Thursday, August 22, 2019

Terorisme: Strategi Ketakutan dalam Teater Politik Global

Terorisme bukanlah tentang seberapa besar kekuatan militer yang dimiliki, melainkan tentang seberapa efektif rasa takut dapat disebarkan. Dalam esensinya, terorisme adalah seni mengelola persepsi dan emosi kolektif. Sejumlah kecil korban jiwa sering kali cukup untuk mengguncang miliaran pikiran manusia dan menggeser keseimbangan politik suatu negara atau bahkan dunia.

Para teroris memahami bahwa dalam dunia yang terhubung secara instan melalui media dan internet, narasi lebih berbahaya daripada peluru. Mereka menciptakan panggung kekerasan yang spektakuler dan simbolik—bukan untuk menghancurkan secara material, tetapi untuk meracuni imajinasi massa. Ledakan di pasar, serangan di tempat ibadah, atau penembakan di ruang publik adalah bentuk-bentuk "teater kekerasan" yang tidak hanya menghancurkan fisik, tapi terutama merusak rasa aman masyarakat.

Yuval Noah Harari dalam Homo Deus menyebut bahwa terorisme adalah bentuk perang psikologis yang sangat tidak seimbang. Ia menulis: “Teroris seperti lalat yang ingin menghancurkan sebuah toko barang pecah belah. Karena tidak mampu menggeser bahkan cangkir teh, lalat itu masuk ke telinga seekor banteng dan mulai berdengung. Banteng yang panik lalu menghancurkan seluruh toko.” Dalam analogi ini, lalat mewakili kelompok teroris, toko pecah belah adalah kawasan Timur Tengah, dan banteng adalah kekuatan besar seperti Amerika Serikat. Serangan 11 September 2001 menjadi contoh sempurna: hanya 19 pembajak dengan biaya operasi sekitar $500.000 berhasil memancing AS menghabiskan lebih dari $6 triliun dalam "Perang Melawan Teror", serta mengacaukan stabilitas kawasan selama dua dekade.

Terorisme juga merupakan strategi dari pihak yang secara konvensional lemah. Mereka tidak memiliki armada, pasukan, atau teknologi militer setara dengan negara-negara besar. Namun mereka memiliki satu senjata ampuh: narasi dan ketakutan. Dalam hal ini, seorang teroris seperti penjudi yang memiliki kartu buruk, namun memainkan permainan sedemikian rupa sehingga lawan-lawannya panik dan merobek sendiri kartu mereka. Teroris bisa bertaruh kecil, tapi hasilnya bisa mengguncang dunia.

Menurut Global Terrorism Index 2024, jumlah kematian akibat terorisme global mencapai sekitar 6.700 jiwa—angka yang secara absolut kecil dibandingkan kematian akibat konflik antarnegara atau kejahatan terorganisir. Namun dampaknya terhadap kebijakan luar negeri, anggaran pertahanan, dan psikologi publik sangat besar. Ketakutan yang diciptakan membuat negara-negara demokratis merelakan sebagian kebebasannya: pengawasan diperketat, hukum darurat diterapkan, dan hak asasi manusia sering dikorbankan atas nama keamanan nasional.

Dalam konteks ini, terorisme bukan sekadar aksi kekerasan—melainkan strategi komunikasi ekstrem yang memanfaatkan logika media modern dan psikologi massa. Dengan menyerang titik-titik simbolik dan menyasar warga sipil, para pelaku teror tidak hanya menargetkan tubuh, tapi juga mengguncang narasi dan tatanan global.

AOS

No comments:

Post a Comment