Thursday, August 22, 2019

Menakar Kebahagiaan: Antara Realitas Objektif dan Harapan Subjektif

Apa sebenarnya sumber kebahagiaan manusia? Apakah berasal dari kondisi material seperti kesehatan, makanan, dan kekayaan? Atau justru dari hal-hal yang lebih abstrak seperti hubungan sosial, makna hidup, atau spiritualitas?

Dalam beberapa dekade terakhir, bidang psikologi positif—dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Martin Seligman dan Daniel Kahneman—telah berupaya mengkaji kebahagiaan secara ilmiah. Peneliti tidak lagi puas hanya dengan filosofi kebahagiaan, tetapi mulai mengukur dan mengkuantifikasikannya secara sistematis. Mereka menggunakan konsep subjective well-being (SWB) atau "kesejahteraan subjektif" sebagai ukuran utama: perasaan puas terhadap hidup secara umum dan pengalaman emosional positif dalam keseharian. Biasanya, kesejahteraan subjektif diukur melalui kuesioner yang menilai sejauh mana seseorang setuju dengan pernyataan seperti: “Saya puas dengan hidup saya,” “Saya merasa hidup ini berarti,” dan “Saya mengalami lebih banyak emosi positif dibanding negatif.” Instrumen yang paling banyak digunakan dalam pengukuran ini antara lain Satisfaction With Life Scale (SWLS) dan Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) (Pavot & Diener, 2008).

Data dari ribuan survei lintas budaya dan negara memberikan gambaran bahwa kebahagiaan dipengaruhi oleh sejumlah variabel yang kompleks. Salah satu faktor yang banyak diteliti adalah kekayaan. Studi berpengaruh oleh Kahneman dan Deaton (2010) menunjukkan bahwa pendapatan memang berkorelasi positif dengan tingkat kebahagiaan, tetapi efeknya terbatas. Di Amerika Serikat, peningkatan pendapatan hingga sekitar $75.000 per tahun (disesuaikan dengan inflasi) berhubungan dengan peningkatan kepuasan hidup, tetapi setelah ambang itu, tambahan uang tidak berdampak signifikan terhadap kesejahteraan emosional harian. Meski demikian, studi lebih mutakhir oleh Killingsworth (2021) menemukan bahwa kebahagiaan masih bisa meningkat seiring dengan bertambahnya pendapatan, asalkan uang tersebut digunakan secara bermakna—misalnya untuk pengalaman, mempererat hubungan, atau mengejar tujuan intrinsik.

Selain kekayaan, kesehatan juga memiliki peran penting, terutama dalam jangka pendek. Penyakit akut atau kronis yang disertai nyeri dan penurunan fungsi fisik dapat menurunkan tingkat kebahagiaan. Namun, manusia menunjukkan kemampuan luar biasa untuk beradaptasi secara psikologis terhadap kondisi baru. Fenomena ini dikenal sebagai hedonic adaptation, di mana individu perlahan menyesuaikan harapannya terhadap kenyataan hidup. Penelitian oleh Brickman et al. (1978) bahkan menunjukkan bahwa paraplegik atau individu dengan penyakit kronis seringkali melaporkan tingkat kebahagiaan yang relatif stabil setelah masa adaptasi, selama mereka masih memiliki kontrol atas lingkungan dan dukungan sosial yang memadai.

Hubungan sosial juga terbukti menjadi prediktor terkuat dari kebahagiaan jangka panjang. Temuan dari Harvard Study of Adult Development—salah satu studi longitudinal terpanjang dalam sejarah ilmu sosial—menunjukkan bahwa individu yang memiliki hubungan interpersonal yang hangat dan stabil cenderung hidup lebih sehat dan bahagia. Penelitian lain oleh Diener dan Seligman (2002) menunjukkan bahwa individu paling bahagia dalam populasi cenderung memiliki lebih banyak interaksi sosial bermakna setiap harinya. Bahkan, kualitas hubungan dalam pernikahan lebih berpengaruh terhadap kesejahteraan subjektif dibanding status ekonomi. Pernikahan yang bahagia meningkatkan kebahagiaan, sedangkan pernikahan yang penuh konflik lebih merusak dibanding tidak menikah sama sekali.

Namun, temuan paling mendalam dalam studi kebahagiaan adalah bahwa kebahagiaan tidak semata-mata ditentukan oleh kondisi objektif, melainkan oleh kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Fenomena ini dikenal sebagai expectation gap theory. Ketika standar hidup meningkat, ekspektasi juga meningkat; akibatnya, kemajuan ekonomi atau teknologi tidak selalu meningkatkan kebahagiaan jika harapan naik lebih cepat daripada kenyataan. Sebaliknya, dalam situasi sulit, harapan yang menurun justru dapat menstabilkan atau bahkan meningkatkan kebahagiaan. Seorang tunawisma yang hidup di masyarakat penuh empati dan memiliki rasa makna mungkin melaporkan kesejahteraan subjektif yang lebih tinggi daripada seorang eksekutif sukses yang hidup dalam tekanan dan keterasingan. Dalam hal ini, kebahagiaan bukan hanya fungsi dari apa yang dimiliki, tetapi juga dari cara seseorang memaknai apa yang dimiliki itu.

Kebahagiaan, pada akhirnya, adalah hasil interaksi kompleks antara kondisi eksternal dan respons internal. Kekayaan dan kesehatan memang berpengaruh, tetapi hanya sampai titik tertentu. Hubungan sosial memberi fondasi emosional yang kuat. Namun, yang paling menentukan adalah bagaimana seseorang mengelola harapan, menyesuaikan diri terhadap perubahan, dan membangun makna dalam hidupnya. Maka pertanyaannya bukan hanya: “Apakah saya bahagia?”, tetapi juga: “Apa yang saya harapkan, dan mengapa saya mengharapkannya?”

AOS


No comments:

Post a Comment