Wednesday, August 21, 2019

Menggeser Tuhan: Dari Petir ke Pikiran

Selama ribuan tahun, manusia mengisi kekosongan pengetahuan dengan Tuhan. Dalam setiap celah kebodohan dan misteri, nama Tuhan dituliskan sebagai jawaban akhir. Mengapa langit bergemuruh? Karena Tuhan sedang marah. Mengapa petir menyambar? Itu cambuk ilahi. Mengapa musim berganti, hujan turun, tanaman tumbuh? Semua adalah hasil dari kehendak adikodrati yang tak bisa diselami logika manusia. Tuhan bukan hanya pencipta dunia, melainkan juga penjelasan universal bagi segalanya—dari siklus hujan hingga takdir umat manusia.

Dalam Sapiens, Yuval Noah Harari menyebut bahwa posisi Tuhan dalam sejarah intelektual manusia adalah jawaban atas ketidaktahuan. Ketika tidak ada alat untuk mengukur, tidak ada metode untuk menyelidiki, dan tidak ada bahasa ilmiah yang bisa memetakan realitas, maka Tuhan hadir sebagai solusi final. Tuhan adalah "God of the gaps"—Tuhan yang mengisi celah pengetahuan. Tapi seiring sains berkembang, celah-celah itu menyempit.

Ambil contoh kilat dan petir. Dalam budaya Nordik kuno, petir adalah palu Thor yang menghantam langit. Dalam Kitab Suci, kilat adalah pertanda ilahi. Namun pada abad ke-18, Benjamin Franklin mengungkap bahwa petir adalah fenomena elektrik. Ia menerbangkan layang-layang saat badai dan menemukan bahwa kilat memiliki muatan listrik. Dari sana lahir teori kelistrikan yang kini menggerakkan seluruh dunia, tanpa perlu menyinggung dewa-dewa langit.

Demikian pula dengan hujan. Dulu, bangsa-bangsa agraris melakukan ritual pemanggil hujan, mempersembahkan korban pada dewa langit agar air turun dan menyuburkan bumi. Kini, kita memahami hujan sebagai bagian dari siklus hidrologi yang dikendalikan oleh tekanan atmosfer, kelembapan, dan suhu. Satelit meteorologi dapat meramalkan hujan dengan presisi yang dulunya dianggap sihir.

Lalu bagaimana dengan asal kehidupan itu sendiri? Sampai abad ke-19, mayoritas orang menganggap kehidupan muncul dari "ciptaan Tuhan" yang tiba-tiba. Namun sejak eksperimen Stanley Miller dan Harold Urey pada 1953, yang menciptakan senyawa organik dari campuran gas sederhana dan energi listrik, kita tahu bahwa komponen dasar kehidupan bisa terbentuk dari proses kimiawi alamiah. Teori abiogenesis dan evolusi molekuler mengisi ruang yang sebelumnya ditempati oleh narasi penciptaan.

Saat ini, sains tidak hanya menjelaskan fenomena di luar tubuh kita, tetapi juga masuk ke ranah paling sakral dan privat dalam teologi: jiwa. Selama ribuan tahun, manusia meyakini bahwa dirinya dikendalikan oleh anima—suatu entitas tak kasat mata, kekal, dan suci yang disebut jiwa. Jiwa ini diyakini sebagai sumber kehendak bebas, moralitas, bahkan kesadaran. Keberadaannya disebut-sebut menjelaskan mengapa manusia istimewa dibanding makhluk lain. Jiwa, dalam banyak tradisi religius, adalah alasan utama mengapa manusia diciptakan dalam "citra Tuhan".

Namun dalam satu abad terakhir, kemajuan ilmu biologi, neurosains, dan psikologi evolusioner telah mengikis kepercayaan ini. Ilmu pengetahuan belum menemukan satu pun bukti empiris tentang keberadaan entitas non-material bernama jiwa. Tidak ada alat pemindai otak yang menunjukkan tempat di mana "jiwa" berdiam. Semua perilaku, emosi, dan pikiran manusia dapat dijelaskan secara fisikal oleh aktivitas neuron, sinapsis, dan reaksi kimia dalam sistem saraf pusat.

