
Narasi ini, sebagaimana diungkap Yuval Noah Harari dalam Sapiens, menandai titik balik dalam cara manusia memandang realitas. Di masa lalu, pohon apel sering kali merupakan simbol religius: dalam Kitab Kejadian, pohon pengetahuan baik dan jahat adalah titik mula dari kejatuhan manusia. Ketika Hawa menggigit buah yang dilarang, Tuhan menghukum manusia dengan penderitaan, kematian, dan pengusiran dari Taman Eden. Keingintahuan dianggap sebagai pelanggaran. Ilmu adalah buah terlarang.
Namun dalam kisah Newton, pohon apel menjadi simbol pengetahuan ilmiah yang membebaskan. Tidak ada ular yang menggoda, tidak ada Tuhan yang murka. Tidak ada dosa warisan. Hanya satu manusia dan hukum alam yang bisa dipelajari. Ini adalah mitos baru: taman Woolsthorpe menggantikan Eden, dan Newton menggantikan Adam. Apel yang jatuh bukanlah cobaan moral, melainkan peristiwa fisikal yang bisa diukur dan dijelaskan. Di sinilah Revolusi Saintifik menggeser pusat gravitasi intelektual dari langit ke bumi—dari kehendak ilahi ke hukum alam.
Newton sendiri bukanlah ateis, bahkan ia religius dan tertarik mendalam pada teologi dan alkimia. Namun ironi besar dalam sejarah sains adalah bahwa ide-ide yang lahir dari tangan para ilmuwan beriman justru mengikis peran Tuhan dalam penjelasan kosmos. Ketika Newton menyusun Principia Mathematica (1687), ia menciptakan sistem mekanistik yang bisa meramalkan gerak planet tanpa menyebut satu pun ayat suci. Dunia ini, menurut model Newtonian, adalah mesin raksasa yang berjalan menurut aturan pasti—tanpa perlu intervensi konstan dari Sang Pencipta. Tuhan, dalam pengertian operasional, menjadi pengangguran metafisik.
Transformasi ini bukan hanya epistemologis, tapi juga teologis dan antropologis. Jika di masa lampau Tuhan adalah sumber otoritas dan makna, Revolusi Saintifik menegaskan bahwa manusia bisa mencari kebenaran tanpa wahyu. Sains modern menuntut keraguan metodis, bukan iman. Hasilnya adalah pergeseran besar: manusia bukan lagi ciptaan pasif yang menunggu perintah dari langit, tetapi subjek aktif yang merancang dunia dengan akalnya sendiri.
Harari mencatat bahwa dalam mitologi lama, keingintahuan dianggap dosa; tetapi dalam mitologi sains, keingintahuan adalah kebajikan tertinggi. Tidak ada yang menghukum Newton karena bertanya, justru dunia menghormatinya. Inilah narasi yang kini diajarkan di jutaan ruang kelas: bahwa pengetahuan membebaskan, bahwa kita bisa menciptakan "surga" di dunia melalui teknologi. Cerita ini menjadi dasar ideologi humanisme—gagasan bahwa manusia adalah pusat dari segala nilai.
Namun kisah ini tak berhenti di Newton. Dalam dua abad setelahnya, revolusi ilmiah melahirkan bioteknologi, mesin uap, komputer, rekayasa genetika, dan kecerdasan buatan. Homo sapiens tidak hanya memahami hukum alam, tetapi mulai menulis ulangnya. Dalam pengertian metaforis, manusia hari ini bukan sekadar memakan buah pohon pengetahuan; kita tengah mencoba menjadi penanam pohonnya. Kita mengedit genom, menciptakan kehidupan sintetis, bahkan merancang otak digital. Sebagaimana Harari katakan, sains membawa kita kembali ke Taman Eden, namun kali ini sebagai calon deus ex machina—tuhan buatan yang diciptakan oleh kita sendiri.
