Secara keseluruhan, bencana-bencana tersebut mengakibatkan lebih dari 4.200 korban meninggal atau hilang, hampir 10 juta jiwa terdampak dan mengungsi, serta ratusan ribu rumah rusak. Angka-angka ini mencerminkan betapa rentannya wilayah Indonesia secara geologis dan klimatologis. Peristiwa ini juga mendorong munculnya berbagai tanggapan, baik yang bersifat ilmiah maupun religius. Beberapa tokoh, seperti Ma’ruf Amin, menyatakan bahwa bencana adalah “buatan Tuhan” dan harus diterima dengan sabar. Pandangan seperti ini mencerminkan tradisi pemikiran fatalistik dalam teologi Islam yang berakar dari aliran Jabariah-Asy’ariyah, yang menekankan kekuasaan mutlak Tuhan atas segala kejadian.
Namun dari sudut pandang ilmiah, bencana alam bukanlah peristiwa yang sepenuhnya tak terjelaskan. Ia adalah hasil dari mekanisme fisis yang kompleks dan proses geodinamika yang dapat dipelajari, dimodelkan, dan dalam beberapa kasus dapat diprediksi serta dikelola dampaknya.
Secara tektonik, Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng besar dunia: Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Kawasan ini merupakan bagian dari zona cincin api Pasifik (Ring of Fire), yang merupakan wilayah paling aktif secara vulkanik dan seismik di dunia. Ini menjelaskan tingginya frekuensi gempa bumi, letusan gunung api, dan tsunami yang terjadi setiap tahun. Di sisi lain, bencana seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan, sering kali diperparah oleh kerusakan lingkungan, alih fungsi lahan, dan perubahan iklim.
Beberapa studi juga mengaitkan bencana dengan faktor lain yang bersifat lebih luas. Dalam forum tahunan Geological Society of America tahun 2017, dua ilmuwan, Roger Bilham dan Rebecca Bendick, mengungkapkan bahwa pelambatan rotasi bumi secara periodik dapat memicu peningkatan aktivitas seismik. Meski perlambatannya sangat kecil—sekitar satu milidetik per hari—hal ini cukup untuk menambah tekanan internal bumi, yang kemudian dilepaskan dalam bentuk gempa. Dari studi terhadap lebih dari satu abad data gempa bumi, mereka menemukan bahwa setiap periode pelambatan rotasi bumi diikuti oleh lonjakan aktivitas gempa besar dalam kurun lima tahun setelahnya.
Di luar pendekatan geotektonik, terdapat pula pendekatan kosmologis yang mencoba menjelaskan hubungan antara aktivitas matahari, medan magnet bumi, dan dinamika bencana. Beberapa peneliti independen, seperti David Wilcock dan Weinhold, berargumen bahwa peningkatan aktivitas elektromagnetik matahari dan posisi bumi terhadap pusat galaksi dapat memengaruhi kestabilan planet, termasuk potensi gempa dan letusan gunung berapi. Meskipun teori ini masih diperdebatkan dan belum mendapat konsensus ilmiah, data dari NASA memang menunjukkan peningkatan aktivitas sunspot dan fluktuasi medan magnet matahari dalam dua dekade terakhir, yang diduga memiliki dampak terhadap cuaca antariksa dan ionosfer bumi.
Pertanyaan besar yang muncul kemudian adalah: apakah bencana alam bisa diatasi? Fisikawan teoritis Michio Kaku menjawab pertanyaan ini dengan merujuk pada kerangka peradaban teknologi yang dikembangkan oleh astrofisikawan Rusia, Nikolai Kardashev. Dalam klasifikasinya, peradaban dibagi menjadi tiga tingkat. Peradaban tipe I mampu mengelola energi planet secara menyeluruh, termasuk mengendalikan cuaca dan aktivitas geofisika. Tipe II mampu memanfaatkan energi dari seluruh bintang induknya (seperti matahari), sementara tipe III mampu mengendalikan energi skala galaksi. Menurut Kaku, umat manusia saat ini masih berada pada tingkat 0,7—belum sepenuhnya menjadi peradaban planet.
Dengan kata lain, selama kita belum mencapai status peradaban tipe I, kemampuan kita untuk mencegah atau mengendalikan bencana besar seperti gempa, tsunami, dan letusan gunung api masih sangat terbatas. Namun, hal ini bukan berarti kita tak berdaya. Melalui perkembangan teknologi mitigasi, sistem peringatan dini, satelit pemantau tektonik dan cuaca, serta perencanaan tata ruang berbasis risiko bencana, kita perlahan-lahan sedang membangun kapasitas menuju peradaban yang lebih resilien.
Menjadikan bencana sebagai takdir atau “peringatan Tuhan” dapat memberikan ketenangan spiritual, namun dalam jangka panjang berpotensi menghambat kemajuan dalam mitigasi dan adaptasi. Justru dengan memahami mekanisme ilmiah di balik bencana, kita dapat mempersiapkan diri secara kolektif, memperkuat sistem tanggap darurat, dan membangun masyarakat yang lebih sadar risiko.
Ilmu pengetahuan tidak menawarkan kekebalan terhadap bencana, tetapi ia memberikan kita alat untuk memahami, memprediksi, dan memperkecil dampak. Di sinilah peran penting sains: bukan untuk melawan alam, tetapi untuk hidup berdampingan dengannya secara cerdas dan berkelanjutan.
AOS
No comments:
Post a Comment