Bayangkan kita berada di wilayah galaksi jauh yang dinamai GN-z11—salah satu galaksi tertua dan terjauh yang pernah terdeteksi, berjarak sekitar 13,4 miliar tahun cahaya dari Bumi. Jika dari sana kita mencoba menatap ke arah Bimasakti, hampir mustahil menemukan tanda keberadaan galaksi kita, apalagi Matahari atau Bumi. Maka muncul pertanyaan mendasar: masihkah masuk akal menganggap manusia sebagai makhluk istimewa, unik, atau bahkan sakral dalam skema kosmis yang luas ini?
Setiap galaksi diperkirakan mengandung 100 hingga 400 miliar bintang, dan jumlah planet diyakini setidaknya menyamai—bahkan mungkin melebihi—jumlah bintang tersebut. Dengan estimasi konservatif, berarti terdapat sekitar 10²⁴ planet di alam semesta yang dapat diamati—yaitu sepuluh juta triliun dunia. Data dari misi Kepler dan TESS menyatakan bahwa sekitar 1 dari 5 bintang seperti Matahari memiliki planet seukuran Bumi di zona laik huni, yaitu wilayah yang memungkinkan keberadaan air cair di permukaan planet. Jika hanya di Galaksi Bimasakti saja ada sekitar 6 miliar planet laik huni, maka apakah di antara semua dunia itu kehidupan cerdas telah berevolusi, mungkin bahkan membentuk peradaban yang melampaui pemahaman kita?
Jika mereka ada, seperti apa rupa mereka? Biokimia seperti apa yang menopang kehidupan mereka? Apakah sistem saraf dan struktur kognitif mereka menyerupai kita? Mungkinkah mereka memiliki bentuk seni, ilmu pengetahuan, dan bahkan sistem moral atau spiritual yang berbeda sama sekali dengan milik manusia? Mungkin, suatu hari nanti, kita akan menjumpai mereka—atau jejak teknologi mereka, seperti struktur Dyson yang mengelilingi bintang mereka untuk memanen energinya.
Namun hingga hari itu tiba, kita hanya bisa memandang langit malam dari permukaan satu planet kecil—planet batuan dengan atmosfer tipis dan medan magnet pelindung, yang mengorbit bintang biasa di galaksi biasa. Cahaya yang dipantulkan Bumi terlalu redup untuk terlihat dari jarak antargalaksi. Satu-satunya dunia yang pasti kita tahu memiliki kehidupan adalah Bumi.
Di sinilah, di planet ini, kehidupan seperti kita muncul dan berevolusi selama lebih dari 3,8 miliar tahun. Homo sapiens sendiri baru hadir sekitar 300.000 tahun yang lalu. Di dunia inilah manusia mengembangkan bahasa, budaya, teknologi, dan dorongan abadi untuk memahami asal-usulnya dan menjelajahi langit. Kata Carl Sagan, dari sinilah kita memulai perjalanan untuk memahami kosmos, dan di sinilah pula—dalam keterbatasan dan ketidakpastian—kita menentukan nasib kita sendiri.
Dan semua itu terjadi di sebuah dunia kecil, berputar mengelilingi matahari, sementara seberkas cahaya menempuh jarak hampir 300.000 kilometer hanya dalam satu detik—menjadi saksi betapa luas dan cepatnya semesta dibandingkan keberadaan kita yang rapuh.
AOS
No comments:
Post a Comment