Rasa keadilan manusia, seperti halnya emosi dan naluri lainnya, tidak
muncul begitu saja dari ruang hampa. Ia memiliki akar yang sangat dalam
dalam sejarah evolusi spesies kita. Selama ratusan ribu tahun, manusia
hidup dalam kelompok kecil pemburu-pengumpul yang sangat bergantung satu
sama lain untuk bertahan hidup. Dalam konteks ini, moralitas berkembang
sebagai seperangkat aturan sosial tak tertulis yang mengatur kerja
sama, pembagian sumber daya, dan penyelesaian konflik. Naluri moral
seperti rasa keadilan, simpati, dan kemarahan terhadap ketidakadilan
terbentuk sebagai respons terhadap dilema etika dan sosial yang berulang
dalam kehidupan kolektif yang terbatas pada puluhan individu dan
wilayah geografis yang kecil.
Namun, ketika manusia memasuki era pertanian, kota, negara, dan akhirnya masyarakat industri modern, skala kehidupan sosial berubah secara dramatis. Hubungan sosial yang dulunya bersifat langsung dan personal kini menjadi impersonal, abstrak, dan dimediasi oleh sistem hukum, institusi ekonomi, dan jaringan informasi yang sangat kompleks. Rasa keadilan yang berevolusi dalam skala mikro tiba-tiba dihadapkan pada tantangan mengelola ketidaksetaraan dan keputusan yang menyangkut jutaan orang yang tak saling kenal, tersebar di berbagai wilayah, budaya, dan kelas sosial.
Peradaban modern memerlukan bentuk keadilan yang tidak hanya berdasarkan intuisi moral, tetapi juga pemahaman rasional tentang sebab-akibat sistemik. Misalnya, distribusi kekayaan global yang sangat timpang bukan semata-mata hasil keserakahan individu, tetapi juga cerminan dari bias struktural dalam sistem perdagangan internasional, warisan kolonialisme, akses pendidikan yang tidak setara, dan kebijakan ekonomi yang kompleks. Dalam laporan Oxfam tahun 2024, tercatat bahwa 1% orang terkaya di dunia menguasai hampir 47% kekayaan global, sementara separuh populasi dunia hanya memiliki 2%.
Ketimpangan serupa juga terjadi di Indonesia. Menurut laporan Survival of the Richest yang dirilis Oxfam pada awal 2023, kekayaan empat orang terkaya di Indonesia melebihi kekayaan gabungan 100 juta orang termiskin. Sementara itu, berdasarkan data dari Laporan Kekayaan Global (Credit Suisse), 1% penduduk Indonesia menguasai lebih dari 44,6% total kekayaan nasional. Ketimpangan ini bersifat struktural, berakar pada sistem perpajakan yang regresif, konsentrasi kepemilikan aset, dan akses tidak merata terhadap layanan pendidikan dan kesehatan.
Lebih jauh, banyak kejahatan terbesar dalam sejarah modern — seperti Holocaust, genosida Rwanda, atau kelaparan akibat kebijakan ekonomi di beberapa negara berkembang — tidak semata-mata digerakkan oleh kebencian aktif, tetapi juga oleh ketidaktahuan massal, pembiaran kolektif, dan keengganan untuk mempertanyakan sistem yang ada. Hannah Arendt menyebut fenomena ini sebagai "banality of evil", yaitu bagaimana kejahatan bisa muncul bukan karena niat jahat yang luar biasa, tetapi dari ketaatan buta terhadap aturan dan kegagalan berpikir kritis dalam sistem birokratis.
Sayangnya, otak kita — yang didesain untuk mengenali ketidakadilan dalam bentuk seseorang mengambil dua potong daging sementara yang lain hanya mendapat satu — tidak secara alami dirancang untuk mendeteksi bias struktural dalam sistem hukum, pendidikan, atau distribusi modal global. Ketika keadilan menuntut bukan hanya emosi moral, tetapi juga analisis sistemik dan berpikir probabilistik, banyak dari kita merasa kewalahan. Sistem pendidikan kita pun sering gagal membekali warga negara dengan literasi sistemik dan etika publik yang diperlukan untuk menavigasi kompleksitas ini.
Dalam
dunia yang semakin saling terhubung, memperjuangkan keadilan berarti
melampaui naluri evolusioner kita yang terbatas dan membangun sistem
moral baru yang menggabungkan empati, data, dan pemahaman sistemik.
Tantangan utama abad ke-21 bukan hanya memperbaiki hati manusia, tetapi
juga memperluas kapasitas intelektual dan moral kita untuk memahami
ketidakadilan yang tidak kasatmata, tetapi sangat nyata dampaknya.
AOS
No comments:
Post a Comment