Revolusi Saintifik juga membawa perubahan dalam struktur keyakinan manusia. Jika Revolusi Agrikultur melahirkan agama-agama bertuhan—Yahudi, Kristen, Islam—yang menekankan adanya entitas ilahi transenden, maka Revolusi Saintifik menyuburkan agama-agama humanistik. Dalam spektrum pemikiran modern, lahirlah ideologi seperti liberalisme, sosialisme, komunisme, bahkan Nazisme. Meski berbeda orientasi politik, semuanya menempatkan manusia—bukan Tuhan—sebagai pusat nilai dan makna.
Humanisme percaya bahwa manusia memiliki nilai intrinsik, martabat, dan otonomi moral. Dalam versi liberal, manusia adalah individu bebas yang harus mengejar kebahagiaannya sendiri. Dalam versi sosialis, nilai manusia diwujudkan melalui solidaritas kolektif. Bahkan dalam Nazisme—meski destruktif dan rasis—terdapat penekanan pada superioritas biologis manusia tertentu, dan penolakan terhadap campur tangan ilahi. Semua ideologi ini lahir dari asumsi yang sama: bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu. Homo sapiens adalah sumber legitimasi, bukan Tuhan.
Implikasi paling nyata dari pandangan ini terlihat dalam pertanian modern, khususnya peternakan industri. Di masa lalu, praktik agrikultur dibenarkan oleh argumen religius: Tuhan menugaskan manusia untuk "menguasai bumi". Tapi dalam dunia humanistik, praktik eksploitatif dibenarkan atas dasar kebutuhan dan kenikmatan manusia sendiri. Hewan diperlakukan sebagai objek produksi karena mereka tidak dianggap memiliki “kesakralan” seperti manusia. Revolusi Saintifik menciptakan teknologi yang memungkinkan skala industri dalam eksploitasi makhluk hidup, tetapi nilai-nilai humanisme justru merasionalisasi proses tersebut sebagai “kemajuan.”
Dengan sains, manusia kini mengontrol lebih banyak aspek kehidupan daripada yang pernah dibayangkan oleh mitologi mana pun. Kita menciptakan vaksin mRNA dalam hitungan bulan, merekayasa tanaman transgenik, dan membangun jaringan saraf buatan yang bisa menulis puisi. Dalam banyak hal, kita telah melampaui para dewa kuno yang hanya bisa menyembuhkan satu orang atau mengirim hujan. Manusia modern bisa menciptakan badai buatan dan menyembuhkan ribuan pasien kanker. “Apa yang dulu dilakukan oleh dewa-dewa,” tulis Harari, “kini dilakukan oleh insinyur dan ilmuwan.”
Namun, apakah kita benar-benar telah menggantikan Tuhan? Atau justru menciptakan versi baru dari Tuhan yang kini memakai jubah teknologi dan algoritma? Harari memperingatkan bahwa sementara kita menaikkan status manusia ke tingkat yang semula disandang oleh para dewa, kita juga menciptakan risiko baru yang tak kalah apokaliptik: krisis ekologis, senjata biologis, dan kecerdasan buatan yang mungkin tidak lagi tunduk pada kehendak manusia.
Singkatnya, Revolusi Saintifik tidak hanya merombak pandangan kita tentang alam semesta, tetapi juga tentang diri kita sendiri. Dari makhluk ciptaan, manusia berubah menjadi pencipta. Dari penyembah, menjadi pusat pemujaan. Dan dari pengikut hukum ilahi, menjadi penulis hukum-hukum baru. Kita telah mencabut narasi dari tangan Tuhan, dan menulis ulang kitab asal-usul kita sendiri—bukan dengan nubuat, tapi dengan persamaan diferensial dan kode genetika.
Namun sebagaimana dalam semua mitos, pertanyaan terbesarnya tetap sama: akankah manusia menggunakan kekuatan ini untuk menciptakan Eden baru—atau membangun menara Babel yang membawa pada kejatuhan baru?
AOS
No comments:
Post a Comment