Thursday, August 22, 2019

Visi Dunia Abad ke-21: Dari Homo Sapiens Menuju Homo Deus

Memasuki abad ke-21, umat manusia dihadapkan pada visi peradaban yang sepenuhnya baru: pencapaian imortalitas, kebahagiaan rekayasa, dan bahkan keilahian melalui teknologi. Gagasan ini, yang dipopulerkan oleh sejarawan Yuval Noah Harari dalam karya-karyanya seperti Homo Deus, merupakan lanjutan dari kemenangan ideologis Liberalisme atas Sosialisme dan Fasisme pasca-Perang Dingin. Namun, berbeda dengan janji-janji politik di abad ke-20, abad ke-21 didominasi oleh kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam bentuk bioteknologi dan algoritma komputasi.
Menurut Harari, sejarah manusia telah memasuki "kereta kemajuan jilid II"—sebuah metafora untuk lonjakan revolusioner pasca-revolusi industri yang kali ini bukan sekadar mengubah ekonomi atau sosial, melainkan menguji batas-batas biologis spesies manusia itu sendiri. Mereka yang mampu mengikuti perkembangan ini—baik secara ekonomi, intelektual, maupun etika—akan memperoleh kemampuan nyaris ilahiah: mencipta kehidupan, memodifikasi pikiran, dan memperpanjang umur hingga tak terbatas. Namun mereka yang tertinggal akan menghadapi bentuk eksklusi yang ekstrem—bahkan potensi kepunahan—karena transformasi ini tidak inklusif secara otomatis.

Dalam perspektif Harari, produk utama abad ke-21 bukan lagi tekstil, kendaraan, atau baja, seperti pada revolusi industri pertama, melainkan tubuh, otak, dan pikiran. Ini tercermin dalam kemajuan teknologi seperti CRISPR-Cas9 untuk rekayasa genetika, neural interfaces untuk interkoneksi otak-komputer, serta machine learning dan AI generatif yang mulai menggantikan kerja kognitif manusia.

Di sisi ideologi, Sosialisme terbukti gagal menyesuaikan diri dengan logika dunia digital dan algoritmik. Ia tidak memiliki infrastruktur teori maupun praktik yang dapat bersaing dalam ekosistem teknologi yang berubah sangat cepat. Sebaliknya, Liberalisme, dengan penekanannya pada kebebasan individu dan pasar terbuka, berhasil beradaptasi dan bahkan mendorong gelombang baru inovasi berbasis AI dan bioteknologi.

Namun, yang menurut Harari paling tertinggal adalah agama-agama besar dunia. Ia menilai bahwa agama, yang gagal menyesuaikan diri bahkan dengan revolusi industri abad ke-19, kini semakin terpinggirkan dalam menghadapi realitas baru seperti rekayasa genetika, cyborg, dan kecerdasan buatan. “Kitab-kitab suci,” tulis Harari, “tidak memiliki apapun yang bisa dikatakan tentang CRISPR atau deep learning.” Para pemuka agama sebagian besar tidak memahami sains kontemporer, sehingga respons mereka cenderung reaktif, bukan proaktif atau solutif.

Meski demikian, agama belum sepenuhnya kehilangan relevansi. Di banyak masyarakat, ia tetap menjadi kerangka moral dan identitas kolektif. Namun pertanyaannya kini lebih mendesak: mampukah agama menawarkan etika yang dapat menjawab dilema moral dari bioteknologi dan AI? Dan jika tidak, siapa yang akan mengisi kekosongan itu?

Visi dunia abad ke-21, seperti dipetakan Harari, bukan hanya transformasi teknologi, tapi juga transisi ontologis: dari Homo sapiens menuju Homo deus—manusia sebagai pencipta. Namun ia juga memperingatkan, pencapaian ini membawa risiko luar biasa. Kekuatan seperti dewa tidak menjamin kebijaksanaan seperti dewa. Dunia akan semakin terbagi: antara mereka yang memahami dan menguasai teknologi dan mereka yang menjadi objek dari teknologi tersebut.

AOS

No comments:

Post a Comment