Eksperimen neurologi dari Benjamin Libet pada 1980-an menunjukkan bahwa aktivitas otak untuk mengambil keputusan sudah terjadi sebelum individu secara sadar "memutuskan". Artinya, kesadaran dan kehendak bebas, yang dulu dianggap emanasi dari jiwa, bisa jadi hanya produk sampingan dari proses biologis. Dalam dunia pasca-modern, asumsi bahwa manusia memiliki "inti suci" yang melampaui fisik semakin kehilangan pijakan ilmiah.

Apa yang kita sebut sebagai "pikiran" juga tidak luput dari kritik. Harari menyebut bahwa seperti halnya jiwa, konsep pikiran bisa jadi akan menyusul ke “bak sampah sejarah” bersama Tuhan dan ether—zat fiktif yang dahulu diyakini memenuhi ruang sebagai medium cahaya. Pikiran, dalam pandangan filsafat Cartesian, adalah substansi unik yang tak dapat direduksi ke materi. Namun kini, pikiran semakin dipahami sebagai hasil kompleksitas jaringan saraf, bukan sebagai entitas otonom yang melayang bebas di atas otak.

Neurosains modern, dengan alat seperti fMRI dan EEG, menunjukkan korelasi yang kuat antara keadaan mental dengan kondisi otak tertentu. Depresi, euforia, kecemasan, dan bahkan cinta bisa dipetakan dalam bentuk aktivitas otak. Psikofarmakologi telah menunjukkan bahwa perubahan kimia dalam otak dapat mengubah "isi pikiran" seseorang. Maka, apakah pikiran masih bisa dikatakan sesuatu yang unik dan non-material? Atau hanya ilusi yang diproduksi sistem biologis yang kompleks?

Pertanyaan ini membawa kita pada paradoks besar zaman modern: manusia secara historis menggeser Tuhan untuk memberi ruang pada dirinya sendiri, namun sains kini mulai mereduksi bahkan konsep "manusia" itu sendiri. Dalam dunia modern, kita tidak hanya menggeser Tuhan, tetapi juga menggerogoti ide tentang "diri" yang kita anggap sebagai pusat pengalaman.

Kehadiran artificial intelligence memperumit situasi ini. Jika pikiran hanyalah proses komputasi, maka apa yang membedakan otak manusia dengan komputer? Ketika sistem seperti GPT, AlphaFold, atau model pembelajaran mesin lainnya menunjukkan kemampuan memahami, belajar, dan menyusun informasi, batas antara pikiran manusia dan pemrosesan algoritma menjadi kabur. Jika kesadaran pun suatu saat bisa direkayasa, maka posisi manusia sebagai makhluk sadar dan unik pun menjadi relatif.

Apa artinya semua ini bagi konsep Tuhan? Apakah kita sedang menggantikan Tuhan dengan sains, atau hanya menyingkirkan simbol-simbol lama untuk menggantinya dengan metafora baru? Dalam sejarah panjang pemikiran, Tuhan adalah jawaban bagi misteri terdalam: asal mula, tujuan, dan makna. Tapi kini, ketika sains menjelaskan asal mula, mengabaikan tujuan, dan bersikap netral terhadap makna, manusia berhadapan dengan kekosongan eksistensial baru. Kita kehilangan Tuhan, namun belum tentu menemukan penggantinya.

Dengan kata lain, Revolusi Saintifik bukan hanya meruntuhkan langit teologis tempat Tuhan bersemayam, tapi juga menghapus cermin tempat manusia bercermin. Ia membongkar fondasi-fondasi lama tentang realitas dan eksistensi, namun belum menawarkan narasi besar pengganti yang bisa memberi makna eksistensial yang setara.

Apakah kita siap hidup dalam dunia tanpa Tuhan, tanpa jiwa, bahkan tanpa pikiran? Ataukah kita hanya mengganti agama lama dengan bentuk baru dari mitologi saintifik, yang menempatkan algoritma dan neuron sebagai "kitab suci" masa depan?

AOS

No comments:

Post a Comment