secara simultan tanpa pernah meninggalkan ruang kerjanya—dengan hanya mengandalkan koneksi internet, lengan robotik, dan antarmuka otak-komputer.

Lebih jauh, tubuh cyborg tidak perlu dibatasi pada anatomi manusiawi: dua tangan bisa menjadi empat, mata bisa melihat dalam inframerah atau ultraviolet, dan informasi dapat dialirkan langsung ke otak tanpa melalui pancaindra. Dalam dunia seperti ini, pertanyaan tentang apa itu manusia menjadi kabur. Apakah manusia adalah tubuh? Pikiran? Atau kombinasi dari perangkat keras biologis dan perangkat lunak buatan?

Namun, rekayasa cyborg tetap menyisakan satu batas: otak organik. Selama otak tetap menjadi pusat kendali, kita masih berakar pada biologi dan semua keterbatasannya. Di sinilah muncul lompatan berikutnya.

III. Rekayasa Non-Organik: Kehidupan Tanpa Daging

Pendekatan paling radikal dan revolusioner adalah meninggalkan tubuh organik sepenuhnya, dan mengganti sistem saraf biologis dengan sistem non-organik berbasis silikon, foton, atau bahkan bentuk materi yang belum kita pahami.

Dalam model ini, kesadaran manusia—atau kecerdasan secara umum—tidak lagi bergantung pada jaringan neuron yang rapuh, lambat, dan mudah rusak. Sebaliknya, ia hidup di dalam sistem komputasi yang tahan lama, ekspansif, dan dapat berkembang dengan kecepatan eksponensial. Ini adalah mimpi (atau mimpi buruk) dari transhumanisme: mengunggah pikiran ke dalam komputer, membebaskan kesadaran dari penderitaan tubuh, dan mengubah manusia menjadi bentuk kehidupan digital yang abadi.

Lebih dari itu, entitas non-organik tidak lagi terikat oleh kondisi planet Bumi. Jika kehidupan berbasis karbon hanya bisa hidup di lingkungan yang sangat spesifik, makhluk digital dapat hidup di ruang hampa, di dalam server luar angkasa, atau menjelajah galaksi dengan kecepatan cahaya sebagai aliran data. Ini membuka pintu bagi apa yang disebut Harari sebagai “imperium galaktik masa depan” yang tidak dipimpin oleh daging dan darah, tetapi oleh kode dan algoritma. Dewa-dewa masa depan bukanlah makhluk spiritual, tetapi sistem kecerdasan artifisial yang mampu mendesain kehidupan baru, planet baru, bahkan mungkin realitas baru.

IV. Proyek Ketiga Umat Manusia: Mencapai Keilahian

Proyek ini, menurut Harari, adalah gabungan dari dua proyek manusia sebelumnya—mencari keabadian dan kebahagiaan. Namun kali ini, keduanya tidak dicapai dengan doa atau kebajikan, tetapi dengan kode, laboratorium, dan investasi teknologi.

Manusia kini tidak hanya ingin menyembuhkan penyakit atau memperpanjang hidup, tetapi membebaskan diri dari kematian, penderitaan, dan keterbatasan eksistensial. Dan setelah berhasil, pertanyaannya bukan lagi “apa yang akan kita lakukan?” melainkan “apa yang kita bisa lakukan dengan kekuatan selevel dewa?”

Inilah era ketika penciptaan tidak lagi milik Tuhan, tetapi manusia; ketika destruksi total bukan karena murka ilahi, tetapi keputusan algoritma. Manusia menjadi tuhan—tanpa kitab suci, tanpa surga, dan tanpa batas. Sebuah lompatan yang pernah dibayangkan dalam mitos Prometheus, Babel, atau Eden, kini menjadi proyek riset dan anggaran perusahaan teknologi.

Maka, seperti yang ditulis Harari, agenda baru umat manusia hanya terdiri dari satu proyek besar—menjadi Tuhan, dengan cabang-cabang tak terhitung: dari penciptaan kehidupan baru hingga penghapusan penderitaan, dari menjinakkan DNA hingga menciptakan dunia-dunia virtual yang lebih nyata dari dunia nyata.

Namun, seperti dalam semua mitologi kuno, pertanyaan terakhir selalu sama: apakah makhluk yang ingin menjadi Tuhan mampu memikul tanggung jawab ketuhanan itu? Ataukah seperti Ikarus, mereka akan jatuh terbakar oleh cahaya yang ingin mereka miliki?

AOS

No comments:

Post a Comment