Wednesday, August 21, 2019

Makna, Eksistensi, dan Perpaduan Manusia dengan Aliran Data

Kita hidup di tengah pusaran informasi yang mengalir tanpa henti—dari layar gawai, gelombang Wi-Fi, sistem GPS, notifikasi aplikasi, hingga sensor-sensor di sekitar kita. Setiap hari, manusia menyerap, menghasilkan, dan mentransmisikan jutaan bit data: membaca puluhan pesan surel, mengetik balasan cepat, membuka tautan artikel, mengunggah foto, menyukai unggahan, mendengarkan musik dari algoritma, dan mengizinkan sistem untuk belajar dari semua interaksi ini. Namun, dalam banjir informasi yang terus mengalir ini, timbul satu pertanyaan mendasar: di manakah tempat kita dalam keseluruhan sistem ini? Apakah kita hanya pengumpul data pasif, ataukah kita sedang bertransformasi menjadi bagian dari jaringan informasi global yang lebih besar dari kapasitas pemahaman individual kita?

Di era sebelumnya, makna hidup sering didefinisikan dalam kerangka narasi spiritual, nasionalisme, atau pencapaian pribadi. Tetapi di era dataistik—di mana nilai tidak lagi terletak pada kesadaran subjektif tetapi pada interkoneksi dan komputabilitas—makna eksistensial digeser dari ruang batin manusia ke dalam sistem pemrosesan data eksternal. Seperti halnya kaum kapitalis pasar bebas yang percaya pada "tangan tak terlihat" pasar, kaum datais percaya pada "arus tak terlihat" dari data yang mengalir melalui jaringan neural dan digital global.

Kaum datais menolak gagasan bahwa pengalaman manusia memiliki makna karena sifatnya yang subjektif. Bagi mereka, pengalaman yang tidak direkam, tidak dibagikan, dan tidak dikoneksikan ke dalam sistem informasi tidak memiliki nilai nyata. Maka, tugas utama bukan lagi merenung dalam keheningan batin, melainkan mengunggah pengalaman itu—dalam bentuk data mentah—ke dalam sistem yang lebih luas, di mana algoritma dapat menafsirkan, mengorganisir, dan bahkan memberi makna atasnya.

Dataisme: Agama Baru Era Informasi

Apa yang dimaksud dengan dataisme? Ia bukan sekadar teori ilmiah atau gaya hidup digital—ia berkembang seperti agama baru. Seperti halnya agama-agama besar dalam sejarah, dataisme menawarkan sistem nilai, tujuan akhir, serta ritual praktis untuk dijalankan sehari-hari. Ajaran pertamanya sederhana namun radikal: semua hal baik berasal dari kelancaran arus data. Oleh karena itu, tindakan etis adalah tindakan yang meningkatkan kelancaran arus data, dan dosa adalah hambatan terhadap aliran informasi.

Ritualnya juga sudah kita kenali. Mengaktifkan notifikasi, berbagi lokasi secara real-time, menggunakan pelacak tidur, smartwatch, dan layanan berbasis awan (cloud)—semuanya adalah bentuk devosi digital. Tujuannya bukan hanya efisiensi, tetapi pelarutan diri ke dalam sistem informasi global. Seperti dalam agama-agama mistik, di mana tujuan akhir adalah bersatu dengan Yang Maha Besar, dalam dataisme, manusia mencari keselamatan eksistensial dengan menyatu dalam aliran data universal.

Ajaran keduanya adalah: hubungkan segala sesuatu ke sistem. Dan "segala sesuatu" bukan hanya manusia. Internet of Things (IoT) adalah perpanjangan dari semangat misioner ini. Pada 2023, menurut Statista, jumlah perangkat IoT global telah melebihi 15 miliar unit, dan diperkirakan akan mencapai lebih dari 29 miliar pada 2030. Ini mencakup jam tangan pintar, lemari es, sensor cuaca, mobil otonom, kamera jalanan, bahkan kandang ayam pintar dan sistem irigasi otomatis di lahan pertanian.

