Namun ketika dunia memasuki era modern — dari Revolusi Ilmiah abad ke-17 hingga Pencerahan abad ke-18 — fondasi dari drama kosmis ini mulai terkikis. Copernicus menyingkirkan Bumi dari pusat semesta, Galileo mengamati langit bukan dengan wahyu tapi dengan teleskop, dan Newton memformulasikan hukum gravitasi tanpa menyebut kehendak ilahi. Dalam satu tarikan sejarah, manusia tidak lagi dilihat sebagai pusat jagat, melainkan sebagai spesies kecil di atas bongkahan batu yang mengelilingi bintang acak dalam galaksi yang biasa-biasa saja.
Modernitas: Dunia Tanpa SutradaraKultur modern tidak lagi mempercayai bahwa hidup manusia adalah babak dalam naskah besar yang ditulis oleh Tuhan atau oleh alam semesta yang bermakna. Kini, mayoritas ilmuwan sepakat bahwa alam semesta adalah sistem kausal buta, tanpa tujuan, tanpa moral, dan tanpa penonton. Fisikawan seperti Steven Weinberg menyatakan bahwa “semakin kita memahami alam semesta, semakin tampak bahwa alam semesta ini tak bermakna.” Dalam model kosmologi modern, semesta lahir dari fluktuasi kuantum, mengembang secara eksponensial (inflasi kosmik), dan akan berakhir dalam kegelapan abadi — “heat death” — ketika semua energi habis dan waktu berhenti berjalan.
Tidak ada panggung. Tidak ada skenario. Tidak ada plot. Tidak ada jaminan bahwa kebaikan akan menang. Dunia bukan drama, tapi perhitungan statistik.
Hal ini menghasilkan efek psikologis dan filosofis mendalam. Jika tidak ada narasi kosmis, maka penderitaan manusia tidak lagi memiliki makna metafisik. Tidak ada rencana ilahi yang menjelaskan mengapa anak-anak mati di Gaza, atau mengapa ada kanker, kelaparan, dan ketidakadilan. Peristiwa buruk bisa terjadi tanpa sebab moral. Tidak ada tangan ilahi yang mengatur itu. Dunia tidak memperhatikan air mata kita — dan tidak berniat menebusnya.
Perjanjian Baru: Melepas Makna, Mendapat KekuasaanMeski pahit, kultur modern menegosiasikan suatu perjanjian baru: jika Anda rela meninggalkan keyakinan akan rencana kosmis raya, kami akan memberi Anda kekuasaan atas dunia ini. Sains modern tidak bisa memberi makna, tapi ia memberi teknologi. Ia tidak menjawab “mengapa?”, tapi ia sangat efisien menjawab “bagaimana?”
-
Dulu, manusia berdoa untuk hujan. Kini, kita menggunakan rekayasa cuaca atau teknologi irigasi presisi.
-
Dulu, orang memohon kesembuhan dari penyakit. Kini, kita punya antibiotik, vaksin mRNA, dan terapi gen.
-
Dulu, ramalan didasarkan pada wahyu atau astrologi. Kini, keputusan dibuat lewat machine learning dan prediksi berbasis data besar.
Inilah bentuk tertinggi dari sekularisasi: bukan sekadar memisahkan agama dari negara, tetapi mendisolusi kebutuhan akan narasi transenden.
Dan yang mengejutkan: dunia tidak runtuh karena Tuhan mati.
Nietzsche mengumumkan “kematian Tuhan” pada abad ke-19 — suatu metafora untuk hilangnya iman kolektif akan otoritas ilahi — dan memperingatkan bahwa umat manusia akan kehilangan fondasi moral dan eksistensial. Banyak tokoh seperti Dostoyevsky menyuarakan ketakutan yang sama: jika tidak ada Tuhan, maka segalanya diizinkan. Dunia akan tenggelam dalam anarki dan nihilisme.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya: Belanda yang sekuler lebih damai dari Suriah yang takut Tuhan. Negara-negara paling aman, paling stabil, dan paling adil di dunia saat ini — Norwegia, Swedia, Denmark, Finlandia, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru — bukanlah negara dengan keimanan tinggi, tetapi negara sekuler, dengan tingkat kepercayaan kepada Tuhan yang rendah, tetapi komitmen tinggi pada pendidikan, ilmu pengetahuan, dan hak asasi manusia.
Pencarian Makna di Dunia Tanpa TuhanMeskipun modernitas membongkar naskah kosmis, manusia tidak pernah berhenti mencari makna. Proyek besar modern bukanlah pengganti wahyu dengan kekosongan, melainkan pencarian makna di dunia yang kosong dari rencana ilahi.
Dari gerakan eksistensialis (Sartre, Camus) hingga psikologi positif (Frankl, Maslow), muncul dorongan untuk menciptakan makna buatan — bukan yang diturunkan dari langit, tapi yang diciptakan manusia sendiri. Anda bisa menjadi seniman, ilmuwan, pejuang hak asasi, atau orang tua — dan dalam peran itu, menemukan makna pribadi, meskipun semesta secara objektif tidak peduli.
Dalam hal ini, manusia modern menjadi seperti dewa kecil: tidak memiliki naskah, tapi memiliki pena. Dunia tidak punya plot, tapi manusia modern bisa menulis cerita sendiri — cerita tentang keadilan, cinta, dan pembebasan.
Konflik Terakhir: Kekuasaan Versus KeimananIronisnya, mereka yang paling percaya pada drama kosmis hari ini justru sering kali menjadi sumber kekacauan terbesar. Dari ISIS di Timur Tengah hingga nasionalisme Hindu di India, dari kristen evangelis fundamentalis di Amerika hingga kelompok radikal zionis di Israel — yang mengklaim dirinya paling dekat dengan kehendak Tuhan sering kali menjadi pihak yang paling intoleran, paling militan, dan paling berbahaya.
Lihatlah Suriah: negara yang sarat simbol dan narasi religius, tetapi hancur karena konflik sektarian, fanatisme, dan ideologi teokratis. Bandingkan dengan Belanda — negara kecil yang tidak percaya pada surga dan neraka, tapi bisa membangun sistem pendidikan, transportasi, dan layanan publik yang sangat manusiawi.
Kesimpulan: Kita Tidak Lagi Dalam DramaDi dunia hari ini, manusia tidak lagi hidup dalam drama ilahiah. Tidak ada sutradara. Tidak ada tujuan akhir. Tidak ada langit yang memberi jaminan keselamatan. Tapi kita diberi kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya: untuk menciptakan, untuk memahami, untuk mengubah.
Modernitas tidak menawarkan surga, tapi menawarkan tanggung jawab. Ia tidak memberikan jaminan makna, tapi memberi Anda kekuasaan untuk membentuk makna.
Dalam dunia tanpa Tuhan, tanpa naskah, dan tanpa jaminan akhir yang bahagia, manusia menemukan sesuatu yang lebih berharga: kemerdekaan untuk menjadi pengarang dari ceritanya sendiri.
AOS
No comments:
Post a Comment