Thursday, August 22, 2019

Makna Kehidupan: Antara Sensasi, Kognisi, dan Delusi

Sebagian ilmuwan, khususnya dalam bidang biologi evolusioner dan neurosains, memandang kebahagiaan secara reduksionis sebagai hasil dari sensasi jasmani yang menyenangkan—produk dari sistem biokimia tubuh manusia. Dalam pandangan ini, kebahagiaan tak lain adalah luapan neurotransmiter seperti dopamin, serotonin, dan oksitosin, yang dilepaskan ketika seseorang mengalami kenikmatan. Karena sistem biokimia kita memiliki batasan volume dan durasi dalam menghasilkan sensasi-sensasi ini, maka satu-satunya cara untuk mempertahankan tingkat kebahagiaan tinggi dalam jangka panjang—jika mengikuti logika ini—adalah dengan merekayasa sistem biokimia itu sendiri, misalnya melalui farmakologi atau intervensi neuroteknologis.

 Namun, pendekatan ini tidak sepenuhnya diterima. Daniel Kahneman, peraih Nobel dalam bidang ekonomi perilaku, membedakan antara experiencing self dan remembering self dalam studi-studinya. Menurutnya, seseorang dapat menjalani pengalaman yang penuh stres dan kelelahan (seperti membesarkan anak), namun tetap menilai hidupnya bermakna dan memuaskan. Dengan kata lain, kebahagiaan tidak sekadar surplus momen-momen nikmat atas ketidaknikmatan, tetapi merupakan konstruksi kognitif yang berkaitan dengan bagaimana seseorang mengevaluasi kehidupannya secara keseluruhan.

Temuan ini diperkuat oleh riset psikologi eksistensial dan positif. Viktor Frankl, psikiater sekaligus penyintas Holocaust, menekankan bahwa makna hidup dapat menjadi sumber ketahanan psikologis luar biasa bahkan dalam penderitaan ekstrem. Frankl berargumen bahwa manusia tidak semata mencari kenikmatan (seperti dalam hedonisme), tetapi mencari makna (will to meaning). Penelitian dalam psikologi positif modern, seperti oleh Martin Seligman, juga membedakan antara hidup yang menyenangkan (pleasant life), hidup yang terlibat (engaged life), dan hidup yang bermakna (meaningful life), dengan yang terakhir dianggap sebagai puncak aktualisasi diri.

Namun, makna itu sendiri adalah konsep yang rumit. Bagi banyak orang beragama, hidup memperoleh makna dari keyakinan akan adanya kehidupan setelah mati, yang memberi arah dan tujuan transenden. Studi sosiologis menunjukkan bahwa individu yang religius umumnya melaporkan tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup lebih tinggi dibandingkan individu sekuler, khususnya dalam komunitas yang kohesif secara sosial. Bagi mereka, penderitaan duniawi dipahami sebagai bagian dari narasi kosmik yang lebih besar dan penuh harapan.

Sebaliknya, dari sudut pandang saintifik murni—terutama dalam naturalisme materialistik—kehidupan manusia adalah hasil dari proses evolusi acak tanpa arah atau tujuan yang inheren. Dalam kerangka ini, tidak ada "makna objektif" dalam kehidupan manusia. Eksistensi kita bukan bagian dari desain ilahiah, melainkan konsekuensi dari mekanisme seleksi alam dan mutasi genetik. Sejumlah ilmuwan dan filsuf seperti Richard Dawkins dan Yuval Noah Harari bahkan menyebut narasi-narasi keagamaan atau nasionalistik sebagai “delusi kolektif”—cerita-cerita yang kita ciptakan untuk memberi makna dan kohesi sosial pada hidup yang secara objektif nihilistik.

Harari, misalnya, dalam Sapiens dan Homo Deus, menyatakan bahwa baik surga keagamaan, martabat manusia dalam humanisme, maupun impian nasionalisme modern adalah fiksi-fiksi yang kita yakini bersama. Namun, Harari tidak menolak kegunaan delusi ini—ia justru mengakui bahwa fiksi kolektif memainkan peran vital dalam pembentukan kerja sama skala besar dan stabilitas sosial.

Lalu, pertanyaannya menjadi mendalam: apakah kebahagiaan bergantung pada delusi? Apakah kita harus percaya pada sesuatu yang secara objektif salah atau tidak dapat diverifikasi, agar bisa merasa hidup kita berarti?

Filsuf seperti Thomas Nagel dan Susan Wolf berpendapat bahwa makna hidup mungkin terletak dalam keterlibatan kita dalam aktivitas dan nilai yang kita anggap objektif berharga, terlepas dari apakah nilai itu benar secara metafisik atau tidak. Kebahagiaan, dalam pengertian ini, tidak sepenuhnya tergantung pada “kebenaran” objektif atau delusi, tetapi pada kemampuan manusia untuk secara reflektif menjalani hidup yang dianggap layak dan bernilai.

Dengan demikian, kebahagiaan dan makna mungkin bukan perkara biokimia semata, dan juga bukan murni soal mempercayai delusi, tetapi tentang bagaimana kita mengkonstruksi nilai, tujuan, dan narasi pribadi—baik yang bersifat transenden maupun imanen—di tengah keterbatasan biologis dan ketidakpastian eksistensial.

AOS

No comments:

Post a Comment