
Sepanjang sejarah, kematian dipandang sebagai keniscayaan tertinggi—sebuah titik akhir yang tak dapat ditawar dalam narasi kehidupan manusia. Dalam kerangka religius dan filosofis, kematian bahkan kerap diberi makna metafisik sebagai bagian dari tatanan kosmik atau ujian moral yang harus diterima dengan pasrah. Namun, dalam paradigma sains modern, pandangan itu semakin ditantang secara radikal. Kematian, kata para ilmuwan gerontologi dan transhumanis, bukanlah sebuah misteri ilahi atau kepastian metafisis yang tak tergoyahkan. Ia justru dianggap sebagai kerusakan mesin, sebuah kegagalan teknis dari sistem biologis kompleks yang disebut tubuh manusia. Jika demikian, maka seperti halnya kerusakan pada mobil atau komputer, kematian pada dasarnya bisa ditunda, dicegah, atau bahkan dihapus.
Gagasan ini mendapat legitimasi yang kuat di abad ke-21, terutama dari kalangan elit teknologi global. Pada tahun 2012, Google merekrut Ray Kurzweil—penemu, futuris, dan penganut optimisme teknologi ekstrem—sebagai Direktur Rekayasa. Kurzweil, yang sudah lama memprediksi datangnya Singularity—momen ketika kecerdasan buatan melampaui kecerdasan manusia dan mengubah struktur realitas—diberikan mandat untuk mempercepat upaya Google dalam menaklukkan penuaan. Tak lama berselang, Google mendirikan Calico (California Life Company), sebuah perusahaan bioteknologi dengan tujuan eksplisit: “mengatasi kematian.”
Calico bukan satu-satunya pemain dalam arena ini. Bill Maris, mantan CEO Google Ventures, pernah menyatakan bahwa hidup sampai usia 500 tahun bukanlah mimpi kosong. Google Ventures pun telah menanamkan investasi lebih dari 2 miliar dolar AS ke dalam perusahaan-perusahaan rintisan (startup) yang bergerak dalam bidang teknologi perpanjangan usia dan sains kehidupan. Maris, yang berlatar belakang biologi molekuler, menegaskan bahwa generasi manusia pertama yang bisa hidup selama berabad-abad mungkin sudah lahir saat ini.
Tokoh besar lain dari Silicon Valley, Peter Thiel, pendiri PayPal dan investor awal Facebook, juga terlibat dalam misi ini. Thiel secara terbuka menolak sikap pasrah terhadap kematian. Ia menyebut bahwa umat manusia memiliki tiga pilihan dalam menghadapi kematian: menerimanya, mengingkarinya, atau melawannya. Ia memilih yang terakhir. Thiel mendanai sejumlah inisiatif radikal dalam bidang cryonics (pembekuan tubuh setelah kematian klinis untuk dibangkitkan di masa depan), pengobatan regeneratif, hingga kecerdasan buatan yang dirancang untuk memahami proses biologis secara komputasional.
Di ranah ilmiah, nama-nama seperti Aubrey de Grey, ilmuwan gerontologi dari Inggris, memainkan peran sentral. De Grey melalui proyek SENS (Strategies for Engineered Negligible Senescence) mengusulkan bahwa penuaan bukanlah proses alami yang tak bisa dilawan, tetapi akumulasi kerusakan biologis yang dapat diperbaiki melalui terapi spesifik. Ia percaya bahwa dengan cukup kemajuan teknologi, manusia akan mencapai longevity escape velocity—titik di mana kita dapat memperpanjang hidup lebih cepat daripada tubuh kita mengalami penuaan. Ray Kurzweil juga memperkuat optimisme ini, memperkirakan bahwa pada tahun 2045 manusia akan mampu memperpanjang umur secara signifikan melalui sinergi antara nanoteknologi, bioteknologi, dan kecerdasan buatan.
Saat ini, eksperimen-eksperimen awal dalam rekayasa genetik seperti CRISPR-Cas9 telah membuka kemungkinan untuk mengedit gen penyebab penyakit. Terapi stem cell digunakan untuk meregenerasi jaringan yang rusak. Teknologi nano memungkinkan pengiriman obat secara presisi ke dalam sel, dan berbagai jenis senolytic drugs dikembangkan untuk membersihkan sel-sel tua (senescent cells) yang berkontribusi pada proses penuaan. Para ilmuwan bahkan telah menciptakan tikus transgenik yang hidup 30–40% lebih lama daripada spesies normal. Dalam konteks manusia, ini berarti memperpanjang usia menjadi lebih dari 120 tahun dalam kondisi sehat secara biologis.
Beberapa prediksi paling berani menyatakan bahwa dalam 50 tahun ke depan, manusia akan memiliki akses ke terapi yang tidak hanya memperlambat penuaan, tetapi juga membalikkan sebagian besar efeknya. Organ buatan dari printer 3D, otak yang dibantu oleh chip komputasi, dan sistem imun yang disempurnakan oleh algoritma pembelajaran mesin adalah sebagian dari gambaran masa depan yang tidak lagi terdengar seperti fiksi ilmiah, tetapi sudah menjadi peta jalan teknologis.
Namun, obsesi terhadap keabadian ini tidak lepas dari kontroversi. Kritikus mempertanyakan dampaknya terhadap tatanan sosial dan etika. Apa yang akan terjadi jika hanya kaum kaya dan elit teknologi yang dapat membeli umur panjang? Bagaimana peran kematian dalam memberi makna hidup akan berubah jika manusia hidup 300 tahun? Dan apakah sistem ekologi bumi mampu menopang manusia yang tak lagi mati secara alamiah?
Meskipun demikian, Harari mencatat bahwa upaya mengatasi kematian—bahkan jika gagal mencapai keabadian mutlak—sudah memberikan kontribusi penting dalam mendorong revolusi di bidang biomedis. Perpanjangan usia sehat (healthspan), pengurangan penyakit degeneratif, dan peningkatan kualitas hidup di usia lanjut adalah hasil nyata dari upaya tersebut. Bahkan jika keabadian tetap menjadi utopia, proyek ini telah memperluas pemahaman manusia tentang biologi, teknologi, dan masa depan dirinya sendiri.
Dalam peradaban yang semakin ilmiah dan digital, barangkali untuk pertama kalinya dalam sejarah, manusia tidak hanya membayangkan keabadian, tetapi membangunnya. Kematian, yang selama ribuan tahun menjadi misteri dan ketetapan, kini sedang ditantang oleh mikroskop, algoritma, dan visi futuristik tentang Homo Deus—manusia sebagai tuhan atas dirinya sendiri.
AOS
No comments:
Post a Comment