Gagasan tentang kesetaraan manusia merupakan konsep normatif, bukan deskriptif-biologis. Evolusi justru bergantung pada variasi, bukan pada kesetaraan. Setiap individu memiliki susunan genetik yang unik dan mengalami pengaruh lingkungan yang berbeda sejak lahir. Akibatnya, manusia tumbuh dengan kemampuan, kecenderungan, dan kapasitas yang sangat beragam. Secara biologis, tidak ada mekanisme alamiah yang menjamin semua manusia akan memiliki “hak” atau “kesetaraan” sejak lahir. Gagasan seperti "semua manusia diciptakan setara"—seperti tertulis dalam Declaration of Independence Amerika Serikat tahun 1776—adalah produk dari konstruksi kultural dan filosofis, bukan prinsip ilmiah.
Dalam kerangka pemikiran ini, hak asasi manusia, kemerdekaan, dan kesetaraan bukanlah realitas biologis, melainkan konstruksi sosial yang bergantung pada konsensus kolektif. Sejarawan Yuval Noah Harari menyebut konsep-konsep ini sebagai bagian dari “realitas intersubjektif”—yaitu sesuatu yang hanya ada karena banyak manusia mempercayainya secara bersamaan. Jika keyakinan itu runtuh, maka tatanan sosial yang dibangunnya pun bisa runtuh.
Dalam praktiknya, untuk menjaga agar tatanan ini tetap bertahan, manusia menggunakan dua mekanisme utama:
-
Kekuatan koersif seperti hukum, polisi, dan militer untuk menjaga kepatuhan terhadap norma-norma sosial.
-
Internalisasi nilai melalui pendidikan, budaya, agama, dan seni agar masyarakat tidak hanya patuh secara eksternal, tapi juga percaya secara internal terhadap tatanan tersebut.
Dengan kata lain, tatanan sosial yang dibangun atas dasar hak, kebebasan, dan kesetaraan bergantung pada mitos kolektif yang terus-menerus diperkuat—melalui narasi nasionalisme, teologi, doktrin moral, hukum sipil, bahkan media populer.
Paradoksnya, keberlangsungan masyarakat modern justru membutuhkan pengingkaran terhadap fakta biologis bahwa manusia tidak setara secara alamiah. Bila masyarakat luas menyadari bahwa hak-hak tersebut bersifat fiktif, ada risiko munculnya relativisme ekstrem atau bahkan kekacauan sosial. Oleh karena itu, sistem pendidikan dan budaya sering kali mengafirmasi nilai-nilai ini sebagai “kebenaran objektif”, bukan sebagai kesepakatan sosial yang rapuh.
Namun, penting juga dicatat bahwa meskipun hak asasi tidak bersumber dari biologi, bukan berarti mereka tidak sah atau tidak berguna. Justru sebaliknya: kesadaran akan fiksionalitas hak memberi kita tanggung jawab untuk secara sadar membentuk tatanan sosial yang lebih adil. Hak asasi manusia adalah teknologi sosial—ciptaan budaya yang dirancang untuk meminimalkan penderitaan, mendorong koeksistensi damai, dan memfasilitasi kerja sama dalam skala besar.
Seperti yang dikatakan filsuf John Searle, "semua institusi sosial adalah ciptaan kita sendiri yang kita perlakukan sebagai kenyataan objektif." Dengan memahami keterbatasannya, kita justru bisa memperkuatnya dengan cara yang lebih bijak dan adil.
AOS
No comments:
Post a Comment