Thursday, August 22, 2019

Liberalisme: Setelah Itu Apa?

Pada tahun 1938, umat manusia dihadapkan pada tiga cerita besar yang bersaing: fasisme, komunisme, dan liberalisme. Dua dekade kemudian, hanya komunisme dan liberalisme yang tersisa. Dan pada tahun 1998—setelah runtuhnya Uni Soviet dan kemenangan tatanan global berbasis pasar bebas—liberalisme tampak tak terbantahkan. Namun, pada 2025, kita hidup dalam era pasca-kejayaan liberalisme: bukan karena telah digantikan secara resmi, tetapi karena kepercayaan terhadapnya semakin melemah, bahkan dari dalam.

Kebangkitan populisme, keruntuhan konsensus global, krisis iklim, pandemi COVID-19, dan revolusi teknologi telah mengganggu kepercayaan terhadap narasi liberal yang menjanjikan perdamaian, kemajuan, dan kebebasan individu. Alih-alih sebuah dunia yang lebih terbuka dan terhubung, kita menyaksikan tembok-tembok baru, baik secara fisik maupun digital. Politik identitas menggantikan universalitas nilai. Dan di tengah semua ini, elit liberal tampak kehilangan arah.

Ketidakmampuan melakukan “pemeriksaan realitas” membuat banyak aktor liberal terjebak dalam narasi apokaliptik: bahwa Brexit, terpilihnya Donald Trump, invasi Rusia ke Ukraina, hingga konflik Israel-Palestina terbaru merupakan sinyal kejatuhan peradaban. Tetapi yang lebih mendalam dari semua itu adalah perubahan struktural yang tak bisa dihentikan—terutama disrupsi teknologi dan ekologi yang melampaui batas sistem politik yang kita warisi dari era industri.

Sistem politik liberal dibentuk untuk dunia mesin uap, radio, dan televisi; bukan untuk dunia blockchain, bioengineering, atau kecerdasan buatan otonom. Demokrasi liberal saat ini hampir tidak memiliki alat atau kerangka untuk memahami, apalagi mengendalikan, laju perubahan yang dibawa oleh revolusi kembar: infoteknologi dan bioteknologi. Sejak tahun 1990-an, internet telah membentuk ulang struktur ekonomi, cara kita bekerja, cara kita berpikir—dan sekarang, AI generatif mulai merombak segalanya, dari pendidikan, jurnalisme, hukum, hingga seni.

Namun yang lebih radikal adalah janji dari bioteknologi dan neuroteknologi: kemampuan untuk merekayasa ulang tubuh, memodifikasi pikiran, dan memperpanjang atau bahkan menunda kematian. Pada 2023, eksperimen pengeditan gen (CRISPR) mulai digunakan secara komersial. Tahun 2024 menyaksikan peluncuran chip antarmuka otak-komputer pertama yang diuji pada manusia. Dan pada 2025, startup neuroteknologi berbasis AI—seperti Neuralink dan Synchron—telah mulai menguji integrasi manusia dengan mesin secara langsung. Ini bukan sekadar disrupsi ekonomi. Ini adalah perubahan antropologis.

Bagaimana liberalisme, yang berakar pada ide tentang “individu rasional yang otonom”, merespons ketika kita bisa memodifikasi kesadaran, meningkatkan memori, atau mengedit preferensi? Apa makna kebebasan ketika algoritma memahami kita lebih baik daripada kita memahami diri sendiri?

Tak mengherankan jika elite liberal gelisah. Dalam pidato terakhirnya di PBB pada 2016, Barack Obama memperingatkan agar dunia tidak mundur ke tribalism: politik yang digerakkan oleh identitas suku, ras, dan agama. Ia menekankan bahwa prinsip pasar terbuka, demokrasi, hak asasi manusia, dan hukum internasional tetap menjadi pilar kemajuan manusia. Namun pada 2025, bahkan prinsip-prinsip ini tampak genting.

Dunia yang dibayangkan liberalisme—yang menjanjikan kue ekonomi yang tumbuh selamanya, cukup besar untuk dibagi rata dan meredam konflik sosial—menghadapi dua hambatan mendasar:

1. Keruntuhan Ekologis

Laporan IPCC terbaru (2023) menunjukkan bahwa kita hampir pasti akan melewati ambang batas pemanasan 1.5°C pada awal 2030-an. Bencana iklim bukan lagi kemungkinan masa depan, tetapi kenyataan yang hadir dalam bentuk kekeringan ekstrem, banjir, krisis pangan, dan migrasi massal. Pertumbuhan ekonomi yang menjadi andalan liberalisme justru mempercepat krisis ekologis ini.

2. Disrupsi Teknologi

AI tidak hanya menggantikan pekerjaan, tapi juga membentuk opini publik, menciptakan karya seni, bahkan ikut menulis hukum. Model-model besar seperti GPT-5, Claude 3, dan Gemini sudah mulai mengotomatisasi proses kognitif yang dulu dianggap eksklusif milik manusia. Di satu sisi, ini membuka peluang luar biasa untuk produktivitas dan pengetahuan. Di sisi lain, ini mengancam konsep dasar tentang kerja, makna hidup, dan kesetaraan sosial.

Liberalisme selalu unggul dalam merespons krisis, seringkali dengan melakukan reformasi internal. Ia bertransformasi setelah Depresi Besar dengan Negara Kesejahteraan, dan berevolusi setelah tahun 1960-an dengan penekanan pada multikulturalisme dan hak sipil. Apakah ia bisa bertransformasi sekali lagi?

Mungkin dekade berikutnya akan ditandai oleh perebutan narasi besar. Agama-agama tradisional, nasionalisme, dan bahkan teknologi itu sendiri akan bersaing untuk mendefinisikan masa depan. Apakah kebangkitan religius global—seperti Evangelikalisme di Amerika Latin, Hindutva di India, atau Islamisme digital—mampu mengisi kekosongan makna yang ditinggalkan oleh liberalisme? Ataukah sains dan teknologi akan membentuk ideologi baru—dataisme, transhumanisme, atau ekohumanisme—yang menggantikan Tuhan dan bangsa dengan algoritma dan planet?

Apa pun jawabannya, jelas bahwa kita sedang memasuki momen pencarian jiwa global. Liberalisme tidak bisa lagi sekadar mengandalkan retorika “kebebasan dan pasar bebas” tanpa menawarkan solusi konkret terhadap ancaman eksistensial. Ia harus mereformulasi dirinya: bukan sekadar sebagai sistem ekonomi-politik, tetapi sebagai visi moral dan eksistensial untuk abad ke-21.

Mungkin, seperti yang pernah dilakukan dalam sejarah, kita perlu cerita baru. Bukan hanya tentang pertumbuhan, tetapi tentang keberlanjutan dan kebijaksanaan. Bukan hanya tentang kebebasan individu, tapi tentang tanggung jawab kolektif. Bukan hanya tentang kesetaraan dalam hak, tetapi kesetaraan dalam akses terhadap masa depan.

Sudah saatnya kita bertanya: bukan hanya “setelah liberalisme, apa?”, tetapi juga “setelah manusia seperti yang kita kenal hari ini—apa?”

AOS


No comments:

Post a Comment