Salah satu warisan terpenting dari Revolusi Agrikultur adalah munculnya agama-agama teistik, yaitu agama-agama yang memusatkan perhatian pada Tuhan atau tuhan-tuhan besar yang tunggal dan personal. Agama-agama seperti Yahudi, Kristen, Hindu, dan Islam tumbuh di tengah-tengah masyarakat agrikultur yang sudah mulai memiliki struktur sosial kompleks, pembagian kerja, dan sistem kepemilikan. Dalam konteks ini, teologi bukan sekadar pencarian makna spiritual, tetapi juga sebuah proyek sosial-politik: legitimasi untuk hierarki, kekuasaan, dan hubungan ekonomi.
Agama-agama bertuhan menawarkan narasi kosmik yang baru. Dunia bukan lagi panggung teater agung yang penuh dengan aktor spiritual dari segala jenis—roh pohon, arwah sungai, makhluk bayangan, binatang penuntun. Sebaliknya, alam semesta direduksi menjadi struktur teokratis yang hierarkis: ada satu atau beberapa Tuhan utama di puncak, dan umat manusia sebagai mitra istimewa atau wakil-Nya di bumi. Dalam narasi ini, semua aktor lain yang dulunya memiliki suara—binatang, tanaman, sungai, hujan—diturunkan menjadi latar belakang diam dalam drama eksistensial antara Tuhan dan manusia.
Para antropolog seperti Mircea Eliade dan James Frazer mencatat bahwa dalam tradisi animisme kuno, relasi antara manusia dan makhluk non-manusia adalah timbal balik. Manusia berbicara kepada burung, meminta izin kepada hutan sebelum menebang pohon, memberi persembahan kepada roh gunung sebelum mendaki. Tapi dalam sistem kepercayaan agrikultur yang baru, hubungan ini disalurkan secara vertikal: manusia memohon kepada Tuhan, dan Tuhan memberkati atau menghukum. Binatang, pohon, dan sungai tidak lagi menjadi subjek spiritual, melainkan objek ekonomi dan liturgi.
Dalam kitab Kejadian, kisah penciptaan dunia menggambarkan manusia sebagai puncak penciptaan yang diberi “kuasa atas segala binatang di bumi, burung di udara, dan ikan di laut.” Ini bukan sekadar doktrin spiritual, tetapi juga refleksi dari realitas sosial baru: manusia sebagai penguasa ladang dan ternak, bukan lagi rekan sejajar dengan makhluk hidup lain.
Namun narasi ini sekali lagi terguncang ribuan tahun kemudian ketika Revolusi Saintifik dan Revolusi Industri melanda Eropa pada abad ke-16 hingga 18. Sains modern memindahkan otoritas dari kitab-kitab suci ke laboratorium, dari nabi ke ilmuwan. Sementara Tuhan tetap dipertahankan dalam wacana publik dan pribadi, kekuasaan epistemik-Nya menyusut drastis. Pertanyaan-pertanyaan tentang hujan, gempa bumi, atau penyakit tidak lagi dijawab dengan mitologi, melainkan dengan meteorologi, geologi, dan mikrobiologi. Tuhan mulai dibungkam dari percakapan ilmiah.
Jika Revolusi Agrikultur telah membungkam binatang dan tumbuhan dari opera animistik kosmik, maka Revolusi Saintifik membungkam Tuhan dari drama teologisnya. Hasilnya adalah sebuah panggung kosmik baru di mana hanya manusia yang berdiri sebagai aktor dan sutradara sekaligus. Hukum-hukum alam yang sebelumnya dianggap sebagai kehendak ilahi, kini dimengerti sebagai sistem bisu yang bisa dijinakkan, dimodifikasi, atau bahkan direkayasa oleh nalar manusia. Dalam istilah filsuf Prancis Michel Serres, "alam telah dibungkam"; ia tidak lagi memberi perintah moral atau spiritual, tetapi hanya memberi data.
Perubahan ini bukan hanya filosofis, tetapi juga praktis. Seorang pemburu-pengumpul pada zaman Paleolitik mungkin harus bernegosiasi dengan roh rusa sebelum berburu. Seorang petani pada zaman Bronze Age harus mempersembahkan korban kepada dewa kesuburan agar panennya berhasil. Tetapi seorang ilmuwan nutrisi di Nestlé hari ini hanya perlu mengutak-atik genom sapi perah untuk meningkatkan produksi susu. Gen tidak menuntut ritual atau pengorbanan; ia hanya menunggu untuk dimanipulasi.
Apa konsekuensi dari perubahan ini? Manusia modern tidak hanya menjadi penguasa dunia biologis, tetapi juga pencipta realitas baru. Dengan kekuatan bioteknologi, kecerdasan buatan, dan rekayasa genetika, kita tidak lagi bergantung pada kemurahan Tuhan atau kemurahan alam. Kita bisa menciptakan kehidupan baru, memperpanjang umur, bahkan mungkin suatu hari mengunggah kesadaran ke mesin. Dalam lanskap ini, Tuhan bukan lagi pusat gravitasi spiritual, melainkan satu gagasan di antara banyak gagasan lain—tersimpan di rak sejarah bersama Zeus dan Osiris.
Namun, posisi manusia sebagai satu-satunya aktor di atas panggung membawa serta beban eksistensial yang besar. Di satu sisi, kita memperoleh kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya. Tapi di sisi lain, kita kehilangan sistem makna yang dahulu menopang peradaban. Ketika tidak ada lagi suara dari langit, tidak ada roh dalam pohon, dan tidak ada makna intrinsik dalam hidup selain yang kita ciptakan sendiri, maka pertanyaan-pertanyaan lama muncul kembali: Untuk apa semua ini? Siapa yang menetapkan batas moral? Kepada siapa kita bertanggung jawab?
Inilah dilema modernitas: setelah membungkam binatang dan Tuhan, umat manusia berdiri sendiri dalam monolog panjang yang menggema di panggung kosmik. Kita adalah penulis dan pemeran utama, tetapi juga satu-satunya penonton. Dalam dunia di mana semuanya bisa direkayasa, tanggung jawab etis tidak lagi bisa ditumpahkan kepada kehendak ilahi, tetapi harus ditanggung oleh spesies yang telah menulis ulang seluruh naskah drama eksistensi: homo sapiens.
AOS
No comments:
Post a Comment