Liberal demokrasi yang dulu tampil sebagai mesin produksi kesejahteraan dan kebebasan, kini tersendat di tengah dunia yang makin kompleks, cepat, dan terkoneksi. Ketika dunia digital dikuasai oleh segelintir korporasi raksasa dan ketika rekayasa genetika mulai mengaburkan batas antara manusia dan mesin, pertanyaan kritis muncul: masihkah liberalisme relevan sebagai proyek masa depan umat manusia?
Hari ini, kita menyaksikan transformasi besar-besaran yang melampaui kerangka ideologi abad ke-20. Algoritma kecerdasan buatan, jaringan sensor, dan pemrosesan Big Data mengancam tatanan lama, bukan dengan represi gaya lama, tapi dengan cara yang lebih halus dan sistemik: menciptakan dunia di mana jutaan orang tidak lagi tereksploitasi, melainkan tidak relevan. Inilah distopia baru: bukan perbudakan, tapi keterpinggiran eksistensial. Tidak lagi buruh yang dieksploitasi oleh pabrik, tapi manusia yang dipinggirkan oleh algoritma—tidak cukup cerdas untuk bersaing, tidak cukup penting untuk dikendalikan.
Laporan World Economic Forum (2024) memperkirakan bahwa lebih dari 40% pekerjaan saat ini berisiko digantikan oleh otomatisasi pada 2040. Di saat bersamaan, teknologi seperti CRISPR dan neurointerface membuka jalan bagi manusia yang ditingkatkan (enhanced humans), menciptakan ketimpangan biologis yang mungkin jauh lebih tajam daripada ketimpangan ekonomi hari ini.
Kita hidup dalam era kekacauan naratif. Cerita lama tentang progres, kerja keras, dan negara-bangsa tak lagi mampu memberi arah. Namun sejauh ini, belum ada narasi alternatif global yang benar-benar mapan. Beberapa mencoba menghidupkan kembali populisme etnonasional, lainnya menengok ke belakang pada spiritualisme dan religiusitas lama, tapi semua itu tampak reaktif, bukan solutif.
Dalam situasi semacam ini, pertanyaan filosofis menjadi genting secara politis dan eksistensial: apa yang harus dilakukan dengan hidup ketika peta lama telah dibakar, dan belum ada peta baru yang diterbitkan? Keterampilan apa yang tetap relevan ketika AI mengungguli manusia dalam analisis, diagnosa, bahkan dalam penulisan puisi dan lukisan? Apa makna hidup dalam dunia yang dikendalikan oleh sistem yang tak memahami penderitaan, harapan, atau cinta?
Yuval Noah Harari, sejarawan global asal Israel, memperingatkan bahwa umat manusia tak punya banyak waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. “Filsafat, agama, dan sains telah memperdebatkan makna hidup selama ribuan tahun. Tapi hari ini, kita sedang berpacu dengan teknologi yang memberikan kita kekuatan ilahi—untuk menciptakan dan menghancurkan kehidupan itu sendiri. Dan kekuatan itu tidak akan menunggu jawaban kita.”
Pasar, seperti dewa tak terlihat, akan memberi jawaban pragmatis: efisiensi, profit, akuisisi. Namun jawaban pasar bukanlah jawaban manusiawi. Tanpa arah moral dan kebijaksanaan eksistensial, kita hanya akan mempercepat keruntuhan peradaban, kali ini bukan oleh perang atau kelaparan, melainkan oleh kehampaan makna dan krisis identitas global.
Jika umat manusia gagal menentukan bagaimana menggunakan kekuatan barunya—dari AI generatif hingga biohacking—maka bukan hanya proyek liberalisme yang runtuh, tapi juga fondasi peradaban manusia itu sendiri. Maka pertanyaannya bukan hanya ke mana kita akan pergi, tapi juga: apakah kita masih menjadi aktor utama dalam kisah kita sendiri, atau hanya menjadi data dalam narasi ciptaan mesin?
AOS
No comments:
Post a Comment