Di era pra-modern, semangat ekonomi sangat berbeda. Sebagian besar masyarakat agraris melihat dunia sebagai tatanan yang statis, bahkan siklikal. Gagasan bahwa masa depan akan lebih baik dari masa lalu nyaris tak terdengar. Karena tidak ada harapan akan ekspansi, orang tidak melihat alasan untuk memberi pinjaman besar atau mengambil risiko investasi. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi stagnan selama berabad-abad.
Namun segalanya berubah seiring munculnya gagasan kemajuan. Sejak Renaisans dan terutama setelah Revolusi Ilmiah abad ke-17, mulai berkembang pandangan bahwa masa depan bisa dikendalikan dan diperbaiki. Kepercayaan inilah yang kemudian menjadi bahan bakar revolusi kapitalisme. Di dunia modern, iman terhadap pertumbuhan menjadi semacam dogma universal. Inilah keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi akan terus berlanjut jika investasi dan inovasi terus berlangsung.
Pada 1776, Adam Smith menerbitkan karya monumental An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, yang menjadi semacam "kitab suci" kapitalisme klasik. Ia menawarkan ide radikal: bahwa pencarian keuntungan pribadi akan mengarah, melalui mekanisme pasar bebas, pada keuntungan kolektif. “Bukan dari kebaikan hati tukang daging, pembuat bir, atau tukang roti kita mendapatkan makan malam,” tulis Smith, “melainkan dari perhatian mereka pada kepentingan diri mereka sendiri.”
Smith menolak pandangan kuno bahwa serakah itu jahat. Justru sebaliknya, ia menunjukkan bahwa sistem yang mendorong orang untuk mengejar kepentingan pribadi secara produktif akan menciptakan kekayaan yang bisa dinikmati semua orang. Inilah kelahiran etika ekonomi baru: bukan pengorbanan, tetapi produksi dan pertumbuhan yang jadi ukuran moral.
Gagasan ini mengarah pada transformasi sistem nilai masyarakat. Dalam kapitalisme, laba bukan lagi sesuatu yang dikumpulkan lalu disimpan, melainkan harus diinvestasikan kembali. Siklus "laba → investasi → produksi → laba" menjadi roda utama pertumbuhan ekonomi. Tanpa siklus ini, kapitalisme akan stagnan atau runtuh. Inilah prinsip yang diterjemahkan dalam sistem keuangan modern berupa kredit jangka panjang, suku bunga rendah, dan ekspansi moneter.
Kapitalisme tidak hanya menjadi sistem ekonomi, tetapi juga kerangka moral dan budaya. Ia mendikte bagaimana orang membesarkan anak, mengelola waktu, memilih pendidikan, bahkan mendefinisikan kebahagiaan. Di abad ke-21, pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai parameter utama kesejahteraan negara, bahkan mengalahkan isu keadilan sosial atau keberlanjutan lingkungan.
Etika baru ini juga menopang sains modern. Penelitian ilmiah, dari fisika kuantum hingga rekayasa genetika, kini sangat tergantung pada dana riset yang berasal dari negara dan sektor swasta. Tanpa harapan keuntungan ekonomi, banyak penelitian tak akan pernah terjadi. Sebaliknya, kemajuan sains membuka pintu bagi industri baru: bioteknologi, nanoteknologi, kecerdasan buatan. Ekonomi kapitalis dan sains menjadi dua sistem yang saling menopang dan memperkuat.
Namun, pertanyaannya tetap menggelisahkan: Apakah kapitalisme akan bertahan selamanya?
Sejak krisis finansial global 2008, sistem kapitalisme global hidup dari "gelembung harapan". Bank sentral di seluruh dunia mencetak uang dalam jumlah besar untuk menyelamatkan institusi keuangan dan menjaga stabilitas pasar. Menurut laporan IMF (2023), lebih dari $25 triliun telah disuntikkan ke pasar sejak 2008 melalui kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing). Namun uang ini tidak disertai dengan penciptaan nilai riil yang sebanding.
Dengan utang publik dan swasta yang terus membengkak, keberlanjutan sistem kapitalisme saat ini sangat bergantung pada inovasi teknologi yang bisa menciptakan pasar baru. Para ekonom menyebutnya sebagai “pertaruhan terhadap masa depan”. Jika laboratorium-laboratorium di Boston, Tokyo, atau Shenzhen gagal menghasilkan inovasi besar dalam dekade ini—seperti energi fusi, terobosan bioteknologi, atau AI yang mampu meningkatkan produktivitas drastis—maka kapitalisme bisa menghadapi stagnasi global atau bahkan kehancuran sistemik.
Dalam kata lain, kapitalisme hidup dari janji yang belum ditepati, dan janji itu kini sepenuhnya bergantung pada kecerdasan manusia dalam menciptakan keajaiban ilmiah.
AOS
No comments:
Post a Comment