Thursday, August 22, 2019

Revolusi Teknologi dan Ancaman Kelas Ekonomi yang Tergusur

Revolusi teknologi yang sedang berlangsung berpotensi mendorong miliaran manusia keluar dari pasar kerja konvensional, menciptakan kelas sosial-ekonomi baru yang—secara brutal—dapat disebut sebagai “tidak relevan” secara ekonomi. Implikasinya bukan hanya sekadar transformasi pasar kerja, tetapi juga potensi guncangan sosial dan politik yang belum pernah disiapkan oleh ideologi manapun dalam sejarah modern. Gagasan mengenai disrupsi teknologi dan implikasinya terhadap struktur sosial tidak lagi merupakan perdebatan abstrak; ia kini menyentuh urat nadi eksistensial umat manusia—yakni makna pekerjaan, harga diri, dan peran manusia dalam dunia yang semakin didominasi oleh sistem cerdas non-biologis.
2025 dan Masa Depan Pekerjaan

Menurut World Economic Forum (2024), hingga 2030, lebih dari 800 juta pekerjaan global diprediksi akan terdampak otomatisasi, dengan lebih dari 375 juta di antaranya berisiko tinggi untuk sepenuhnya tergantikan. Pekerjaan-pekerjaan di bidang manufaktur, transportasi, keuangan, dan bahkan layanan hukum atau kesehatan yang dulunya dianggap aman, kini menjadi target utama sistem berbasis pembelajaran mesin dan robotika otonom.

Optimis percaya bahwa seperti halnya revolusi industri sebelumnya, revolusi teknologi kali ini akan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan produktivitas. Namun, perbedaan fundamental muncul: tidak seperti mesin uap atau listrik yang menggantikan tenaga otot manusia, kecerdasan buatan kini menantang supremasi kognitif manusia itu sendiri.

Melemahnya Keunggulan Kognitif Manusia

Selama ribuan tahun, manusia mempertahankan posisi dominan di atas mesin karena kemampuannya untuk menganalisis, menafsirkan, dan merespons dengan fleksibilitas emosi dan konteks. Namun, kemajuan AI, terutama dalam ranah Large Language Models (LLMs), vision system, dan reinforcement learning, telah menghasilkan sistem yang mampu membaca ekspresi wajah, mengenali pola dalam data keuangan, bahkan merespons secara empatik dalam percakapan.

Manusia memiliki dua kapasitas utama: fisik dan kognitif. Sejarah otomasi berfokus pada kapasitas fisik. Kini, kapasitas kognitif pun mulai tersaingi. Algoritma AI seperti GPT-5.5 atau Gemini Ultra sudah melampaui manusia dalam memahami bahasa, menghasilkan kode, dan menulis artikel ilmiah. Bahkan bidang seperti psikoterapi kini dieksplorasi oleh chatbot yang menunjukkan performa setara atau lebih baik dibanding terapis manusia dalam studi-studi awal (Harvard-MIT Health AI Lab, 2025).

Bioteknologi dan Infoteknologi: Perkawinan yang Mengancam

Ancaman kehilangan pekerjaan tidak hanya datang dari kecanggihan algoritma, tetapi dari persilangan antara infotek (informasi digital) dan biotek (biologi digital). Kemajuan dalam bidang neuroteknologi, neuroekonomi, dan bioinformatika telah memungkinkan para ilmuwan memahami proses pengambilan keputusan manusia secara lebih akurat. Intuisi manusia kini dipahami sebagai hasil dari pengenalan pola oleh sistem saraf, bukan suatu karunia ilahi. Sistem AI yang dapat menganalisis mikroekspresi, perubahan intonasi suara, hingga biometrik seperti detak jantung dan konduktivitas kulit, akan lebih unggul dalam menilai niat dan emosi seseorang dibanding manusia itu sendiri.

Misalnya, teknologi seperti fMRI, EEG portabel, dan analitik biofeedback sudah digunakan untuk membangun model prediktif atas keputusan manusia dalam ranah konsumsi, relasi personal, hingga kriminalitas. Tidak mengherankan jika ke depannya, posisi seperti sopir, bankir, pengacara, hingga psikiater dapat tergantikan oleh sistem yang tidak pernah lelah, tidak emosional, dan dapat di-update setiap saat.

Keunggulan Non-Kognitif AI

Selain mampu menyaingi manusia dalam dimensi kognitif, AI juga memiliki dua atribut non-manusia yang sangat unggul: konektivitas dan kemampuan pembaruan instan. Tidak seperti manusia yang terbatas dalam kapasitas belajar dan berbagi pengetahuan, AI dapat melakukan real-time learning secara kolektif. Model pembelajaran federatif dan sistem cloud-terkoneksi memungkinkan AI menyebarkan pengalaman dari satu unit ke jutaan lainnya dalam hitungan detik.

Contohnya, sebuah mobil otonom Tesla yang mengalami kecelakaan minor di Berlin dapat langsung membagikan pembelajaran itu ke jutaan mobil lainnya secara global, menghapus kemungkinan kesalahan yang sama terjadi lagi. Tidak ada mekanisme pembelajaran sosial manusia yang dapat menyaingi kecepatan dan efisiensi ini.

Menuju Kelas yang Tidak Berguna secara Ekonomi?

Bila tren ini berlanjut tanpa mitigasi sosial dan ekonomi yang memadai, dunia berisiko menciptakan kelas manusia yang tidak memiliki fungsi dalam struktur produksi. Homo sapiens mungkin masih bisa hidup dalam sistem berbasis universal basic income atau hiburan digital, tetapi kehilangan rasa makna dan kontribusi akan melahirkan gelombang ketidakstabilan psikologis dan politik.

Profesor Yuval Harari menyebut mereka sebagai "the useless class", bukan karena mereka bodoh atau malas, tetapi karena sistem tidak lagi membutuhkan mereka untuk berfungsi. Dalam dunia yang dikendalikan oleh algoritma dan korporasi berbasis data, pertanyaan besar bukan hanya tentang apa pekerjaan manusia di masa depan, tetapi apakah manusia masih diperlukan sama sekali.


Catatan Akhir:
Realitas tahun 2050 sangat mungkin akan didominasi oleh kerja sama atau konflik antara manusia dan sistem kecerdasan non-manusia. Menghadapi masa depan ini, kita tidak hanya membutuhkan kebijakan ekonomi dan pendidikan yang progresif, tetapi juga perlu memperbarui kerangka filsafat, etika, dan bahkan spiritualitas kita tentang apa arti menjadi manusia.


AOS

No comments:

Post a Comment