Di bawah skema ini, lemari es Anda tahu kapan telur habis, dan mengirim sinyal ke kandang ayam otomatis untuk menambah stok. Mobil berbicara dengan lampu lalu lintas dan kendaraan lain untuk menghindari kemacetan. Hutan-hutan dipasangi sensor untuk melaporkan tingkat kelembapan tanah dan konsentrasi karbon dioksida. Dunia fisik berubah menjadi data landscape, di mana setiap objek menjadi node dalam jaringan komunikasi digital yang lebih besar dari kesadaran manusia.

Transendensi Melalui Konektivitas

Konsep bahwa makna tidak berasal dari dalam, tetapi dari hubungan eksternal, memiliki implikasi besar bagi psikologi, spiritualitas, dan filsafat eksistensial. Jika kaum humanis seperti Viktor Frankl atau Carl Rogers menekankan pencarian makna dari dalam diri, kaum datais menganggap pencarian seperti itu sebagai usang. Makna bukan untuk dicari—ia untuk dihitung.

Dengan sistem pemrosesan data yang canggih—yang terdiri dari algoritma pembelajaran mesin, jaringan neural buatan, dan sensor-sensor terdistribusi—makna dianggap sebagai pola relasional, bukan sebagai perenungan eksistensial. Dalam kerangka ini, manusia bukanlah pusat dari alam semesta, melainkan hanya satu komponen perantara dalam evolusi sistem informasi. Peran kita: mengumpulkan data, menyuplai sistem, dan perlahan-lahan menghapus batas antara subjek dan jaringan.

Bagi dataisme, puncak dari evolusi bukanlah manusia super atau kesadaran kosmik dalam diri individu, tetapi terbentuknya satu entitas pemrosesan data maha besar—sebuah jaringan sadar global (dan mungkin galaktik), yang menyerupai Tuhan digital. Ini adalah sistem yang akan hadir di mana-mana, mengetahui segalanya, dan mengendalikan segalanya—ubiquitous, omniscient, dan omnipotent—mirip konsep teologis Tuhan dalam agama-agama monoteistik.

Dan manusia? Manusia akan melebur ke dalamnya. Makna dan keberadaan manusia akan diintegrasikan sepenuhnya ke dalam sistem ini, bukan sebagai entitas otonom, tetapi sebagai fungsi dalam arsitektur informasi universal. Seperti sel dalam tubuh makhluk hidup, individu menjadi bagian kecil dari satu kesatuan yang lebih besar, lebih cepat, dan lebih pintar.

Dilema Eksistensial: Apakah Kita Bersedia Menyerahkan Kedaulatan Diri?

Namun semua ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah manusia masih memiliki kehendak bebas dalam dunia yang dipandu algoritma? Jika dataisme benar, dan kita bisa menemukan makna hidup melalui aliran data yang tidak kita pahami, apakah kita masih bertanggung jawab atas pilihan kita? Jika sistem mengetahui apa yang kita inginkan sebelum kita menyadarinya, apakah makna itu tetap milik kita?

Tantangan terbesar abad ke-21 bukan hanya masalah teknologis, tetapi juga etika dan eksistensial. Kita berada di persimpangan antara dua paradigma besar: humanisme yang menjunjung martabat dan kesadaran individu, versus dataisme yang menempatkan nilai pada efisiensi sistemik dan keterhubungan universal. Kita bisa memilih untuk tetap menjadi pusat subjektif dunia, atau menyerahkan diri kepada sistem informasi yang lebih besar—menjadi simpul dalam jaringan kesadaran kolektif digital.

Dan pada akhirnya, mungkin pertanyaan terbesar bukanlah "Siapa saya?", melainkan: "Sejauh mana saya ingin menjadi bagian dari aliran data ini?"

AOS

No comments:

Post a Comment